Saya menemukan
diri saya berdiri ditengah jalan setapak kecil sambil memegang kamera dan termangu.
Seperti De Javu tetapi kali ini memori
tersebut dan kejadian kali ini sama-sama nyata adanya. Tidak tahu harus berbuat
dan berkomentar apa, maka saya kembali mengayunkan
langkah kaki saya beranjak, diiringi langkah kaki 2 teman saya.
Alih-alih berlarian dan bermain di pantai, saya dan
2 orang teman malahan memutuskan melihat-lihat dan tenggelam dalam kios-kios penjaja
souvenir, baju, dll, di sekitaran tepi
Pantai Sanur. Langkah kaki kami semakin dalam memasuki jalan setapak kecil itu dan
rapatnya kios-kios souvenir mulai digantikan
dengan jajaran café-café yang sedang menggeliat memulai harinya.
Tatapan saya terhenti disisi jalan setapak, pada beberapa
canang-canang baru yang ada disana. Iseng-iseng
saya mainkan kamera saya untuk mengabadikan canang-canang
tersebut dan terdengarlah pembicaraan ini,
Waiter: “Minum, minum?” (menawarkan minuman untuk dinikmati
di café-nya)
Temansaya: “Oh tidak” (tersenyum dengan bahasa tubuh
mengisyaratkan thanks but no thanks)
Waiter: “Oh tidak minum! Jalan aja!” (dengan intonasi
yang mengusir)
Saya heran, kenapa dia memperlakukan kami seperti itu,
toh kami berdiri di jalan setapak umum, bukan didalam café. Kaget juga mendapat perlakuan dari café yang tampak kosong melompong selepas dari pelayanan yang ramah
di Warung Mak Beng yang berjubel-jubel pengunjungnya.
02 Februari 2013, PantaiKuta – Kitchenette Bistro in
the evening.
Saya dan teman-teman seperjalanan lain sedang berkumpul
setelah santap malam dan duduk disisi bistro
outdoor yang menghadap ke Pantai Kuta, dengan menikmati makanan kecil dan minuman
ringan.
Saya pun iseng bercerita tentang insiden kecil tadi
di Pantai Sanur tadi, kepada salah seorang
teman yang berdomisili dan asli orang Bali (Sanur). Saya utarakan pula, apakah saya
yang terlalu sensitive? Apakah saya melakukan sesuatu yang melanggar batas kesopanan
dalam masyarakat Bali dengan mengabaikan canang
dikamera saya? Atau apa yang saya rasakan benar adanya?
Dia (teman Bali saya) menjawab sambil tersenyum simpul
dan membenarkan bahwa ditempat tertentu diskriminasi itu memang ada. Diskriminasi
antara turis domestik dan turis mancanegara. Diimbuhkan pula olehnya bahwa
penduduk lokal (orang Bali) juga tak luput dari diskriminasi tersebut. Dia melanjutkan
cerita tentang pengalaman diskriminasi yang dialaminya. Memasuki satu club yang cukup prestisius dan happening di Jalan Legian, dia harus melalui
jalur khusus untuk turis domestik/lokal dengan pemeriksaan yang super ketat dan
harus membayar entrance fee. Meanwhile 3 teman bule-nya memasuki club tersebut melalui jalur lain yang
berbeda tanpa pemeriksaan apapun and free
entrance fee. Ditambahkan juga bahwa masih ada juga beberapa club yang hanya bisa dimasuki oleh turis
mancanegara dan menolak pengunjung yang notabene adalah bangsa mereka sendiri. Bagi
saya hal ini lepas dari pertimbangan apapun, sangat menyedihkan. Tidak heran jika
bangsa lain merasa superior jika di Bali.
Bertukar pikiran, membandingkan cerita satu sama
lain membuat kami miris dan sedih juga melihat ada kelompok orang tertentu yang
masih hidup dalam penjajahan (menurut istilah kami). Masih hidup dengan pandangan
bule/turis mancanegara jelas lebih superior,
jelas spent more money dan lebih pintar
dari mereka sendiri. Sungguh suatu kondisi yang mengecilkan hati atas arti penjajahan
yang sesungguhnya ini. Sementara tu, negara-negara lain berlomba-lomba menarik
wisatawan asal Indonesia yang terkenal suka shopping dan barang-barang branded.
Bisakah saya bilang hal ini ironis sekali?
Seorang teman sempat menyeletuk, bagaimana pemerintah
dan beberapa badan pariwisata mau menggiatkan agar orang Indonesia lebih sering
berkunjung ke tujuan wisata lokal kalau kondisi ini masih ada. Mending keluar negeri
dimana meski penampilan biasa saja tetapi disambut dengan senyum dan keramahan,
dibandingkan harus menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dan direndahkan oleh
bangsa sendiri.
Disisi lain, beda sekali perlakuan yang kami terima saat
di Ubud (03 Februari 2013). Mereka melayani dengan wajar, ramah dan hangat,
baik di Bu Oka, Nasi Kedewatan Bu Mangku, Pedagang dalam Pasar Seni Ubud dan
Pak Polisi-nya juga ga kalah ramah. Perlakuan hangat kadang juga kami terima di
area Denpasar, semisal di RM. Plengkung dan Surprisingly
kami mendapat perlakuan yang warm and
nice dari FlapJack yang terletak
di Kuta, thumbs.
Aku udah 6 tahun tinggal di Bali dan sering ngalamin diskriminasi kayak gini. Makan di restaurant di treat kasar ama waiter sedangkan yang bule dihormati berlebihan. Mungkin beberapa orang masih suka dijajah bangsa asing ya ?
ReplyDeleteKya, thx for stoping by. Bener tuh Deb, kasihan mereka enjoy banget dijajah bangsa asing :'(
Delete