Malam kelam dengan
sedikit sinaran bulan, dihiasi oleh kerlip kecil bintang-bintang yang
bertaburan di kanvas langit yang hitam. Ramainya jalan raya dengan blitz-blitz
sinar lampu dari kendaraan bermotor semakin berkurang dan hilang di kejauhan, tertinggal
dalam laju kami menyusuri jalanan 2 lajur, membelah daerah-daerah yang masih
alami dan belum tersentuh oleh beton-beton bertingkat. Dalam bayang-bayangannya
hanya tampak pantulan pohon-pohon tinggi menjulang, mencoba menyentuh langit
yang konon tak berbatas.
Kujulurkan kepala ini
sedikit melalui jendela mobil yang terbuka. Sejenak kurasakan hempasan udara
dingin segar di paras muka telanjang ini dan melongok melihat indahnya ribuan
bintang bertaburan yang tak mungkin aku nikmati setiap hari. Hidup dan tinggal
dalam himpitan beton dengan udara panas berpolusi dan langit yang selalu
tertutup lembayung polusi itu sendiri. Kutolehkan kepalaku ke bangku belakang
dan seketika ucapanku tertahan, tersenyum melihat 5 kepala yang tergolek, dalam
perkelanaannya di dunia sana, bergerak mengikuti irama goncangan mobil ini.
***
“Di, bangun! Siapin
duit, ada pos untuk tamu harap lapor dan kayaknya butuh duit.” Kataku
membangunkan Adi dari alam buaiannya.
Setelah menempuh
perjalanan darat dengan mobil selama 7,5 jam, akhirnya kami mencapai juga pos
penjagaan pertama dari komplek wisata Kawah Ijen (ada 3 pos penjagaan, dimana
semua tamu harus melapor). Kurang dari satu jam perjalanan harus kami tempuh
lagi sebelum akhirnya mobil kami berhenti di area parkir yang tersedia,
dikelilingi dengan beberapa warung tenda yang masih menunjukkan keberadaannya
meski waktu sudah mendekati tengah malam.
***
“Semua siap? Mari
sebelum memulai trekking ini, kita berdoa sesuai dengan keyakinan
masing-masing, semoga perjalan pergi dan kembali berjalan lancar.” Pimpin Mas
Sam, sang guide yang kami sewa.
Dan dimulailah
perjalanan trekking mendaki menuju ke Kawah Ijen selama lebih kurang 2 jam,
hingga mencapai titik dimana kami bisa memandang telaga kehijauan dari Kawah
Ijen. Sampaikah kami? belum. Perjalanan berlanjut menuruni lereng berbatu
terjal, yang biasa dilalui oleh penambang sulfur/belerang, menuju ke tujuan
utama kami yaitu Api BIru (blue fire).
Api biru adalah
fenomena alam yang sangat langka di dunia dan hanya bisa ditemukan di Kawah
Ijen – Jawa Timur Indonesia dan Islandia.
The Blue Fire |
Penambang Sulfur/Belerang |
Sejenak mengabadikan
dan menikmati panorama api biru itu sebelum kami mulai merangkak naik lagi
menyusuri tebing batu terjal kembali ke atas (tidak disarankan berlama-lama di
wilayah tersebut karena kandungan belerang yang kuat).
***
Pemandangan dari atas
ke arah telaga kehijauan Ijen juga sangat indah dan sedikit mengintimidasi,
dengan kukungan pagar-pagar tebing raksasa yang mencuat mengapai angkasa,
merengkuh telaga itu dalam intinya.
***
On the road again, dan
kali ini kami kembali mengukur jalan menuju ke Taman Nasional Baluran (kurang
lebih 3 sampai dengan 4 jam perjalanan).
“Pantai tuh!” seruku
sambil mengarahkan tangan ke luar jendela dan mengarahkan kepala ke bangku
belakang yang diikuti dengan 5 pasang kepala menoleh ke arah pantai.
Pantai Watudodol adalah
pantai sempit dengan garis pantai yang cukup panjang, air biru jernih dimana
pengunjung tidak diijinkan untuk berenang di sana. Keunikan dari pantai ini
adalah pasirnya yang hitam glittery (konon namanya pasir besi). Yupe glittery!
literally pasir hitam kelam pantai ini bagai dicampur dengan glitter sehingga
menampakkan kilau-kilau kecil glitter.
***
Memasuki gerbang utama
dari Taman Nasional Baluran menjelang tengah hari, kami harus meneruskan
perjalanan dengan mobil sepanjang 15 kilometer lagi untuk mencapai tujuan kami
yaitu Pantai Bama.
3 kilometer sebelum pantai,
kami singgah sejenak di the famous landmark of Taman Nasional Baluran, yaitu:
Savannah Bekol. Savannah Bekol pada masa-masa kering (Mei sampai dengan
Oktober) lah yang membuat Taman Nasional Baluran mendapat julukan The Africa
van Java.
Pantai Bama at last,
dimana kami akan menghabiskan satu malam beristirahat dan menikmati pantai,
savannah dan hutan sebelum kami akan melaju di jalanan lagi, kembali ke barat.
Pantai Bama adalah
pantai dengan garis pantai yang cukup pendek yang menawarkan belaian sinar
matahari untuk dinikmati, … dengan sunblock tentunya. Pantai Bama konon juga
menawarkan taman laut yang mulai kembali indah belakangan ini.
***
Meminum air langsung
dari ledeng pancurannya, berlarian kesana kemari dalam benaman pasir pantai
yang berwarna putih gading, usil satu sama lain sampai bertengkar dan
bergelayutan di dahan pohon yang menyimpan cabang-cabang kokoh untuk diduduki,
berlari serta terlelap sejenak, … yupe itulah yang mereka lakukan, para
monyet-monyet yang senantiasa merong-rong kami, terbawa oleh sang mentari.
Kami? hanya duduk di
dalam pondokan dan ngemil kuaci, ngobrol sana sini, sebelum meluangkan sedikit
waktu untuk menikmati sinar matahari dan hangatnya air laut Pantai Bama.
Sometimes doing nothing
is the only thing you have to do, to relax and give your soul a vacation.
***
“Yah mati lampunya, kan
katanya sampai jam 11 malam, ini kan baru jam 8 malam” keluh … hm entah siapa
yang mengeluhkan ini, karena mendadak seluruh wilayah Pantai Bama yang kecil
menjadi gelap gulita.
“Senter mana senter?” …
dan masih tak tahu siapa yang mengatakan ini, masih gelap.
Nampaknya terjadi
kerusakan pada genset yang memungkinkan aliran listrik ada di Pantai Bama ini
dari pukul 6 petang hingga 11 malam.
***
Pagi datang menjelang,
sang mentari kembali mengintip malu-malu dari garis horizon jauh di sana,
sebelum akhirnya dengan gagah menunjukkan germelap pijar panasnya menerangi
sisi bumi yang ini, dimana kaki kami berpijak ditemani deburan ombak kecil.
Dan monyet-monyet itu
pun kembali mengrong-rong kami.
***
“Yuk jalan” kataku pada
yang lain dan memulai trekking melintasi sisi luar hutan hingga ke Savannah
Bekol, mencoba peruntungan kami, siapa tahu bisa melihat beberapa hewan liar
sedang berada di habitat aslinya dengan tetap stay on track yang ditentukan
supaya tidak mengganggu binatang itu sendiri maupun habitatnya.
Kami melihat … NONE
haha.
“Kayaknya ga beruntung
nih mas, biasanya ada banteng yang berteduh di sebelah sana dan kijang-kijang
pun juga tak tampak sekalipun.” Kata Pak Bambang, sang guide kepadaku.
“Biasanya memang pas
musim kemarau, binatangnya banyak yang keluar dari hutan, baik berteduh di sisi
luar hutan maupun mencari air ke Bekol, karena air di dalam hutan mengering dan
jarang.” Lanjut sang guide menjelaskan.
Sepintas merak terbang
di kejauhan dan suaranya bersahutan sejenak.
Sepintas ujung ekor
lutung dalam rimbunan pohon.
Seekor kerbau berkubang
di danau lumpur dari kejauhan.
Seekor ayam hutan yang
melintas.
Itulah yang bisa kami
saksikan. Bahkan impian akan menemukan bintang-bintang tersebut di Bekol sirna
juga, karena savannah tersebut kosong melompong tak menyisakan sedikit pun
jejak dari kerbau dan kijang-kijang yang sempat kami lihat pada saat melintasi
savannah ini kemarin.
Well no problem,
intinya adalah trekking, ada binatang atau tidak hanyalah bonus dari keasyikan
trekking melintasi sisi luar hutan dari Taman Nasional ini.
Siang menjelang dan
kami kembali menempatkan pantat kami pada posisi ternyaman dalam mobil dan
berkendara lagi menuju barat selama lebih kurang 10 jam menuju kediaman Suku
Tengger dalam pujanya kepada Sang Brahma, di dalam rengkuhan benteng Pegunungan
Penanjakan dan pengawasan sang Mahameru dikejauhan.
***
“Pantai tuh!” seruku sambil
mengarahkan tangan ke luar jendela dan mengarahkan kepala ke bangku belakang
yang diikuti dengan 5 pasang kepala menoleh kearah pantai.
Pantai Pasir Putih
adalah pantai dengan garis pantai yang cukup panjang yang terletak di
Situbondo. Pantai dengan segudang aktifitas dari berleha-leha di selembar
tikar, berlayar dengan perahu kayu menikmati buaian ombak dan melihat taman
lautnya, bermain jet ski, bermain air dan merasakan lembutnya pasir berwarna
putih menggelitik di sela-sela jemari kaki, sampai tempat yang tepat untuk
menikmati sebuah kelapa muda sembari menunggu sunset yang datang dari ufuk
barat sana.
Malam tiba dan kami
(terlalu awal) tiba dan memarkir mobil kami di Desa Cemoro Lawang. Desa yang
merupakan titik awal dari pengembaraan kami melintasi lautan pasir Bromo menuju
ke Penanjakan, Kawah Bromo, Savannah (Teletubbies) dan area Pasir Berbisik.
Udara dingin menyerbu
setiap kulit kami yang tak tertutup pakaian, sepatu, jaket, syal, sarung tangan
dan topi yang membungkus kami, mencoba menahan hawa hangat pada tubuh.
Masih pukul 3 pagi
nantinya kami akan memulai perjalan mencicipi keindahan ibu bumi di area Bromo
ini dan apakah yang lebih baik dari segelas minuman panas dan beberapa potong
gorengan hangat yang tersaji, siap dikecap untuk menghabiskan waktu hingga
waktunya tiba.
***
“Mas Urip?” tanyaku
pada mas-mas yang berdiri di pos area parkir Desa Cemoro Lawang.
“Iya, Mas Harry yah?”
jawabnya.
Dan dengan mengendari
jeep Mas Urip kami pun melaju menuju ke Penanjakan yang konon (jika cuaca cerah
bagus) adalah salah satu spot untuk menyaksikan sunrise terbaik di bumi pertiwi
ini.
Berjubel dengan ribuan
orang, kami hanya bisa menahan kekaguman kami karena langit cerah berawan
sehingga sang empunya pijar api terselimuti kelambu awan-awan. Well it was
pretty beautiful though.
Kawah Bromo sendiri
merupakan tujuan utama dari pejalan ke area Bromo, jadi tak mengherankan ribuan
orang berjalan, berkuda menuju dan mendaki ke puncak kawah.
Up up up to The Crater - Bromo |
Racing on Sea of Sands |
on The Roof, shall we? |
Horse for Rent |
Teletubbies Hills? I don't think so, yet so beautiful |
Savannah (Teletubbies) |
Savannah (Teletubbies) |
3 lokasi utama dengan 2
tambahan pantai dalam perjalanan 4 hari 3 malam, dimana sebagian besar kami
habiskan dijalanan duduk manis, duduk mencong, tertidur, ngemil, bertukar
cerita, bertukar pendapat dalam sebuah mobil elf. Beberapa tujuan kami temui
dengan kenyataan yang melebih angan kami, beberapa membuat kami sedikit kecewa
dan beberapa sesuai ekspektasi kami. Well the bottom line of a journey is the
journey itself, so yupe kami puas dengan perjalanan kami kali ini “on The Road
to Ijen, Baluran and Bromo”.
***
Badan bersih segar
sehabis mandi dan kuhisap dalam sebatang rokok yang sudah tinggal separuh
bertengger bergelayut diantara dua bibirku. Raga berasa pegal dan pantat
seperti rata (aslinya tepos juga sih). Kelopak mata yang layu kekurangan tidur
dan for me, it’s time untuk tidur berkualitas dengan pose sewajarnya orang tidur.
It’s a perfect place with a perfect weather, tidur berbalut selimut ditemani
dinginnya hawa Kota Malang.
Jendela mata ini
semakin berat dan kumatikan puntung rokokku. Beranjak ke kamar di rumah mamaku
yang kuinapi, berbaring dan meregangkan otot-otot tubuh. Jiwa ini menuntut
untuk berkelana dalam dunia mimpi, dunia misteri yang menawarkan lebih banyak
petualangan dan perjalanan, … meski tak nyata.
Ah tidurlah tidur
sejenak wahai kau sang pejalan. Kau dengan segudang memori yang akan kau
ceritakan dengan kebahagian yang nyata, karena kau telah melihatnya dengan mata
telanjangmu sendiri.
No comments:
Post a Comment