Bulan
mulai muncul dari balik arak-arak awan di pagi buta ini. Long john dan jaket
windproof yang saya pakai lumayan cukup melindungi tubuh saya dari hawa dingin
yang semakin lama semakin terasa dingin. Arakan awan memantulkan cahaya bulan
dan mempertegas bentukan-bentukannya, menyembunyikan pijar kecil
bintang-bintang di langit yang lebih tinggi.
Saya
dan 2 orang teman duduk di bak belakang mobil Estrada yang kami sewa, menanjak
terus menyusuri jalanan berkelok menuju ketinggian 3.305 meter di atas permukaan
laut. Saat ini menjelang pukul 4 dini hari dan saya merasakan kebahagiaan
karena Tuhan mengijinkan saya disini memiliki moment ini.
Lebih
tepatnya lagi memiliki moment-moment indah selama penjelajahan saya bersama 7
orang teman lainnya. Menghadiri Festival Budaya Lembah Baliem yang ke 26 dan
tentunya mencoba mengintip beberapa celah keindahan di Lembah Baliem.
***
Saya
berdiri di pintu keluar sisi belakang pesawat ATR, mengantri menuruni tangga
kecil menuju plesteran aspal. Semilir tiupan angin sejuk dari pegunungan yang
bulat merengkuh kota kecil ini, menyapa saya seolah berucap selamat datang.
Sepatu boots kusam saya menjejak di Bandara Wamena, bandara kecil sederhana
yang terletak di jantung Kota Wamena dengan pemandangan yang spektakuler.
sisi lain Bandara Wamena |
Bandara
kecil sederhana yang terdiri dari 1 bangunan 1 lantai beratap seng dengan
sistem claim baggage melalui semacam loket kayu. Lucu tetapi menjamin keamanan
pemilik baggage.
“So
kita kemana?”
“Hotel
dulu yah, check in trus bebas acaranya sampai malam. Besok baru jalan bareng
lagi.”
baggage claim area |
***
“Buset
mahal banget yah makan di sini.”
“Ini
gue makan rujak kikil dua puluh lima ribu sih.”
“Gue
makan nasi lalapan mujair di sebelah, tau ga berapa?”
“Berapa?”
“Enam
puluh ribu!”
“HAH”
Lepas
check in dan makan siang di depot-depot yang berjajar di depan hotel, Tante Herlina,
Adi, Imelda dan saya memutuskan berjalan-jalan di sekitaran hotel untuk
menghabiskan waktu siang hingga sore pertama kami di Kota Wamena.
Langkah
kaki kami mengarah menjauhi hotel dan searah menuju ke bandara. Tujuan utama
kami adalah ingin menengok pasar tradisional bernama Pasar Misi yang kami
dapatkan infonya dari beberapa penduduk lokal Lembah Baliem yang sedang
menuntut ilmu di Kota Wamena.
jalan utama di downtown Kota Wamena |
bercengkeramah dengan penduduk lokal, nanya ini itu |
penjual kapur, sirin dan pinang |
bunga khas yang bernama bunga plastik karena teksturnya yang seperti plastik |
salah satu gereja dari banyak di tengah Kota Wamena |
gedung DPRD |
gadis-gadis cilik Kota Wamena |
penampilan khas wanita dengan noken |
Pasar Misi |
Pasar Misi, segala macam buah dijual per bijian bukan per kg |
Bapa Alex, guide comotan kami di Pasar Misi |
***
Pagi
menjelang dan cuaca cerah membuka lembaran hari ke dua kami di Kota Wamena. Tujuan
pertama kami hari ini adalah ke sebuah desa adat bernama Jiwika, di Distrik
Kurulu, yang memiliki mumi berusia lebih dari 360 tahun. Perjalanan kami ke Desa
Jiwika kami tempuh dengan cepat diiringi pemandangan pegunungan yang indah dan
memukau di semua arah mata memandang.
Pemberhentian
berikutnya, yang tak jauh dari Desa Jiwika, adalah Obai Village yang merupakan
sebuah desa adat lain yang tidak bisa dimasuki hingga ke dalam desa tanpa ijin
dan reservasi terlebih dahulu. Sayang memang, tapi saat kami ingin reservasi,
jadwal sudah penuh dan baru memungkinkan mengunjunginya beberapa hari setelah
jadwal kami kembali ke Jayapura. Maklum kunjungan kami bertepatan pula dengan
diselenggarakannya Festival Budaya Lembah Baliem, jadi turis domestik dan
mancanegara membanjiri bumi Baliem setiap sekali dalam setahun.
Gereja sederhana di Obai Village |
Bergerak
menuju kembali ke Kota Wamena, kami singgah sebentar disebuah bukit batu dengan
pemandangan pegunungan Lembah Baliem untuk makan siang. Panas memang, tetapi
cukup nyaman dengan angin sepoi sejuk khas pegunungan dan pemandangan yang
seolah tak pernah bosan kami resapi.
pemandangan dari puncak bukit batu |
Memasuki
Kota Wamena kami menuju ke Pasar Baru untuk berburu apa yang bisa diburu, dari
buah-buahan, noken (tas rajut), buah merah, sampai dengan sarang semut. Pasar
Baru lebih ramai dan lebih besar daripada Pasar Misi. Tak puas dengan hanya
menelusuri Pasar Baru, kami kembali menelusuri Pasar Misi. Ini kali ke dua bagi
Tante Herlina, Adi, Imelda dan saya dan kali pertama bagi sisa anggota group
kami. Entah karena apa, tetapi saya pribadi merasa lebih enjoy dan nyaman
menyusuri Pasar Misi daripada Pasar Baru. Entah karena apa, hanya hati saya saja
yang berbisik kepada jiwa saya.
Pasar Baru |
Bergerak
kembali melintasi jantung Kota Wamena, kami sempatkan untuk singgah di Art Shop
bernama Kasuari yang terletak tak jauh dari airport. Toko Kasuari menawarkan
berbagai pernak pernik khas Papua dengan harga yang bisa ditawar dan cukup
fair.
toko souvenir |
Kembali
meneruskan lintasan kami membelah Kota Wamena ke sisi ujung satunya, kami
bergerak menuju Hotel German. Hotel ini sebenarnya bernama Baliem Valley Resort
(kalau saya tidak salah ingat) tetapi penduduk lokal menyebutnya dengan Hotel
German karena dimiliki oleh orang German. Kurang dari 1 jam ditempuh dengan
mobil, Hotel German menawarkan sebuah café di lereng pegunungan Lembah Baliem
dengan pemandangan yang indah dan salah satu tempat yang cocok buat penikmat
sunset.
sunset dari Hotel German |
sunset dari Hotel German |
Bagi
saya, penggemar patung-patung kayu, café dari hotel German ini sangat bikin
betah karena selain pemandangan dan tempatnya yang nyaman, café ini juga
sekaligus merupakan Art Gallery dari pemiliknya. Terlihat jelas bahwa empunya
hotel adalah penggemar ukir-ukiran kayu seperti saya. Koleksinya sungguh luar
biasa, dari totem-totem Papua, patung, baju adat suku tertentu, sampai dengan
tameng-tameng kayu prajurit Papua.
salah satu koleksi |
salah satu koleksi |
***
Hari
ke tiga di Lembah Baliem, kami habiskan sebagian besar waktu dengan menghadiri
Festival Budaya Lembah Baliem yang terselenggara selama 3 hari berturut-turut.
Pada festival ini dapat kami saksikan ragam pertunjukkan budaya dari pakaian
adat, tarian, alat musik, permainan dan olah raga, hingga cara memasak
traditional di Lembah Baliem.
lil warrior |
lokasi diadakannya Festival Budaya Lembah Baliem ke 26 |
kapten? |
warrior |
Dani's women |
bocah-bocah juga menampilkan atraksi perang-perangan |
Suku Yali |
atraksi perang-perangan |
just before acara pembukaan |
Bakar Batu |
Dani's Honai |
lomba memainkan Pikon |
karapan anak babi |
Senja
terlihat akan menjelang dan kami meninggalkan lokasi festival dan memutuskan
kembali ke Kota Wamena. Dalam perjalanan kembali tak sengaja saya melihat ada
petunjuk tentang keberadaan Goa Kontilola dan kami memutuskan untuk singgah
sejenak.
Goa
Kontilola berada di Distrik Kurulu yang terletak tak lebih jauh dari 200 meter
dari jalan raya. Goa Kontilola dari ujung mulut goa, terlihat tidak terlalu
besar dan terkesan biasa saja. Kami turun ke dalam goa dan naik sedikit menuju
apa yang kami lihat seperti taman hijau kecil di ujung lain goa dan dari taman
kecil tersebut lah, kami lihat goa ke dua yang jika ditelusuri mempunyai jalan
keluar ke sisi bukit lainnya.
goa pertama dari Goa Kontilola |
***
Pagi
baru menyongsong di Kota Wamena dan kali ini saya beserta rombongan terbagi menjadi
2. Satu group memutuskan mengunjungi tempat-tempat wisata lain di Lembah Baliem
dan 1 group lain menghadiri kembali festival budaya sebenatar sebelum
melanjutkan dengan ke tempat wisata lain.
Tujuan
rombongan kami yang pertama adalah Jembatan Kuning yang merupakan sebuah
jembatan besi modern berwarna kuning cerah. Jembatan ini menyambungkan 2
daratan yang terbelah oleh sungai besar. Jembatan kuning ini juga menghubungan
daerah yang relatif tandus di sisi kami tiba dengan daerah yang hijau dan
terlihat subur di sisi seberangnya.
Jembatan Kuning |
view dari Jembatan Kuning |
Perjalanan
berlanjut ke monumen Patung Injil Masuk Jayawijaya yang merupakan patung
Ukumiarek Asso. Asso adalah kepala suku besar yang menerima injil pertama di
Lembah Baliem.
Pemberhentian
selanjutnya adalah apa yang penduduk lokal sebut dengan Longsoran yang
merupakan sebuah area berbatu dengan pasir kapur yang terjadi akibat longsoran
gunung di latar belakangnya. Suatu daerah yang indah dan menjadi unik karena
daerah longsoran sangat kering dan tandus tanpa rumput sebatang pun, yang
dikelilingi oleh perbukitan dan hamparan kehijauan rumput dan pepohonan yang
subur.
Gulir
roda-roda mobil kami berlanjut menghantar kami ke perkampungan Muslim dimana
tempat Tirta Walesi berada. Tirta Walesi adalah sebuah gerojokan air terjun
kecil yang memancarkan air yang bening dan dingin segar. Tinggi tirta tidaklah
lebih dari 3 meter dengan gerojokan yang menyamping, mengalir membentuk kolam
kecil dangkal disekitarnya dan perlahan membuat undakan-undakan air terjun
kecil, menyelip diantara bebatuan-bebatuan besar kecil yang terhambur membentuk
lekuk garis menuju semakin ke bawah.
Tirta Walesi |
Selepas
dari Tirta Walesi, kami berlanjut ke arah Kota Wamena dan berhenti di setiap
tempat yang menawarkan pemandangan indah disetiap kelokan jalannya. Mematrikan
setiap kotak moment indah dari alam Lembah Baliem.
view di perjalanan |
view di perjalanan |
***
“Bangun
oi”
“Jam
berapa sih ini”
“Udah
jam 2.30 (dini hari) nih”
Dalam
gelapnya kelam dini hari, kami ber-delapan bersiap-siap dan mulai menaiki mobil
Estrada yang disewa untuk menghantarkan kami ke Danau Habema. 5 orang di bagian
dalam dengan heater dan 3 orang dibak terbuka bagian belakang.
Danau
Habema terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Wamena di ketinggian 3.100 meter
di atas permukaan laut. Membutuhkan kurang dari 2 jam berkendara ke ketinggian
3.305 dimana kami bisa melihat Danau Habema hingga batas-batas airnya
dikejauhan menghilang dibalik pegunungan yang mengelilingi Lembah Baliem. Hawa
dingin Kota Wamena menjadi terlalu hangat jika dibandingkan dengan hembusan
angin dan dinginnya hawa 7 derajat diketinggian tersebut.
Perlahan
gumpalan-gumpalan awan-awan kecil berubah warna menjadi kemerahan dan sang
pijar dunia pun muncul secara perlahan dan memberikan sinar kehidupan ke sisi
bumi yang ini. Sinar sang Apollo mulai menyibak kelam dan memperlihatkan
pemandangan alam sesungguhnya yang lebih luas bagi kami. Kemegahan dan
keagungan pegunungan yang mengkekap Lembah Baliem perlahan menjadi semakin
jelas dan gagah menjulang mencapai titik-titik langit tertentu di atas sana.
Puncak Trikora adalah puncak tertinggi pada sisi pegunungan yang kami lihat
dari tempat berdiri.
“Keren
banget yah, kayak di middle earth”
“Jadi
New Zealand batal nih?”
“Ga
juga sih, tapi ini boleh diadu ama yang di New Zealand”
sunrise di Danau Habema |
the great mountains |
Danau Habema |
Danau Habema |
Perjalan
kami berlanjut kembali ke bawah, tempat kami mulai menyusur naik ke atas tadi.
Kami berhenti pada sebuah Honai di pinggir jalan dan dengan kebaikan hati
pemiliknya, kami diantarkan menyusuri jalan setapak membelah hutan
dibelakangnya mencapai Air Tejun Napua.
Air
terjun yang tidaklah tinggi, sekitar 7 meter saja dan cukup indah. Airnya
jernih turun secara tegak lurus, membentuk kolam dangkal kecil dan mengalir
melalui celah-celah batu turun mengikuti kontur perbukitan ini.
Air Terjun Napua |
Puas
beristirahat sembari menikmati bekal makan siang yang kami bawa. Kami berjalan
kembali ke mobil Estrada yang tetap menanti kami dan menghantar kami kembali ke
Kota Wamena.
***
Air
terjun Napua menutup penjelajahan kami pada hari ke lima dan sekaligus menutup
penjelajahan kami atas alam Lembah Baliam kali itu. Yah kali itu, karena bagi
saya sendiri, saya berjanji jika ada jodoh maka saya akan kembali ke Lembah
Baliem dan menuntaskan penjelajahan saya atas alam dan budaya yang belum sempat
saya kunjungi dan resapi.
“Tahun
depan balik ah, mau ngerasain tidur di Hotel German ama mau ikut upacara di
Obai Village”
“Ikut
ga?”
Petang
menjelang dan esok pagi kami akan pulang. Pulang ke Jakarta menyudahi sejenak
penjelajahan atas bumi Indonesia dan untuk merencanakan lagi ke sisi pertiwi
yang lain.
***
pic credit: Imelda Cardiana Sirait |
Saya
memasuki tabung pesawat ATR dan mencari tempat duduk yang seideal mungkin bagi
saya sendiri. Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa melihat
sekelumit pemandangan pegunungan yang membuat saya betah berlama-lama hanya untuk
diam dan menikmatinya saja. Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa
melihat sepintas sisi bangunan bandara kecil yang sederhana dari Kota Wamena.
Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa melihat berkas-berkas apa
yang membuat saya betah dan ingin kembali lagi melanjutkan penjelajahan saya
menyusuri lekuk-lekuk pegunungan di Lembah Baliem.
Deru
baling-baling pesawat ATR ini semakin kencang dan monoton. Tabung pesawat
sedikit terguncang lembut takala pesawat mulai bergerak ke ujung landasan pacu.
Pesawat ini akan membawa saya membumbung tinggi mencapai awan, semakin meninggalkan
Bandara Wamena semakin mungil dan mencetak sebuah gambaran luas akan Lembah
Baliem. Pesawat ini akan menghantar saya meninggalkan Kota Wamena … untuk
sementara lama.
Saya
harus kembali! Satu dua hal masih menyisakan teka-teki untuk kecintaan saya
atas negeri ini yang terpetakan di Lembah Baliem. Saya akan kembali.
“Flight
attendants, take off position”
***
Please check out my Instagram for many more pictures, while I were in Baliem Valley :)
No comments:
Post a Comment