Duduk di ruangan kerja,
aku menatap pemandangan konstruksi dan rumah-rumah penduduk dari ketinggian
lantai 19, bernaung langit yang cerah dengan gumpalan-gumpalan awan putih
dengan semburat warna biru.
Duduk di ruangan kerja,
aku ada ditengah keramaian para staff-staff keuangan yang hilir mudik layaknya
para semut-semut pekerja yang tak kenal lelah memberikan yang terbaik. Aku dikelilingi oleh alunan dering telepon
yang menjerit-jerit meminta diangkat, bunyi hentakan jemari-jemari tangan pada
keyboard dan gelak canda, umpatan tertahan serta percakapan antar insan dalam
ruangan ini.
Aku tersenyum, merasa
damai dalam keramaian dunia yang telah kugeluti sejak tahun 2002 lalu dan entah
apa sebabnya, senyuman yang terasa mengembang di bibir ini, membawa ingatanku
kembali padamu, kepada senyumanmu, senyum untukku.
Bulan Oktober di tahun
2009, kurang lebih sekitar tanggal dua puluhan, tak ingat lagi tanggal pastinya.
Aku dan tiga orang teman menapakkan jejak pertama kami di Ibukota Thailand,
Bangkok. Teringat benar pada suatu petang menjelang, kami bergabung dengan para
pekerja di Bangkok yang sedikit telat pulang dari kantor, menggunakan BTS
(Bangkok Mass Transit System) Skytrain. Entah dari mana menuju kemana, lupa
sudah.
Di sana, kamu duduk
manis dengan atasan warna putih dan bawahan warna hitam dengan tas elegan yang
ada dipangkuanmu. Sungguh satu makhluk yang indah.
Asyik dengan peta yang ada
dihadapanku dan sedikit berdebat dengan teman seperjalanan, tak sadar kuarahkan
pandanganku curi-curi kepadamu.
Di sana, kamu duduk
manis dengan senyum simpul yang kamu tujukan kepadaku. Sedetik dua detik segera
kupalingkan wajahku, karena kaget dan tak tahu harus berbuat apa.
Sedetik, dua detik yang
seolah terhenti karena senyumanmu. Mengalihkan semua pandangan duniaku
kepadamu, wahai mahkluk yang indah.
Dan tak lebih dari
sedetik dua detik, maka aku dan kamu pun berlalu menapakki jalan kita
masing-masing.
Ah seandainya waktu
bisa berputar mungkin aku akan memberanikan diri menyapamu, meski kita
sama-sama asing dan berbicara dalam dua bahasa yang berbeda.
Tetapi apakah aku
benar-benar ingin menyapamu? Bagaimana jika perkenalan kita tak berjalan sesuai
dengan apa yang aku harapkan. Ah memang lebih baik seperti ini, kenangan yang
ada denganmu indah dan akan selalu.
Hai kamu, makhluk indah
yang sesekali melintas dalam pikiran ini, bayang rupamu telah mulai pudar
tetapi memori sedetik dua detik itu masih kuat dan tak akan sirna.
Hai kamu, makhluk indah
yang sesekali melintas dalam pikiran ini, terima kasih telah meninggalkan
memori yang indah untukku. Untuk kukenang saat tak ada dia untuk kukenang.
No comments:
Post a Comment