Sunday, November 24, 2013

Papandayan - Keindahan persembahan Ibu Pertiwi Indonesia-ku

Pemandangan di Gunung Papandayan


Kami duduk berkumpul dalam lingkaran kecil di tengah 4 tenda kami, beralasan jas hujan yang digelar menjadi pengganti tikar. Hangat dalam balutan jaket masing-masing dengan cemilan yang mulai mengisi kekosongan area tengah lingkaran kami. Saya memandang wajah-wajah yang masih menampakan keletihannya tetapi dengan sorot mata yang ceria dan bahagia menyisakan semangat berpetualang. Saya menyesap cairan kopi hitam panas yang sedikit manis, mengalir perlahan melalui gorong-gorong kerongkongan saya. Kopi hitam panas yang berkubang dalam gelas kecil saya, mengepulkan uap panasnya melayang ke atas dan berbaur dengan tirai kabut yang menyeruak masuk ke area perkemahan ini dari puncak singgasana sang tuan tanah 7 puncak pegunungan ini.

Canda dan random topic dalam obrolan petang masih mengisi waktu kami dalam suhu yang semakin dingin dan sang angin yang tak henti-hentinya bertiup seolah berputar-putar di sekeliling kami mencoba mencuri dengar apa yang tampak asyik kami bincangkan.

“Ada yang mau mie lagi?” tanya sang komandan, dan langsung dijawab berebut dengan satu kata “GUE!”
Well menu apa lagi yang terdengar lebih menggoda selain mie instant, untuk menemani raga fana ini berteman dengan udara dingin dan angin yang tak lelah mengibaskan sayap-sayapnya.

Sesiangan sebelumnya, kami berjalan dan mendaki gunung landai ini, serta membuka tenda di tanah lapang bernama Pondok Saladah, area datar yang dikelilingi oleh ilalang gunung dan semak-semak Edelweiss. Di sinilah kami berada, Gunung Papandayan.

1. Umro (Sang Komandan) – status dari Jakarta
2. Egot (Sang Pencari Jejak) – status bertemu di area parkir Gunung Papandayan
3. Deni (Sang Koki) – status bertemu di Pondok Saladah
4. Ryan (Sang Koki) – status bertemu di Pondok Saladah
5. Erin (Sang Peworo-woro) – status dari Jakarta
6. Natalia (Sang “Ngglundung, Njungkel, Nggeblak”) – status dari Jakarta
7. Dimas (Sang Pengamat) – status dari Jakarta
8. Octa (Sang Komentator, kali #4 ke Gunung Papandayan) – status dari Jakarta
9. Adi (Sang “Fire Master”) – status dari Jakarta
10. Setyawan (Sang “AY” Carrier) – status dari Jakarta
11. Amel (Sang Yoga-ers Naik Gunung) – status dari Jakarta
12. Hendi (Sang “Kereta Api”) – status dari Jakarta
13. Harry (Sang Penulis) – status dari Jakarta

“Berhitung mulai!” teriak Sang Komandan.
“Ji” “Ro” “Lu” ………….. “SANGAAAAAKKKK!” pas Sembilan orang peserta (yang mendadak Njowo semua).

“Berang-berang nyetrika kancut!” “BERANGCUTTTT” …(sampai sekarang tidak ada yang mengaku meneriakan kalimat ini!)

Tepat pukul 22.30 WIB, kami dengan “menunggangi” elf sewaan, memulai perjalanan bertolak ke Kota Garut.

Kurang lebih 8 jam kami dibuai oleh goncangan-goncangan, dari yang lembut sampai yang membuat kami terlempar dari tempat duduk, sebelum akhirnya memasuki jalan tunggal menuju ke Telaga Bodas.

Sempat kami berhenti sejenak, sejengkal ngebut ke Telaga Bodas, untuk meluruskan kaki dan menikmati pemandangan perbukitan serta “pyramid” garut.
Pemandangan dari tempat pemberhentian menuju ke Telaga Bodas
The Pyramid of Garut
Perjalanan berlanjut dan dalam sekejab sampailah kami di area parkir Telaga Bodas. Sedikit berjalan kaki menanjak dan terhamparlah pemandangan danau putih tersebut, dikelilingi oleh perbukitan yang indah, dengan sedikit bau belerang yang menggantung di udara.

Telaga Bodas yang berarti danau putih dalam bahasa Sunda, adalah danau volcanic yang merupakan bagian dari Gunung Bodas. Telaga Bodas juga merupakan salah satu area cagar alam di Indonesia.
Telaga Bodas
Tidaklah lama kami habiskan waktu di Telaga Bodas dan segera kembali bertolak ke Kota Garut dan semakin mendekati Gunung Papandayan.

Perjalanan kami lalui dengan elf dan mencoba menumpang di belakang bak pick up (bayar lho), sebelum kami memasuki area parkir Gunung Papandayan, dimana beberapa rombongan lain juga sudah sampai dan siap mulai mendaki, menyusuri jalan setapak menuju Pondok Saladah.
Area parkir Gunung Papandayan
“Okay kalau sudah siap, kalian jalan dulu yah, dipandu sama Egot” kata Sang Komandan.
Bagai sekelompok anak ayam, kami segera mengerumuni Sang Pencari Jejak.

Berurutan dipimpin oleh Egot, kami mulai memasuki jalur trekking dan membelah lautan batu dengan tebing disebelah kanan dan kawah-kawah kecil, yang menyemburkan asap-asap belerangnya, di sebelah kiri. Semua serba gersang dan hanya ada batu, debu dan batu, debu.
Kawah Gunung Papandayan
Kawah Gunung Papandayan
Fellas
Setengah perjalanan telah kami lampaui dan di depan kami mulai tampak perbukitan hijau yang  semakin menanjak tinggi. Di area lapang kecil, kami akhirnya berhenti istirahat (untuk kesekian kalinya) dan membuka bekal makan siang kami. Asik juga tempat kami beristirahat, selain bau belerang yang sudah tak tercium, pemandangan juga sangat indah. Keputusan yang tepat untuk mengikuti saran Egot agar tidak mengambil jalur serta mengabaikan track menuju ke Pondok Saladah melalui Hutan Mati.
Lunch Break
Long way up to the gap
Kaki-kaki kembali melangkah, mulai memasuki rimbunan pepohonan kecil dan semak-semaknya, menyusuri jalan setapak yang meliuk menanjak. Di sinilah kami bertemu dengan “Tanjakan Anjing”, tanjakan memotong jalur normal yang cukup curam, dengan kerikil-kerikil kecil yang kadang berhamburan membuat tanjakan semakin licin meski tanah kering dari lembabnya air hujan. Apakah namanya beneran Tanjakan Anjing? Tentu tidak haha, menurut Egot, kata “Anjing!” sering terlempar dari mulut yang melalui tanjakan ini dan dari sanalah tanjakan tersebut mendapat julukan sebagai “Tanjakan Anjing!”
The Path
Tanjakan "Anjing"
 Angkat perut angkat pantat, tarik tubuh ke depan, BISA NAIK! Hiking YANG IYA IYALAH *deng dong*

Berhasil juga kami melalui Tanjakan Anjing yang cukup curam tetapi pendek sehingga tidak perlu berjalan memutar cukup jauh ke samping dengan track yang lebih licin lagi meski lebih landai.

Pemandangan dari ujung Tanjakan "Anjing"
Hidden Bathtub
Perjalanan berlanjut dan berlanjut. Tak jauh dari celah yang dari semula kami tuju, tampaklah hamparan padang rumput kecil. Itukah Pondok Saladah? Bukan hiks, tapi memang sudah tak jauh lagi. Setelah kembali memasuki pepohonan rendah yang rimbun, mulailah tampak warna warni tenda yang berdiri di sisi terluar dari area Pondok Saladah dan yah … sampailah kami akhirnya di camp area yang indah ini, dikelilingi oleh rimbunan semak-semak Edelweiss.
Rehat sejenak
The Road to Pondok Saladah
Pondok Saladah
Mendirikan tenda terus terang adalah bukan bakat saya dan daripada rusuh membikin tenda semakin menempel di tanah maka setelah beberapa saat memperhatikan beberapa teman mendirikan tenda, saya dan beberapa teman rusuh akhirnya memutuskan untuk mengelilingi camp area yang ternyata cukup luas ini.
The Edelweiss
Edelweiss Field at Pondok Saladah
Sore berpisah dan petang menjelang. Suhu di Pondok Saladah dengan cepat dan pasti semakin turun. Satu persatu kami mulai mengenakan jacket, topi, sarung tangan dan duduk dengan manis di area tengah tenda-tenda kami sambil menyeruput pop mie yang kami bawa, sedapppppp.

Cukup betah kami duduk berkeliling sambil cemal-cemil, ngobrol sana sini, sebelum gerombolan ini berpindah tempat mengelilingi api unggun kecil yang akhirnya berhasil menyala oleh Sang Pencari Jejak dan Sang Fire Master.

Duduk, berdiri, berdiam, ngobrol, makan, ngemil, ngunyah: itulah kira-kira yang kami lakukan untuk menghabiskan malam di Pondok Saladah ini.

***
“GROKKKKKK GROKKKK” bunyi menyebalkan yang tak asing, membangunkan saya dari penjelajahan di dunia dimensi fana. Hm ternyata Sang Pengamat yang kebetulan tidur disamping saya yang mengeluarkan bunyi stereo itu.

Well it’s time to wake up anyway, pikir saya.menggerutu. Beberes sebentar dan saya pun merangkak keluar tenda dengan diiringi seruan-seruan protes dari yang kena injak, sikut dan sebagainya haha.

Melangkah keluar dari udara yang relative hangat di dalam tenda, saya disambut dengan udara dini hari yang dingin.
“Ayo ambil piringnya, mie-nya sudah matang nih” seru Sang Koki(s)
Waini! Batin saya, sedap banget yeehaw.

Kegelapan masih enggan membuka tabirnya dan sang kabut pun masih terkukung dalam rengkuhan gelap. Saya duduk dalam diam sambil mengunyah mie dan mengamati pijar tangan-tangan kecil sang api mencoba meraih dalam jilatannya ke atas.

***
“Okay, semua siap?” teriak Sang Komandan, yang dijawab dengan anggukan dan berjalanlah kami berurutan menuju ke Hutan Mati untuk melihat sang dewa pijar keluar dari tirai tebing-tebing pegunungan ini.

Memasuki Hutan Mati, ada kekaguman menyaksikan area yang literally mati, gersang tetapi indah dan mistik dalam kemurungannya, diiringi dengan riak-riak kelambu kabut menyusup di antara batang-batang pohon dan dahan-dahan berwarna hitam yang mati. Kami menyaksikan di mana dan apa yang disebut kematian yang indah.
The Dead Tree and The Fog
Dead Forest "Hutan Mati"
Mejeng dulu
Berjalan terus sedikit menanjak dan sampailah kami di ujung tebing dari Hutan Mati ini. Hutan Mati ini mati karena terkena dampak letusan dan erupsi dari Gunung Papandayan yang memang terjadi beberapa kali sejak Tahun 1772.
The Sun, The Cliff and The Fog
Pemandangan valley dari Puncak Hutan Mati
Perjalanan berlanjut ke salah satu puncak dari Gunung Papandayan yaitu Tegal Alun. Perjuangan menanjak dan menanjak pun kembali kami lalui dengan nafas tersenggal dan peluh, bercampur dengan rasa seru dan asyik saat kami harus “menaklukkan” Tanjakan Mamang (entah kenapa, namanya memang seperti itu). Tanjakan mamang yang tidak jauh berbeda dengan Tanjakan Anjing mengantar kami ke gerbang puncak Tegal Alun, dengan semak-semak Edelweiss yang membentang sepanjang mata memandang dengan langit biru dan puncak-puncak pegunungan sebagai latarnya, sungguh indah.
Edelweiss Field at Tegal Alun
Edelweiss Field at Tegal Alun
Berdiri di sini saya merasa sangat kecil (DIAM! Saya bukan ngomongin perut!), sedikit terintimidasi yang indah oleh kemegahan kreasiNya.
Hembusan angin yang cukup kencang mengingatkan saya akan terpaan masalah dalam kehidupan saya yang tak akan berhenti berhembus. Peluh-peluh mendaki ke gunung ini yang mengingatkan saya akan usaha yang selama ini saya tempuh. Bunga-bunga Edelweiss kecil yang hidup bergerombol dan bertahan dalam kondisi dingin dan hembusan angin kencang yang mengingatkan saya, bawah saya tak ubahnya seperti salah satu kuntum Edelweiss dalam semak-semak itu, bertahan dan tetap hidup.
Jika saya melihat lebih luas lagi, tanjakan, debu peluh, hempasan angin dingin tersebutlah yang membuat saya bisa berdiri di sini dan menikmati keindahan hidup itu sendiri. Keindahan hidup yang berasal dari alam, berasal dari ibu pertiwi Indonesia-ku.

Yah saya siap kembali dan memulai lagi untuk mencapai lebih tinggi.

***
Special thanks untuk Mas Egot, Mas Deni dan Mas Ryan.

No comments:

Post a Comment