Pemandangan di Gunung Papandayan |
Kami duduk berkumpul
dalam lingkaran kecil di tengah 4 tenda kami, beralasan jas hujan yang digelar
menjadi pengganti tikar. Hangat dalam balutan jaket masing-masing dengan
cemilan yang mulai mengisi kekosongan area tengah lingkaran kami. Saya
memandang wajah-wajah yang masih menampakan keletihannya tetapi dengan sorot
mata yang ceria dan bahagia menyisakan semangat berpetualang. Saya menyesap
cairan kopi hitam panas yang sedikit manis, mengalir perlahan melalui
gorong-gorong kerongkongan saya. Kopi hitam panas yang berkubang dalam gelas
kecil saya, mengepulkan uap panasnya melayang ke atas dan berbaur dengan tirai
kabut yang menyeruak masuk ke area perkemahan ini dari puncak singgasana sang
tuan tanah 7 puncak pegunungan ini.
Canda dan random topic
dalam obrolan petang masih mengisi waktu kami dalam suhu yang semakin dingin
dan sang angin yang tak henti-hentinya bertiup seolah berputar-putar di
sekeliling kami mencoba mencuri dengar apa yang tampak asyik kami bincangkan.
“Ada yang mau mie lagi?”
tanya sang komandan, dan langsung dijawab berebut dengan satu kata “GUE!”
Well menu apa lagi yang
terdengar lebih menggoda selain mie instant, untuk menemani raga fana ini berteman
dengan udara dingin dan angin yang tak lelah mengibaskan sayap-sayapnya.
Sesiangan sebelumnya, kami
berjalan dan mendaki gunung landai ini, serta membuka tenda di tanah lapang bernama
Pondok Saladah, area datar yang dikelilingi oleh ilalang gunung dan semak-semak
Edelweiss. Di sinilah kami berada, Gunung Papandayan.
1. Umro (Sang Komandan)
– status dari Jakarta
2. Egot (Sang Pencari Jejak)
– status bertemu di area parkir Gunung Papandayan
3. Deni (Sang Koki) –
status bertemu di Pondok Saladah
4. Ryan (Sang Koki) –
status bertemu di Pondok Saladah
5. Erin (Sang Peworo-woro)
– status dari Jakarta
6. Natalia (Sang
“Ngglundung, Njungkel, Nggeblak”) – status dari Jakarta
7. Dimas (Sang Pengamat)
– status dari Jakarta
8. Octa (Sang Komentator,
kali #4 ke Gunung Papandayan) – status dari Jakarta
9. Adi (Sang “Fire Master”)
– status dari Jakarta
10. Setyawan (Sang “AY”
Carrier) – status dari Jakarta
11. Amel (Sang Yoga-ers
Naik Gunung) – status dari Jakarta
12. Hendi (Sang “Kereta
Api”) – status dari Jakarta
13. Harry (Sang Penulis)
– status dari Jakarta
“Berhitung mulai!”
teriak Sang Komandan.
“Ji” “Ro” “Lu” …………..
“SANGAAAAAKKKK!” pas Sembilan orang peserta (yang mendadak Njowo semua).
“Berang-berang nyetrika
kancut!” “BERANGCUTTTT” …(sampai sekarang tidak ada yang mengaku meneriakan
kalimat ini!)
Tepat pukul 22.30 WIB,
kami dengan “menunggangi” elf sewaan, memulai perjalanan bertolak ke Kota
Garut.
Kurang lebih 8 jam kami
dibuai oleh goncangan-goncangan, dari yang lembut sampai yang membuat kami
terlempar dari tempat duduk, sebelum akhirnya memasuki jalan tunggal menuju ke
Telaga Bodas.
Sempat kami berhenti
sejenak, sejengkal ngebut ke Telaga Bodas, untuk meluruskan kaki dan menikmati
pemandangan perbukitan serta “pyramid” garut.
Perjalanan berlanjut
dan dalam sekejab sampailah kami di area parkir Telaga Bodas. Sedikit berjalan
kaki menanjak dan terhamparlah pemandangan danau putih tersebut, dikelilingi
oleh perbukitan yang indah, dengan sedikit bau belerang yang menggantung di
udara.
Telaga Bodas yang
berarti danau putih dalam bahasa Sunda, adalah danau volcanic yang merupakan
bagian dari Gunung Bodas. Telaga Bodas juga merupakan salah satu area cagar
alam di Indonesia.
Tidaklah lama kami
habiskan waktu di Telaga Bodas dan segera kembali bertolak ke Kota Garut dan
semakin mendekati Gunung Papandayan.
Perjalanan kami lalui
dengan elf dan mencoba menumpang di belakang bak pick up (bayar lho), sebelum
kami memasuki area parkir Gunung Papandayan, dimana beberapa rombongan lain
juga sudah sampai dan siap mulai mendaki, menyusuri jalan setapak menuju Pondok
Saladah.
“Okay kalau sudah siap,
kalian jalan dulu yah, dipandu sama Egot” kata Sang Komandan.
Bagai sekelompok anak ayam,
kami segera mengerumuni Sang Pencari Jejak.
Berurutan dipimpin oleh
Egot, kami mulai memasuki jalur trekking dan membelah lautan batu dengan tebing
disebelah kanan dan kawah-kawah kecil, yang menyemburkan asap-asap belerangnya,
di sebelah kiri. Semua serba gersang dan hanya ada batu, debu dan batu, debu.
Setengah perjalanan
telah kami lampaui dan di depan kami mulai tampak perbukitan hijau yang semakin menanjak tinggi. Di area lapang
kecil, kami akhirnya berhenti istirahat (untuk kesekian kalinya) dan membuka
bekal makan siang kami. Asik juga tempat kami beristirahat, selain bau belerang
yang sudah tak tercium, pemandangan juga sangat indah. Keputusan yang tepat
untuk mengikuti saran Egot agar tidak mengambil jalur serta mengabaikan track
menuju ke Pondok Saladah melalui Hutan Mati.
Kaki-kaki kembali
melangkah, mulai memasuki rimbunan pepohonan kecil dan semak-semaknya,
menyusuri jalan setapak yang meliuk menanjak. Di sinilah kami bertemu dengan “Tanjakan
Anjing”, tanjakan memotong jalur normal yang cukup curam, dengan kerikil-kerikil
kecil yang kadang berhamburan membuat tanjakan semakin licin meski tanah kering
dari lembabnya air hujan. Apakah namanya beneran Tanjakan Anjing? Tentu tidak
haha, menurut Egot, kata “Anjing!” sering terlempar dari mulut yang melalui
tanjakan ini dan dari sanalah tanjakan tersebut mendapat julukan sebagai “Tanjakan
Anjing!”
The Path |
Tanjakan "Anjing" |
Berhasil juga kami
melalui Tanjakan Anjing yang cukup curam tetapi pendek sehingga tidak perlu
berjalan memutar cukup jauh ke samping dengan track yang lebih licin lagi meski
lebih landai.
Pemandangan dari ujung Tanjakan "Anjing" |
Hidden Bathtub |
Rehat sejenak |
The Road to Pondok Saladah |
Pondok Saladah |
The Edelweiss |
Edelweiss Field at Pondok Saladah |
Cukup betah kami duduk
berkeliling sambil cemal-cemil, ngobrol sana sini, sebelum gerombolan ini
berpindah tempat mengelilingi api unggun kecil yang akhirnya berhasil menyala
oleh Sang Pencari Jejak dan Sang Fire Master.
Duduk, berdiri, berdiam,
ngobrol, makan, ngemil, ngunyah: itulah kira-kira yang kami lakukan untuk
menghabiskan malam di Pondok Saladah ini.
***
“GROKKKKKK GROKKKK”
bunyi menyebalkan yang tak asing, membangunkan saya dari penjelajahan di dunia
dimensi fana. Hm ternyata Sang Pengamat yang kebetulan tidur disamping saya
yang mengeluarkan bunyi stereo itu.
Well it’s time to wake
up anyway, pikir saya.menggerutu. Beberes sebentar dan saya pun merangkak
keluar tenda dengan diiringi seruan-seruan protes dari yang kena injak, sikut
dan sebagainya haha.
Melangkah keluar dari
udara yang relative hangat di dalam tenda, saya disambut dengan udara dini hari
yang dingin.
“Ayo ambil piringnya,
mie-nya sudah matang nih” seru Sang Koki(s)
Waini! Batin saya,
sedap banget yeehaw.
Kegelapan masih enggan
membuka tabirnya dan sang kabut pun masih terkukung dalam rengkuhan gelap. Saya
duduk dalam diam sambil mengunyah mie dan mengamati pijar tangan-tangan kecil
sang api mencoba meraih dalam jilatannya ke atas.
***
“Okay, semua siap?”
teriak Sang Komandan, yang dijawab dengan anggukan dan berjalanlah kami berurutan
menuju ke Hutan Mati untuk melihat sang dewa pijar keluar dari tirai
tebing-tebing pegunungan ini.
Memasuki Hutan Mati,
ada kekaguman menyaksikan area yang literally mati, gersang tetapi indah dan
mistik dalam kemurungannya, diiringi dengan riak-riak kelambu kabut menyusup di
antara batang-batang pohon dan dahan-dahan berwarna hitam yang mati. Kami
menyaksikan di mana dan apa yang disebut kematian yang indah.
The Dead Tree and The Fog |
Dead Forest "Hutan Mati" |
Mejeng dulu |
The Sun, The Cliff and The Fog |
Pemandangan valley dari Puncak Hutan Mati |
Edelweiss Field at Tegal Alun |
Edelweiss Field at Tegal Alun |
Hembusan angin yang
cukup kencang mengingatkan saya akan terpaan masalah dalam kehidupan saya yang
tak akan berhenti berhembus. Peluh-peluh mendaki ke gunung ini yang
mengingatkan saya akan usaha yang selama ini saya tempuh. Bunga-bunga Edelweiss
kecil yang hidup bergerombol dan bertahan dalam kondisi dingin dan hembusan
angin kencang yang mengingatkan saya, bawah saya tak ubahnya seperti salah satu
kuntum Edelweiss dalam semak-semak itu, bertahan dan tetap hidup.
Jika saya melihat lebih
luas lagi, tanjakan, debu peluh, hempasan angin dingin tersebutlah yang membuat
saya bisa berdiri di sini dan menikmati keindahan hidup itu sendiri. Keindahan hidup
yang berasal dari alam, berasal dari ibu pertiwi Indonesia-ku.
Yah saya siap kembali
dan memulai lagi untuk mencapai lebih tinggi.
***
Special thanks untuk
Mas Egot, Mas Deni dan Mas Ryan.
No comments:
Post a Comment