Sunday, October 13, 2013

Bumi Sumatera Barat, Tanah Minangkabau

Lembah Harau


“Randie dimana?” tanya saya ke Octa.
“Nih gue telepon.” Jawab Octa
*percakapan telepon*
“Jadi dia sudah dimana?” tanya saya lagi ke Octa
“Tuh baru berangkat, katanya 15 menit sampai.” Jawab Octa
*menunggu Randie*

***

Mobil ini melaju cukup kencang menyusuri jalanan antar kota di Provinsi Sumatera Barat menuju ke Lembah Anai. Entah dimana tepatnya sekarang, yang pasti tak jauh dari ibukota provinsi, Kota Padang. Tepat pukul 7.55 WIB, kami bertiga (saya, Randie dan Octa) mendaratkan telapak kaki kami untuk pertama kalinya di Bandara Internasional Minangkabau.
Penjelajahan kali ini, kami akan ditemani oleh temannya teman yang akan menjadi tour guide selama penorehan jejak-jejak di Sumatera Barat.

Sementara Randie dan Octa bercakap asyik dengan sang tour guide (Bayu) mengenai lokasi-lokasi gunung di Sumatera Barat, saya menikmati slide-slide yang bergerak dengan cepat pada layar jendela mobil. Jalanan dua jalur dengan satu lajur saja pada masing-masing arah diapit oleh rumah penduduk dan petak-petah hijau bagian dari sisi paling luar hutan Sumatera. Masyarakat setempat yang tampak telah menjalankan aktifitas sehari-harinya dari tadi. Orang-orang yang sama tetapi berbeda, rumah-rumah yang sama tetapi berbeda dan kegiatan harian yang sama tetapi berbeda. Ini bagian bumi Indonesia yang lain, yang disebut Sumatera Barat.

Rumah-rumah penduduk semakin jarang dan kami memasuki jalanan yang membelah pegunungan Sumatera Barat, semakin dekat dengan tujuan kami, yaitu Air Terjun Lembah Anai.

Kelok sana kelok sini layaknya sebuah jalan khas pegunungan dan puncak dari Air Terjun Lembah Anai mulai tampak. Dekat dan semakin mendekat sampai kami berhenti tak jauh dari gerbang masuk ke area air terjun yang terletak tepat di bahu jalan raya.

Air Terjun Lembai Anai tidaklah terlalu tinggi tetapi cukup indah dengan debit air yang cukup banyak mengucur jatuh menghempas bebatuan dan membentuk sebuah kubungan danau kecil sebelum akhirnya mengalir ke lembah dalam jalur-jalur kecil menyelinap diantara bebatuan yang laksana mencoba memagari riak dari kubangan danau kecil.
Air Terjun LEmbah Anai
Selesai mengabadikan salah satu keindahan ibu bumi ini ke dalam memori lensa digital, kami pun beranjak pergi menuju ke salah satu pusat kerajinan kain songket yang merupakan salah satu kerajinan khas Minangkabau. Area Pandai Sikek, tidaklah terlalu luas, ada beberapa toko dan pada waktu tertentu, bisa melihat langsung proses pembuatan kain songket secara tradisional yang tentunya berharga sangat mahal jika dibandingkan dengan kain songket hasil pabrikasi.
Menghabiskan waktu yang cukup lama di Pandai Sikek (Octa belanja beberapa souvenir dan kain songket) sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Kota Bukittinngi.

Sekelebat waktu dan kami berhenti tepat di depan Jam Gadang – Bukittinggi. Jam yang digerakan oleh mesin yang hanya diciptakan 2 buah saja di dunia dan yupe Big Ben – London adalah twin sister-nya. Jam yang menjadi bintang dan landmark utama di Bukittinggi, jam yang menjadi titik nol Kota Bukittinggi serta menjadi tiang pondasi tempat dimana semua warga lokal dari segala umur berkumpul untuk menghela nafas sebentar dari penatnya rutinitas.
Jam Gadang - Bukittinggi
Dokar Wisata yang banyak mangkal di sekitar Jam Gadang
Kami berputar mengitari Jam Gadang dan mencoba menemukan misteri keanehan yang sekaligus menempatkan jam ini menjadi salah satu jam yang unik di dunia dan kemudian jejak kami mengarah ke Pasar Ateh (Pasar Atas), berbaur dengan keramaian pedagang kaki lima serta toko-toko yang menjajakan dagangannya, dari souvenir hingga kaos-kaos.
Cukup lama waktu yang kami habiskan di sini, meleburkan bayangan kami dengan ribuan bayangan warna-warna dari ragam souvenir yang tergantung di sana sini seolah tiada habisnya.
Apa keanehan dari jam ini?
Tenda Souvenir
Kantong-kantong plastik kecil menggantung dijalinan jemari, saat kami meninggalkan Pasar Ateh dan berkendara menuju ke kediaman Bung Hatta – Sang Proklamator Negeri. Sebuah rumah kayu berwarna dasar putih dengan taman di depannya. Rumah yang terdiri dari dua lantai atas bangunan utama dan dengan tambahan beberapa bangunan lain disisi belakangnya. Rumah yang tampak tenang di tengah hiruk pikuknya jalanan downtown Kota Bukittinggi. Rumah tenang yang sepi, mendamba penghuninya dimasa lalu.
Rumah Bung Hatta
Pemberhentian kami berikutnya adalah pemandangan indah dari Ngarai Sianok yang kami saksikan dari tebing dimana terletak pula goa peninggalan masa perang dunia ke 2 saat pendudukan oleh Jepang di Sumatera Barat. Disisi tertinggi dari dataran ini, terdapat gardu pandang dengan menara terbuka untuk pemandangan yang lebih spektakuler. Gerombolan monyet-monyet yang berkeliaran dengan bebas di area itu juga tak luput dari mata lensa kami.
Ngarai Sianok

Ngarai Sianok

Tidak melulu pemandangan dan goa jepang yang ditawarkan, Ngarai Sianok juga menyajikan kegiatan berjalan menyusuri The Greatwall of Koto Gadang yang konon menyerupai design dari The Great Wall of China. Well, I guess tidak mirip sih yah haha, tetapi mungkin jika dilihat dari jauh memang ada sedikit kemiripan and still interesting untuk menyusuri tembok panjang yang berliku, terpatri menuju puncak salah satu gundukan ngarai, … sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan haha.
Jembatan gantung menuju ke "Great Wall"
Meninggalkan Ngarai Sianok, kami melanjutkan perjalanan cukup jauh ke Lembah Harau untuk menghabiskan satu putaran sinar bulan dan dibawah sinaran mentari esoknya, kami akan menjelajah salah satu tujuan paling memukau (dan nantinya menjadi our best destination) di Sumatera Barat.

Nyanyian burung-burung kecil, literally menyambut pagi kami yang ceria dan cerah. Melangkah keluar dari kamar, akhirnya saya bisa melihat dengan nyata pemandangan di depan kamar saya yang semalam tampak hanya gelap dan bayang-bayang kelabu raksasa. Hamparan sawah dalam kukungan agung bukit-bukit karst dan air terjun yang tampak dari kejauhan mengalir jatuh ke dasarnya dari dataran teratas salah satu bukit karst, perfecto!
Guest House - nya
Pemandangan dari Guest House
Pemandangan dari Guest House
Pemandangan dari Guest House
Menjelajah area Lembah Harau sungguh salah satu hal paling favorit kami selama di Sumatera Barat (so far). Dari bukit-bukit karst yang agung, sawah hijau membentang, celah-celah terbelah sinar mentari, air terjun-air terjun yang (sayangnya) tidak bisa kami tengok semua (hanya melongok ke 4 air terjun) dan salah satu flora khas Lembah Harau yang tidak saya ketahui namanya, tetapi berbentuk kepompong lucu, tetapi sangat mematikan untuk serangga kecil.
 
 
 
 
 
Menjelang tengah hari, kami bertolak menuju Batusangkar dimana Istano Basa Pagaruyung berada. Perjalanan yang cukup lama hingga kantuk sempat berkunjung. Ditengah perjalanan kami sempat berhenti di Panorama Tabek Patah yang menyajikan pemandangan indah khas pegunungan dan lembah. Lumayan untuk meluruskan kaki sejenak.
Pemandangan di Tabek Patah
 
Memasuki komplek Istano Basa dalam terpaan terik sinar matahari yang sangat panas, tidaklah menyusutkan gairah kami untuk melihat kebesaran dan keindahan istana tradisional, yang berdiri angkuh di tengah area yang luas. Megah dengan detail ornamen ukiran kayu yang menarik. Sayangnya saat itu kami tidak bisa memasuki area dalam karena masih dalam tahap renovasi.
Istano Basa - Batusangkar
 
 
Busana Adat Minang siap untuk dipakai dan diphoto
Dari Istano Basa, kami berkendara sebentar untuk melihat situs Batu Batikam yang kecil tetapi menarik. Batu Batikam adalah salah satu situs cagar budaya yang dilindungi, yang dulunya merupakan tempat musyawarah kepala suku Minangkabau.
Batu Batikam - Batusangkar
Perjalanan berlanjut ke Puncak Lawang untuk menyaksikan keindahan Danau Maninjau dari puncak tertinggi di area danau. Sayang keberuntungan tidak bersama kami saat itu, setengah perjalanan ke Puncak Lawang, kabut turun dengan cepat dan pekat, sehingga kami harus turun dan mengurungkan kunjungan ke Puncak Lawang.

Perjalanan berlanjut melalui Kelok 44, sepanjang 10 kilometer, yang menghantar kami menuju Danau Maninjau. Kelok 44 merupakan jalanan berliku tajam yang sangat terkenal dan icon dalam balap sepeda Tour De Singkarak. Di kelok nomor 34, kami menepi sejenak untuk mengabadikan dan menikmati pemandangan Danau Maninjau dalam twilight yang mulai tiba dan luckily, kabut beranjak naik terus sehingga pemandangan Danau Maninjau bisa kami nikmati dalam jernih.
Kelok 34
Pemandangan Danau Maninjau dari Kelok 34
Kelok 1 kami lalui dan kami memasuki area Danau Maninjau yang merupakan danau vulkanik, yang konon terbentuk dari letusan gunung purba bernama Gunung Sitinjau. Well jika dilihat memang pegunungan yang mengelilingi Danau Maninjau, memang tampak seperti mangkuk.
Salah satu Masjid di area Danau Maninjau
Sang surya berlalu dan kami beranjak menuju Kota Padang.

Tiba di Padang, kami disambut dengan keramaian kota pada malam akhir pekan. Sebelum menuju penginapan, kami sempatkan dulu untuk menghabiskan waktu sejenak menikmati Kota Padang malam hari di sepanjang bahu jalan Jembatan Siti Nurbaya.
Pemandangan dari Jembatan Siti Nurbaya - Padang
Pagi hari menjelang dan dihari terakhir di Sumatera Barat, kami akan habiskan menelusuri Kota Padang.

Pantai Air Manis, pantai panjang dengan pasir hitam halus yang sayangnya penuh dengan sampah. Di pantai inilah kami saksikan bukti dari salah satu legenda paling terkenal di Sumatera Barat (dan salah satu legenda terkenal dari Indonesia), batu Malin Kundang.
Malin Kundang (Kepala disebelah kanan dalam posisi menyembah)
Gunuang Padang, sebuah bukit kecil di pinggir Kota Padang dalam barisan Pantai Padang yang merupakan bekas benteng masa pendudukan Belanda di Sumatera Barat. Nafas kami sempat habis ngos-ngosan menapaki ratusan tangga, menuju puncak tertinggi dari bukit ini. Pemandangan dari atas sangat indah dan di titik inilah luasnya Kota Padang akan tampak, disepanjang garis Pantai Padang.
Pemandangan Kota Padang dari Gunuang Padang
Pemandangan dari Gunuang Padang
Pemandangan dari Gunuang Padang
Taman di Puncak Gunuang Padang
Pantai Ketaping, pantai dengan garis yang cukup panjang dan menurut kami cukup indah. Pantai yang bersih dan masih jarang dikunjungi orang kecuali penduduk lokal. Cukup lama kami habiskan waktu di pantai ini menikmati kelapa muda dan hembusan lembut angin laut sembari perlahan senja itu datang.
Senja terakhir kami di Sumatera Barat, senja yang mengiringi kami berkendara kembali ke Bandara Internasional Minangkabau.
Anak-anak lokal menyambut ombak di Pantai Ketaping
Senja Pantai Ketaping

3 hari 2 malam yang menyenangkan selama menjelajah beberapa bagian Sumatera Barat. Yakinnya (dan semoga) kunjungan kami ini bukanlah kali pertama dan terakhir di Sumatera Barat. Tanpa tahu dengan pasti pun, kami percaya masih banyak tempat-tempat indah di Sumatera Barat yang belum sempat kami kunjungi dan semoga saja Sang Khalik memberikan kami kesempatan lain untuk mengunjungi dan menyaksikan ciptaan-ciptaan-Nya.

3 comments:

  1. Kangen Sumatera Barat. Dua kali ke sana rasanya tak cukup. Harus berkali2. hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha benar itu :)
      anyway, thx sdh mampir ke blog saya.

      cheers,
      HM

      Delete