|
Ephesus |
Semburat cahaya dari
matahari memantul memukau ke arah laut dan langit yang berawan. Tersaput kelambu
tirai cahaya keemasan di langit dan perak di permukaan Laut Aegean, dengan bidang
horizon sebagai pembatas tengah kanvasnya. Mobil yang kami tumpangi melaju
melalui jalanan tepi laut, menyusuri Kusadasi. Jalanan yang memisahkan deretan
komersial dengan pasir pantai yang tampak sangat menggoda. Kusadasi, sebuah
kota kecil yang ramai dengan jajaran toko, restaurant
dan hotel di sepanjang jalan. Sementara di dataran yang sedikit lebih
tinggi, nampak tonjolan-tonjolan hunian penduduk yang berjejalan rapi.
Saya duduk di tepi
jendela mobil dan tak mau berpaling darinya. Melalui indera mata, saya serap
sebisanya apa yang sedang terjadi saat itu di Kusadasi, baik landscape-nya, jajaran toko-tokonya dan
hilir mudik insan-insannya. Kami tak punya waktu untuk menjelajah Kusadasi
sekarang. Mungkin di masa depan.
Tak lama kami menyusuri
Kusadasi. Ternyata 2 orang di mobil travel
umum yang sama memang bertujuan akhir di Kusadasi. Lepas itu, mobil langsung
bertolak tanpa berhenti lagi menuju ke Selcuk. It’s time for Selcuk untuk menorehkan kenangannya di moment-moment saya dalam Jelajah Turki.
|
Kusadasi |
***
Petang pertama tiba,
kami habiskan waktu untuk menikmati suasana malam di Selcuk sembari mencari
makan malam. Kota kecil, relative tenang
dan nyaman dengan udara yang hangat. Menyenangkan untuk duduk menikmati segelas
ayran dingin, mengamati orang-orang berjalan dan bersepeda, hilir mudik melalui
meja kami. Lampu lorong-lorong dari kotak pertokoan dan pemukiman ini, menambah
hangatnya suasanya Selcuk di malam hari.
|
karena sedang musim panas, pukul 19.30 masih terang |
|
after 20.00 |
|
ayran aka. plain yogurt dingin |
Suara canda tawa, nada
yang sedikit meninggi atas tema gosip, denting garpu dan pisau beradu dengan
piring, suara deruman kendaraan bermotor yang samar terbawa angin dari jalanan
raya di ujung kotak; membaur menjadi satu dan menjadikannya sebuah melodi yang
sudah lama saya rindukan dari sebuah perjalanan ke kota. Berbeda dan mempunyai
kenikmatan tersendiri dibanding dengan melodi yang tercipta dari laut,
perkampungan dan pegunungan dari mana biasanya saya melakukan perjalanan. Saya
mencintai kedua jenis melodi itu dan merindukan salah satunya pada saat saya
menikmati salah satunya.
***
Pagi hari berikutnya,
bersama dengan beberapa teman-teman seperjalanan baru, kami melaju menuju ke
beberapa tempat wisata di Selcuk. Mengikuti one
day local tour adalah pilihan yang tepat di Selcuk. Selain tempat wisata
yang agak jauh dari kota, kami juga mencari dan akan mendapatkan cerita-cerita
dibalik bongkah-bongkah batu, baik yang tersusun dalam suatu bentuk maupun yang
terserak.
Pemberhentian pertama
adalah sebuah shrine bagi umat
Katholik mupun Muslim, yaitu: House of Virgin Mary. Sebuah rumah batu kecil
yang merupakan rumah terakhir dari Bunda Maria, selepas pelarian mereka setelah
kejadian penyaliban Yesus. Rumah batu kecil dengan 2 ruangan ini ditemukan pada
abad 19 atas petunjuk dari visi yang diperoleh Anne Catherine Emmerich. Saat
ini rumah tersebut menjadi kapel bagi para peziarah dan pada sisi kiri luar
dari bangunan tersebut menjadi tempat ibadah umum. Lepas dari suasana kapel
yang tenang, tak terpungkiri, meski bagi saya yang Buddhist, rumah ini jelas mempunyai aura damai dan menenangkan
jiwa. Dinding-dinding batu yang dingin seolah menyimpan memorinya sendiri atas
apa yang pernah ada di rumah ini. Memetakan dalam diamnya, atas siapa saja yang
pernah datang dan pergi. Mendengar semua suara yang berujar dalam pantualan
gema yang terserap kedalam pori-pori padatnya.
|
in front of the house |
Pada sisi jalan keluar
dari area rumah Bunda Maria, terdapat 4 pancuran air yang konon mempunyai pamor
semacam wishing well. Pancuran 1, 2
dan 3 adalah untuk cinta, kesehatan dan kemakmuran. Sedangkan pancuran terakhir
adalah gabungan dari semuanya. Di sebelah pancuran juga terdapat sebidang
tembok batu yang entah sejak kapan menjadi tempat dari peziarah maupun
pengunjung lain untuk menggantungkan kalimat-kalimat harapan mereka, baik di
sebidang kertas, tissue, robekan
tiket, dan lainnya. Harapan-harapan itu bertumpuk dan menindih satu sama lain
hingga jutaan lembar. “Hanya alam yang akan menanggalkan harapan-harapan itu
dari tembok batu tersebut” kata guide
kami, “entah dengan hujan atau tiupan angin.”
|
pancuran-pancuran |
|
wishing wall |
Next
stop adalah the lost city of Ephesus. Sebuah
reruntuhan kota di pesisir Turki, yang merupakan bagian dari peninggalan kota besar
Yunani kuno yang kemudian menjadi kota Romawi. Kota ini pada masanya menjadi
kota kedua terbesar di area Romawi setelah kota Roma. Kota ini sebagian besar hancur
akibat gempa bumi pada tahun 614 M. Pamor kota ini sebagai pusat perdagangan
menurun karena pelabuhannya lambat laun semakin jauh dari tepi pantai yang
bergeser hingga kiloan meter.
Di Ephesus, terdapat 28
situs atau obyek yang bisa dikunjungi. Rombongan kami dengan waktu yang cukup
terbatas mengunjungi beberapa situs-situs utama, antara lain: The Varius Baths
(permandian umum sebelum memasuki wilayah kota), The Basilica, Odeon –
Bouleuterion, Palace of Council – Prytaneion (tempat tinggal pemimpin Ephesus),
The Memmius Monument (monument untuk keluarga terpandang pada saat itu. Tak
jauh dari monument ini terletak sebuah baru besar dengan ukiran Greek’s goddess of victory yang
merupakan inspirasi dari lambang “the swoosh” dari brand Nike saat ini), The Heracles Gate (sebuah gerbang dengan 2
pilar yang mempunyai ukiran Hercules dalam mengalahkan Singa Nemean dalam
mitologi 12 Labours of Hercules), The Fountain of Trajan (sekaligus menjadi
sumber air bagi penduduk kota), The Houses on The Slopes (perumahan orang kaya),
The Temple of Hadrian, The Public Toilets, The Brothel (lokalisasi), The
Library of Celsus (pada masanya, merupakan perpustakaan terbesar setelah
Alexandria), Mazeus & Mithriadates Gate, The Marble Street, The Grand
Theater (amphitheater), dan The Harbour Street (yang dulunya berujung pada tepi
laut).
|
Odeon –
Bouleuterion |
|
pose dulu |
|
can't you see Nike's logo in this sculpture? |
|
Herakles Gate |
|
The
Library of Celsus |
|
Mazeus & Mithriadates Gate |
|
The Library of Celsus |
|
The Marble Street |
|
The Grand
Theater |
|
The Harbour Street |
Mungkin sedikit
berlebihan tetapi benar adanya perasaan saya ini. Perasaan cukup aneh dalam
menyusuri area luas ini, yang
menimbulkan rasa kagum, bertanya-tanya, ingin tahu dan berandai-andai.
Menjejakkan langkah-langkah saya di jalanan dan tempat yang sama dengan
manusia-manusia yang saat ini sudah terlupakan. Manusia-manusia dengan nama “tanpa
nama” yang ada dalam bayangan, saat membaca buku dan mendengarkan cerita-cerita
dari sang guide. Seolah-olah ditarik
dalam sebuah situasi yang membuat saya mencoba merasakan bagaimana kehidupan
kota ini di eranya. Bagaimana manusia-manusianya? Bagaimana kehidupan mereka?
Bagaimana mereka menemukan kesenangan? Apa yang mereka lakukan pada saat itu,
pada moment yang sama saat saya
melewati jalanan marble itu? Dunia
fantasi saya seolah mencoba melihat dua layar yang menampilkan cerita masa kini
dan masa lalu.
Beranjak dari
reruntuhan kota yang luar biasa itu, kami menuju ke sebuah rumah makan yang
menyajikan hanya masakan dengan bahan organic.
Enak! dan setelahnya seperti pada tour-tour
umumnya, kami beranjak ke rumah produksi karpet, yang berlokasi di tempat yang
sama. Menarik kok, karena kami bisa melihat dari awal proses penenunan benang
sutera dari kepompong ulatnya, hingga menjadi karpet dengan harga puluhan
sampai dengan ratusan juta. Selain itu kami juga memperoleh pengalaman melihat
bagaimana orang Turki menjual karpetnya beserta Turkish Coffee yang disediakan
secara gratis (lengkap dengan ice mineral
water). Sangat menyenangkan dan tidak ada paksaan sama sekali untuk
membelinya.
|
Pilih-pilih karpet sutera dan wol |
|
Turkish Coffee gratisan |
Lepas dari toko karpet,
kami menuju ke Temple of Artemis. Temple
ini masih merupakan bagian dari Ephesus, meski letaknya cukup jauh dan dulunya
merupakan ikon kebanggan dari penduduk Ephesus. Berbeda dengan kuil saudara
kembarnya (Dewa Apollo), di Hierapolis – Pamukkale, kuil Dewi Artemis, saat ini
hanya tersisa beberapa bongkahan-bongkahan batu besar dan penggalan satu pilar
saja. Temple of Artemis adalah salah satu dari 7 keajaiban dunia kuno, bersama
dengan Piramida Giza di Mesir, Taman Gantung Babilonia di Irak, Light House of
Alexandria di Mesir, Kolosus di Yunani, Mausoleum Mausolus di Turki (Bodrum),
dan Patung Zeus di Yunani.
|
yang tersisa dari kuil kuno ini |
Berkendara tak jauh
dari kuil tersebut kami berkunjung sebentar ke Masjid kuno yang sampai saat ini
masih aktif sebagai tempat ibadah umum umat Muslim, yaitu: Izmir Selcuk Isa Bey
Mosque. Dari sana kami menuju ke pemberhentian terakhir yaitu Rossini Leather
Shop. Cukup menarik kok, dengan pertunjukan fashion
show yang mana 2 atau 3 dari kami juga diajak bersama melenggak-lenggok di
atas catwalk, memamerkan koleksi
mereka. Koleksi jacket kulitnya juga
keren-keren dengan harga yang sudah didiskon sampai dengan 60%, meski untuk
ukuran kantong saya masih terbilang mahal. Di toko ini pula kami mendapat
beberapa tips dalam merawat jacket kulit koleksi pribadi kami dengan
bahan dan cara sehari-hari (bukan berjualan produk perawatan kulit).
|
Isa Bey Mosque |
|
taman dalam Masjid |
***
Sisa hari itu, setelah
kembali ke hotel, kami habiskan dengan bersantai-santai saja sambil menikmati
buah anggur dan makan malam di sebuah restaurant
yang enak dengan suasana café dan
layanan yang homey. Restaurant yang tampak sedikit fancy tetapi ternyata mempunyai harga
menu yang rata-rata, Kosem Restaurant. Bagi saya sih restaurant ini selingan yang menyenangkan karena menyajikan menu chicken schnitzel. Bosan juga saya
berhari-hari digembleng menu kebap-kebapan yang mendominasi menu di semua restaurant di seantero Turki.
|
taman kota di Selcuk |
***
Semburat keemasan
semakin pudar seiring menghilangnya sang mentari di ufuk barat dan menampilkan
kelamnya malam. Jarum-jarum di jam tangan saya berbondong-bondong bergerak ke
pukul 10.
It’s
time for us to leave this city.
Bus Metro kembali menghantar kami membelah malam dengan sorotan lampu-lampunya.
Menina-bobokan kami menuju kota pemberhentian terakhir kami di Turki, Istanbul.
Sebuah kota yang kerap kali digambarkan, diceritakan, diilustrasikan oleh
pujangga-pujangga dan sastrawan-sastrawan dunia. Sebuah kota yang terletak di
dua benua (asia dan eropa), sebuah kota yang menyimpan cerita dari 2 benua,
sebuah kota yang bercerita tentang budaya 2 benua. It’s time untuk Jelajah Turki di Istanbul.
***
No comments:
Post a Comment