Sunday, October 02, 2016

24-hour Highlights & Recommendations in downtown Solo, Central Java, Indonesia (English)





Solo is one of the most popular cities in Indonesia, located in Java (Central) Island and has a good reputation as a vacation destination, especially for its local culinary delicacy. Solo is also very popular among Indonesians and foreigners for its Batik clothes. This is not my first visit to Solo, as I lived in Yogyakarta once which is about 1-hour drive to Solo, yet I never really explored Solo.
This time, I had approximately 24 hours to explore Solo (downtown). With 2 friends of mine, we tasted some culinary and looked around couples of interesting destinations around the downtown of this small historical city.

These were my 24-hour highlights and recommended destinations in downtown Solo:

Thursday, September 29, 2016

Kuliner di Turki




Taste dari kuliner di Turki mostly mempunyai cita rasa yang agak flat, terutama bagi kita orang Indonesia yang cenderung suka makanan yang mempunyai cita rasa yang kuat. Oleh karena itu terkadang kebosanan terhadap makanan lokal membuat kita ingin menyantap hidangan yang cenderung familier dengan taste kita, seperti Chinese Food yang biasanya mudah kita temui dimana-mana dibandingkan dengan masakan traditional Indonesia. Di Turki, Chinese food restaurant sangat sulit ditemui. Tentunya ini hanya sebatas di tempat-tempat wisata dan tinggal dalam itinerary saya. Hal ini juga berlaku bagi Asian food lainnya seperti Korea dan Jepang yang biasanya sangat mudah ditemui di Indonesia.

Saya menemukan hanya 1 tempat makan Chinese food di Goreme bernama Hao Mei Mei yang menyajikan menu Chinese food halal, dengan harga standard (nasi goreng mulai dari 12,5 TL) dan rasa yang lumayan enak. Sedangkan di Selcuk dan Pamukkale, kami tidak pernah menemui rumah makan Chinese food. Di Istanbul di daerah Sultanahmet saya juga menemui sebuah restaurant Korea yang menyajikan pula hidangan Chinese food dengan harga yang cukup mahal (ayam asam manis seharga 35 TL) dengan rasa yang lumayan enak, bernama Seoul Restaurant. So, jika ingin ke Turki, khususnya bagi yang makannya agak milih, mesti prepare saos sambal, kecap manis, bon cabe, abon dan lainnya, yang tentunya mudah dan simple bawanya.

Berikut beberapa sedikit gambaran kuliner di Turki. Harga yang diinformasikan murni dari gambaran pengeluaran pribadi pada saat kunjungan pada bulan Agustus 2016. Harga juga bukan merupakan harga umum, melainkan harga pada saat pembelanjaan dilakukan di restaurant dan tempat tertentu. Harga bisa berbeda tergantung dari kota, lokasi, porsi dan kelas dari restaurant yang dituju.

Sunday, September 25, 2016

Jelajah Turki - Istanbul bagian 2 (end)




Semilir angin berhembus mencoba membujuk kelopak mata agar menutup dan menghantar jiwanya berkelana dalam dunia lelap. Debur air terhempas ke lambung kapal bercampur dengan suara dari mesin kapal yang halus dan celoteh para penumpang-penumpang kapal ini, menciptakan melodi monoton yang membius. Saya berjuang untuk melawan lelap dalam diam dan mencoba menyerap semua kenikmatan sensasi ini. Saya bahkan enggan untuk bergerak dari bangku yang saya duduki. Meski sesekali saya bidikan camera dengan malas-malasan kepada beberapa obyek yang menarik, tanpa merubah posisi duduk.
 
“Cay? Cay?” seru pramusaji menawarkan gelas-gelas bening mungil berbentuk tulip khas Turki yang berisikan teh panas. Pramusaji-pramusaji ini berkeliling terus tanpa henti membawa segala barang dagangan dari kapal pesiar ini bergerak menuju ke calon-calon pembeli impulsive. Cay, orange juice, penganan lainnya, silih berganti bersliweran sesekali melewati saya secara berkala.

Pemandangan yang ditawarkan oleh jalur kapal pesiar ini sangat menarik dan menggugah rasa ingin tahu. Kantuk yang sempat menggoda, timbul tenggelam dan gagal membuat lelap, terkalahkan dengan pesona Selat Bosphorus dan bangunan serta landscape yang mengapitnya. Ini saatnya Jelajah Turki Istanbul, dilanjutkan. 

Saturday, September 24, 2016

Jelajah Turki - Istanbul bagian 1




Mentari masih belum juga menampakkan diri dari benteng-benteng beton sepanjang horizon di ufuk timur. Hanyalah sayap-sayap pijarnya yang mulai menyerbu secara perlahan menuju ke arah langit di barat. Langit pun seolah mati-matian mempertahankan warna biru mudanya dari pijar kilau emas keperakan dari bola api yang terus merangsek dari negeri di timur sana.

Bus yang saya tumpangi dari Selcuk, memasuki terminal bus utama dari kota yang terletak di dua benua ini. Sebuah terminal yang luas dan tampak membingungkan bagi saya. Apalagi ditambah dengan bahasa yang berbeda dan jarang sekali ditemui orang yang bisa berbahasa Inggris. Jikalau ada pun, kemampuannya sangat minim sekali.

Bus Terminal of  Istanbul
Singkat cerita, setelah mati-matian mencoba berkomunikasi, akhirnya keluar juga saya dan 3 teman seperjalanan dari terminal bus, menuju jantung kota dengan sebuah free shuttle mini bus. Dengan cepat pemandangan di luar jendela menjadi semakin kota, ramai dengan orang-orang yang mulai hilir mudik melakukan aktivitasnya.

“Yusufpasa” sang sopir berseru sambil menolehkan mukanya ke kami, “Metro Station” sambil menunjuk ke sebuah stasiun kecil di tengah jalan raya.
“Ok, thank you. Bye” kami berseru balas sambil melangkah keluar dari mini bus.

Kota yang diilustrasikan, kota yang dideskripsikan, kota yang dinyanyikan, kota yang digambarkan oleh banyak seniman dan pujangga dunia, Istanbul. This is it! Kota terakhir dari Jelajah Turki saya.

Friday, September 16, 2016

Jelajah Turki - Ephesus, Selcuk



Ephesus
Semburat cahaya dari matahari memantul memukau ke arah laut dan langit yang berawan. Tersaput kelambu tirai cahaya keemasan di langit dan perak di permukaan Laut Aegean, dengan bidang horizon sebagai pembatas tengah kanvasnya. Mobil yang kami tumpangi melaju melalui jalanan tepi laut, menyusuri Kusadasi. Jalanan yang memisahkan deretan komersial dengan pasir pantai yang tampak sangat menggoda. Kusadasi, sebuah kota kecil yang ramai dengan jajaran toko, restaurant dan hotel di sepanjang jalan. Sementara di dataran yang sedikit lebih tinggi, nampak tonjolan-tonjolan hunian penduduk yang berjejalan rapi.

Saya duduk di tepi jendela mobil dan tak mau berpaling darinya. Melalui indera mata, saya serap sebisanya apa yang sedang terjadi saat itu di Kusadasi, baik landscape-nya, jajaran toko-tokonya dan hilir mudik insan-insannya. Kami tak punya waktu untuk menjelajah Kusadasi sekarang. Mungkin di masa depan.

Tak lama kami menyusuri Kusadasi. Ternyata 2 orang di mobil travel umum yang sama memang bertujuan akhir di Kusadasi. Lepas itu, mobil langsung bertolak tanpa berhenti lagi menuju ke Selcuk. It’s time for Selcuk untuk menorehkan kenangannya di moment-moment saya dalam Jelajah Turki.

Saturday, September 10, 2016

Jelajah Turki - Pamukkale




Saya membuka mata dan hanya memandang kegelapan di jalanan yang dilalui oleh bus kami. Sesekali kelam itu dinodai dengan setitik cahaya kecil yang semakin lama semakin besar dan dalam sekelebatan, menghilang ke arah yang berbeda. Dengan mengandalkan cahaya remang dalam bus, saya melirik malas ke jam di tangan.

“Hm … masih pukul 3 pagi lebih dikit” dalam hati saya berucap, “masih sekitar 3 jam lagi.”

Bus yang saya tumpangi bersama dengan 3 teman seperjalanan, melaju dengan cepat tetapi tenang, yang sempat menina-bobokan kami satu persatu. Saya kembali memejamkan mata, yang sesaat kemudian kembali terbuka, yakin bahwa saya tidak akan bisa tertidur lagi. Saya lirik teman-teman seperjalanan dan mereka tampak nyenyak sekali.

“Dengerin lagu aja dah,” pikir saya sembari mengambil hp dan mulai memutar lagu di gallery music-nya. Menikmatinya lirik dan alunan nada melalui earphone sebagai teman sisa perjalanan ini.  Perjalanan panjang menembus malam, meninggalkan bayangan misterius Kapadokya jauh di belakang untuk menjadi sebuah kenangan yang mungkin nantinya akan menjadi sebuah cerita. Cerita yang akan saya tuturkan kepada siapa saja yang mungkin meminta. Cerita sebuah perjalanan, cerita tentang hidup dan cerita tentang melanjutkan hari-hari dalam Jelajah Turki. Saatnya Pamukkale untuk menorehkan kenangannya.

“Maybe we're perfect strangers, maybe it's not forever. Maybe the night will change us, maybe we'll stay together. Maybe we'll walk away…”

Monday, September 05, 2016

Jelajah Turki - Goreme, Cappadocia






Jarum-jarum di jam tangan saya serentak merambat ke arah pukul 6 sore. Hari ini cuaca sangat cerah dan meski waktu sudah beranjak ke petang, tetapi terangnya mentari seolah seperti masih tengah hari. Seharian sang mentari bersinar tanpa penghalang awan sama sekali, menyorot tajam di bumi Fairytale Chimney ini. Untungnya angin sejuk pegunungan seolah mem-balance-kan suhu di dataran ini. Musim panas yang indah dan pas sekali untuk menikmati semua yang ada di sepetak sisi bumi yang ini.

Saya duduk dalam diam dan menyerap semua yang terjadi di sekeliling saya. Suara bocah-bocah berlari dan tertawa; obrolan para pria dan wanita yang asik duduk bercengkrama  sembari sesekali menyesap cay dan menghisap rokok di tangan mereka. Suara deru kendaraan bermotor yang lewat, kibasan ekor dari seekor anjing tambun yang berjalan santai melewati saya. Menyerap kenikmatan naungan teduh dari pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sisi-sisi luar kumpulan bangku taman kayu yang diatur membentuk kotak saling berhadapan dengan square lapang kecil di tengah-tengahnya. Menyerap desiran angin yang sejuk membelai kulit telanjang saya, yang agak perih akibat terbakar matahari. Memandang tanpa penghakiman kepada pohon-pohon willow besar yang melambai-lambaikan ranting-ranting berdaunnya sepanjang sisi-sisi sungai kota yang tampak mengering.

Ini adalah moment-moment terakhir saya di Goreme, Cappadocia (Kapadokya), Turki. Pukul 8 malam nanti, saya dan ketiga teman seperjalanan akan melanjutkan kisah Jelajah Turki kami ke Pamukkale.

“Saya di Turki, saya di Kapodakya” benak saya kembali menghentak, “Inilah saya yang hidup, inilah diri saya yang sesungguhnya.” 

Friday, September 02, 2016

Sebuah Personal Itinerary, Tips & Fun Facts, 10 hari Summer Time Jelajah ke 4 Kota di Turki (Goreme – Cappadocia, Pamukkale Travertine, Ephesus – Selcuk, Istanbul)




Itinerary ini berawal dari Jakarta, Indonesia, pada tanggal 13 Agustus 2016 dan berakhir pada tanggal 22 Agustus 2016 (termasuk hari dalam perjalanan pergi pulang).
Kisaran informasi biaya adalah berdasarkan pada saat kejadian dan bisa berubah karena inflasi lokal, musim kedatangan, dll.
Pada itinerary ini nilai 1 Turkish Lira (TL) setara dengan (around) 4.500 IDR, 1 Euro (EUR) setara dengan 3.1 TL, dan 1 USD setara dengan 2.7 TL

Hari ke 1.
Perjalanan ini dimulai dengan terbang bersama KLM-810 (650k IDR) pada pukul 18:45 WIB dari Jakarta, Indonesia, dengan tujuan Kuala Lumpur, Malaysia.

Tips: meski memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan direct flight Jakarta – Istanbul – Jakarta, tetapi harga jauh lebih murah hingga 2 kali lipat, sehingga meski ditambah dengan biaya pesawat ngeteng Jakarta – Kuala Lumpur – Jakarta, tetap jatuhnya lebih murah hingga 40%.

Hari ke 2.
Perjalanan berlanjut pada pukul 02.00 dini hari waktu setempat dengan tujuan akhir Istanbul, Turki, bersama QR-853 (transit Doha, Qatar) dan berlanjut bersama QR-239 (6,95mio IDR – round trip). Setiba di Istanbul, bersama TK-2014 (180 TL) pada pukul 15:50 waktu setempat, kami kembali terbang ke Kayseri untuk mencapai tujuan akhir kami dalam rangkaian perjalanan panjang dari Jakarta, yaitu Goreme, Cappadocia (Kapadokya), Turki.

Tips: kali pertama, kami hanya transit di Istanbul dan membuat jalur single loop dari Istanbul, Goreme, Pamukkale, Selcuk dan kembali ke Istanbul. Kami menaruh jelajah Istanbul di belakang semata untuk efesiensi waktu dan biaya saja. 1. Biaya hotel, karena bisa mencapai Goreme di sore hari yang sama. 2. Setiba di Goreme masih bisa ada waktu buat rehat dan jalan-jalan petang di Goreme. 3. Meminimumkan jumlah bongkar muat backpack/koper kami.
Memasuki Turki, bagi passport Indonesia, dibutuhkan Visa, baik e-Visa (25.7 USD) atau VoA (25 USD).
Mata uang yang berlaku di Turki adalah Turkish Lira (TL/TRY) dan Euro (EUR), tetapi mostly yang digunakan dalam transaksi sehari-hari adalah TL. Money changer di Turki kurang lebih memberikan kurs penukaran yang sama. Jika money changer di airport memberikan kurs yang bagus, biasanya juga terdapat potongan komisi yang cukup besar. Tukarkan secukupnya dan coba cari toko-toko di kota yang bisa menukarkan EUR dengan TL. 
Peta Istanbul dan jaringan Metro bisa diambil gratis di Ataturk International Airport dan di hotel-hotel tempat Anda menginap di Istanbul.

Friday, July 29, 2016

Sebuah cerita Travel Troopers di Situ Gunung, Sukabumi




Di tengah keheningan dan kedamaian siang itu, em…. atau sore yah? yah pokoknya hari itu.

“HAHAHAHA”
“Tomat” “Tomat” “Selada” “Kec…”
“HAHHHHHHH ambillll!”
“HAHAHAHA”
“Selada” “Kol” “Kol” “Tomat” “Paprika” “Kecoak” “Paprika” “Komat”
“HAH!!!! Apaan tuh komat” “HAHAHAHA” “Ambil!”
“HAHAHAHA”

Tawa yang meledak keluar tanpa penahan dalam balutan suara stereo. Tawa yang sesungguhnya, tanpa beban, tanpa keterpaksaan. Tawa sejati yang meskipun sangat mengganggu, tetapi hanya mengakibatkan dumelan kecil dari teman-teman lain yang sedang berbalut kehangatan selimut, dalam udara dingin di Situ Gunung. Tawa yang mengganggu tetapi hanya mengakibatkan tawa lanjutan dari para pedumel sendiri.

Sebuah cerita atas beragam moment meski dalam waktu yang singkat. Sebuah cerita dari sebagian anggota sebuah komunitas pejalan yang memasukkan perbincangan tentang perjalanan hanya sebagai salah satu menu pada buku menu perbincangan dan cengkrama. Apa selain tema perjalanan? Ada kehidupan, ada gossip dan ragam omongan ngalor ngidul yang sama sekali tidak bermutu bagi orang lain tapi penting bagi kami.

Laugh, Peace and Love membuat our friendship stronger, tapi Tears, War and Hate membuat our friendship unbreakable.

Sebuah prasasti digital singkat atas sebuah cerita Travel Troopers di Situ Gunung, Sukabumi.

Thursday, July 28, 2016

The Mdj's #FindingCoffeeShop #Serpong - Battle 5 (Double Bond, Turning Point, & Nukoff)



Gue asli Malang, merantau sejak umur 24 tahun. Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya keseret arus urbanisasi, menginjakkan kaki juga di Jakarta. Kurang lebih 9 tahun gue tinggal di Tanjungduren, Jakarta Barat, dan akhirnya settle down di Legok nempel Serpong.

Hobi clubbing di umur 20-an akhirnya beranjak menjadi hobi nongkrong di coffee shop aja. Entah kenapa, dulu yang suka music jedag-jedug akhirnya sekarang lebih enjoy dengerin music random dengan segelas kopi. Sebut saja flat white, piccolo dan americano adalah minuman kopi yang gue suka. Dari semua jenis, gue so far paling suka adalah piccolo dan overall kopi yang gue suka adalah jenis yang pahit biasa, bukan yang asam.

Apakah gue ahli kopi? NO, gue ga ngerti kopi jenis ini itu bla bla bla. Apakah gue penggila kopi? NO, kadar gue ngopi biasa aja. Ngopinya dimana? Di kantor kalo ngantuk tak terkira dan coffee shop. Jadi siapakah gue? Gue cuman seorang yang suka ngopi aja sambil duduk-duduk di coffee shop. Biar dikata gaul? Entah yah, gue ga merasa gaul minum kopi di coffee shop, secara tampang gue lusuh banget dibanding pengunjung lain yang sebagian tampak all out banget. Salah mereka? Ga, for me semua orang bebas nikmatin kopi apapun dan dimana pun dan pakai apapun.

Anyway, jiwa gue selalu haus akan nongki di coffee shop #halah. Bukan coffee shop with international branded kayak Starbuck, Coffee Bean dan setipikalnya yang gue kangenin (kalo Starbuck mah ada di depan kantor). Yang gue maksud adalah coffee shop-coffee shop indie. Lokal aja dan mostly ga punya cabang.

This is my story of #FindingCoffeeShop #Serpong. Penilaian gue dan basian-basiannya murni adalah subjektifitas. In my opinion, selera itu subjektif banget jadi ga selalu bisa jadi patokan secara general. Apa yang gue bilang ok mungkin extra ordinary bagi yang lain, yang gue bilang enak mungkin sampah bagi yang lain. So semua penilaian dan review gue murni berdasarkan dari selera gue. Jadi yang ngecap gue, yang nilai gue, yang nulis gue, yang nentuin juga gue.

Let’s the battle begin.

Tuesday, June 28, 2016

The Mdj's #FindingCoffeeShop #Serpong - Battle 4 (Monomania, Turning Point, & Flow)



Gue asli Malang, merantau sejak umur 24 tahun. Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya keseret arus urbanisasi, menginjakkan kaki juga di Jakarta. Kurang lebih 9 tahun gue tinggal di Tanjungduren, Jakarta Barat, dan akhirnya settle down di Legok nempel Serpong.

Hobi clubbing di umur 20-an akhirnya beranjak menjadi hobi nongkrong di coffee shop aja. Entah kenapa, dulu yang suka music jedag-jedug akhirnya sekarang lebih enjoy dengerin music random dengan segelas kopi. Sebut saja flat white, piccolo dan americano adalah minuman kopi yang gue suka. Dari semua jenis, gue so far paling suka adalah piccolo dan overall kopi yang gue suka adalah jenis yang pahit biasa, bukan yang asam.

Apakah gue ahli kopi? NO, gue ga ngerti kopi jenis ini itu bla bla bla. Apakah gue penggila kopi? NO, kadar gue ngopi biasa aja. Ngopinya dimana? Di kantor kalo ngantuk tak terkira dan coffee shop. Jadi siapakah gue? Gue cuman seorang yang suka ngopi aja sambil duduk-duduk di coffee shop. Biar dikata gaul? Entah yah, gue ga merasa gaul minum kopi di coffee shop, secara tampang gue lusuh banget dibanding pengunjung lain yang sebagian tampak all out banget. Salah mereka? Ga, for me semua orang bebas nikmatin kopi apapun dan dimana pun dan pakai apapun.

Anyway, jiwa gue selalu haus akan nongki di coffee shop #halah. Bukan coffee shop with international branded kayak Starbuck, Coffee Bean dan setipikalnya yang gue kangenin (kalo Starbuck mah ada di depan kantor). Yang gue maksud adalah coffee shop-coffee shop indie. Lokal aja dan mostly ga punya cabang.

This is my story of #FindingCoffeeShop #Serpong. Penilaian gue dan basian-basiannya murni adalah subjektifitas. In my opinion, selera itu subjektif banget jadi ga selalu bisa jadi patokan secara general. Apa yang gue bilang ok mungkin extra ordinary bagi yang lain, yang gue bilang enak mungkin sampah bagi yang lain. So semua penilaian dan review gue murni berdasarkan dari selera gue. Jadi yang ngecap gue, yang nilai gue, yang nulis gue, yang nentuin juga gue.

Let’s the battle begin.

Monday, June 06, 2016

The Mdj's #FindingCoffeeShop #Serpong - Battle 3 (Coffedential, Turning Point, & Brewster)



Ciao, welcome to Battle 3
 
Gue asli Malang, merantau sejak umur 24 tahun. Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya keseret arus urbanisasi, menginjakkan kaki juga di Jakarta. Kurang lebih 9 tahun gue tinggal di Tanjungduren, Jakarta Barat, dan akhirnya settle down di Legok nempel Serpong.

Hobi clubbing di umur 20-an akhirnya beranjak menjadi hobi nongkrong di coffee shop aja. Entah kenapa, dulu yang suka music jedag-jedug akhirnya sekarang lebih enjoy dengerin music random dengan segelas kopi. Sebut saja cappuccino, mochaccino, piccolo dan americano adalah minuman kopi yang gue suka. Dari semua jenis, gue so far paling suka adalah piccolo dan overall kopi yang gue suka adalah jenis yang pahit biasa, bukan yang asam.

Apakah gue ahli kopi? NO, gue ga ngerti kopi jenis ini itu bla bla bla. Apakah gue penggila kopi? NO, kadar gue ngopi biasa aja. Ngopinya dimana? Di kantor kalo ngantuk tak terkira dan coffee shop. Jadi siapakah gue? Gue cuman seorang yang suka ngopi aja sambil duduk-duduk di coffee shop. Biar dikata gaul? Entah yah, gue ga merasa gaul minum kopi di coffee shop, secara tampang gue lusuh banget dibanding pengunjung lain yang sebagian tampak all out banget. Salah mereka? Ga, for me semua orang bebas nikmatin kopi apapun dan dimana pun dan pakai apapun.

Anyway, gue sudah tinggal di Legok nempel Serpong for more than 6 months dan jiwa gue selalu haus akan nongki di coffee shop #halah. Bukan coffee shop with international branded kayak Starbuck, Coffee Bean dan setipikalnya yang gue kangenin (kalo Starbuck mah ada di depan kantor). Yang gue maksud adalah coffee shop-coffee shop indie. Lokal aja dan mostly ga punya cabang.

This is my story of #FindingCoffeeShop #Serpong. Penilaian gue dan basian-basiannya murni adalah subjektifitas. In my opinion, selera itu subjektif banget jadi ga selalu bisa jadi patokan secara general. Apa yang gue bilang ok mungkin extra ordinary bagi yang lain, yang gue bilang enak mungkin sampah bagi yang lain. So semua penilaian dan review gue murni berdasarkan dari selera gue. Jadi yang ngecap gue, yang nilai gue, yang nulis gue, yang nentuin juga gue.

Thursday, June 02, 2016

DERAWAN, a Beautiful Destination with Awesome Travel Buddy, Could I Ask for More?




“Eh potion gue yah”
“Tunggu mereka datang ke sini tuh”
“Itu nongol tuh, nongol tuhhhh. Hyaa gede banget”
“Kyaaaa kyaaaa”
“Haha haha aduh serem gue kesedot”
“Datang lagi tuh yang lain”
“Kyaaa kyaaaa”

Kericuhan yang terjadi tepat disebelah kapal yang berjarak tak jauh dari saya. Beberapa teman seperjalanan dan beberapa ABK tampak bergerombol antara seram dan senang ketika beberapa hiu paus (whale shark) mendekati mereka, terpancing akan ikan-ikan kecil yang dibuang dari kerambah di lautan Talisayan, Derawan.

Saya tersenyum melihat polah mereka yang kegirangan. Hati saya pun tersenyum dan terbahak, tidak hanya karena salah satu wish list saya akhirnya terkabul, tetapi snorkeling bersama dengan 5 hiu paus adalah sesuatu yang hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: AWESOME! Snorkeling tidak akan sama lagi tanpa kehadiran hiu paus, kegemaran saya akan soft corals dan moorish idol mendadak bergeser oleh these beautiful giant creatures yang merupakan spesies ikan terbesar yang masih hidup di bumi ini (note: paus adalah mamalia bukan spesies ikan). Memiliki panjang hingga mencapai 10 meter, hiu paus adalah ikan raksasa yang cenderung jinak, gently dan tidak menyerang manusia.  

Sunday, May 08, 2016

Mimpi Besar: Patung Garuda Wisnu Kencana - Bali



Bali, the island of Gods.
Siapa yang tidak tahu Bali? Siapa yang tidak ingin berkunjung ke Bali. Lebih extreme lagi, untuk sebagian turis mancanegara, Indonesia is Bali.
Begitu banyak ulasan tentang Bali. Bali dengan segudang pesona alam dan budayanya. Tak sedikit pula ulasan-ulasan tentang gemerlap aktivitas kehidupan turis, baik domestik maupun mancanegara, di Bali.

Tetapi Bali tak sebatas itu. Bali juga menyimpan sebuah mimpi. Mimpi yang telah lama ada, mimpi yang perlahan mulai terlupakan, pudar oleh waktu yang tak pernah terhenti meski sesaat. Mimpi yang seolah ter-label akan tetap menjadi sebuah mimpi tanpa ada nyatanya.

Mimpi akan sebuah icon perwujudan salah satu budaya Bali yang berbalut religi. Mimpi akan sebuah patung raksasa dengan wujud Dewa Wisnu menunggang Garuda sang perkasa. Sebuah patung dengan nama Garuda Wisnu Kencana.

Wednesday, May 04, 2016

Curug Cileat, Lembah Tersembunyi di Subang, Jawa Barat, Indonesiaku



Curug Cileat

Matahari bergerak mendekat menuju ke tengah singgasananya, tak tampak gulungan awan yang berarti di atas sana yang kiranya bisa menjadi tabir. Peluh bermunculan, menggumpal dan jatuh membentuk aliran-aliran kecil menuju gravitasi. Sudah hampir dua jam kami berjalan melintas hutan, sawah dan semak ilalang liar, dari yang sebatas mata kaki hingga menerobos semak-semak yang lebih tinggi dari kepala saya.

“Belum sampai juga nih?”
“Aak masih jauh kah?”
“Bentar lagi, tuh suaranya sudah kedengeran”

Dan langkah kami membelok mengikuti jalan setapak tanah sempit yang sedari tadi kami telusuri. Disanalah tampak ujung jatuhan air terjun. Jutaan galon air tumpah ruah menyeruak jalur bebatuan bumi, seolah ingin kembali dalam pelukan rahim ibu bumi. Menggelegak dan jatuh menghempas.

“Wuhuuu”
“Keren”
“Tinggi banget ternyata yah”
“Heh, foto dulu dari sini supaya bisa kelihatan ujung air terjunnya”
“Iya, ntar kalo udah sampe kolamnya ga mungkin dapet nih ujungnya”
“Eh air terjun apa ini namanya tadi?”
“Air terjun Cileat”

Wednesday, April 27, 2016

Festival Lembah Baliem - Highlight, Baliem Valley, Wamena, Papua, Indonesiaku




Tak pernah saya sangka bahwa saya bisa berada di sini, berada dalam rengkuhan pegunungan perkasa yang merupakan benteng alami dari sebuah kota kecil bernama Wamena. Sebuah kota kecamatan kecil yang juga merupakan ibukota dari Kabupaten Jayawijaya, terbentang di tengah luasnya Propinsi Papua, Indonesia.

Keindahan dan keagungan lansekap Lembah Baliem telah membuat saya kagum sejak pertama kali jejak kaki saya mendarat di Bandara Wamena. Sekilas pegunungan tersebut seolah beriringan bergandeng tangan membentuk sebuah lingkaran sempurna, memandang dan menjaga lembah yang ada dalam kekapannya.

Saya dan beberapa teman datang ke Kota Wamena untuk melihat dan bergabung dalam perayaan pesta budaya yang ke 26 dari Festival Budaya Lembah Baliem, yang kali ini diadakan di Distrik Usilimo. Selama 3 hari berturut-turut saya akan dibanjiri dengan segala macam bentukan budaya yang ada dan lestari di Lembah Baliem.

Friday, April 22, 2016

Solo - Highlight One Day Trip



Solo, salah satu kota di Indonesia yang mempunyai reputasi terbaik sebagai tempat wisata terutama ragam kulinernya. Dulu, pada awal tahun 2000an saat saya masih berdomisili di Yogyakarta, sekali atau dua saya pernah berkunjung ke Solo. Yah tetapi hanya sekedar datang untuk menghadiri resepsi pernikahan teman saja. Tak pernah terbersit keinginan untuk menjelajah mencicip semua rasa yang ada di kota batik ini.

Kunjungan kali ini pun tak lain tak bukan adalah untuk menghadiri resepsi pernikahan teman juga. Kali ini saya datang sehari sebelumnya karena ingin sejenak melihat sedikit-sedikit apa yang ditawarkan oleh kota budaya ini kepada para pejalan. Unfortunately waktu yang saya punyai sangat terbatas dan kali ini saya akan lebih menengok di area kota yangd ekat-dekat saja saja.

Saya bersama dengan dua orang teman mencoba mencicipi sebanyak mungkin kenikmatan lokal baik makanan maupun budaya yang ditawarkan oleh kota ini.

Monday, April 18, 2016

Tiongkok Kecil ini bernama Lasem, Jawa Tengah, Indonesiaku

Sunrise dari Masjid Jami'


Bulatan mentari mulai muncul, memetakan batasan horizon yang tak lain adalah jajaran atap-atap rumah yang membentang luas jauh ke timur. Sayap-sayap cahaya menyebar indah menerobos semua bayangan ke ufuk barat yang terjauh yang bisa digapai. Perlahan denyut kehidupan di kota kecil ini berima semakin cepat, setelah kemarin sejenak lama tertidur. Sedikit semilir angin berhembus mencoba mematahkan jaringan hawa panas yang merongrong pagi ini. Ah… terlihat sia-sia saja, seolah menjadi kepastian bahwa 2 hari ini akan dibekap oleh hawa panas pesisir Laut Jawa.

Saya duduk di pelataran Masjid Jami’ Lasem dengan peluh yang masih melekat, menikmati semua apa yang sedang terjadi. Mencoba meresapi setip detik dan setiap moment yang sedang beredar di sekeliling saya. Entah berapa tahun sudah? dua? tiga? Pastinya sudah lama ada keinginan di hati untuk berkunjung ke Tiongkok Kecil ini. Bersama dengan dua teman pejalan akhirnya saya ada di sini, Lasem.

Lasem adalah kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang, yang merupakan titik awal dari pendaratan orang Cina Daratan pertama di daratan Jawa. Lasem berada dalam lintasan jalur pantura yang terdiri dari gabungan 20 desa dalam satu kota kecamatan kecil. Dari Semarang, kami mencapai Lasem dengan bus umum yang memakan durasi perjalanan kurang lebih 3 jam dan berhenti tepat di depan Masjid Jami’. Dengan kebaikan dan ijin bapak penjaga Masjid, maka kami bertiga menumpang untuk sekedar cuci muka dan rehat sebentar di pelataran Masijd yang bersih, yang telah berdiri sejak tahun 1588.

Saturday, February 20, 2016

The Mdj's #FindingCoffeeShop #Serpong - Battle 2 (Scandinavian, Turning Point, & Tanamera)



Hola, welcome to Battle 2

Gue asli Malang, merantau sejak umur 24 tahun. Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya keseret arus urbanisasi, menginjakkan kaki juga di Jakarta. Kurang lebih 9 tahun gue tinggal di Tanjungduren, Jakarta Barat, dan akhirnya settle down di Legok nempel Serpong.

Hobi clubbing di umur 20-an akhirnya beranjak menjadi hobi nongkrong di coffee shop aja. Entah kenapa, dulu yang suka music jedag-jedug akhirnya sekarang lebih enjoy dengerin music random dengan segelas kopi. Sebut saja cappuccino, mochaccino, coffee latte, piccolo dan americano adalah minuman kopi yang gue suka. Dari semua jenis, gue so far paling suka adalah cappuccino dan overall kopi yang gue suka adalah jenis yang pahit biasa, bukan yang asam.

Apakah gue ahli kopi? NO, gue ga ngerti kopi jenis ini itu bla bla bla. Apakah gue penggila kopi? NO, kadar gue ngopi biasa aja. Ngopinya dimana? Di kantor kalo ngantuk tak terkira dan coffee shop. Jadi siapakah gue? Gue cuman seorang yang suka ngopi aja sambil duduk-duduk di coffee shop. Biar dikata gaul? Entah yah, gue ga merasa gaul minum kopi di coffee shop, secara tampang gue lusuh banget dibanding pengunjung lain yang sebagian tampak all out banget. Salah mereka? Ga, for me semua orang bebas nikmatin kopi apapun dan dimana pun dan pakai apapun.

Anyway, gue sudah tinggal di Legok nempel Serpong for 3 months (28 feb ini) dan jiwa gue haus akan nongki di coffee shop lagi. Bukan coffee shop with international branded kayak Starbuck, Coffee Bean dan setipikalnya yang gue kangenin (kalo Starbuck mah ada di depan kantor). Yang gue maksud adalah coffee shop-coffee shop indie. Lokal aja dan mostly ga punya cabang.

This is my story of #FindingCoffeeShop #Serpong. Penilaian gue dan basian-basiannya murni adalah subjektifitas. In my opinion, selera itu subjektif banget jadi ga selalu bisa jadi patokan secara general. Apa yang gue bilang ok mungkin extra ordinary bagi yang lain, yang gue bilang enak mungkin sampah bagi yang lain. So semua penilaian dan review gue murni berdasarkan dari selera gue. Jadi yang ngecap gue, yang nilai gue, yang nulis gue, yang nentuin juga gue.

Saturday, February 06, 2016

The Mdj's #FindingCoffeeShop #Serpong - Battle 1 (Voyage, Asagao, & Scandinavian)



Gue asli Malang, merantau sejak umur 24 tahun. Yogyakarta, Surabaya dan akhirnya keseret arus urbanisasi, menginjakkan kaki juga di Jakarta. Kurang lebih 9 tahun gue tinggal di Tanjungduren, Jakarta Barat, dan akhirnya settle down di Serpong.

Hobi clubbing di umur 20-an akhirnya beranjak menjadi hobi nongkrong di coffee shop aja. Entah kenapa, dulu yang suka music jedag-jedug akhirnya sekarang lebih enjoy dengerin music random dengan segelas kopi. Sebut saja cappuccino, mochaccino, coffee latte, piccolo dan americano adalah minuman kopi yang gue suka. Dari semua jenis, gue so far paling suka adalah cappuccino dan overall kopi yang gue suka adalah jenis yang pahit biasa, bukan yang asam.

Apakah gue ahli kopi? NO, gue ga ngerti kopi jenis ini itu bla bla bla. Apakah gue penggila kopi? NO, kadar gue ngopi biasa aja. Ngopinya dimana? Di kantor kalo ngantuk tak terkira dan coffee shop. Jadi siapakah gue? Gue cuman seorang yang suka ngopi aja sambil duduk-duduk di coffee shop. Biar dikata gaul? Entah percaya apa ga, gue ga merasa gaul minum kopi di coffee shop, secara tampang gue lusuh banget dibanding pengunjung lain yang sebagian tampak all out banget. Salah mereka? Ga, for me semua orang bebas nikmatin kopi apapun dan dimana pun dan pakai apapun.

Anyway, gue sudah tinggal di Serpong for 2 months lebih dan setelah keribetan pindahan dan ina inu berlalu, maka jiwa gue haus akan nongki di coffee shop lagi. Bukan coffee shop with international branded kayak Starbuck, Coffee Bean dan setipikalnya yang gue kangenin (kalo Starbuck mah ada di depan kantor). Yang gue maksud adalah coffee shop-coffee shop indie. Lokal aja dan mostly ga punya cabang.

This is my story of #FindingCoffeeShop #Serpong. Penilaian gue dan basian-basiannya murni adalah subjektifitas. In my opinion, selera itu subjektif banget jadi ga selalu bisa jadi patokan secara general. Apa yang gue bilang ok mungkin extra ordinary bagi yang lain, yang gue bilang enak mungkin sampah bagi yang lain. So semua penilaian dan review gue murni berdasarkan dari selera gue. Jadi yang ngecap gue, yang nilai gue, yang nulis gue, yang nentuin juga gue.

Thursday, January 28, 2016

Desa Takpala, Alor, Nusa Tenggara Timur - Yang Tersisa dan Bertahan



Pulau Alor, sebuah pulau dari gugusan kepulauan Indonesia yang terletak di timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor tak pernh ada di wish list saya sebelumnya, bahkan nama pulau ini tak pernah saya dengar sebelumnya. Ketika seorang teman mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah rombongan kecil, menjelajah ke Pulau Alor, saya sempat ragu tetapi memutuskan untuk ikut juga. Sebuah keragu-raguan yang akhirnya berujung dengan candu atas keindahan taman lautnya, keramahan penduduknya, lanskap yang cantik dan Desa Takpala.

Penjelajahan di Pulau Alor pada hari ketiga menuntun kami ke salah satu desa adat di Pulau Alor, yaitu Desa Takpala. Sebuah desa tradisional dari Suku Abui di Pulau Alor yang terletak di dataran tinggi/bukit tak jauh dari Kota Alor, sekitar kurang dari satu jam berkendara ke sana.

Dalam perjalanan ke Desa Takpala dari pusat Kota Alor, kami sempat berhenti di Pasar Kadelang. Pasar Kadelang adalah pasar tradisional yang ada di pusat Kota Alor. Pasar ini tak beda dengan pasar-pasar tradisional khas Indonesia lainnya, dimana segala macam kebutuhan pokok dan sehari-hari ditawarkan oleh sang empunya lapak-lapak yang berjumlah banyak. Kami berhenti sejenak untuk membeli sirih, pinang dan kapur sebagai bingkisan bagi penduduk Desa Takpala.

Tiba di sebidang tanah lapang di depan desa yang diperuntukkan untuk tempat parkir (dengan pemandangan yang indah), kami melihat diujung tangga batu sudah siap beberapa penduduk dengan pakaian adat mereka, siap menyambut kami.