Pemandangan di Gunung Papandayan |
Kami duduk berkumpul
dalam lingkaran kecil di tengah 4 tenda kami, beralasan jas hujan yang digelar
menjadi pengganti tikar. Hangat dalam balutan jaket masing-masing dengan
cemilan yang mulai mengisi kekosongan area tengah lingkaran kami. Saya
memandang wajah-wajah yang masih menampakan keletihannya tetapi dengan sorot
mata yang ceria dan bahagia menyisakan semangat berpetualang. Saya menyesap
cairan kopi hitam panas yang sedikit manis, mengalir perlahan melalui
gorong-gorong kerongkongan saya. Kopi hitam panas yang berkubang dalam gelas
kecil saya, mengepulkan uap panasnya melayang ke atas dan berbaur dengan tirai
kabut yang menyeruak masuk ke area perkemahan ini dari puncak singgasana sang
tuan tanah 7 puncak pegunungan ini.
Canda dan random topic
dalam obrolan petang masih mengisi waktu kami dalam suhu yang semakin dingin
dan sang angin yang tak henti-hentinya bertiup seolah berputar-putar di
sekeliling kami mencoba mencuri dengar apa yang tampak asyik kami bincangkan.
“Ada yang mau mie lagi?”
tanya sang komandan, dan langsung dijawab berebut dengan satu kata “GUE!”
Well menu apa lagi yang
terdengar lebih menggoda selain mie instant, untuk menemani raga fana ini berteman
dengan udara dingin dan angin yang tak lelah mengibaskan sayap-sayapnya.
Sesiangan sebelumnya, kami
berjalan dan mendaki gunung landai ini, serta membuka tenda di tanah lapang bernama
Pondok Saladah, area datar yang dikelilingi oleh ilalang gunung dan semak-semak
Edelweiss. Di sinilah kami berada, Gunung Papandayan.