“Kapan kawin?”
“Nunggu apa? Keburu tua lho!”
“Kamu gay (lesbian) yah?”
“Ntar anakmu masih kecil-kecil, kamunya sudah tua!”
… dan masih banyak lagi bentuk kata lain dari pertanyaan-pertanyaan
yang serupa. Bagi kaum single (khususnya yang sudah cukup umur), pastinya sudah
tidak asing dan tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan ini, terutama pada
acara-acara keluarga atau reuni.
Well, saya pun termasuk dalam kategori yang sering sekali menerima
pertanyaan-pertanyaan itu.
Siapakah yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu? Tentunya
para elderly dan teman-teman yang sudah menikah dan at least (so far) cukup
atau bahagia dalam kehidupan berumah-tangganya.
Hal ini jelasnya nyata pada apa yang saya amati.
Teman dan rekan kerja yang tidak pernah menanyakan ke-single-an saya, mostly
adalah mereka yang belum menikah juga atau yang telah mencicipi pahitnya
kehidupan berumah tangga.
Mereka yang sedang dalam masalah rumah tangga kronis dan yang sudah
divorce, malahan lebih cuek dengan status single saya dan bahkan lebih wise
dalam memberi inputan tentang kata “pernikahan”.
Sempat seorang rekan kerja berkata (tidak dengan kata-kata yang sama
benar) “Buat apa juga menikah jika malah memperberat kesedihan saat masih single.”
Begitu pula dengan kata-kata (yang menurut saya) bijak yang saya baca
di sebuah buku (tidak dengan kata-kata yang sama benar) “kesenangan single akan
digantikan dengan kesenangan berumah tangga dan kesedihan single juga akan
digantikan dengan kesedihan berumah tangga.”
“Ntar kalau kamu sudah jompo, siapa yang akan ngurus kamu, jika tidak
menikah?”
Pertanyaan yang bikin galau abis ini juga kerap kali dilontarkan. Well
bagi saya, cukup banyak contoh dari pasangan tanpa keturunan, pasangan yang
memiliki anak “durhaka” dan bahkan anak “setan”.
“Yah at least pernah menikah!” statement tandas beberapa orang. Well
apa gunanya menikah kalau hanya dengan alasan supaya tidak dibilang perawan
tua, bujang lapuk atau menghindari
olok-olokan being gay or lesbian?
“Kalo aku jadi kamu pasti kesepian banget.”
Yah memang tidak dapat saya sangkal, kesepian as being single kadang
merong-rong, terutama saat saya mempunyai masalah atau pas suddenly tanpa sebab
berasa lonely banget. Tapi seperti kata bijak yang saya baca di buku dan
sesuatu yang mutlak dalam kehidupan ini bahwa semua keputusan pasti ada
point-point positive dan negative-nya masing-masing.
Bagi saya sendiri “being single” is an option that I chose (so far).
Saya tak akan bilang saya tak akan menikah but saya akan bilang sementara ini
saya memang belum mau menikah (instead). Being single sementara ini masih bisa
membuat saya lebih menikmati hidup dengan hobby-hobby saya, seperti traveling,
hang out di malam minggu sampe dini hari (bukan dugem lho) yang intinya
melakukan apapun yang saya suka. Egois? BUKAN, bagi pandangan saya. Bagi saya
at the end of the day dalam hidup, yang kata orang hanya satu kali ini,
kebahagian kita sendirilah yang kita cari bukan? Apakah anda bisa hidup bahagia
dengan sepenuh hati, melihat orang selain diri anda sendiri bahagia sementara
anda sendiri terpuruk dalam ketidak-bahagian? Jika ada yang menjawah “IYA”,
sorry to say but I think that’s a big bullshit. Kita hidup untuk kita bukan
untuk orang lain.
Beberapa kasus teman saya, bercerai karena tidak bahagia dan tidak
mencintai pasangannya karena menikah hanya merupakan “kewajiban” yang harus
dilakukan, karena desakan keluarga dan/atau pandangan lingkungan dan pergaulan.
“Kamu pilih-pilih sih!”
Pilih-pilih? Bagi saya pasangan hidup yang diikat dalam satu kata
“pernikahan” JELAS harus pilih-pilih. Membeli sepatu saja, yang bisa dibuang
sewaktu-waktu, saya pilih-pilih, apalagi untuk pasangan hidup yang tentunya tak
semudah dan tak semurah itu untuk “membuangnya”, jika saya sudah tidak
menginginkannya lagi.
Pilih-pilih? JELAS! Saya tidak munafik, dalam berteman pun jelas saya
memilih teman yang membikin saya nyaman dan bahagia, apalagi memilih pasangan
hidup yang tidak bisa tiba-tiba saya “singkirkan” dalam hidup saya karena sudah
tidak cocok lagi, seperti seorang teman yang relative lebih mudah saya hapus
dalam kehidupan saya. Menghapus pasangan hidup tidaklah semudah menghapus data
contact di gadget jelasnya.
Belajar dari pengalaman selama ini, jurus-jurus jitu saya dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan “bullying” ini adalah: “mungkin ini rencana
Tuhan yang terbaik untuk saya, biarlah Tuhan yang bekerja dalam hidup saya” nah gimana? Cukup ampuh kan! Terbukti selama
ini kalimat itulah yang langsung bisa membungkam dan mengakhiri pembahasan
status single saya dengan “damai”, tanpa kalimat kasar seperti “Ga usah ikut
campur dengan urusan saya!” “Bawel banget sih kamu, aku yang menjalanin
fine-fine saja kok!” “Terserah saya dong!” “Masalah buat kamu!” dan lain-lain,
yang akan membuat pertemuan dan percakapan itu akan terhenti memang, tetapi
dengan ketegangan, perasaan yang tak enak dan tak jarang mengakibatkan
pertengkaran dengan teman, saudara atau rekan kerja.
Well, tulisan ini hanyalah pandangan pribadi saya secara subyektif tanpa
bermaksud mendeskreditkan pihak-pihak tertentu atau mencari pembenaran hidup as
being single. Orang lain punya pendapat yang berbeda, tentunya sah-sah saja,
karena bagi saya orang lain punya pandangan yang sama dengan saya atau
bertolak-belakang juga tidak ada pengaruhnya dalam hidup saya bukan? Standar
kebahagian setiap orang berbeda-beda.
Saya bukannya anti pernikahan lho. Kalau nantinya saya menemukan
seseorang, kenapa tidak saya menikah. Lepas dari cukup banyaknya teman dan
rekan kerja yang mereguk pahitnya berumah tangga, saya masih percaya akan
pernikahan, cinta dan komitmen karena bukti nyata juga ada dari beberapa teman
saya yang sudah menikah belasan tahun tetapi tetap masih mesra saja layaknya
pasangan yang baru pacaran sebulan.
Intinya saya tidak menikah karena pilihan saya dan tidak mau menikah
hanya karena merupakan “kewajiban”, tuntutan pandangan masyarakat dan hanya
karena supaya ada yang mengurus saya pada saat saya sudah menua, yang mana yang
saya namakan egoisme karena menikah untuk punya keturunan yang bisa meneruskan
marga dan “menciptakan” pengasuh di masa depan.
I know my family and friends are concern and worry about my happiness,
living this life as a single and I thank you for your care. Don’t too much
worry, I’m single and I’m happy as I can be :)
Begitulah Indonesia, saking kekerabatannya dekat maka yg ngepoin jadinya banyakk.
ReplyDeleteoh hell yeah, kepo nation hahaha. thx for stoping by
Deletehahaha... begitu gw baca notif tulisan lo di email, gw lgsg buka dan mencoba utk comment, mudah2an kali ini bisa, biasanya ga bisa :(.
ReplyDeletegw menanamkan kata2 ini di otak gw "so far, gw bahagia kok... ga pernah merasa kesepian, masih bersyukur dikasih kesempatan untuk melihat dunia dulu (traveling), untuk masalah jodoh itu urusan Allah tp tetep ga dipungkiri gw hrs tetep ikhtiar. Semua akan indah pada waktunya, so yang sekarang ada dibawa enjoy ajah"
Tetep semangat yah masharr *hug*
kya neng Fetty akhirnya sakses ngomment blog ku *tangis bahagia* *potong tumpeng* *jalanin nasar*
Deletesetuju banget Fet > "so far, gw bahagia kok ..."
Semangat! *toss jombloers*
Merried or No Merried? Tujuannya BAHAGIA... Dan hidup harus berguna bagi orang lain.
ReplyDeleteAYE brother
Deletepernyataan kapan kawin ini yg bikin gw akhirnya jarang pulang kampung saat lebaran. Males kalo semua keluarga kumpul dan di tanya ini itu ....
ReplyDeletehahaha gue juga, pulang pun sebisa mungin menghindari keluarga besar
DeleteSetuju, mending pulang awal puasa. Cuman ketemu nyokap aja dan tidak keluarga yg lain. biarkan dianggap anak hilang ihik3x
DeleteTulisanmu inspiring bgt buat gw..mengenai hari tua saat kita sakit2an ga ada yg ngurus..apa pandanganmu?
ReplyDeleteHi Anony, thx and glad tulisan pribadi saya bisa meng inspire sesorang.
DeleteMengenai hari tua saat kita sakit2an ga ada yg ngurus? jawaban saya nih yah (personal lho)
- jelek-jeleknya ada panti jompo :') yupe why not? literally saya mengenal seseorang yang pernah bilang seperti ini "jika nanti om sudah meninggal, saya mau pindah ke panti jompo saja, enak bny teman drpd di rumah tidak pernah diperhatikan oleh anak cucu"
- bukanlah jaminan menikah terus kita punya anak, terus anak kita mau merawat kita. bisa saja sudah menikah tetap ga punya anak, akhirnay ke panti jompo juga, bisa saja anak tidak mau/tidak bisa merawat kita yang pada akhirnya berakhir juga kita panti jompo
- apakah kita akan hidup hingga kita tua dan sakit2an? hanya Tuhan yang tahu.
Bagi saya kebahagiaan saat ini yang diutamakan, masa depan adalah misteri Tuhan yg tetap harus kita pikirkan dan rencanakan, tapi janganlah mengorbankan kebahagian saya di masa kini.
cheers, HM
Tetap aja mas menikah itu perlu, itu sudah jadi budaya di Indonesia, hehe saya juga pengen kawin tapi belum ada yang mau
ReplyDeletehehe tetap semangat yah
Delete