Lembah Harau |
“Randie dimana?” tanya
saya ke Octa.
“Nih gue telepon.”
Jawab Octa
*percakapan telepon*
“Jadi dia sudah dimana?”
tanya saya lagi ke Octa
“Tuh baru berangkat,
katanya 15 menit sampai.” Jawab Octa
*menunggu Randie*
***
Mobil ini melaju cukup
kencang menyusuri jalanan antar kota di Provinsi Sumatera Barat menuju ke
Lembah Anai. Entah dimana tepatnya sekarang, yang pasti tak jauh dari ibukota provinsi,
Kota Padang. Tepat pukul 7.55 WIB, kami bertiga (saya, Randie dan Octa) mendaratkan
telapak kaki kami untuk pertama kalinya di Bandara Internasional Minangkabau.
Penjelajahan kali ini,
kami akan ditemani oleh temannya teman yang akan menjadi tour guide selama
penorehan jejak-jejak di Sumatera Barat.
Sementara Randie dan
Octa bercakap asyik dengan sang tour guide (Bayu) mengenai lokasi-lokasi gunung
di Sumatera Barat, saya menikmati slide-slide
yang bergerak dengan cepat pada layar jendela mobil. Jalanan dua jalur dengan
satu lajur saja pada masing-masing arah diapit oleh rumah penduduk dan
petak-petah hijau bagian dari sisi paling luar hutan Sumatera. Masyarakat
setempat yang tampak telah menjalankan aktifitas sehari-harinya dari tadi.
Orang-orang yang sama tetapi berbeda, rumah-rumah yang sama tetapi berbeda dan
kegiatan harian yang sama tetapi berbeda. Ini bagian bumi Indonesia yang lain,
yang disebut Sumatera Barat.
Rumah-rumah penduduk
semakin jarang dan kami memasuki jalanan yang membelah pegunungan Sumatera
Barat, semakin dekat dengan tujuan kami, yaitu Air Terjun Lembah Anai.
Kelok sana kelok sini
layaknya sebuah jalan khas pegunungan dan puncak dari Air Terjun Lembah Anai
mulai tampak. Dekat dan semakin mendekat sampai kami berhenti tak jauh dari
gerbang masuk ke area air terjun yang terletak tepat di bahu jalan raya.
Air Terjun Lembai Anai
tidaklah terlalu tinggi tetapi cukup indah dengan debit air yang cukup banyak
mengucur jatuh menghempas bebatuan dan membentuk sebuah kubungan danau kecil
sebelum akhirnya mengalir ke lembah dalam jalur-jalur kecil menyelinap diantara
bebatuan yang laksana mencoba memagari riak dari kubangan danau kecil.
Selesai mengabadikan
salah satu keindahan ibu bumi ini ke dalam memori lensa digital, kami pun
beranjak pergi menuju ke salah satu pusat kerajinan kain songket yang merupakan
salah satu kerajinan khas Minangkabau. Area Pandai Sikek, tidaklah terlalu
luas, ada beberapa toko dan pada waktu tertentu, bisa melihat langsung proses
pembuatan kain songket secara tradisional yang tentunya berharga sangat mahal
jika dibandingkan dengan kain songket hasil pabrikasi.
Menghabiskan waktu yang
cukup lama di Pandai Sikek (Octa belanja beberapa souvenir dan kain songket)
sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Kota Bukittinngi.
Sekelebat waktu dan
kami berhenti tepat di depan Jam Gadang – Bukittinggi. Jam yang digerakan oleh
mesin yang hanya diciptakan 2 buah saja di dunia dan yupe Big Ben – London adalah twin
sister-nya. Jam yang menjadi bintang dan landmark utama di Bukittinggi, jam yang menjadi titik nol Kota
Bukittinggi serta menjadi tiang pondasi tempat dimana semua warga lokal dari
segala umur berkumpul untuk menghela nafas sebentar dari penatnya rutinitas.
Kami berputar mengitari
Jam Gadang dan mencoba menemukan misteri keanehan yang sekaligus menempatkan
jam ini menjadi salah satu jam yang unik di dunia dan kemudian jejak kami mengarah
ke Pasar Ateh (Pasar Atas), berbaur dengan keramaian pedagang kaki lima serta
toko-toko yang menjajakan dagangannya, dari souvenir hingga kaos-kaos.
Cukup lama waktu yang
kami habiskan di sini, meleburkan bayangan kami dengan ribuan bayangan
warna-warna dari ragam souvenir yang tergantung di sana sini seolah tiada
habisnya.
Apa keanehan dari jam ini? |
Tenda Souvenir |
Pemberhentian kami
berikutnya adalah pemandangan indah dari Ngarai Sianok yang kami saksikan dari
tebing dimana terletak pula goa peninggalan masa perang dunia ke 2 saat
pendudukan oleh Jepang di Sumatera Barat. Disisi tertinggi dari dataran ini,
terdapat gardu pandang dengan menara terbuka untuk pemandangan yang lebih
spektakuler. Gerombolan monyet-monyet yang berkeliaran dengan bebas di area itu
juga tak luput dari mata lensa kami.
Tidak melulu pemandangan dan goa jepang yang ditawarkan, Ngarai Sianok juga menyajikan kegiatan berjalan menyusuri The Greatwall of Koto Gadang yang konon menyerupai design dari The Great Wall of China. Well, I guess tidak mirip sih yah haha, tetapi mungkin jika dilihat dari jauh memang ada sedikit kemiripan and still interesting untuk menyusuri tembok panjang yang berliku, terpatri menuju puncak salah satu gundukan ngarai, … sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan haha.
Jembatan gantung menuju ke "Great Wall" |
Nyanyian burung-burung
kecil, literally menyambut pagi kami
yang ceria dan cerah. Melangkah keluar dari kamar, akhirnya saya bisa melihat
dengan nyata pemandangan di depan kamar saya yang semalam tampak hanya gelap
dan bayang-bayang kelabu raksasa. Hamparan sawah dalam kukungan agung
bukit-bukit karst dan air terjun yang tampak dari kejauhan mengalir jatuh ke
dasarnya dari dataran teratas salah satu bukit karst, perfecto!
Guest House - nya |
Pemandangan dari Guest House |
Pemandangan dari Guest House |
Pemandangan dari Guest House |
Menjelang tengah hari,
kami bertolak menuju Batusangkar dimana Istano Basa Pagaruyung berada.
Perjalanan yang cukup lama hingga kantuk sempat berkunjung. Ditengah perjalanan
kami sempat berhenti di Panorama Tabek Patah yang menyajikan pemandangan indah
khas pegunungan dan lembah. Lumayan untuk meluruskan kaki sejenak.
Memasuki komplek Istano
Basa dalam terpaan terik sinar matahari yang sangat panas, tidaklah menyusutkan
gairah kami untuk melihat kebesaran dan keindahan istana tradisional, yang
berdiri angkuh di tengah area yang luas. Megah dengan detail ornamen ukiran
kayu yang menarik. Sayangnya saat itu kami tidak bisa memasuki area dalam
karena masih dalam tahap renovasi.
Istano Basa - Batusangkar |
Busana Adat Minang siap untuk dipakai dan diphoto |
Perjalanan berlanjut ke
Puncak Lawang untuk menyaksikan keindahan Danau Maninjau dari puncak tertinggi
di area danau. Sayang keberuntungan tidak bersama kami saat itu, setengah
perjalanan ke Puncak Lawang, kabut turun dengan cepat dan pekat, sehingga kami
harus turun dan mengurungkan kunjungan ke Puncak Lawang.
Perjalanan berlanjut
melalui Kelok 44, sepanjang 10 kilometer, yang menghantar kami menuju Danau
Maninjau. Kelok 44 merupakan jalanan berliku tajam yang sangat terkenal dan icon dalam balap sepeda Tour De Singkarak. Di kelok nomor 34,
kami menepi sejenak untuk mengabadikan dan menikmati pemandangan Danau Maninjau
dalam twilight yang mulai tiba dan luckily, kabut beranjak naik terus
sehingga pemandangan Danau Maninjau bisa kami nikmati dalam jernih.
Kelok 34 |
Pemandangan Danau Maninjau dari Kelok 34 |
Salah satu Masjid di area Danau Maninjau |
Tiba di Padang, kami
disambut dengan keramaian kota pada malam akhir pekan. Sebelum menuju penginapan,
kami sempatkan dulu untuk menghabiskan waktu sejenak menikmati Kota Padang
malam hari di sepanjang bahu jalan Jembatan Siti Nurbaya.
Pagi hari menjelang dan
dihari terakhir di Sumatera Barat, kami akan habiskan menelusuri Kota Padang.
Pantai Air Manis,
pantai panjang dengan pasir hitam halus yang sayangnya penuh dengan sampah. Di
pantai inilah kami saksikan bukti dari salah satu legenda paling terkenal di
Sumatera Barat (dan salah satu legenda terkenal dari Indonesia), batu Malin
Kundang.
Gunuang Padang, sebuah
bukit kecil di pinggir Kota Padang dalam barisan Pantai Padang yang merupakan
bekas benteng masa pendudukan Belanda di Sumatera Barat. Nafas kami sempat
habis ngos-ngosan menapaki ratusan tangga, menuju puncak tertinggi dari bukit
ini. Pemandangan dari atas sangat indah dan di titik inilah luasnya Kota Padang
akan tampak, disepanjang garis Pantai Padang.
Pemandangan Kota Padang dari Gunuang Padang |
Pemandangan dari Gunuang Padang |
Pemandangan dari Gunuang Padang |
Taman di Puncak Gunuang Padang |
Pantai Ketaping, pantai
dengan garis yang cukup panjang dan menurut kami cukup indah. Pantai yang
bersih dan masih jarang dikunjungi orang kecuali penduduk lokal. Cukup lama
kami habiskan waktu di pantai ini menikmati kelapa muda dan hembusan lembut
angin laut sembari perlahan senja itu datang.
Senja terakhir kami di
Sumatera Barat, senja yang mengiringi kami berkendara kembali ke Bandara
Internasional Minangkabau.
3 hari 2 malam yang menyenangkan selama menjelajah beberapa bagian Sumatera Barat. Yakinnya (dan semoga) kunjungan kami ini bukanlah kali pertama dan terakhir di Sumatera Barat. Tanpa tahu dengan pasti pun, kami percaya masih banyak tempat-tempat indah di Sumatera Barat yang belum sempat kami kunjungi dan semoga saja Sang Khalik memberikan kami kesempatan lain untuk mengunjungi dan menyaksikan ciptaan-ciptaan-Nya.
Kangen Sumatera Barat. Dua kali ke sana rasanya tak cukup. Harus berkali2. hehehe
ReplyDeletehaha benar itu :)
Deleteanyway, thx sdh mampir ke blog saya.
cheers,
HM
a good posting...
ReplyDeletei ilke it :D
visit us at Minangkabau a Journey of Discovery
thanks...