Sinar cerah matahari
siang menyengat semua jengkal kulit yang tak berselimutkan. Terbuai dalam ombang-ambing
ombak kecil dan semilir angin laut, terayun dalam buaian keindahan celah
kerajaan Poseidon.
Sunyi tanpa suara durukduk dari mesin motor kapal kayu,
kami terdampar di tengah lautan. Yupe,
sang empunya daya mengalami kendala sehingga kehilangan lajunya. Detik pada jam
tangan terus berputar lewat 60 menit atau lebih, dan kami masih memandang
bagian langit yang sama, di petak laut yang sama. Sebagian dari kami memilih berkunjung
ke lembah utopis dalam lelap dan sebagian lainnya hanya memandang menyerap
pemandangan laut hijau biru kelam dalam nyenyat.
“DUK … duk … dukduruduk
dukdukduk” batuk dan erang sang motor memecah keheningan panjang yang disambut
dengan seruan gembira para penumpang. Perjalanan kami pun berlanjut dari awal
Desa Taman Jaya – Ujung Kulon menuju ke Pulau Peucang – Ujung Kulon.
Perjalanan kali ini
bermula dari daerah Harmoni - Jakarta Pusat. Tepat pukul 9.30 malam, saat kami
bertolak ke Ujung Kulon (Paul, Jo, Merci, Mei, Momo, Calvin, Suyo, Octa, Erin, Setyawan,
Harry), berpetualang menuju titik paling barat dari Pulau Jawa.
Ujung Kulon adalah
salah satu dari 50 Taman Nasional di Indonesia dan merupakan salah satu dari 5 taman
nasional di Indonesia yang berstatus World Heritage Sites (alongside with Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Gunung Leuser,
Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan). Ujung
Kulon juga merupakan taman nasional pertama di Indonesia dengan luas 123.000ha
dan merupakan wilayah endemik dari beberapa flora dan fauna dilindungi,
termasuk Badak Jawa yang sangat terancam punah dan Pohon Kiara.
Kurang lebih 9 jam
berkendara membelah jalanan yang relatif lengang dan sampailah kami di Desa
Taman Jaya, tempat dimana kami akan memulai babak penyeberangan dengan kapal kayu
menuju Pulau Peucang.
Rehat, meluruskan kaki
sejenak, sarapan dan sedikit quick
refreshment-lah yang kami lakukan setelah memarkir kendaraan, sembari
menunggu pemilik kapal kayu beserta awaknya menunaikan ibadah Sholat Ied.
Tepat pukul 9.00 pagi,
kami mulai memuat barang bawaan kami yang cukup banyak ke dalam kapal dan segera
bergerak membelah air sejuk berwarna gradasi putih, hijau dan biru kelam selama
kurang lebih 3 jam ke Pulau Peucang (extra
1 jam karena kapal mogok haha).
Siang pertama di Pulau
Peucang kami habiskan dengan bermain-main di Pantai Dermaga Peucang (sebutan
saya karena entah apa nama pantainya) hingga sore menjelang. Pantai yang
tidaklah luas dan panjang tetapi sangat menggoda dengan pasirnya yang sangat
lembut berwarna gading, air yang hangat dengan tingkat kejernihan yang baik.
Petang menjelang dan
kami kembali ke cottage untuk mandi dan
menyiapkan hidangan makan malam, yang bahan-bahannya kami bawa sendiri.
Info:
-
Listrik
hanya tersedia pada pukul 6 sore sampai dengan 6 pagi.
-
Air
menggunakan pompa, sehingga tergantung pada pasokan listrik juga.
-
Tidak
ada warung/restaurant/toko di Pulau
Peucang, selain Kantor Pusat Informasi yang menjual beberapa barang dengan
keterbatasan jenis dan jumlah.
-
Air
tawarnya bisa dimasak dan diminum, tetapi sebaiknya diendapkan dahulu karena
air tawarnya mengandung pasir pantai yang halus.
-
Jangan
memberi makan pada hewan-hewan liar yang berkeliaran.
-
Perhatikan
pintu dan jendela cottage (pastikan
tertutup) serta barang-barang dari monyet-monyet kerdil yang suka mencuri.
-
Restaurant Cottage hanya melayani pembelian makanan dan
minuman via paket yang dipesan/dibeli sebelumnya.
Usai makan malam, sebagian
dari kami memutuskan kembali ke tengah lautan gelap untuk memancing dan
sebagian lainnya memutuskan untuk tetap tinggal, menghabiskan waktu dengan bertukar
kalimat dan berbagi cerita serta canda.
Gelapnya malam semakin
pekat dan menghamburkan pesona pijar kecil bintang-bintang di semesta. Hawa
sejuk, dengan semilir angin laut yang membuai, membawa serta kantuk ke sukma
kami. Dengan perlahan namun pasti, kami yang tersisa mulai menyiapkan tempat
berbaring merehatkan tubuh ini. Yupe,
4 orang dari 11 orang tidak mendapatkan kamar dan harus puas dengan sleeping bag di ruang tamu cottage yang sangat luas.
“Mbihikk mbihikkk” suara
anak rusa di area lapang berumput yang memanggil-manggil induknya (oh entahlah
bagaimana menggambarkan bunyi anak rusa dalam kata yang benar haha), yang
terkadang disahuti oleh anak babi hutan, adalah melodi penghantar tidur kami
dalam pulas.
Sang Mentari kembali
menyinari Ujung Kulon dan kami pun siap untuk aktifitas di hari ke dua. Setelah
sarapan cepat, kami kembali mengarungi lautan hijau biru kelam menuju
pemberhentian pertama kami, yaitu Citerjun.
Snorkeling! Kami habiskan pagi hari hingga
tengah hari ke dua dengan ber-snorkeling
ria di Citerjun dan di pemberhentian ke dua yaitu Cihandarusa. Unfortunately di kedua tempat tersebut
tidaklah memiliki taman laut yang cukup indah, well tetapi tetap fun
juga.
Next
stop adalah somewhere nowhere di petak lautan Ujung
Kulon dan kembali group mancing mania
bergantian melempar kail berumpan ke air biru kelam, berharap akan menangkap
beberapa ikan yang bisa kami santap pada malam harinya.
Sementara group mancing mania asyik sendiri dengan
seruan-seruan keriangan karena kail berumpan disambut oleh ikan-ikan malang, maka
sebagian lainnya terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan suka difoto serta
golongan suka menfoto dan photo session
pun dimulai dengan serunya.
Mentari telah bergeser
dari titik tengah dan kapal kayu pun bertolak kembali ke Pulau Peucang, membawa
penumpang yang melenguhkan kata lapar haha.
Lepas menenangkan
raungan liar dari dalam rongga lambung yang kosong, kami kembali “suit up” untuk fun trekking menuju ke salah satu pantai di Pulau Peucang, Pantai
Karang Copong.
Pasukan siap dan kami
pun mulai membelah hutan lindung Pulau Peucang yang jelasnya menjadi habitat
beberapa jenis hewan terutama rusa, babi hutan, monyet kerdil dan biawak. Jalur
trekking sangat mudah, landai, aman
dan dalam waktu kurang dari 1 jam, kami telah melihat kilau sang surya
terpantul pada lapisan samudera.
Sejenak kami
membenamkan kaki disejuknya ombak yang menepi ke pantai berkarang dan kami pun melanjutkan
trekking kami mendaki sedikit ke
bukit tebing kecil untuk melihat pemandangan laut lepas dari lapisan tanah yang
lebih tinggi.
Sunset pun tiba dengan tenang, syahdu dan
cukup indah untuk menutup aktifitas pada hari ke dua kami. Sekali lagi saya
lemparkan pandangan ke kilauan lapisan samudera yang masih memantulkan sedikit sisa
sinar sang surya, sebelum beranjak mengejar langkah teman-teman lain yang sudah
mendahului membelah hutan lindung kembali ke cottage.
Hm… kurang tepat
menyebut sunset tadi sebagai penutup
hari, karena sesampai di cottage
kembali, yang kami lakukan adalah barbeque
haha, yay! Panggangan, arang, daging,
udang, dan lain-lain, yang selama ini berdiam di cooler box, keluar juga dan siap disandingkan bersama dengan ikan
segar hasil pancingan.
Info:
-
Senter
adalah barang yang harus dibawa, karena lepas sunset untuk kembali ke cottage
akan gelap tanpa ada penerangan apapun.
-
Obat
nyamuk lotion atau spray akan membantu mengusir nyamuk dan
serangga.
-
Panggangan,
arang dan bahan mentah, kami bawa sendiri dari rumah. Untuk bahan mentah seafood dijual juga di Desa Taman Jaya,
meski saat kami tiba, dirasa kurang segar.
Hari ke tiga, sang
mentari masih bersinar dengan ceria dan kami telah bersiap di dermaga untuk
menuju ke Tanjung Layar, titik terbarat dari Pulau Jawa dan gugusan pulau-pulau
kecilnya.
Sekitar 30 menit dalam
kapal kayu, kami membelah warna biru kelam yang terkadang berubah menjadi
hijau, sebelum sang awak kapal membuang sauhnya beberapa puluh meter dari
pantai kecil yang tampak kosong. Rupanya untuk ke Tanjung Layar kami tak bisa
melabuhkan kapal kayu karena pantai yang tak berdermaga dan harus dilanjutkan
dengan boat kecil yang telah menanti
kami sebelumnya (booking sebelumnya).
Beberapa meter dari
pantai kecil tempat kami menjejak, diiringi dengan hempasan ombak yang cukup
kuat, ternyata ada beberapa padepokan semi terbuka yang menyimpan beberapa foto
ilustrasi dari kepulauan setempat dari jaman pendudukan Belanda.
Tanjung Layar merupakan
salah satu pantai karang yang memiliki mercusuar era pertama dari pendudukan
Belanda. Terceritakan oleh sang ranger yang menemani kami bahwa kawasan Tanjung
Layar yang merupakan bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon, merupakan habitat
dari hewan endemik: Badak Jawa, yang hingga saat ini berjumlah hanya kurang
dari 100 ekor dan terancam punah jelasnya.
Dari padepokan tersebut
kami melakukan fun trekking selama
kurang dari 1 jam, membelah hutan tropis, untuk mencapai pantai dimana batu
karang bernama Tanjung Layar itu bercokol. Sang ranger kembali bercerita,
sembari memimpin trekking, bahwa
kawasan itu memang dulunya dikelolah oleh Belanda dari pembuatan jalan setapak,
mercusuar, rumah tahanan, penjara dan coast
guard office and residence. Jalan setapak itu memang telah hilang
batu-batunya termakan usia tetapi masih meninggalkan bekas dan jejaknya.
Jalan setapak yang
mengarahkan kami ke pantai, juga secara berkala dalam jarak, terpagari oleh
pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun yang salah satunya menutupi jalan setapak
tersebut, sehingga kami harus menembus akarnya, yang berlubang secara
dramastis.
Debur ombak mulai
terdengar dan diujung jalan setapak, kami disambut dengan apa yang biasa dijuluki
batu dinosaurus, yang mana merupakan gugusan batu karang raksasa yang menjadi
pondasi tebing dan sekaligus melindungi savana kecil dibelakangnya dari
terjangan ombak yang kuat dan tinggi menumbur karang tersebut hingga beberapa
meter dan mengucurkan sisa ombaknya menjadi air terjun-air terjun kecil
terintegrasi (istilah saya haha) yang indah sekali, meluncur turun ke arah
gravitasi, membentuk kubangan kecil dipenghujungnya.
Melangkah beberapa
jengkal dari batu dinosaurus adalah savana kecil yang hijau dan indah
berteraskan pantai karang yang sempit dengan debur ombaknya yang luar biasa
membentuk kolam-kolam kecil dalam celah-celah batu karang. Tak jauh dari pantai
tampaklah batu karang bernama Tanjung Layar sebagai monument dari kawasan ini,
berdiri tegak terterpa deburan ombak menghempas, dengan secuil area hijau
sebagai mahkotanya.
Cukup singkat waktu
yang kami habiskan di Tanjung Layar karena kami harus kembali ke Desa Taman
Jaya dan menempuh perjalanan darat kembali ke Jakarta.
No comments:
Post a Comment