Taman Nasional Gunung Halimun |
Alunan musik Sunda
terdengar mengalun dikejauhan, dari nada syahduh hingga keceriaan denyut musik
jaipong. Angin lembut bertiup menebaskan hawa sejuknya membelai kulit,
menimang-ayunkan jiwa. Sepasang mata telanjang ini terbiasa melihat horizon
hilang di bawah atap-atap rumah dan gedung pencakar langit dan saat ini tak
bosan-bosannya menikmati, menyerap pemandangan pegunungan, sawah, kebun teh,
hutan tropis dan sungai yang tersaji. Ah … sungguh mendamaikan hati.
Bersantai menikmati
sajian makan siang di atas panggung sederhana semi terbuka dengan teman-teman
seperjalanan. Berbagi kisah dan tawa, layaknya teman lama, dengan teman-teman
baru, tanpa ada penilaian dan hanya mengalir santai kemana pun arah cengkrama
ini berlalu.
Inilah selingan yang
saya butuhkan dari rutinitas perkantoran dan segala apa yang biasa merong-rong,
memudarkan goresan lengkung gembira di wajah saya. Di sini sekarang, garis
lengkung itu kembali menguat riang memancarkan sejatinya arti senyuman itu
sendiri.
Berdua-belas kami,
hasil “teman mengajak teman”, akhirnya menjejakkan langkah kami di Taman
Nasional Gunung Halimun - Desa Malasari (Gunung Halimun). Umro, Setyawan, Erin,
Chiss, Tika, Octa, Adi, Dian, Nat-Nat, Eka, Inda dan saya. Inilah cerita kami
dari pandangan mata hati saya.
Gelap pekatnya rengkuhan
malam tak juga mampu sepenuhnya menyembunyikan siluet-siluet jalan karena pendar
redup bintang-bintang menggantikan tugas bulan yang tak tampak pada malam itu.
Macetnya jalanan ibukota dengan jutaan kendaraan bermotor dan asapnya berkurang,
semakin sedikit, berkurang lebih, mulai jarang tampak dan akhirnya sirna juga
saat kami mulai melalui satu-satunya jalan yang membelah desa-desa dan
perkampungan kecil menuju ke Gunung Halimun. Jalan dengan hamburan lubang-lubang
dari yang terasa menggerenjal hingga yang mampu membuat kami terlompat dari
tempat duduk.
Jalan yang rusak
berganti dengan jalan yang mulus dan hal ini sedikit menenangkan kami yang
mencoba kembali untuk tertidur. Sejenak mata meredup dan menutup layarnya
ketika guncangan-guncangan yang lebih dasyat memaksa kami untuk sadar kembali,
saat tepat pukul 2.33 WIB kami melalui ambang Gunung Halimun. Jalanan batu yang
sempit, berkelok dan dalam kondisi yang mempertemukan kami kembali dengan
hamburan lubang-lubang. Meski tak tampak jelas, tahulah kami bahwa disebelah
kanan kami adalah tebing dan disebelah kiri kami adalah lereng, yang rimbun
oleh semak-semak teh, ilalang dan pepohonan yang berkamuflase menjadi pagar
jalan ini.
Pukul 3 WIB kami
menghela nafas lega saat mobil berhenti memutar rodanya. Sebagian dari kami
turun untuk meluruskan kaki sekaligus memutuskan menunggu sunrise yang biasa
muncul lewat pukul 5 WIB dengan berjaga. Sebagian lain lagi memutuskan untuk
memejamkan jendela hatinya dalam hangat hawa di dalam mobil.
Awan malam mulai
menipis dan beranjak pergi menampilkan jutaan bintang-bintang yang berpijar di
galaksi mereka sendiri. Sungguh pemandangan yang indah dan tak bosan saya
mendongakkan kepala menikmatinya, memotretnya dalam memori ingatan saya. Seberkas
sinar melintas cepat dan hilang, ah … bintang jatuh, yang hampir tak pernah
saya lihat sebagus dan selama itu.
“Eh itu kok bintangnya
gerak-gerak pindah-pindah tempat sih?” celetuk Chiss, yang membuat kami sedikit
heboh untuk melihat bintang nomaden itu.
“Alien Spaceship tuh!”
celetuk saya ahaha.
“Komet tauk!” ahahaha
benar juga, komet adalah penjelasan paling logis saat itu.
Sepanjang menjelang
pagi, kami menemukan 3 komet dan saya melihat 3 bintang jatuh.
Langit mulai berubah
abu-abu dan menampakkan semburat birunya. Mana mataharinya? Ah … rupanya sang
induk pijar kehidupan terselubung oleh awan-awan yang menggantung di atas
langit. Yah, gagal kami melihat sunrise. Well no problem, acara foto-foto tetap
berlanjut haha.
Langit semakin terang
berseri dan kami melanjutkan perjalanan ke arah homestay, semakin ke dalam
memasuki wilayah Gunung Halimun.
“Selamat datang.” ucap
Pak Suryana sambil menjabat tangan kami satu per satu, diiringi dengan senyum
lebar menyambut kami di homestay dan sekaligus rumahnya.
Pagi itu, kami habiskan
dengan beristirahat di panggung semi terbuka homestay (kamar masih belum ready
untuk check in) sambil bergantian mandi air yang super duper dingin. Air yang
membuat kami menyerukan seruan tertahan saat dinginnya menghantam kulit telanjang
kami.
Selesai mandi, badan
menjadi hangat (iya, beneran!) dan kami pun menyantap hidangan makan siang yang
disajikan lebih awal karena sarapan yang kami makan di perjalanan tak sanggup
meredam tambur-tambur dalam perut kami.
Usai makan kenyang dengan
hidangan sayur asem, tempe, tahu, ayam goreng dan sambal pedas nikmat, kami
memutuskan untuk sejenak bermain-main di sungai yang mengalir di sisi belakang
homestay. Airnya dingin dan bening bersih, diapit oleh sawah-sawah penduduk
desa.
sajian yang PERFECT |
Sesi yoga selesai
karena gaduhnya erangan dan keluhan kami ahaha dan begitu pula dengan hujan
yang mulai meniriskan airnya.
Rencana trekking awal
membelah hutan tropis terpaksa dibatalkan karena dirasa terlalu licin dan
basah. Track hutan akhirnya diganti menjadi track jalan batu biasa (pedestrian)
dan berlanjut sekitar 200 meter memasuki hutan tropis untuk mencicipi air
terjun (Curug) Cimacan.
track to Curug Cimacan |
Remang-remang cahaya surya
mulai meredup dan menggelapkan sisi bumi ini, seiring dengan kepergiannya
menyinari sisi bumi yang lain.
“Tikaaaaa, baju loe
udah glowing belom?” teriak Dian
“Mulai nih, jadi bentar
lagi kita bisa jalan.” jawab Tika, si empunya kaos yang mempunyai ornament
fosfor.
15 menit sejak jawaban
Tika, kami pun dengan senter di tangan, mulai jalan kembali memasuki sisi hutan
tropis.
“Okay berhenti di sini
yah, ngumpul dulu dan matikan senternya semua sekarang.” perintah sang komandan
Umro.
Dan di sekeliling kami
mulai muncul titik-titik pendar kehijauan yang semakin lama semakin banyak.
Inilah habitat tiny Glowing Mushroom, yang bersinar dalam gelap, layaknya
bintang-bintang kecil di langit yang gelap.
Seruan-seruan tertahan
yang tadinya muncul dari mulut-mulut kami perlahan berubah menjadi desahan
putus asa dan keluhan-keluhan kecil karena sangat sulit sekali mengabadikan
jamur-jamur kecil yang lucu ini melalui kamera kami.
Usai move on dari
jamur-jamur kecil lucu itu, perjalanan kami pun dimulai lagi, menyusuri
pedestrian batu kembali ke homestay dimana Pak Suryana bersama keluarga telah
menunggu dengan hidangan hangat tersaji, oh perfect.
Malam pertama itu kami
habiskan dengan duduk berkeliling ber-menu-kan candaan absurd dan topik-topik
ringan dongengan cerita-cerita kami dengan tetap diiringi gelak tawa.
***
Tepat pukul 4.46 WIB
saya terjaga oleh kokok ayam dan segera bangun untuk menyeduh kopi sebagai
persiapan melihat sunrise yang kemarin gagal kami lihat. Perlahan tetapi pasti
bertambah jumlah teman seperjalanan yang bangun untuk melihat sunrise.
Hasil akhir adalah 5
orang haha (Eka, Dian, Nat, Adi dan saya) yang berhasil bagun dan mendaki bukit
kecil di dekat homestay untuk melihat sunrise, yang sekali lagi gagal kami
dapatkan karena langit yang berawan.
Sejenak kami berlima menghabiskan
waktu sejenak untuk foto-foto diri maupun pemandangan dari atas bukti, sebelum
kembali ke homestay untuk sarapan.
Halimun dalam halimun |
pijar lampu malampun mulai meredup |
sunrise yang tak WOW tapi tetap asik disaksikan dalam balutan halimun |
Lepas sarapan, kelompok
kami terpecah menjadi dua group. Group dimana saya, Eka, Adi, Nat, Inda, Dian
dan ditemani oleh Umro memutuskan untuk trekking memasuki sisi luar hutan
tropis yang menjadi habitat Owa Jawa (keluarga kera endemik dengan habitat
hanya ada di Gunung Halimun), sementara group satunya yang terdiri dari Erin,
Setyawan, Tika, Octa dan Chiss lebih tertarik untuk memuaskan diri bermain di
sungai cantik yang sehari sebelumnya kurang puas kami nikmati.
Entah ada cerita apa
dari group sungai. Kami, group hutan, ditemani dengan seorang ranger memulai
trekking kami selama 1.5 jam untuk sedikit berharap bisa melihat Owa Jawa liar
di habitatnya.
“Mendaki gunung lewati
lembah, Sungai mengalir indah ke Samudra, Bersama teman bertualang …” dendang
Dian dan Nat-Nat lirih bersahutan, karena dari awal kami sudah diperingati
supaya tenang dan tidak membuat suara gaduh.
track ke habitat Owa Jawa |
habitat Owa Jawa |
begonia |
Berat hati mengakhiri
sesi trekking terakhir ini, tetapi apa daya waktu bergerak maju dan tengat
waktu dimana kami harus kembali ke Jakarta semakin dekat.
Lepas beberes dan mandi
di homestay, ternyata kami masih dihibur dengan pertunjukkan seni dari
adik-adik sekolah di desa sekitar. Untuk kami? bukan sih haha, lebih tepatnya
kami nebeng melihat pertunjukan itu.
Kedatangan kami
bertepatan dengan kedatangan sebuah organisasi yang peduli atas lingkungan, sosial
dan budaya termasuk tarian dan permainan tradisional Indonesia. Saya lupa nama
organisasinya, tetapi saya ingat anggotanya terdiri dari para volunteers, yang
hebatnya, mostly masih diusia remaja, dijenjang sekolah menengah pertama dan
atas. Kagum saya kepada mereka, dalam usia remajanya, alih-alih nge-gaul ala
anak metropolitan, sudah bisa peduli kepada sekelilingnya, orang lain dan
budaya tradisional yang semakin hari semakin terlupakan dan “katrok”. Jika
salah satu dari kalian membaca artikel ini, terimalah rasa kagum dan terima
kasih saya karena telah peduli.
Gunung Halimun merupakan
kawasan yang luas dan dengan akses yang relative susah, tetapi payah-payah kami
dalam berperang melawan jalanan rusak (actually bagi saya seru sekali jalanan
rusak itu), totally terbayar dengan kondisi alam yang ada, yang kami nikmati.
Kawasan yang bersih, udara yang sejuk, masyarakat yang ramah dan murah senyum,
jauh dari apa yang kita sebut modern dan polusi. Definitely, Worth It.
secuplik Taman Nasional Gunung Halimun |
sekilas Taman Nasional Gunung Halimun |
Datang disambut dengan
jabatan tangan yang hangat dan senyum lebar bersahabat, tinggal dengan segala
ramah tamah dalam naungan kekeluargaan, dan kami pun mengucapkan selamat
tinggal dengan diiringi jabatan tangan erat dan senyuman yang sama.
Terima kasih Bapak
Suryana dan keluarga (termasuk para tetangga di desa) yang sudah begitu baik
dan terbuka menyambut, menampung kami. Semoga suatu saat kami bisa kembali
lagi, dimana senyuman dan jabatan tangan bersahabat itu selalu ada.
going home |
Tips:
Pakai sepatu trekking yang memadai,
akan membantu dalam trekking baik di pedestrian maupun di dalam hutan.
Celana panjang akan membantu menjaga
kulit kaki dari sengatan serangga dan tanaman beracun ringan.
Sandal gunung terbukti masih agak
licin bagi medan di Gunung Halimun dan tentunya banyak teman seperjalanan
pengguna sandal gunung manjadi korban gigitan pacet.
Kawasan ini bisa dibilang sangat
bersih, meski masih ada terlihat sampah yang dibuang sembarangan oleh pelancong
yang tidak peduli. Please simpan sampah dalam kantung plastik dan buang pada
tempat sampah yang memang jarang tersedia.
Jika tracking memasuki hutan, buatlah
suara seminim mungkin.
Untuk walker, track di Gunung Halimun
masuk ke level medium.
Untuk tracker, track di Gunung Halimun
overall masuk ke level beginner.
Jika takut kotor, basah dan jijik,
tolong jangan ke sini.
Liat curug cimacan jadi inget 5 tahun yg lalu, mandi rame2 pada telanjang semua disana :)
ReplyDeleteWow haha ga digigitin pacet apa?
ReplyDelete