Saturday, June 22, 2013

Taman Nasional Gunung Halimun, suatu keindahan ibu bumi dalam rengkuhan rahasia si halimun.

Taman Nasional Gunung Halimun
Alunan musik Sunda terdengar mengalun dikejauhan, dari nada syahduh hingga keceriaan denyut musik jaipong. Angin lembut bertiup menebaskan hawa sejuknya membelai kulit, menimang-ayunkan jiwa. Sepasang mata telanjang ini terbiasa melihat horizon hilang di bawah atap-atap rumah dan gedung pencakar langit dan saat ini tak bosan-bosannya menikmati, menyerap pemandangan pegunungan, sawah, kebun teh, hutan tropis dan sungai yang tersaji. Ah … sungguh mendamaikan hati.

Bersantai menikmati sajian makan siang di atas panggung sederhana semi terbuka dengan teman-teman seperjalanan. Berbagi kisah dan tawa, layaknya teman lama, dengan teman-teman baru, tanpa ada penilaian dan hanya mengalir santai kemana pun arah cengkrama ini berlalu.

Inilah selingan yang saya butuhkan dari rutinitas perkantoran dan segala apa yang biasa merong-rong, memudarkan goresan lengkung gembira di wajah saya. Di sini sekarang, garis lengkung itu kembali menguat riang memancarkan sejatinya arti senyuman itu sendiri.

Berdua-belas kami, hasil “teman mengajak teman”, akhirnya menjejakkan langkah kami di Taman Nasional Gunung Halimun - Desa Malasari (Gunung Halimun). Umro, Setyawan, Erin, Chiss, Tika, Octa, Adi, Dian, Nat-Nat, Eka, Inda dan saya. Inilah cerita kami dari pandangan mata hati saya.

Gelap pekatnya rengkuhan malam tak juga mampu sepenuhnya menyembunyikan siluet-siluet jalan karena pendar redup bintang-bintang menggantikan tugas bulan yang tak tampak pada malam itu. Macetnya jalanan ibukota dengan jutaan kendaraan bermotor dan asapnya berkurang, semakin sedikit, berkurang lebih, mulai jarang tampak dan akhirnya sirna juga saat kami mulai melalui satu-satunya jalan yang membelah desa-desa dan perkampungan kecil menuju ke Gunung Halimun. Jalan dengan hamburan lubang-lubang dari yang terasa menggerenjal hingga yang mampu membuat kami terlompat dari tempat duduk.

Jalan yang rusak berganti dengan jalan yang mulus dan hal ini sedikit menenangkan kami yang mencoba kembali untuk tertidur. Sejenak mata meredup dan menutup layarnya ketika guncangan-guncangan yang lebih dasyat memaksa kami untuk sadar kembali, saat tepat pukul 2.33 WIB kami melalui ambang Gunung Halimun. Jalanan batu yang sempit, berkelok dan dalam kondisi yang mempertemukan kami kembali dengan hamburan lubang-lubang. Meski tak tampak jelas, tahulah kami bahwa disebelah kanan kami adalah tebing dan disebelah kiri kami adalah lereng, yang rimbun oleh semak-semak teh, ilalang dan pepohonan yang berkamuflase menjadi pagar jalan ini.
selamat datang
Pukul 3 WIB kami menghela nafas lega saat mobil berhenti memutar rodanya. Sebagian dari kami turun untuk meluruskan kaki sekaligus memutuskan menunggu sunrise yang biasa muncul lewat pukul 5 WIB dengan berjaga. Sebagian lain lagi memutuskan untuk memejamkan jendela hatinya dalam hangat hawa di dalam mobil.

Awan malam mulai menipis dan beranjak pergi menampilkan jutaan bintang-bintang yang berpijar di galaksi mereka sendiri. Sungguh pemandangan yang indah dan tak bosan saya mendongakkan kepala menikmatinya, memotretnya dalam memori ingatan saya. Seberkas sinar melintas cepat dan hilang, ah … bintang jatuh, yang hampir tak pernah saya lihat sebagus dan selama itu.  

“Eh itu kok bintangnya gerak-gerak pindah-pindah tempat sih?” celetuk Chiss, yang membuat kami sedikit heboh untuk melihat bintang nomaden itu.
“Alien Spaceship tuh!” celetuk saya ahaha.
“Komet tauk!” ahahaha benar juga, komet adalah penjelasan paling logis saat itu.
Sepanjang menjelang pagi, kami menemukan 3 komet dan saya melihat 3 bintang jatuh.

Langit mulai berubah abu-abu dan menampakkan semburat birunya. Mana mataharinya? Ah … rupanya sang induk pijar kehidupan terselubung oleh awan-awan yang menggantung di atas langit. Yah, gagal kami melihat sunrise. Well no problem, acara foto-foto tetap berlanjut haha.
pose dulu ah
salah satu desa dalam Taman Nasional Gunung Halimun
Langit semakin terang berseri dan kami melanjutkan perjalanan ke arah homestay, semakin ke dalam memasuki wilayah Gunung Halimun.
on the track to homestay
“Selamat datang.” ucap Pak Suryana sambil menjabat tangan kami satu per satu, diiringi dengan senyum lebar menyambut kami di homestay dan sekaligus rumahnya.

Pagi itu, kami habiskan dengan beristirahat di panggung semi terbuka homestay (kamar masih belum ready untuk check in) sambil bergantian mandi air yang super duper dingin. Air yang membuat kami menyerukan seruan tertahan saat dinginnya menghantam kulit telanjang kami.

Selesai mandi, badan menjadi hangat (iya, beneran!) dan kami pun menyantap hidangan makan siang yang disajikan lebih awal karena sarapan yang kami makan di perjalanan tak sanggup meredam tambur-tambur dalam perut kami.

Usai makan kenyang dengan hidangan sayur asem, tempe, tahu, ayam goreng dan sambal pedas nikmat, kami memutuskan untuk sejenak bermain-main di sungai yang mengalir di sisi belakang homestay. Airnya dingin dan bening bersih, diapit oleh sawah-sawah penduduk desa.
Sungai di belakang homestay
sajian yang PERFECT
Kunjungan ke sungai kecil ini harus berakhir karena paksaan hujan yang tetiba turun dengan deras dan memaksa kami kembali ke homestay dan sekaligus menunda acara tracking pertama kami memasuki sisi luar hutan tropis. Hujan yang turun semakin deras dan tak kunjung berhenti, membuat kami mulai terkantuk-kantuk. Sementara sebagian teman memutuskan untuk tidur, sebagian dari kami memutuskan untuk mengisi waktu dengan belajar dasar-dasar gerakan yoga. Panggung semi terbuka dan suasana pedesaan, terasa sangat menunjang kegiatan satu ini. Apalagi Eka adalah seorang yoga-ers yang didaulat untuk menjadi instruktur kami haha.

Sesi yoga selesai karena gaduhnya erangan dan keluhan kami ahaha dan begitu pula dengan hujan yang mulai meniriskan airnya.

Rencana trekking awal membelah hutan tropis terpaksa dibatalkan karena dirasa terlalu licin dan basah. Track hutan akhirnya diganti menjadi track jalan batu biasa (pedestrian) dan berlanjut sekitar 200 meter memasuki hutan tropis untuk mencicipi air terjun (Curug) Cimacan.
Curug Cimacan
sungai yang ikut mengalirkan air Curug Cimacan
track to Curug Cimacan
Puas mengabadikan Curug Cimacan dalam memori kamera kami, puas bermain-main dengan dinginnya air dari curug dan sungainya, kami kembali menuju ke pedestrian dan mengarah ke padepokan guna menunggu hari gelap untuk melihat tiny Glowing Mushroom.
pedestrian batu
Remang-remang cahaya surya mulai meredup dan menggelapkan sisi bumi ini, seiring dengan kepergiannya menyinari sisi bumi yang lain.
“Tikaaaaa, baju loe udah glowing belom?” teriak Dian
“Mulai nih, jadi bentar lagi kita bisa jalan.” jawab Tika, si empunya kaos yang mempunyai ornament fosfor.

15 menit sejak jawaban Tika, kami pun dengan senter di tangan, mulai jalan kembali memasuki sisi hutan tropis.

“Okay berhenti di sini yah, ngumpul dulu dan matikan senternya semua sekarang.” perintah sang komandan Umro.
Dan di sekeliling kami mulai muncul titik-titik pendar kehijauan yang semakin lama semakin banyak. Inilah habitat tiny Glowing Mushroom, yang bersinar dalam gelap, layaknya bintang-bintang kecil di langit yang gelap.

Seruan-seruan tertahan yang tadinya muncul dari mulut-mulut kami perlahan berubah menjadi desahan putus asa dan keluhan-keluhan kecil karena sangat sulit sekali mengabadikan jamur-jamur kecil yang lucu ini melalui kamera kami.
super tiny glowing mushroom
Usai move on dari jamur-jamur kecil lucu itu, perjalanan kami pun dimulai lagi, menyusuri pedestrian batu kembali ke homestay dimana Pak Suryana bersama keluarga telah menunggu dengan hidangan hangat tersaji, oh perfect.

Malam pertama itu kami habiskan dengan duduk berkeliling ber-menu-kan candaan absurd dan topik-topik ringan dongengan cerita-cerita kami dengan tetap diiringi gelak tawa.

***

Tepat pukul 4.46 WIB saya terjaga oleh kokok ayam dan segera bangun untuk menyeduh kopi sebagai persiapan melihat sunrise yang kemarin gagal kami lihat. Perlahan tetapi pasti bertambah jumlah teman seperjalanan yang bangun untuk melihat sunrise.

Hasil akhir adalah 5 orang haha (Eka, Dian, Nat, Adi dan saya) yang berhasil bagun dan mendaki bukit kecil di dekat homestay untuk melihat sunrise, yang sekali lagi gagal kami dapatkan karena langit yang berawan.
sunrise di balik awan
Sejenak kami berlima menghabiskan waktu sejenak untuk foto-foto diri maupun pemandangan dari atas bukti, sebelum kembali ke homestay untuk sarapan.
Halimun dalam halimun

pijar lampu malampun mulai meredup

sunrise yang tak WOW tapi tetap asik disaksikan dalam balutan halimun
Lepas sarapan, kelompok kami terpecah menjadi dua group. Group dimana saya, Eka, Adi, Nat, Inda, Dian dan ditemani oleh Umro memutuskan untuk trekking memasuki sisi luar hutan tropis yang menjadi habitat Owa Jawa (keluarga kera endemik dengan habitat hanya ada di Gunung Halimun), sementara group satunya yang terdiri dari Erin, Setyawan, Tika, Octa dan Chiss lebih tertarik untuk memuaskan diri bermain di sungai cantik yang sehari sebelumnya kurang puas kami nikmati.

Entah ada cerita apa dari group sungai. Kami, group hutan, ditemani dengan seorang ranger memulai trekking kami selama 1.5 jam untuk sedikit berharap bisa melihat Owa Jawa liar di habitatnya.
“Mendaki gunung lewati lembah, Sungai mengalir indah ke Samudra, Bersama teman bertualang …” dendang Dian dan Nat-Nat lirih bersahutan, karena dari awal kami sudah diperingati supaya tenang dan tidak membuat suara gaduh.
track ke habitat Owa Jawa
habitat Owa Jawa
Sedikit kecewa selama trekking tak kami lihat seekor pun Owa Jawa, tapi tak masalah karena bagi saya sendiri, trekking menembus sisi luar hutan tropis ini saja sudah menjadi petualangan yang mengasyikan. Sempat sang ranger pun mengenalkan kami dengan tanaman bernama Begonia yang tangkainya dapat kami nikmati mentah setelah lapisan kulit luarnya dibuang. Rasanya asam segar, seperti blimbing wuluh. Seru juga menikmati batang sayuran segar langsung di tempat.
begonia
Berat hati mengakhiri sesi trekking terakhir ini, tetapi apa daya waktu bergerak maju dan tengat waktu dimana kami harus kembali ke Jakarta semakin dekat.

Lepas beberes dan mandi di homestay, ternyata kami masih dihibur dengan pertunjukkan seni dari adik-adik sekolah di desa sekitar. Untuk kami? bukan sih haha, lebih tepatnya kami nebeng melihat pertunjukan itu.
sang jaipongers cilik
sang master
sebagian tari dan lomba
Kedatangan kami bertepatan dengan kedatangan sebuah organisasi yang peduli atas lingkungan, sosial dan budaya termasuk tarian dan permainan tradisional Indonesia. Saya lupa nama organisasinya, tetapi saya ingat anggotanya terdiri dari para volunteers, yang hebatnya, mostly masih diusia remaja, dijenjang sekolah menengah pertama dan atas. Kagum saya kepada mereka, dalam usia remajanya, alih-alih nge-gaul ala anak metropolitan, sudah bisa peduli kepada sekelilingnya, orang lain dan budaya tradisional yang semakin hari semakin terlupakan dan “katrok”. Jika salah satu dari kalian membaca artikel ini, terimalah rasa kagum dan terima kasih saya karena telah peduli.
the voulenteers | yg paling kanan yah, somehow gue tau dia sadar pas gue poto
Gunung Halimun merupakan kawasan yang luas dan dengan akses yang relative susah, tetapi payah-payah kami dalam berperang melawan jalanan rusak (actually bagi saya seru sekali jalanan rusak itu), totally terbayar dengan kondisi alam yang ada, yang kami nikmati. Kawasan yang bersih, udara yang sejuk, masyarakat yang ramah dan murah senyum, jauh dari apa yang kita sebut modern dan polusi. Definitely, Worth It.
secuplik Taman Nasional Gunung Halimun
sekilas Taman Nasional Gunung Halimun
Suatu perjalanan yang indah, asyik atau apapun bahasa yang dapat menggambarkannya. Saya bersyukur saya bisa mengikuti trip ini. Great destination, great accommodation, great environment and great travel buddies. That’s what I call perfection.
teman ajak teman
Datang disambut dengan jabatan tangan yang hangat dan senyum lebar bersahabat, tinggal dengan segala ramah tamah dalam naungan kekeluargaan, dan kami pun mengucapkan selamat tinggal dengan diiringi jabatan tangan erat dan senyuman yang sama.
the moments
Terima kasih Bapak Suryana dan keluarga (termasuk para tetangga di desa) yang sudah begitu baik dan terbuka menyambut, menampung kami. Semoga suatu saat kami bisa kembali lagi, dimana senyuman dan jabatan tangan bersahabat itu selalu ada.
going home
Tips:
Pakai sepatu trekking yang memadai, akan membantu dalam trekking baik di pedestrian maupun di dalam hutan.
Celana panjang akan membantu menjaga kulit kaki dari sengatan serangga dan tanaman beracun ringan.
Sandal gunung terbukti masih agak licin bagi medan di Gunung Halimun dan tentunya banyak teman seperjalanan pengguna sandal gunung manjadi korban gigitan pacet.
Kawasan ini bisa dibilang sangat bersih, meski masih ada terlihat sampah yang dibuang sembarangan oleh pelancong yang tidak peduli. Please simpan sampah dalam kantung plastik dan buang pada tempat sampah yang memang jarang tersedia.
Jika tracking memasuki hutan, buatlah suara seminim mungkin.
Untuk walker, track di Gunung Halimun masuk ke level medium.
Untuk tracker, track di Gunung Halimun overall masuk ke level beginner.
Jika takut kotor, basah dan jijik, tolong jangan ke sini.
Jika mau cari kemewahan hotel, tolong jangan ke sini, di Gunung Halimun (Desa Malasari) hanya ada homestay (rumah penduduk lokal). Tidak ada air panas untuk mandi.
alat jejakku

ditinggal, supaya ada alasan untuk kembali

2 comments:

  1. Liat curug cimacan jadi inget 5 tahun yg lalu, mandi rame2 pada telanjang semua disana :)

    ReplyDelete
  2. Wow haha ga digigitin pacet apa?

    ReplyDelete