“Sayang, makan yuk.”
ajakku.
“Yuk, kamu maunya makan
apa?” dia mengiyakan dan balas bertanya.
“Apa yah? Chinese food
okay juga, tapi pingin juga makan western-westernan, bingung nih, kamu ada ide
ga?” jawabku tak menentu.
“Ini aja deh.” dia
menyudahi jawaban pendeknya dengan melumat bibirku dalam dan lama.
…. “Gimana?” tanyanya
terengah.
“Lagi!” pintaku memaksa
sambil menarik jenjang lehernya kembali dan memainkan lidahku dalam mulutnya
berdansa dengan lidahnya.
Sesaat bibir kami
terlepas dan nafas hangatnya menderu di pipiku.
“Sayang, aku mau main
course-nya.” desahku dan mulai melepas kancing-kancing bajunya.
Dia diam dalam deru
nafasnya dan tanganya mulai bermain pada resleting celana jeans-ku.
Dua siluet dariku dan
dia bergelut dalam lipatan baju-baju yang tak sempat terlepas sepenuhnya dari
badan kami, bercampur dengan peluh dan deru nafas di sofa berpola kotak.
Erangan dan lenguhan
tertahan menemani desah kata-kata yang terucap tanpa makna selain kenikmatan.
Hentakan-hentakan keras
itu pun menghantar kami dalam lenguhan panjang tersenggal dan meninggalkan deru
nafas yang perlahan menjadi normal.
Ku tersenyum dan
kembali melumat habis bibir yang seolah selalu menantangku.
“Masih lapar nih? Yuk
cari makan.” ajakku lagi.
“Oh masih lapar yah?”
jawabnya dengan kerling mata nakal menggoda dan dia mulai memainkan bibir dan
lidahnya di leherku dan perlahan bergerak turun dengan diselingi
gigitan-gigitan kecil.
“Arghh …” lenguhku tak
tahan dan memainkan jemari kakiku di bagian bawahnya.
Piring ke dua pun tersaji
dan kami santap reguk sekali lagi.
Seruan kecil keluar
tertahan saat salah satu bagian kami benar-benar menyatu lagi. Tatapan kami
bertemu dan saling menatap sesaat saat gerakan kecil itu begitu nikmat, membuat
kami kembali mengerang, menutup kelopak mata dan melumat bibir satu sama lain.
Dalam hentakan-hentakan
kecil tak berirama kutelusuri kulit basah tubuhnya dengan tanganku. Sesekali
kurasakan asin keringatnya pada lidahku, membelai kulit putihnya dan hinggap
pada pagutan lidahnya.
Dua tubuh basah ini
saling berhimpitan seolah ingin melebur menjadi satu, menuntut kenikmatan dan
mengharap lenguhan satu sama lain, di sofa berpola kotak.
Sekali lagi
hentakan-hentakan keras membuat bibir kami saling berpagut, meredam seruan dan
racauan kami dalam puncaknya.
“Jadi mau cari makan ga
nih?” desah dia mesra di leherku.
“Yuk. Jadi kamu mau
makan apa sayang?” jawabku sambil terus membelai kulit basah telanjang
punggungnya.
“Chinese food boleh.
Aku mau ayam saos inggris ah.” sahutnya.
“Bentar lagi deh.”
reaksiku ogah-ogahan melepas pelukanku pada tubuh telanjangnya.
“Haha, sekarang ayoooo.
Ntar lagi.” gelak tawa mengiringi jawabannya, melepas pelukanku dan menarikku.
Gelak tawa yang selalu
kutunggu dan kurindu. Gelak tawa yang seolah bisa membuat semua masalahku
terlupakan sejenak.
“Iya deh.” kataku
sambil tersenyum dan mencium bibir itu sekali lagi.
Bibir yang terasa manis
dan nikmat dalam rasaku. Bibir yang bisa membuat aku lupa siapa aku, siapa dia
dan siapa kami. Bibir yang selalu kulumat dalam anganku saat dia tak ada
disampingku.
“Eh mandi dulu kali
yah, masa lecek gini? Sekalian ntar pingin ngopi di bucks deh.” imbuhnya sambil
menarik tanganku masuk ke dalam kamar mandi.
***
Sofa berpola kotak itu
masih ada disini bergeming dalam sunyi, sang magnet dari butir-butir debu yang
memudarkan pola dan warnanya.
Kuarahkan pandanganku
ke seluruh ruang dan sudut yang tertangkap mata, di rumah ini. Rumah yang dulu
menjadi Little Cave kami, yang kami tinggalkan bertahun-tahun lalu. Saat kami
masih muda dan berpikir bahwa semuanya akan begitu bahagia selamanya.
“Hey” suara familiar
itu menderu dalam lubang telingaku dan kurasakan sepasang tangan yang memeluk
pinggangku dari belakang.
“Hm…” desahku menjawab
sapaannya dan membelai sepasang lengannya.
“It’s time” sahutnya
masih memelukku.
“Iya” jawabku sambil
memalingkan muka dari sofa berpola kotak.
“Aku pikir kita harus
bawa sofa itu,” sahutku tiba-tiba, kembali memandang sofa berpola kotak, “Too
many good memories on it” tandasku.
“Haha, kangen juga yah
ama sofa itu.” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Iya, ntar kita atur
lagi deh tempatnya, pokok sofanya kudu kita bawa.” sahutku bersemangat.
“Setuju!” tegasnya
dengan binar lucu di dua bola mata hitamnya.
Yak beres, sofa itu
akan menemani kami lagi. Sofa berpola kotak.
Setelah 18 tahun, yah
semuanya begitu bahagia dan seakan akan selamanya.
refreshing! *diantara catatan2 perjalanan, akhirnya terselip sesuatu yang benar2 penuh gairah.
ReplyDeleteahahaha, thank you sudah mampir!
Delete*dalem ati* "kenapa yg komen cowok :'("
OMG OMG..baru baca yang ini!!! *baca sambil degdegan*
ReplyDeleteGED hmmmmm
Delete