Saturday, September 10, 2016

Jelajah Turki - Pamukkale




Saya membuka mata dan hanya memandang kegelapan di jalanan yang dilalui oleh bus kami. Sesekali kelam itu dinodai dengan setitik cahaya kecil yang semakin lama semakin besar dan dalam sekelebatan, menghilang ke arah yang berbeda. Dengan mengandalkan cahaya remang dalam bus, saya melirik malas ke jam di tangan.

“Hm … masih pukul 3 pagi lebih dikit” dalam hati saya berucap, “masih sekitar 3 jam lagi.”

Bus yang saya tumpangi bersama dengan 3 teman seperjalanan, melaju dengan cepat tetapi tenang, yang sempat menina-bobokan kami satu persatu. Saya kembali memejamkan mata, yang sesaat kemudian kembali terbuka, yakin bahwa saya tidak akan bisa tertidur lagi. Saya lirik teman-teman seperjalanan dan mereka tampak nyenyak sekali.

“Dengerin lagu aja dah,” pikir saya sembari mengambil hp dan mulai memutar lagu di gallery music-nya. Menikmatinya lirik dan alunan nada melalui earphone sebagai teman sisa perjalanan ini.  Perjalanan panjang menembus malam, meninggalkan bayangan misterius Kapadokya jauh di belakang untuk menjadi sebuah kenangan yang mungkin nantinya akan menjadi sebuah cerita. Cerita yang akan saya tuturkan kepada siapa saja yang mungkin meminta. Cerita sebuah perjalanan, cerita tentang hidup dan cerita tentang melanjutkan hari-hari dalam Jelajah Turki. Saatnya Pamukkale untuk menorehkan kenangannya.

“Maybe we're perfect strangers, maybe it's not forever. Maybe the night will change us, maybe we'll stay together. Maybe we'll walk away…”

***
Sekitar pukul 7 pagi akhirnya kami tiba di Pamukkale. Sebuah kota kecil yang berpusat di travertine sebagai satu-satunya tujuan wisata utama. Jalanan tampak sangat lengang dengan deretan toko dan beberapa hotel yang tampak belum mendenyutkan aktivitas harian mereka. Hotel-hotel di sini nampaknya memang tidak buka 24 jam. Mereka baru akan buka pada jam 8 pagi, bersamaan dengan  jam breakfast. Begitu juga dengan restaurant-restaurant lokal yang nampaknya juga baru mulai menyajikan menu-nya pada pukul 8 pagi.

Pagi di Pamukkale dan mobil travel yang akan menghantar kami ke Selcuk
“Tuh, Metro nawarin drop luggage di sini dan kita bisa jalan-jalan ke travertine. Toh kita emang ga menginap di Pamukkale,” kata seorang teman seperjalanan, “atau mau tetap cari hotel singgah aja kayak rencana awal, supaya bisa ngasoh bentar dan mandi?”
“As plan aja deh, lumayan ngasoh bentar dan mandi-mandi” timpal yang lain.

Dengan santai kami berjalan perlahan menuju Hotel Mustafa, yang terletak tidak jauh dari otogar dan memang telah kami incar sejak dari awal perjalanan. 5 menit kemudian di depan Hotel Mustafa, masih tutup! Meski sudah dicoba ketok berkali-kali tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Lucky us, ada sebuah biro perjalanan yang telah buka dan pemiliknya membantu menelepon ke pemilik hotel di sebelah kantornya, Arkadas Pension.

1 kamar untuk 4 orang
Dengan penawaran harga tanpa breakfast dan tanpa over night, akhirnya check in juga kami. Kamar terletak di lantai 3 dan memiliki pemandangan yang indah sekali.

pemandangan dari balkon kamar
***
Selepas refreshment dan sarapan (di Hotel Mustafa, yang sudah buka), kami berjalan sedikit ke arah pintu utama dari Pamukkale Travertine. Sebuah komplek berundak atas kolam-kolam bentukan alam yang indah sekali, menurun menyusuri lembah dari sebuah bukit kecil di Pamukkale. Travertine yang berwarna putih merupakan endapan mineral karbonat yang ditinggalkan oleh air yang mengalir. Sayangnya, saat kami datang adalah musim panas, sehingga sebagian besar kolam mengering. Menurut penjaga di sana, the best time untuk situs yang mempunyai julukan Cotton Castle ini adalah di musim semi.

Pamukkale Travertine dari pintu masuk
kolam-kolam yang mengering

kolam-kolam yang tersisa di musim panas
menuju ke Hierapolis
pose dulu
Di atas bukit dari travertine, terdapat sisa-sisa dari Hierapolis, sebuah kota Bizantium kuno yang sampai saat ini masih menyisakan beberapa bangunan, reruntuhan kuil serta sebuah kolam air panas.

ujung atas Pamukkale Travertine dan ujung bawah Hierapolis
Cleopatra Thermal Pool merupakan sebuah daya tarik tersendiri dari komplek situs Hierapolis. Sebuah kolam atau permandian air panas kuno yang berwarna sangat biru dan bening jernih, dengan sisa-sisa potongan pilar Yunani-Romawi kuno berserakan di dasar kolam. Tampak menyenangkan untuk berendam dan bermain air di sana, yang mana tidak sempat kami lakukan.

Pintu Masuk Thermal Pool
Cleopatra Thermal Pool
Temple of Apollo adalah reruntuhan dari sebuah kuil pemujaan bagi Dewa Apollo. Jelasnya situs ini didominasi oleh tumpukan batu-batu besar. Cukup banyak yang tersisa dari kuil ini, jika dibandingkan dengan apa yang tersisa dari kuil pemujaan bagi saudara kembarnya di Selcuk.

Temple of Apollo
Selain ke dua tempat tersebut, Hierapolis juga mempunyai beberapa situs yang terletak di area yang sama, dan sebuah museum arkeologi. Tetapi, bagi saya, situs utama yang menjadi highlight dari Hierapolis adalah Amphitheater-nya. sebuah bangunan batu yang sangat megah dengan kondisi yang relative masih bagus. Berbentuk setengah oval dan dengan panggung batu beserta pilar-pilar besarnya, amphitheater ini tampak sangat mendominasi bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Sebuah legacy yang agung.

Amphitheater
***
Pamukkale adalah sebuah kota kecil yang mungkin lebih tepat disebut kampung besar, dengan vibe yang cukup tenang. Suhu di tempat ini cenderung hangat, meski sinar matahari tanpa terasa bisa membakar kulit. Tak heran banyak juga terdapat kolam renang-kolam renang umum di area ini.

Sisa siang Itu kami habiskan dengan berjalan santai memutari toko-toko souvenir, menikmati segarnya Turkish Ice Cream dan mencicip menu restaurant lokal sebagai makan siang. Sesudahnya kami kembali ke hotel untuk rehat sebentar dan refreshment, sebelum akhirnya kembali ke otogar untuk menunggu mobil travel umum yang akan membawa kami ke kota pemberhentian berikutnya, Selcuk.


***
Detail: Itinerary, Tips and Fun Facts
More pictures on my Instagram Harry_Mdj

No comments:

Post a Comment