Monday, October 28, 2013

Sofa Berpola Kotak



“Sayang, makan yuk.” ajakku.
“Yuk, kamu maunya makan apa?” dia mengiyakan dan balas bertanya.
“Apa yah? Chinese food okay juga, tapi pingin juga makan western-westernan, bingung nih, kamu ada ide ga?” jawabku tak menentu.
“Ini aja deh.” dia menyudahi jawaban pendeknya dengan melumat bibirku dalam dan lama.
…. “Gimana?” tanyanya terengah.
“Lagi!” pintaku memaksa sambil menarik jenjang lehernya kembali dan memainkan lidahku dalam mulutnya berdansa dengan lidahnya.
Sesaat bibir kami terlepas dan nafas hangatnya menderu di pipiku.
“Sayang, aku mau main course-nya.” desahku dan mulai melepas kancing-kancing bajunya.
Dia diam dalam deru nafasnya dan tanganya mulai bermain pada resleting celana jeans-ku.

Dua siluet dariku dan dia bergelut dalam lipatan baju-baju yang tak sempat terlepas sepenuhnya dari badan kami, bercampur dengan peluh dan deru nafas di sofa berpola kotak.

Erangan dan lenguhan tertahan menemani desah kata-kata yang terucap tanpa makna selain kenikmatan.

Hentakan-hentakan keras itu pun menghantar kami dalam lenguhan panjang tersenggal dan meninggalkan deru nafas yang perlahan menjadi normal.

Ku tersenyum dan kembali melumat habis bibir yang seolah selalu menantangku.
“Masih lapar nih? Yuk cari makan.” ajakku lagi.
“Oh masih lapar yah?” jawabnya dengan kerling mata nakal menggoda dan dia mulai memainkan bibir dan lidahnya di leherku dan perlahan bergerak turun dengan diselingi gigitan-gigitan kecil.
“Arghh …” lenguhku tak tahan dan memainkan jemari kakiku di bagian bawahnya.
Piring ke dua pun tersaji dan kami santap reguk sekali lagi.

Seruan kecil keluar tertahan saat salah satu bagian kami benar-benar menyatu lagi. Tatapan kami bertemu dan saling menatap sesaat saat gerakan kecil itu begitu nikmat, membuat kami kembali mengerang, menutup kelopak mata dan melumat bibir satu sama lain.

Dalam hentakan-hentakan kecil tak berirama kutelusuri kulit basah tubuhnya dengan tanganku. Sesekali kurasakan asin keringatnya pada lidahku, membelai kulit putihnya dan hinggap pada pagutan lidahnya.
Dua tubuh basah ini saling berhimpitan seolah ingin melebur menjadi satu, menuntut kenikmatan dan mengharap lenguhan satu sama lain, di sofa berpola kotak.

Sekali lagi hentakan-hentakan keras membuat bibir kami saling berpagut, meredam seruan dan racauan kami dalam puncaknya.

“Jadi mau cari makan ga nih?” desah dia mesra di leherku.
“Yuk. Jadi kamu mau makan apa sayang?” jawabku sambil terus membelai kulit basah telanjang punggungnya.
“Chinese food boleh. Aku mau ayam saos inggris ah.” sahutnya.
“Bentar lagi deh.” reaksiku ogah-ogahan melepas pelukanku pada tubuh telanjangnya.
“Haha, sekarang ayoooo. Ntar lagi.” gelak tawa mengiringi jawabannya, melepas pelukanku dan menarikku.

Gelak tawa yang selalu kutunggu dan kurindu. Gelak tawa yang seolah bisa membuat semua masalahku terlupakan sejenak.

“Iya deh.” kataku sambil tersenyum dan mencium bibir itu sekali lagi.

Bibir yang terasa manis dan nikmat dalam rasaku. Bibir yang bisa membuat aku lupa siapa aku, siapa dia dan siapa kami. Bibir yang selalu kulumat dalam anganku saat dia tak ada disampingku.

“Eh mandi dulu kali yah, masa lecek gini? Sekalian ntar pingin ngopi di bucks deh.” imbuhnya sambil menarik tanganku masuk ke dalam kamar mandi.

***

Sofa berpola kotak itu masih ada disini bergeming dalam sunyi, sang magnet dari butir-butir debu yang memudarkan pola dan warnanya.
Kuarahkan pandanganku ke seluruh ruang dan sudut yang tertangkap mata, di rumah ini. Rumah yang dulu menjadi Little Cave kami, yang kami tinggalkan bertahun-tahun lalu. Saat kami masih muda dan berpikir bahwa semuanya akan begitu bahagia selamanya.

“Hey” suara familiar itu menderu dalam lubang telingaku dan kurasakan sepasang tangan yang memeluk pinggangku dari belakang.
“Hm…” desahku menjawab sapaannya dan membelai sepasang lengannya.
“It’s time” sahutnya masih memelukku.
“Iya” jawabku sambil memalingkan muka dari sofa berpola kotak.

“Aku pikir kita harus bawa sofa itu,” sahutku tiba-tiba, kembali memandang sofa berpola kotak, “Too many good memories on it” tandasku.
“Haha, kangen juga yah ama sofa itu.” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Iya, ntar kita atur lagi deh tempatnya, pokok sofanya kudu kita bawa.” sahutku bersemangat.
“Setuju!” tegasnya dengan binar lucu di dua bola mata hitamnya.

Yak beres, sofa itu akan menemani kami lagi. Sofa berpola kotak.

Setelah 18 tahun, yah semuanya begitu bahagia dan seakan akan selamanya.

4 comments:

  1. refreshing! *diantara catatan2 perjalanan, akhirnya terselip sesuatu yang benar2 penuh gairah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahahaha, thank you sudah mampir!
      *dalem ati* "kenapa yg komen cowok :'("

      Delete
  2. OMG OMG..baru baca yang ini!!! *baca sambil degdegan*

    ReplyDelete