Sunday, January 26, 2014

Aku Pernah dan Aku Diam



Kupandang wajah bulat itu di cermin.
Kupandang senyum pada kanvas wajah itu ketika segaris bulan sabit tergambar.
Kupandang semua lekuk dan bentuk wajah itu.

Ku desahkan nafasku panjang, menciptakan embun yang memburamkan bayangan di cermin.
Biarlah bayangan itu selamanya menjadi bayangan.
Biarlah bayangan itu selamanya tersembunyi dalam buram.

Pernahkah kau melakukannya? Aku pernah dan aku diam.
Terlahir sebagai anak laki-laki ke dua dalam keluarga. 
Terlahir sebagai anak laki-laki yang itu dalam keluarga.
Terlahir sebagai anak laki-laki carut dalam keluarga.
Pernahkah kau menerimanya? Aku pernah dan aku diam, inilah takdirku.

Saturday, January 04, 2014

on The Road to Ijen, Baluran and Bromo




Malam kelam dengan sedikit sinaran bulan, dihiasi oleh kerlip kecil bintang-bintang yang bertaburan di kanvas langit yang hitam. Ramainya jalan raya dengan blitz-blitz sinar lampu dari kendaraan bermotor semakin berkurang dan hilang di kejauhan, tertinggal dalam laju kami menyusuri jalanan 2 lajur, membelah daerah-daerah yang masih alami dan belum tersentuh oleh beton-beton bertingkat. Dalam bayang-bayangannya hanya tampak pantulan pohon-pohon tinggi menjulang, mencoba menyentuh langit yang konon tak berbatas.

Kujulurkan kepala ini sedikit melalui jendela mobil yang terbuka. Sejenak kurasakan hempasan udara dingin segar di paras muka telanjang ini dan melongok melihat indahnya ribuan bintang bertaburan yang tak mungkin aku nikmati setiap hari. Hidup dan tinggal dalam himpitan beton dengan udara panas berpolusi dan langit yang selalu tertutup lembayung polusi itu sendiri. Kutolehkan kepalaku ke bangku belakang dan seketika ucapanku tertahan, tersenyum melihat 5 kepala yang tergolek, dalam perkelanaannya di dunia sana, bergerak mengikuti irama goncangan mobil ini.