Saturday, March 16, 2013

Bali, When Love and Hate Collide! Is It Just Me? NOPE.


Saya menemukan diri saya berdiri ditengah jalan setapak kecil sambil memegang kamera dan termangu. Seperti De Javu tetapi kali ini memori tersebut dan kejadian kali ini sama-sama nyata adanya. Tidak tahu harus berbuat dan berkomentar apa,  maka saya kembali mengayunkan langkah kaki saya beranjak, diiringi langkah kaki 2 teman saya.

02 Februari 2013, Pantai Sanur around Mid Day.
Alih-alih berlarian dan bermain di pantai, saya dan 2 orang teman malahan memutuskan melihat-lihat dan tenggelam dalam kios-kios penjaja souvenir, baju, dll, di sekitaran tepi Pantai Sanur. Langkah kaki kami semakin dalam memasuki jalan setapak kecil itu dan rapatnya kios-kios souvenir mulai digantikan dengan jajaran café-café yang  sedang menggeliat memulai harinya.

Tatapan saya terhenti disisi jalan setapak, pada beberapa canang-canang baru yang ada disana. Iseng-iseng saya mainkan kamera saya untuk mengabadikan canang-canang tersebut dan terdengarlah pembicaraan ini,

Waiter: “Minum, minum?” (menawarkan minuman untuk dinikmati di café-nya)
Temansaya: “Oh tidak” (tersenyum dengan bahasa tubuh mengisyaratkan thanks but no thanks)
Waiter: “Oh tidak minum! Jalan aja!” (dengan intonasi yang mengusir)

Saya heran, kenapa dia memperlakukan kami seperti itu, toh kami berdiri di jalan setapak umum, bukan didalam café. Kaget juga mendapat perlakuan dari café yang tampak kosong melompong selepas dari pelayanan yang ramah di Warung Mak Beng yang berjubel-jubel pengunjungnya.

BALI 2009 (Bali, When Love and Hate Collide! Is It Just Me?) dan sekarang BALI 2013.

02 Februari 2013, PantaiKuta – Kitchenette Bistro in the evening.
Saya dan teman-teman seperjalanan lain sedang berkumpul setelah santap malam dan duduk disisi bistro outdoor yang menghadap ke Pantai Kuta, dengan menikmati makanan kecil dan minuman ringan.

Saya pun iseng bercerita tentang insiden kecil tadi di Pantai Sanur tadi,  kepada salah seorang teman yang berdomisili dan asli orang Bali (Sanur). Saya utarakan pula, apakah saya yang terlalu sensitive? Apakah saya melakukan sesuatu yang melanggar batas kesopanan dalam masyarakat Bali dengan mengabaikan canang dikamera saya? Atau apa yang saya rasakan benar adanya?

Dia (teman Bali saya) menjawab sambil tersenyum simpul dan membenarkan bahwa ditempat tertentu diskriminasi itu memang ada. Diskriminasi antara turis domestik dan turis mancanegara. Diimbuhkan pula olehnya bahwa penduduk lokal (orang Bali) juga tak luput dari diskriminasi tersebut. Dia melanjutkan cerita tentang pengalaman diskriminasi yang dialaminya. Memasuki satu club yang cukup prestisius dan happening di Jalan Legian, dia harus melalui jalur khusus untuk turis domestik/lokal dengan pemeriksaan yang super ketat dan harus membayar entrance fee. Meanwhile 3 teman bule-nya memasuki club tersebut melalui jalur lain yang berbeda tanpa pemeriksaan apapun and free entrance fee. Ditambahkan juga bahwa masih ada juga beberapa club yang hanya bisa dimasuki oleh turis mancanegara dan menolak pengunjung yang notabene adalah bangsa mereka sendiri. Bagi saya hal ini lepas dari pertimbangan apapun, sangat menyedihkan. Tidak heran jika bangsa lain merasa superior jika di Bali.

Bertukar pikiran, membandingkan cerita satu sama lain membuat kami miris dan sedih juga melihat ada kelompok orang tertentu yang masih hidup dalam penjajahan (menurut istilah kami). Masih hidup dengan pandangan bule/turis mancanegara jelas lebih superior, jelas spent more money dan lebih pintar dari mereka sendiri. Sungguh suatu kondisi yang mengecilkan hati atas arti penjajahan yang sesungguhnya ini. Sementara tu, negara-negara lain berlomba-lomba menarik wisatawan asal Indonesia yang terkenal suka shopping dan barang-barang branded. Bisakah saya bilang hal ini ironis sekali?

Seorang teman sempat menyeletuk, bagaimana pemerintah dan beberapa badan pariwisata mau menggiatkan agar orang Indonesia lebih sering berkunjung ke tujuan wisata lokal kalau kondisi ini masih ada. Mending keluar negeri dimana meski penampilan biasa saja tetapi disambut dengan senyum dan keramahan, dibandingkan harus menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dan direndahkan oleh bangsa sendiri.

Disisi lain, beda sekali perlakuan yang kami terima saat di Ubud (03 Februari 2013). Mereka melayani dengan wajar, ramah dan hangat, baik di Bu Oka, Nasi Kedewatan Bu Mangku, Pedagang dalam Pasar Seni Ubud dan Pak Polisi-nya juga ga kalah ramah. Perlakuan hangat kadang juga kami terima di area Denpasar, semisal di RM. Plengkung dan Surprisingly kami mendapat perlakuan yang warm and nice dari FlapJack yang terletak di Kuta, thumbs.

Seandainya saja… seandainya saja…

2 comments:

  1. Aku udah 6 tahun tinggal di Bali dan sering ngalamin diskriminasi kayak gini. Makan di restaurant di treat kasar ama waiter sedangkan yang bule dihormati berlebihan. Mungkin beberapa orang masih suka dijajah bangsa asing ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kya, thx for stoping by. Bener tuh Deb, kasihan mereka enjoy banget dijajah bangsa asing :'(

      Delete