*) Perlu saya tekankan sebelumnya
bahwa artikel ini hanyalah berdasarkan pengalaman saya dan beberapa teman yang
tentunya mengandung unsur subyektifitas yang cukup tinggi. Artikel ini tidaklah
men-generalisasi dan bermaksud men-deskriditkan pihak tertentu. Artikel ini
semata hanyalah sharing curcol-an saya hehe.
Bali! Siapa yang tidak tahu Bali, bahkan sebelum Barack Obama
terpilih sebagai Presiden USA, banyak masyarakat internasional lebih tahu
(pernah dengar) Bali daripada Indonesia sendiri. Dijuluki sebagai Pulau Dewata,
Bali mempunyai reputasi yang sangat baik bagi dunia pariwisata di Indonesia
maupun internasional.
Love and Hate Collide di Bali begitu saya rasakan (juga dirasakan
oleh beberapa teman)* setiap kali saya berkunjung ke Bali.
Pertama kali ke Bali saya masih kanak-kanak (yang tersisa hanya
ingatan samar) dan terulang kembali pada tahun 1996 pada saat saya lulus SMA
bersama teman-teman satu angkatan untuk perpisahan di Bali. Menginjakkan kaki di
Bali kembali terulang pada akhir tahun 2000 dan sejak tahun 2003 hingga tahun 2005
saya rutin ke Bali hingga 2 kali dalam setahun. Kunjungan terakhir saya ke Bali
adalah tahun 2009 dan unfortunately entah kenapa perasaan love and hate collide
tersebut masih saya rasakan meskipun (good things) kadarnya semakin turun.
Apa sih maksud love and hate collide? well sebenarnya saya hanya
meminjam istilah tersebut dari judul lagu yang sempat beken banget di tahun
1995 by Def Leppard, yang saya maksudkan untuk menggambarkan perasaan yang
selalu saya rasakan pada saat ke Bali. Yupe, perasaan tersebut antara senang
(love) dan males (hate) yang bertubrukan/bercampur jadi satu. Di sisi ini saya
senang ke Bali tapi di sisi lainnya saya males banget kalau disuruh ke Bali.
Senang (Love)
Siapa sih yang ga suka dan ga mau ke Bali dengan segala macam
jenis hiburan yang bisa di pilih dari pantai dan landscape-nya, salah satu
pusat kuliner terbaik, budaya masyarakat Bali yang religius, sampai ke
nightlife-nya yang bertebaran dimana-mana.
Melihat postur saya yang bulat pun orag pasti sudah bisa nebak
bahwa saya suka berwisata kuliner juga tak terkecuali di Bali, dengan nasi
lawar, babi guling, ayam betutu, ayam taliwang (di Denpasar ada lho yang enak
meski kuliner khas Lombok) dan segudang resto, bistro, warung tenda, depot yang
menawarkan menu-menu kuliner Bali lainnya, Indonesian, Chinese, European,
western dan masih banyak lagi.
Belum lagi dengan landscapes di Bali yang stunning, seperti
Uluwatu, Ubud dan banyak sekali pantai dengan atribut-atribut budaya, yang
kental akan nilai religious, seperti Tari Kecak, Pura-Pura dan masih banyak
lagi.
Males (Hate)
Nah ini dia yang mau saya curcol-in
Is It Just Me and My Friends? yang merasa sebagian toko (toko
souvenir kecil, outlet, bar dan sejenisnya) khususnya (tidak semua) di wilayah
tertentu (dan beberapa tempat random lainnya) memperlakukan turis domestik (yah
kami ini) tidak seperti mereka memperlakukan turis mancanegara aka (khususnya) bule.
Beberapa kali saya alami pada saat memasuki toko-toko tersebut dan mendapatkan
perlakuan cuek bebek bahkan pada saat saya mencoba berinteraksi dengan
penjaga/penjual, misalnya menanyakan harga dsb dsb. Pernah juga saya masuk dan
segera di kuntit dengan muka yang jutek banget, un-friendly dan menjawab pertanyaan
saya (terkait dengan produk) dengan sekenanya aka asal-asalan. Di kesempatan
lain saya memasuki toko yang tidaklah ramai, terlihat hanya beberapa pengunjung
saja dan benar-benar saya tidak “dilihat” sama sekali, secara badan saya segede
gaban gini.
Perlakuan ini pun awalnya saya anggap memang karena toko tersebut
punya konsep yang kurang bagus dalam marketing dan tidak peduli dengan
customer, tetapi pada saat yang bersamaan saya melihat dengan mata kepala
sendiri begitu mereka murah senyum dan siap sedia membantu serta memberi
keterangan pada turis-turis bule. What The!!!!
Hal ini pun sempat saya “laporkan” ke teman saya (sebut saja si X)
yang asli orang Bali dan berdomisili di Denpasar yang langsung ditanggapi
dengan santai dan membenarkan bahwa hal tersebut lumrah terjadi, bahkan menurut
X belakangan (after bom Bali 1) perlakuan seperti itu sudah berkurang tetapi
memang belum bisa dihilangkan, mengingat bahwa beberapa waktu setelah bom Bali
1 perekonomian masyarakat Bali sempat terpuruk dan harus diakui mereka bertahan
dengan mengandalkan (mostly) turis domestik yang seperti biasa tetep ”ngeyel”
berlibur ke Bali, bodo amat ama bom hahaha.
Perlakuan tersebut secara personal jelas menyakiti perasaan saya
dan beberapa teman karena kesannya seperti kami ini orang miskin yang masuk
hanya lihat-lihat doang, ga mampu beli. Di sisi lain hal terebut menurut saya
kok kerasa gimana gitu, istilahnya orang sebangsa diabaikan dan diremehkan dan
memperlakukan bangsa lain dengan lebih baik.
Pernah terpikir apa karena penampilan kami or muka kami muka
gembel yah? Well pastinya ga mungkin kan jalan-jalan di Bali dengan menggunakan
kostum yang sama dipakai jika mau ke Grand Indonesia Mall or Plasa Indonesia Mall
...em… dimana kami merasa lebih diterima wakakaka padahal yang dijual barang
branded semua.
Di daerah tertentu bahkan saya dan beberapa teman dengar bahwa
sempat ada dan mungkin masih ada bar yang dikhususkan untuk turis mancanegara
aka turis lokal tidak bisa masuk! “again” What The!!! Saya mencoba mengerti
konsep tersebut sebagaimana pun tetap tidak bisa masuk ke logika saya, sungguh
aneh sekali. Apa yah yang menjadi pertimbangan pembentukan konsep bar tersebut?
Apakah karena tuh bar biar khusus bule? Well kalau bule-nya pingin ngumpul
sesama bule, bukannya lebih baik mereka ke bar di negaranya sendiri atau ke
negara-negara bule, ngapain harus jauh-jauh ke Bali? Atau ada alasan lain?
Dikarenakan trauma akan perlakuan toko-toko tersebut, makanya saya
sendiri lebih suka belanja di pasar-pasar tradisional yang ga bule minded seperti
Pasar Seni Ubud dan Pasar Sokawati. Experience saya dan beberapa teman belanja
di pasar tradisional sungguh menyenangkan karena kami disambut dengan (mostly)
senyuman dan penawaran produk yang membuat kami nyaman, santai dan dari tidak
kepingin beli jadi borong deh. Dimana kami memilih dan mencoba barang yang
ditawarkan, jika kurang pas dengan sigap penjual segera memberikan
pilihan/alternatif lain tanpa diminta, disertai serunya tawar-menawar dengan
gelak canda, seru banget pokoknya.
Bagaimana jika dibandingkan dengan kota lain misalnya Yogyakarta,
dimana saya pernah menjadi turis beberapa kali sebelum saya tinggal di sana
selama 3 tahun lebih. Well for me, pedagang Yogyakarta cenderung (mostly) tidak
bule minded, pokoknya lewat depan stand-nya langsung deh di-marketing-in meskipun
memang ada juga beberapa penjual yang memang dasarnya jutek baik ke turis
domestik maupun bule, tapi mostly mereka (penjual) ramah terhadap semua turis.
Bagaimana di Negara lain? Well trip saya ke mancanegara masih
terbatas tetapi so far mostly kami dan teman disambut dengan baik dan di”ingin”kan,
bahkan ada yang excited karena tahu kami dari Indonesia, yang mana “notabene”
jarang mengunjungi mereka.
So, Love and Hate collide in Bali! Is it just me?
Hahaha...
ReplyDeletesama aja bro. Lain kali coba masuk toko sambil tempelin dollar di jidat deh.
Eropah dan amerika lagi krisis, paling2 bule oztrali yg masih rame bukan? Kasian, mereka blm sadar kekuatan travelers lokal.
nah itu dia Dim. and btw iya kebanyakan bule oztrali yg em aslinya juga pas pas-an di sono.
DeleteEhehehehehee.. Sepertinya itu pengalaman setiap turis domestik...
ReplyDeleteTapi memang sudah lebih berkurang, karna turis domestik juga sangat menguntungkan :D
nah itu dia Abang, kenapa turis domestik dipandang sebelah mata :( but yeah thanks God itu semua sudah berkurang.
Deletebuat gw mah Bali love...love....love ajah hahaha. Secara setiap kali ke sana hampir gak pernah belanja, mentok2 beli pia legong doank ;D Bener2 wisata tanpa belanja ;p Lu harus ke bali lagi n ke Menjangan, Bali Utara Har....itu keren bgt. The best underwater world in Bali, even if it's compared to Lombok. Absolutely recommended.
ReplyDeletehahaha well that was just my feeling and noted for Menjangan nya cuiii, tp ga suka diving or snorkeling piye jal?
Delete