Sunday, January 26, 2014

Aku Pernah dan Aku Diam



Kupandang wajah bulat itu di cermin.
Kupandang senyum pada kanvas wajah itu ketika segaris bulan sabit tergambar.
Kupandang semua lekuk dan bentuk wajah itu.

Ku desahkan nafasku panjang, menciptakan embun yang memburamkan bayangan di cermin.
Biarlah bayangan itu selamanya menjadi bayangan.
Biarlah bayangan itu selamanya tersembunyi dalam buram.

Pernahkah kau melakukannya? Aku pernah dan aku diam.
Terlahir sebagai anak laki-laki ke dua dalam keluarga. 
Terlahir sebagai anak laki-laki yang itu dalam keluarga.
Terlahir sebagai anak laki-laki carut dalam keluarga.
Pernahkah kau menerimanya? Aku pernah dan aku diam, inilah takdirku.

Kau, abangmu dan ayahmu bersama dalam ceria memasuki toko mainan dan masing-masing memperoleh satu mainan. Gembira rasanya, mainan itu yang masing-masing kau dan abangmu inginkan. Kau meminta satu lagi dan dengan tegas ayahmu mengatakan tidak. Menit berikutnya abangmu meminta satu lagi dan ayahmu dengan senyum, menyuruhnya untuk memilih apalagi yang diinginkannya. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Kau, abangmu dan ayahmu bersama dalam ceria bertamasya bersama ke pulau dewata. Gembira rasanya berpergian bersama. Ayahmu membeli dua baju yang sama warna dan pola dengan ukuran yang berbeda, hanya untuk dirinya dan abangmu tanpa melihatmu. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Kau, abangmu dan ayahmu bersama dalam ceria menikmati alam tamasya. Gembira rasanya, kebersamaan itu menyenangkan sekali. Ayahmu mengajak abangmu berfoto bersama, tetapi kau tidak. Foto itu indah menggambarkan ayahmu merangkul pundak abangmu dengan kerling bahagia di dua pasang mata mereka. Kau maju, menginginkan foto yang sama. Ayahmu menolak, kau paksa dan akhirnya foto itu ada. Foto itu tak indah menggambarkan ayahmu merangkul enggan pundakmu dan sorot mata yang terpaksa dan jauh dari bahagia. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Kau, abangmu dan ayahmu bersama dalam ceria menginap di tempat tamasya. Gembira rasanya, keseruan itu nyata adanya. Ayahmu memilih untuk sekamar dengan abangmu dan tanpa melihatmu yang menginginkan bergabung bersama. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Abangmu beranjak menjadi bocah belasan tahun dan ayahmu mengajarkannya bagaimana mengemudikan sebuah sepeda bermotor. Seru sekali dan abangmu mendapatkan hadiah sebuah sepeda motor yang tak lama dia hancurkan dalam sebuah kecelakaan kecil. Beberapa saat setelahnya datang sepeda bermotor baru pengganti. Beberapa tahun berlalu, kau pun beranjak menjadi bocah belasan tahun dan kau inginkan hal yang sama. Ayahmu menolak, kau paksa dan dengan enggan ayahmu mengajarimu. Tapi keseruan hanya ada dalam menit-menit pertama karena kau jatuh dari sepeda bermotor itu dan ayahmu langsung menghentikan sesi belajar itu untuk selamanya. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Abangmu lulus dari pendidikan strata satu-nya dan ayahmu begitu gembira dan bangga, mengajak untuk foto bersama di sebuah studio mahal. Begitu indah fotonya, ingin hatimu juga tampak gagah dalam balutan jas dan membuang baju pinjaman dari seorang temanmu. Sesi foto wisuda-an selesai dan berlanjut dengan foto keluarga. Foto itu sekali lagi indah, tapi tak ada kau di dalamnya. Hanya ada abangmu dan ayahmu. Kali ini kau tak memaksa lagi. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Abangmu bertubuh gagah dan kau tidak. Ayahmu mencemooh dirimu atas itu. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Abangmu borok dalam keluarga dan dengan segenap hatimu, kau berusaha menjadi yang terbaik. Dalam musibahmu, ayahmu tetap membuang mukanya darimu. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Semua kenangan masa kecil hingga kau menjadi dewasa, menghantuimu dan berkelebatan selalu dalam relung jalur-jalur otak dan jiwamu. Inginnya kau melupakan dan menghapusnya dari memorimu untuk selamanya, tapi tak bisa. Entah, tapi tak bisa. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Kau melihat, membaca dan mendengar cerita insan-insan lain tentang indahnya ayah. Kau pun ingin bergabung dan menceritakan indahnya ikatanmu dengan ayah, tapi tak bisa. Entah, tapi tak bisa. Pernahkah kau merasakannya? Aku pernah dan aku diam.

Kupandang wajah bulat itu di cermin.
Kupandang kilauan mati pada dua bola matanya.
Kupandang jiwa yang rusak di sana.

Pernahkah kau melihat jiwa yang rusak dalam balutan keindahannya sendiri? 
Aku sedang melihatnya dan aku diam.


No comments:

Post a Comment