Ah males banget, tapi kudu beresin kamar yang sudah berdebu dimana-mana
*sigh*. Ngelap ini inu, sapu sana sini, beresin isi lemari yang acak adut dan
sudut mata ini menangkap bentuk sebuah buku dengan sampul hitam, teronggok
dalam tumpukan buku-buku lainnya.
Diam, hanya menatap ke si hitam dan helaan nafas tanpa sadar keluar
diiringi dengan senyum datar tanpa inti sejatinya.
Si hitam yang lama tak terlihat dan telah lama hilang dalam memori. Si
hitam yang enggan ku buka lagi tapi enggan pula ku musnahkan. Si hitam yang
berisi kamu.
Si hitam yang penuh dengan coretan tanganku tentang kamu. Kamu yang
membuat segalanya indah dan yang membuat segalanya runtuh, tenggelam dalam
pusaran, menghempaskanku dalam dasar gelap sendiri.
SMS (hehe jaman itu belum ada namanya blackberry) dan telephone yang
selalu kunikmati setiap detiknya, menambahkan segurat senyum mengiringi
lelapku.
Ah tapi kamu saat itu sudah ada penjaga hatinya, tapi tak apa karena
kamu bilang dia bukan pemilik hatimu.
Nonton bioskop dan dinner bareng mungkin terdengar biasa saja tapi yakin
membuat aku semakin tenggelam dalam pesona senyummu dan nada merayu lembut
dalam suaramu.
Dalam kesibukan dan tekanan kerja, chating-an mu lah yang menjadi angin
sejuk dalam ruanganku yang entah kenapa ac-nya ga pernah cukup dingin.
Nikmati hari yang berjalan tanpa memandang cukup jauh untuk bersiap
mendengar berita yang menjejas hati dan membuat retakan pada kantong tangisku. Tangisku
untuk kamu, untuk aku, untuk kita.
Gelap amarah, cemburu, luka mengalir lendir kekecewaan saat kamu diam
dan dengan kerahasian memberikan komitmen harapanku untuk dia.
Kenapa? Kenapa kamu harus diam dan diam?
Dan kuputuskan untuk meninggalkan kota itu, kota yang selalu
mengingatkanku akan semburat apa dirimu.
Di sana, masih teringat jelas pelukan perpisahanmu untukku dan seiring
berbaliknya langkah, sadar aku telah kehilangan kamu sepenuhnya.
Di kota baru ini, kamu datang untuk berjumpa denganku lagi dan di sini
pula aku menjadi penonton bisu antara kamu dan dia.
Kamu dan dia kembali ke rengkuhan kota itu dan sekali lagi kamu
tinggalkan aku dalam dasar terdasar dari semua bentuk kegelapan, menangisi
kamu, menangisi aku, menangisi kita dan menghujat dia.
Halah malah ngelantur ga jelas nih! Balik beberes kamar ah. Eh buset ini
lap kok jadi lembab gini?
Kamu sekarang dimana? Sedang apa dan bagaimana kabarmu? Aku kangen … masih.
Buku dengan sampul hitam itu akan masih selalu ada di sana, diantara
tumpukan buku-buku lainnya.
Waaah waaah... Pinjem buku hitamnya dong mas harry. Hehehehe
ReplyDeletemana ada (--)"
DeletePuis-tis banget. Seakan akan kejadian beneran...
ReplyDeletehaha fiction kok and thanks by the way
DeletePRETTTSSS
ReplyDeleteWOY! wakakaka muihihihihi ketepu yah buka linknya :P
Delete