Saya membuka mata dan
hanya memandang kegelapan di jalanan yang dilalui oleh bus kami. Sesekali kelam
itu dinodai dengan setitik cahaya kecil yang semakin lama semakin besar dan
dalam sekelebatan, menghilang ke arah yang berbeda. Dengan mengandalkan cahaya
remang dalam bus, saya melirik malas ke jam di tangan.
“Hm … masih pukul 3
pagi lebih dikit” dalam hati saya berucap, “masih sekitar 3 jam lagi.”
Bus yang saya tumpangi
bersama dengan 3 teman seperjalanan, melaju dengan cepat tetapi tenang, yang sempat
menina-bobokan kami satu persatu. Saya kembali memejamkan mata, yang sesaat
kemudian kembali terbuka, yakin bahwa saya tidak akan bisa tertidur lagi. Saya
lirik teman-teman seperjalanan dan mereka tampak nyenyak sekali.
“Dengerin lagu aja dah,”
pikir saya sembari mengambil hp dan
mulai memutar lagu di gallery music-nya. Menikmatinya lirik dan alunan
nada melalui earphone sebagai teman
sisa perjalanan ini. Perjalanan panjang
menembus malam, meninggalkan bayangan misterius Kapadokya jauh di belakang
untuk menjadi sebuah kenangan yang mungkin nantinya akan menjadi sebuah cerita.
Cerita yang akan saya tuturkan kepada siapa saja yang mungkin meminta. Cerita
sebuah perjalanan, cerita tentang hidup dan cerita tentang melanjutkan
hari-hari dalam Jelajah Turki. Saatnya Pamukkale untuk menorehkan kenangannya.
“Maybe
we're perfect strangers, maybe it's not forever. Maybe the night will change
us, maybe we'll stay together. Maybe we'll walk away…”
***
Sekitar pukul 7 pagi
akhirnya kami tiba di Pamukkale. Sebuah kota kecil yang berpusat di travertine sebagai satu-satunya tujuan
wisata utama. Jalanan tampak sangat lengang dengan deretan toko dan beberapa
hotel yang tampak belum mendenyutkan aktivitas harian mereka. Hotel-hotel di
sini nampaknya memang tidak buka 24 jam. Mereka baru akan buka pada jam 8 pagi,
bersamaan dengan jam breakfast. Begitu juga dengan restaurant-restaurant lokal yang nampaknya
juga baru mulai menyajikan menu-nya
pada pukul 8 pagi.
Pagi di Pamukkale dan mobil travel yang akan menghantar kami ke Selcuk |
“Tuh, Metro nawarin
drop luggage di sini dan kita bisa jalan-jalan ke travertine. Toh kita emang ga
menginap di Pamukkale,” kata seorang teman seperjalanan, “atau mau tetap cari
hotel singgah aja kayak rencana awal, supaya bisa ngasoh bentar dan mandi?”
“As plan aja deh,
lumayan ngasoh bentar dan mandi-mandi” timpal yang lain.
Dengan santai kami
berjalan perlahan menuju Hotel Mustafa, yang terletak tidak jauh dari otogar dan memang telah kami incar sejak
dari awal perjalanan. 5 menit kemudian di depan Hotel Mustafa, masih tutup! Meski
sudah dicoba ketok berkali-kali tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan sama
sekali. Lucky us, ada sebuah biro
perjalanan yang telah buka dan pemiliknya membantu menelepon ke pemilik hotel
di sebelah kantornya, Arkadas Pension.
1 kamar untuk 4 orang |
Dengan penawaran harga
tanpa breakfast dan tanpa over night, akhirnya check in juga kami. Kamar terletak di
lantai 3 dan memiliki pemandangan yang indah sekali.
pemandangan dari balkon kamar |
***
Selepas refreshment dan sarapan (di Hotel
Mustafa, yang sudah buka), kami berjalan sedikit ke arah pintu utama dari
Pamukkale Travertine. Sebuah komplek berundak atas kolam-kolam bentukan alam
yang indah sekali, menurun menyusuri lembah dari sebuah bukit kecil di
Pamukkale. Travertine yang berwarna
putih merupakan endapan mineral karbonat yang ditinggalkan oleh air yang
mengalir. Sayangnya, saat kami datang adalah musim panas, sehingga sebagian
besar kolam mengering. Menurut penjaga di sana, the best time untuk situs yang mempunyai julukan Cotton Castle ini
adalah di musim semi.
Pamukkale Travertine dari pintu masuk |
kolam-kolam yang mengering |
kolam-kolam yang tersisa di musim panas |
menuju ke Hierapolis |
pose dulu |
Di atas bukit dari travertine, terdapat sisa-sisa dari Hierapolis,
sebuah kota Bizantium kuno yang sampai saat ini masih menyisakan beberapa
bangunan, reruntuhan kuil serta sebuah kolam air panas.
ujung atas Pamukkale Travertine dan ujung bawah Hierapolis |
Cleopatra Thermal Pool
merupakan sebuah daya tarik tersendiri dari komplek situs Hierapolis. Sebuah
kolam atau permandian air panas kuno yang berwarna sangat biru dan bening jernih,
dengan sisa-sisa potongan pilar Yunani-Romawi kuno berserakan di dasar kolam. Tampak
menyenangkan untuk berendam dan bermain air di sana, yang mana tidak sempat
kami lakukan.
Pintu Masuk Thermal Pool |
Cleopatra Thermal Pool |
Temple of Apollo adalah
reruntuhan dari sebuah kuil pemujaan bagi Dewa Apollo. Jelasnya situs ini
didominasi oleh tumpukan batu-batu besar. Cukup banyak yang tersisa dari kuil
ini, jika dibandingkan dengan apa yang tersisa dari kuil pemujaan bagi saudara
kembarnya di Selcuk.
Temple of Apollo |
Selain ke dua tempat
tersebut, Hierapolis juga mempunyai beberapa situs yang terletak di area yang
sama, dan sebuah museum arkeologi. Tetapi, bagi saya, situs utama yang menjadi highlight dari Hierapolis adalah Amphitheater-nya. sebuah bangunan batu
yang sangat megah dengan kondisi yang relative
masih bagus. Berbentuk setengah oval
dan dengan panggung batu beserta pilar-pilar besarnya, amphitheater ini tampak sangat mendominasi bangunan-bangunan lain
di sekitarnya. Sebuah legacy yang
agung.
Amphitheater |
***
Pamukkale adalah sebuah
kota kecil yang mungkin lebih tepat disebut kampung besar, dengan vibe yang cukup tenang. Suhu di tempat
ini cenderung hangat, meski sinar matahari tanpa terasa bisa membakar kulit.
Tak heran banyak juga terdapat kolam renang-kolam renang umum di area ini.
Sisa siang Itu kami
habiskan dengan berjalan santai memutari toko-toko souvenir, menikmati segarnya Turkish Ice Cream dan mencicip menu
restaurant lokal sebagai makan siang. Sesudahnya kami kembali ke hotel untuk
rehat sebentar dan refreshment,
sebelum akhirnya kembali ke otogar
untuk menunggu mobil travel umum yang
akan membawa kami ke kota pemberhentian berikutnya, Selcuk.
***
No comments:
Post a Comment