Tuesday, August 16, 2011

Pulau Bidadari, Pulau Cipir, Pulau Onrust dan Pulau Kelor


1, 2, 3, 4, 5, 6 pas, cabuttt. Eits kan peserta jalan-jalan kali ini ada 7 orang? Jiah ternyata 1 orang peserta masih dalam perjalanan ke vantage point yaitu Halte Busway Ancol. Singkat cerita peserta yang ditunggu-tunggu pun tiba dan kami segera menaiki Shuttle Bus Ancol untuk menuju ke dermaga pemberangkatan speed boat yang akan membawa kami ke salah satu gugusan Pulau Seribu. Yupe kami akan menghabiskan hari sabtu yang cerah ini dengan refreshing ke Pulau Bidadari.
Dari Halte Busway Ancol ke tempat mangkalnya Shuttle Bus Ancol sangat dekat (kurang lebih less than 50 meter) tetapi sialnya rute bus tidak melewati dermaga tujuan kami yaitu Dermaga 17. Mungkin melihat tampang kami serombongan yang cukup kebingungan, akhirnya pak sopir berbaik hati untuk mengantarkan ke dermaga terdekat dari Dermaga 17, yang tentunya kami sambut dengan suka cita (dan sebagai tanda terima kasih kami memberikan sedikit tips buat pak sopir dan keneknya). Tanpa babibu kami langsung naik ke dalam Shuttle Bus yang nyaman dan dingin, jauh dibandingkan kondisi yang sempat terbayang bahwa kami harus jalan di bawah teriknya matahari yang jauh. Sesampai di dermaga terdekat kami segera mencari informasi perihal kantor pemasaran untuk Pulau Bidadari (masing-masing pengelolah mempunyai kantor pemasaran sendiri-sendiri). Berjarak kurang dari 100 meter kami memasuki kantor pemasaran Pulau Bidadari yang menurut saya cukup sederhana dan cukup nyaman dengan disediakannya ruangan tunggu ber-AC dan sofa-sofa yang cukup nyaman. Dalam kantor juga terdapat cooler box yang menjual berbagai minuman dingin tetapi terus terang harganya kurang nyaman bagi kami hahahaha. Setelah urusan pertiketan selesai kami kembali ke Dermaga 17 hingga waktu keberangkatan tiba yaitu pukul 11.00 WIB. Sembari menunggu kami seperti biasa membuat foto diri (bahasa halusnya narsis nih hehehe) di dermaga yang di latar belakangi beberapa speed boat dan yacht. Mendekati jam keberangkatan kami bisa memasuki speed boat dengan nama Dolphin yang akan membawa kami menyebrang ke Pulau Bidadari dengan durasi sekitar 20 menit saja. Pada saat memasuki boat pun sangat rapi dan tidak berebutan karena petugas menjaga di pintu dermaga dan menyebutkan nama kelompok masing-masing untuk bergantian memasuki boat. Boat dengan nama Dolphin ini tidaklah terlalu besar, dengan kapasitas maksimal kurang dari 60 orang tetapi cukup nyaman dan bersih serta dilengkapi pula dengan life jacket.

Perjalanan menyebrang kami tempuh dengan nyaman karena ombak relative kecil dan bersahabat dengan cuaca yang cerah ditemani dengan deru mesin boat, goncangan-goncangan ombak kecil dan percikan-perciakan air laut yang masuk melalui jendela boat (ada AC-nya sih tapi kurang tahu juga kapan AC akan dihidupkan, mungkin waktu hujan saja). Sesampai di Pulau Bidadari kami segera disambut dengan board BIDADARI dan patung yang kelihatannya dijadikan mascot dari pulau ini bernama Sang Tanduk Tujuh Belas. Patung tersebut separuh ke atas adalah perwujudan dari hewan semacam rusa/menjangan dan separuh ke bawah berbentuk ikan. Posisi juga hampir sama dengan Patung Merlion di Singapura tetapi separuh badan ke atas bukanlah perwujudan dari singa. Memasuki pintu utama/lobby dari Pulau Bidadari kami di sambut dengan mas-mas yang ramah (sampai akhir perjalanan tidak saya lihat satu pun staff perempuan) dengan welcome drink yang sejuk. Menunggu waktu makan siang yang disediakan oleh Pulau Bidadari pada pukul 12.00 WIB kami mulai meng-explore pulau tersebut ke salah satu reruntuhan menara tidak jauh dari restaurant (di pulau ini kemana-mana dekat karena memang pulaunya kecil). Menara tersebut bernama Martello (yang memiliki nama yang sama dengan benteng lain yang ada di pulau-pulau kecil lainnya di gugusan kecil Pulau Bidadari ini). Menara yang dibangun pada tahun 1850 ini telah menjadi reruntuhan dan hanya tinggal 1 ruangan yang relative masih utuh setelah diterjang gelombang akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Bagi saya reruntuhan menara ini meskipun memiliki ukuran yang tidak besar tetapi cukup menarik dan eksotik. Tidak heran banyak juga orang-orang yang menjadikan lokasi ini sebagai lokasi foto pre-wedding. Dekat dengan menara (sekitar 30 meter) sudah terlihat pantai kecil yang rupanya menjadi tempat favorite dari para biawak yang hidup bebas di pulau ini. Biawak-biawak ini rupanya hewan yang pemalu, beberapa kali kami hanya melihat biawak dari jarak yang cukup jauh, baik biawak yang ukuran sekitar 40 cm hingga lebih dari 2 meter, karena begitu mendengar suara maka mereka akan berlari menjauh masuk ke dalam semak-semak dan menghilang. Kegiatan kami dihentikan dengan ada suara pengumuman dari menara pemancar bahwa makan siang telah terhidang dan pengunjung dapat menunjukan ticket yang sudah dibeli untuk ditukarkan dengan piring makan (hahahaha kalau ga bisa nunjukin tiket yah ga dikasih piring makan). Makan siang yang cukup sederhana itu mempunyai taste yang cukup enak dan dengan ditambah suasana tepi pantai mebuat kami lahap menyantap hidangan tersebut (eh ada juga yang sampai nambah lho, termasuk saya hihihi).

Lepas makan siang dan leyeh-leyeh sebentar menurunkan seporsi dua porsi makan siang tadi, kami melanjutkan acara explore Pulau Bidadari dengan bersepeda (dengan harga sewa 1 jam pertama Rp 15.000,-) untuk berkeliling pulau. Perjalanan bersepeda ini sangat menyenangkan, karena selain kami sudah lama tidak naik sepeda, kami bisa menjelajah ke semua sudut pulau. Dalam perjalanan bersepeda ini kami temukan beberapa pantai-pantai kecil lainnya yang kerap membuat kami berhenti bersepeda setiap beberapa puluh meter untuk berfoto ria. Sekitar di ujung belakang pulau kami menemukan pohon dengan nama yang lucu yaitu Pohon Jodoh. Jelaslah nama pohon ini mengundang canda dan tawa kami, karena dari 7 orang peserta, 6 orang masih jomblo lho hahaha. Puas bersepeda (lahannya kecil jadi sebentar saja semua sudut sudah dijelajahi) kami melipir sebentar ke kios yang menjual es campur, yummm sedikit cape karena bersepeda dan teriknya matahari membuat godaan es campur tak tertahankan lagi.

Sambil menikmati es campur, terlihat ada speed boat ukuran kecil yang ada di dermaga kecil samping (bukan dermaga utama pertama kali datang). Iseng-iseng tanya, ternyata memang boat kecil itu bisa disewa dengan operatornya juga untuk mengantar kami ke 3 pulau kecil lain dalam gugusan kecil Pulau Bidadari ini. Bapak operator mematok harga Rp 50.000,- per orang dan setelah tawar menawar akhirnya beliau setuju untuk Rp 300.000,- per 7 orang. Cepat-cepat habisin es campur dan mengembalikan sepeda, kami segera menaiki boat kecil itu yang berkapasitas maksimal sekitar 15 orang dan segera menyusuri laut yang memisahkan pulau pertama yang kami kunjungi (Pulau Cipir aka Pulau Khayangan) dengan Pulau Bidadari. Perjalanan antar pulau berkisar masing-masing 10 menit. Sesampai di Pulau Cipir yang menurut orang Pulau Bidadari adalah bekas penjara, kami sempat kebingungan karena dari keterangan yang tertulis rupanya bangunan reruntuhan yang merupakan cagar budaya ini dikatakan bekas Rumah Sakit Karantina Haji. Papan keterangan juga membuat kami bingung karena disana tertulis Taman Arkeologi Onrust, yang merupakan nama pulau di sebelah Pulau Cipir. Lha mana yang benar ini?

Memasuki Pulau Cipir kami disambut dengan batu besar dalam bentuk semacam 3 lingga menyanggah 1 yoni. Pemadangan dan reruntuhan di Pulau Cipir hampir sama dengan pemandangan dan reruntuhan di Pulau Onrust (pulau destinasi berikutnya) meskipun memang penduduk di Pulau Onrust lebih banyak dan area yang lebih besar dari Pulau Cipir. Baik di Pulau Cipir dan Pulau Onrust kami juga diharuskan membeli tiket sebesar Rp 2.000,- per orang. Di Pulau Onrust selain dapat dilihat reruntuhan bekas Rumah Sakit Karantina Haji juga terdapat Museum Onrust dan disanalah kami mengetahui cukup jelas sejarah pulau-pulau gugusan kecil ini. Ternyata Pulau Cipir dan Pulau Onrust sejak berdiri pada abad 18 telah mengalami beberapa perubahan fungsi hingga akhirnya ditinggalkan dan hancur menjadi reruntuhan.

Bagunan-bangunan/menara/benteng pertama yang dibangun pertama kali oleh Belanda berfunsi sebagai benteng pertahanan Belanda, pusat pengamatan cuaca, rumah sakit karantina haji, penjara (pada masa pendudukan Jepang), rumah sakit karantina penderita penyakit menular, tempat penampungan gelandangan dan pengemis serta pernah juga menjadi pangkalan latihan militer. Lepas dari ke dua pulau tersebut kami menuju ke pulau terkecil yaitu Pulau Kelor yang meskipun kecil menurut saya sangat indah dengan reruntuhan menara Belanda yang masih terlihat bentuk bagian bawahnya. Sayang kami tidak bisa menjejakan kaki kami di sana karena memang tidak ada dermaga yang tersedia dan boat kami terlalu besar untuk bisa mendarat hingga ke tepi pantai. Menurut operator boat, bisa saja kami main-main di pulau tersebut tetapi harus siap-siap berbasah-basah karena harus mengarungi air laut sehingga sebatas dada (batas maksimal boat kami bisa merapat). Mengingat kebanyakan dari kami tidak membawa baju ganti maka kami mengurungkan niat itu dan setelah puas mengabadikan pulau kecil itu, kami kembali memutar dan menuju ke Pulau Bidadari kembali.


Sambil menunggu jam keberangkatan kembali ke Ancol, sisa waktu yang ada kami habiskan untuk menikmati pemandangan pantai dan semilir anginnya yang membelai memanjakan kulit kami (aslinya mah lengket-lengket hahaha). Perjalanan kembali ke Ancol kami tempuh senyaman keberangkatan kami meski ombak sedikit lebih tinggi dan sekali mesin boat sempat terhenti dan selama 1 atau 2 menit terombang-ambing di tengah lautan. Sesampai kembali di Dermaga 17 kami sempat kebingungan bagaimana caranya dari dermaga ini untuk menuju ke Resto Bandar Jakarta yang menjadi pilihan kami untuk menyantap aneka hidangan seafood sebagai santapan malam kami. Akhirnya kami putuskan untuk jalan kaki saja (aslinya ga tahu tepat jaraknya tapi pas tahu, widih jauh benar) karena taxi yang ada juga tidak cukup untuk kami bertujuh yang minimal membutuhkan 2 unit taxi. 5 menit kami berjalan kaki lewatlah Shuttle Bus Ancol yang kami hadang dengan gembira. Sialnya lagi nih bus tidak ada rute ke Resto Bandar Jakarta dan hanya bisa menurunkan kami di Gondola Point dan kami harus melanjutkan berjalan kaki ke Resto Bandar Jakarta yang masih cukup jauh katanya. Pasrah akan nasib kudu jalan lagi, tiba-tiba pak sopir bilang “Ini rombongan yang tadi pagi saya antar ke dermaga bukan?” sontak kami menjawab “Iya” hahaha menurut 1 peserta, khasiat Pohon Jodoh memang telah terbukti, buktinya bisa jodoh dengan pak sopir shuttle bus yang sama dengan yang tadi pagi. Kepasrahan kami menguap hilang sudah ketika pak sopir shuttle bus kembali tidak keberatan untuk mengantar kami ke Resto Bandar Jakarta yahuiii dan bahkan berjanji akan menjemput kami lagi untuk diantar ke Halte Busway Ancol kyaaaa (jelasnya kami ungkapkan rasa terima kasih dengan memberi tips kembali ke pak sopir).

Kesan-kesan saya pribadi tanpa bermaksud mendiskreditkan pihak tertentu:
Pulau Bidadari, Pulau Cipir dan Pulau Onrust meskipun memiliki kondisi alam yang bagus tetapi tidak diimbangi dengan pemeliharaan yang bagus. Pantai-pantai kecil yang bagus sebagian tampak kotor penuh dengan semacam tumbuhan laut dan sampah. Jalanan setapak pun penuh dengan guguran daun-daun kering. Bangunan cagar budaya yang kurang diperhatikan kelestariannya karena masih banyak tangan jahil yang mengukir nama/symbol atau mencoret2 inisial mereka masih kami temukan di situs cagar budayanya. Bahkan kami temukan di Pulau Ornust coretan yang masih baru yang dibuat Juli 2011 lalu oleh serombongan pengunjung yang kampungan dan tidak bertanggung-jawab yang tidak bisa menghargai alam dan budaya.
Sedangkan di Resort yang ada di Pulau Bidadari juga kehilangan daya tariknya, seolah-olah resort tersebut dijalankan dengan ogah-ogahan, meskipun harus saya akui team resort sangat ramah, welcome dan baik serta informative banget sehingga sedikit mengimbangi kekurangan resort di sana sini. Aneka atraksi dan wahana di resort ini juga sudah tidak ada atau tidak aktif, seperti Dolphin Pool yang sekarang hanya tersisa air keruh berwarna kehijauan,

Pulau Kelor sekiranya tetap seperti ini tanpa dermaga sehingga tidak ada tangan jahil yang merusak keindahannya, eh bien kadang keindahan memang ada yang hanya bisa kita pandang dan nikmati dari jauh bukan!

Ada ribuan pulau seperti ini di Indonesia yang seharusnya bisa menjadi daya tarik turis baik domestic maupun international dan menjadi sumber kekayaan Indonesia, tetapi sayangnya belum dikelolah dan dikembangkan dengan baik, benar dan konsisten.

Note: Thanks to disdus.com atas promo-nya buat berkunjung ke Pulau Bidadari. Dengan hanya Rp 137.000,- nett per pax termasuk ticket boat PP Pulau Bidadari – Ancol, makan siang dan sewa sepeda selama 1 jam.

3 comments:

  1. Wuaaaah....
    Jalan-jalan yang menyenaaaangkan ^^
    lumayan bisa melupakan sejenak kepenatan...hiruk pikuk di kantor ;)

    ReplyDelete
  2. woo. nice nice,, saya blom pernah kesini,, gak terlalu mahal yah, next time kalo maen ke jakarta coba mampir dah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe monggo mas, tetapi memang gugusan pulau bidadari ini sudah lewat masanya jadi aktivitas di pulau sangat terbatas dan kurang terawat infrastructure nya :(

      Delete