Friday, June 07, 2013

Sedetik Dua Detik



Duduk di ruangan kerja, aku menatap pemandangan konstruksi dan rumah-rumah penduduk dari ketinggian lantai 19, bernaung langit yang cerah dengan gumpalan-gumpalan awan putih dengan semburat warna biru.
Duduk di ruangan kerja, aku ada ditengah keramaian para staff-staff keuangan yang hilir mudik layaknya para semut-semut pekerja yang tak kenal lelah memberikan yang terbaik. Aku dikelilingi oleh alunan dering telepon yang menjerit-jerit meminta diangkat, bunyi hentakan jemari-jemari tangan pada keyboard dan gelak canda, umpatan tertahan serta percakapan antar insan dalam ruangan ini.

Aku tersenyum, merasa damai dalam keramaian dunia yang telah kugeluti sejak tahun 2002 lalu dan entah apa sebabnya, senyuman yang terasa mengembang di bibir ini, membawa ingatanku kembali padamu, kepada senyumanmu, senyum untukku.

Bulan Oktober di tahun 2009, kurang lebih sekitar tanggal dua puluhan, tak ingat lagi tanggal pastinya. Aku dan tiga orang teman menapakkan jejak pertama kami di Ibukota Thailand, Bangkok. Teringat benar pada suatu petang menjelang, kami bergabung dengan para pekerja di Bangkok yang sedikit telat pulang dari kantor, menggunakan BTS (Bangkok Mass Transit System) Skytrain. Entah dari mana menuju kemana, lupa sudah.

Di sana, kamu duduk manis dengan atasan warna putih dan bawahan warna hitam dengan tas elegan yang ada dipangkuanmu. Sungguh satu makhluk yang indah.

Asyik dengan peta yang ada dihadapanku dan sedikit berdebat dengan teman seperjalanan, tak sadar kuarahkan pandanganku curi-curi kepadamu.

Di sana, kamu duduk manis dengan senyum simpul yang kamu tujukan kepadaku. Sedetik dua detik segera kupalingkan wajahku, karena kaget dan tak tahu harus berbuat apa.

Sedetik, dua detik yang seolah terhenti karena senyumanmu. Mengalihkan semua pandangan duniaku kepadamu, wahai mahkluk yang indah.

Dan tak lebih dari sedetik dua detik, maka aku dan kamu pun berlalu menapakki jalan kita masing-masing.

Ah seandainya waktu bisa berputar mungkin aku akan memberanikan diri menyapamu, meski kita sama-sama asing dan berbicara dalam dua bahasa yang berbeda.

Tetapi apakah aku benar-benar ingin menyapamu? Bagaimana jika perkenalan kita tak berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan. Ah memang lebih baik seperti ini, kenangan yang ada denganmu indah dan akan selalu.

Hai kamu, makhluk indah yang sesekali melintas dalam pikiran ini, bayang rupamu telah mulai pudar tetapi memori sedetik dua detik itu masih kuat dan tak akan sirna.

Hai kamu, makhluk indah yang sesekali melintas dalam pikiran ini, terima kasih telah meninggalkan memori yang indah untukku. Untuk kukenang saat tak ada dia untuk kukenang.

No comments:

Post a Comment