Monday, August 24, 2015

"Flight attendants prepare for landing" Wamena, Lembah Baliem, Papua - Indonesiaku #FBLB26



Bulan mulai muncul dari balik arak-arak awan di pagi buta ini. Long john dan jaket windproof yang saya pakai lumayan cukup melindungi tubuh saya dari hawa dingin yang semakin lama semakin terasa dingin. Arakan awan memantulkan cahaya bulan dan mempertegas bentukan-bentukannya, menyembunyikan pijar kecil bintang-bintang di langit yang lebih tinggi.

Saya dan 2 orang teman duduk di bak belakang mobil Estrada yang kami sewa, menanjak terus menyusuri jalanan berkelok menuju ketinggian 3.305 meter di atas permukaan laut. Saat ini menjelang pukul 4 dini hari dan saya merasakan kebahagiaan karena Tuhan mengijinkan saya disini memiliki moment ini.

Lebih tepatnya lagi memiliki moment-moment indah selama penjelajahan saya bersama 7 orang teman lainnya. Menghadiri Festival Budaya Lembah Baliem yang ke 26 dan tentunya mencoba mengintip beberapa celah keindahan di Lembah Baliem.
***

Saya berdiri di pintu keluar sisi belakang pesawat ATR, mengantri menuruni tangga kecil menuju plesteran aspal. Semilir tiupan angin sejuk dari pegunungan yang bulat merengkuh kota kecil ini, menyapa saya seolah berucap selamat datang. Sepatu boots kusam saya menjejak di Bandara Wamena, bandara kecil sederhana yang terletak di jantung Kota Wamena dengan pemandangan yang spektakuler.

sisi lain Bandara Wamena
Bandara kecil sederhana yang terdiri dari 1 bangunan 1 lantai beratap seng dengan sistem claim baggage melalui semacam loket kayu. Lucu tetapi menjamin keamanan pemilik baggage.

“So kita kemana?”
“Hotel dulu yah, check in trus bebas acaranya sampai malam. Besok baru jalan bareng lagi.”

baggage claim area
***
“Buset mahal banget yah makan di sini.”
“Ini gue makan rujak kikil dua puluh lima ribu sih.”
“Gue makan nasi lalapan mujair di sebelah, tau ga berapa?”
“Berapa?”
“Enam puluh ribu!”
“HAH”

Lepas check in dan makan siang di depot-depot yang berjajar di depan hotel, Tante Herlina, Adi, Imelda dan saya memutuskan berjalan-jalan di sekitaran hotel untuk menghabiskan waktu siang hingga sore pertama kami di Kota Wamena.

Langkah kaki kami mengarah menjauhi hotel dan searah menuju ke bandara. Tujuan utama kami adalah ingin menengok pasar tradisional bernama Pasar Misi yang kami dapatkan infonya dari beberapa penduduk lokal Lembah Baliem yang sedang menuntut ilmu di Kota Wamena.

jalan utama di downtown Kota Wamena
bercengkeramah dengan penduduk lokal, nanya ini itu

penjual kapur, sirin dan pinang
bunga khas yang bernama bunga plastik karena teksturnya yang seperti plastik
salah satu gereja dari banyak di tengah Kota Wamena

gedung DPRD
gadis-gadis cilik Kota Wamena
penampilan khas wanita dengan noken
Pasar Misi

Pasar Misi, segala macam buah dijual per bijian bukan per kg
Bapa Alex, guide comotan kami di Pasar Misi
 ***
Pagi menjelang dan cuaca cerah membuka lembaran hari ke dua kami di Kota Wamena. Tujuan pertama kami hari ini adalah ke sebuah desa adat bernama Jiwika, di Distrik Kurulu, yang memiliki mumi berusia lebih dari 360 tahun. Perjalanan kami ke Desa Jiwika kami tempuh dengan cepat diiringi pemandangan pegunungan yang indah dan memukau di semua arah mata memandang.
 
Mumi dari Desa Jiwika
Pemberhentian berikutnya, yang tak jauh dari Desa Jiwika, adalah Obai Village yang merupakan sebuah desa adat lain yang tidak bisa dimasuki hingga ke dalam desa tanpa ijin dan reservasi terlebih dahulu. Sayang memang, tapi saat kami ingin reservasi, jadwal sudah penuh dan baru memungkinkan mengunjunginya beberapa hari setelah jadwal kami kembali ke Jayapura. Maklum kunjungan kami bertepatan pula dengan diselenggarakannya Festival Budaya Lembah Baliem, jadi turis domestik dan mancanegara membanjiri bumi Baliem setiap sekali dalam setahun.

Gereja sederhana di Obai Village
Bergerak menuju kembali ke Kota Wamena, kami singgah sebentar disebuah bukit batu dengan pemandangan pegunungan Lembah Baliem untuk makan siang. Panas memang, tetapi cukup nyaman dengan angin sepoi sejuk khas pegunungan dan pemandangan yang seolah tak pernah bosan kami resapi.

pemandangan dari puncak bukit batu
Memasuki Kota Wamena kami menuju ke Pasar Baru untuk berburu apa yang bisa diburu, dari buah-buahan, noken (tas rajut), buah merah, sampai dengan sarang semut. Pasar Baru lebih ramai dan lebih besar daripada Pasar Misi. Tak puas dengan hanya menelusuri Pasar Baru, kami kembali menelusuri Pasar Misi. Ini kali ke dua bagi Tante Herlina, Adi, Imelda dan saya dan kali pertama bagi sisa anggota group kami. Entah karena apa, tetapi saya pribadi merasa lebih enjoy dan nyaman menyusuri Pasar Misi daripada Pasar Baru. Entah karena apa, hanya hati saya saja yang berbisik kepada jiwa saya.

Pasar Baru
Bergerak kembali melintasi jantung Kota Wamena, kami sempatkan untuk singgah di Art Shop bernama Kasuari yang terletak tak jauh dari airport. Toko Kasuari menawarkan berbagai pernak pernik khas Papua dengan harga yang bisa ditawar dan cukup fair.

toko souvenir
Kembali meneruskan lintasan kami membelah Kota Wamena ke sisi ujung satunya, kami bergerak menuju Hotel German. Hotel ini sebenarnya bernama Baliem Valley Resort (kalau saya tidak salah ingat) tetapi penduduk lokal menyebutnya dengan Hotel German karena dimiliki oleh orang German. Kurang dari 1 jam ditempuh dengan mobil, Hotel German menawarkan sebuah café di lereng pegunungan Lembah Baliem dengan pemandangan yang indah dan salah satu tempat yang cocok buat penikmat sunset. 

sunset dari Hotel German
sunset dari Hotel German
Bagi saya, penggemar patung-patung kayu, café dari hotel German ini sangat bikin betah karena selain pemandangan dan tempatnya yang nyaman, café ini juga sekaligus merupakan Art Gallery dari pemiliknya. Terlihat jelas bahwa empunya hotel adalah penggemar ukir-ukiran kayu seperti saya. Koleksinya sungguh luar biasa, dari totem-totem Papua, patung, baju adat suku tertentu, sampai dengan tameng-tameng kayu prajurit Papua.
salah satu koleksi
salah satu koleksi
***
Hari ke tiga di Lembah Baliem, kami habiskan sebagian besar waktu dengan menghadiri Festival Budaya Lembah Baliem yang terselenggara selama 3 hari berturut-turut. Pada festival ini dapat kami saksikan ragam pertunjukkan budaya dari pakaian adat, tarian, alat musik, permainan dan olah raga, hingga cara memasak traditional di Lembah Baliem.

lil warrior
lokasi diadakannya Festival Budaya Lembah Baliem ke 26

kapten?
warrior

Dani's women
bocah-bocah juga menampilkan atraksi perang-perangan

Suku Yali
atraksi perang-perangan

just before acara pembukaan
Bakar Batu

Dani's Honai
lomba memainkan Pikon
karapan anak babi
Senja terlihat akan menjelang dan kami meninggalkan lokasi festival dan memutuskan kembali ke Kota Wamena. Dalam perjalanan kembali tak sengaja saya melihat ada petunjuk tentang keberadaan Goa Kontilola dan kami memutuskan untuk singgah sejenak.

Goa Kontilola berada di Distrik Kurulu yang terletak tak lebih jauh dari 200 meter dari jalan raya. Goa Kontilola dari ujung mulut goa, terlihat tidak terlalu besar dan terkesan biasa saja. Kami turun ke dalam goa dan naik sedikit menuju apa yang kami lihat seperti taman hijau kecil di ujung lain goa dan dari taman kecil tersebut lah, kami lihat goa ke dua yang jika ditelusuri mempunyai jalan keluar ke sisi bukit lainnya.

goa pertama dari Goa Kontilola
 ***
Pagi baru menyongsong di Kota Wamena dan kali ini saya beserta rombongan terbagi menjadi 2. Satu group memutuskan mengunjungi tempat-tempat wisata lain di Lembah Baliem dan 1 group lain menghadiri kembali festival budaya sebenatar sebelum melanjutkan dengan ke tempat wisata lain.

Tujuan rombongan kami yang pertama adalah Jembatan Kuning yang merupakan sebuah jembatan besi modern berwarna kuning cerah. Jembatan ini menyambungkan 2 daratan yang terbelah oleh sungai besar. Jembatan kuning ini juga menghubungan daerah yang relatif tandus di sisi kami tiba dengan daerah yang hijau dan terlihat subur di sisi seberangnya.

Jembatan Kuning
view dari Jembatan Kuning
Perjalanan berlanjut ke monumen Patung Injil Masuk Jayawijaya yang merupakan patung Ukumiarek Asso. Asso adalah kepala suku besar yang menerima injil pertama di Lembah Baliem.
 
Patung Injil Masuk Jayawijaya
Pemberhentian selanjutnya adalah apa yang penduduk lokal sebut dengan Longsoran yang merupakan sebuah area berbatu dengan pasir kapur yang terjadi akibat longsoran gunung di latar belakangnya. Suatu daerah yang indah dan menjadi unik karena daerah longsoran sangat kering dan tandus tanpa rumput sebatang pun, yang dikelilingi oleh perbukitan dan hamparan kehijauan rumput dan pepohonan yang subur.
 
view dari Longsoran
Longsoran

Gulir roda-roda mobil kami berlanjut menghantar kami ke perkampungan Muslim dimana tempat Tirta Walesi berada. Tirta Walesi adalah sebuah gerojokan air terjun kecil yang memancarkan air yang bening dan dingin segar. Tinggi tirta tidaklah lebih dari 3 meter dengan gerojokan yang menyamping, mengalir membentuk kolam kecil dangkal disekitarnya dan perlahan membuat undakan-undakan air terjun kecil, menyelip diantara bebatuan-bebatuan besar kecil yang terhambur membentuk lekuk garis menuju semakin ke bawah.

Tirta Walesi
Selepas dari Tirta Walesi, kami berlanjut ke arah Kota Wamena dan berhenti di setiap tempat yang menawarkan pemandangan indah disetiap kelokan jalannya. Mematrikan setiap kotak moment indah dari alam Lembah Baliem.
view di perjalanan
view di perjalanan
***
“Bangun oi”
“Jam berapa sih ini”
“Udah jam 2.30 (dini hari) nih”

Dalam gelapnya kelam dini hari, kami ber-delapan bersiap-siap dan mulai menaiki mobil Estrada yang disewa untuk menghantarkan kami ke Danau Habema. 5 orang di bagian dalam dengan heater dan 3 orang dibak terbuka bagian belakang.

Danau Habema terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Wamena di ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut. Membutuhkan kurang dari 2 jam berkendara ke ketinggian 3.305 dimana kami bisa melihat Danau Habema hingga batas-batas airnya dikejauhan menghilang dibalik pegunungan yang mengelilingi Lembah Baliem. Hawa dingin Kota Wamena menjadi terlalu hangat jika dibandingkan dengan hembusan angin dan dinginnya hawa 7 derajat diketinggian tersebut.

Perlahan gumpalan-gumpalan awan-awan kecil berubah warna menjadi kemerahan dan sang pijar dunia pun muncul secara perlahan dan memberikan sinar kehidupan ke sisi bumi yang ini. Sinar sang Apollo mulai menyibak kelam dan memperlihatkan pemandangan alam sesungguhnya yang lebih luas bagi kami. Kemegahan dan keagungan pegunungan yang mengkekap Lembah Baliem perlahan menjadi semakin jelas dan gagah menjulang mencapai titik-titik langit tertentu di atas sana. Puncak Trikora adalah puncak tertinggi pada sisi pegunungan yang kami lihat dari tempat berdiri.

“Keren banget yah, kayak di middle earth”
“Jadi New Zealand batal nih?”
“Ga juga sih, tapi ini boleh diadu ama yang di New Zealand”

sunrise di Danau Habema
the great mountains

Danau Habema
Danau Habema
Perjalan kami berlanjut kembali ke bawah, tempat kami mulai menyusur naik ke atas tadi. Kami berhenti pada sebuah Honai di pinggir jalan dan dengan kebaikan hati pemiliknya, kami diantarkan menyusuri jalan setapak membelah hutan dibelakangnya mencapai Air Tejun Napua.

Air terjun yang tidaklah tinggi, sekitar 7 meter saja dan cukup indah. Airnya jernih turun secara tegak lurus, membentuk kolam dangkal kecil dan mengalir melalui celah-celah batu turun mengikuti kontur perbukitan ini.

Air Terjun Napua
Puas beristirahat sembari menikmati bekal makan siang yang kami bawa. Kami berjalan kembali ke mobil Estrada yang tetap menanti kami dan menghantar kami kembali ke Kota Wamena.

***
Air terjun Napua menutup penjelajahan kami pada hari ke lima dan sekaligus menutup penjelajahan kami atas alam Lembah Baliam kali itu. Yah kali itu, karena bagi saya sendiri, saya berjanji jika ada jodoh maka saya akan kembali ke Lembah Baliem dan menuntaskan penjelajahan saya atas alam dan budaya yang belum sempat saya kunjungi dan resapi.

“Tahun depan balik ah, mau ngerasain tidur di Hotel German ama mau ikut upacara di Obai Village”
“Ikut ga?”

Petang menjelang dan esok pagi kami akan pulang. Pulang ke Jakarta menyudahi sejenak penjelajahan atas bumi Indonesia dan untuk merencanakan lagi ke sisi pertiwi yang lain.

***

pic credit: Imelda Cardiana Sirait
Saya memasuki tabung pesawat ATR dan mencari tempat duduk yang seideal mungkin bagi saya sendiri. Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa melihat sekelumit pemandangan pegunungan yang membuat saya betah berlama-lama hanya untuk diam dan menikmatinya saja. Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa melihat sepintas sisi bangunan bandara kecil yang sederhana dari Kota Wamena. Melalui jendela kecil di samping, saya masih bisa melihat berkas-berkas apa yang membuat saya betah dan ingin kembali lagi melanjutkan penjelajahan saya menyusuri lekuk-lekuk pegunungan di Lembah Baliem.

Deru baling-baling pesawat ATR ini semakin kencang dan monoton. Tabung pesawat sedikit terguncang lembut takala pesawat mulai bergerak ke ujung landasan pacu. Pesawat ini akan membawa saya membumbung tinggi mencapai awan, semakin meninggalkan Bandara Wamena semakin mungil dan mencetak sebuah gambaran luas akan Lembah Baliem. Pesawat ini akan menghantar saya meninggalkan Kota Wamena … untuk sementara lama.

Saya harus kembali! Satu dua hal masih menyisakan teka-teki untuk kecintaan saya atas negeri ini yang terpetakan di Lembah Baliem. Saya akan kembali.

“Flight attendants, take off position”
***

Please check out my Instagram for many more pictures, while I were in Baliem Valley :)

No comments:

Post a Comment