Mentari masih belum
juga menampakkan diri dari benteng-benteng beton sepanjang horizon di ufuk timur. Hanyalah sayap-sayap pijarnya yang mulai
menyerbu secara perlahan menuju ke arah langit di barat. Langit pun seolah
mati-matian mempertahankan warna biru mudanya dari pijar kilau emas keperakan
dari bola api yang terus merangsek dari negeri di timur sana.
Bus yang saya tumpangi dari Selcuk,
memasuki terminal bus utama dari kota
yang terletak di dua benua ini. Sebuah terminal yang luas dan tampak
membingungkan bagi saya. Apalagi ditambah dengan bahasa yang berbeda dan jarang
sekali ditemui orang yang bisa berbahasa Inggris. Jikalau ada pun, kemampuannya
sangat minim sekali.
|
Bus Terminal of Istanbul |
Singkat cerita, setelah
mati-matian mencoba berkomunikasi, akhirnya keluar juga saya dan 3 teman
seperjalanan dari terminal bus,
menuju jantung kota dengan sebuah free
shuttle mini bus. Dengan cepat pemandangan di luar jendela menjadi semakin
kota, ramai dengan orang-orang yang mulai hilir mudik melakukan aktivitasnya.
“Yusufpasa” sang sopir
berseru sambil menolehkan mukanya ke kami, “Metro Station” sambil menunjuk ke
sebuah stasiun kecil di tengah jalan raya.
“Ok, thank you. Bye”
kami berseru balas sambil melangkah keluar dari mini bus.
Kota yang
diilustrasikan, kota yang dideskripsikan, kota yang dinyanyikan, kota yang
digambarkan oleh banyak seniman dan pujangga dunia, Istanbul. This is it! Kota terakhir dari Jelajah
Turki saya.
***
Berawal dari sedikit
kebingungan, kami menuju ke sebuah kios kecil di pedestrian di seberang jalan. Di
sana kami membeli Istanbul Kart untuk masing-masing satu. Sebenarnya Railway
Network di Istanbul berlaku tarif fixed,
sehingga satu kartu bisa untuk multi
passengers. Tetapi kami sengaja membeli satu orang satu kartu, berjaga-jaga
jika nantinya kami mempunyai agenda
yang tidak sama dalam menghabiskan 3 hari 2 malam di Istanbul.
Dari Yusufpasa Station
kami menggunakan tram menuju ke
Sultanahmet. Sultanahmet merupakan kawasan tua yang berada di benua eropa.
Tempat ini menjadi idola para pejalan karena sekomplek dan tidak jauh dari
beberapa tempat wisata utama di Istanbul (walking
distance). Di area ini juga relative tenang dan nyaman dibandingkan
dengan area di Taksim yang sangat
ramai, crowded dan ingar binger.
|
Tram Station |
|
Sultanahmet Area |
Dari Sultanahmet
Station kami cukup berjalan santai selama kurang lebih 10 menit untuk mencapai Nobel
Hostel tujuan kami. Melewati Hippodrome dengan Hagia Sophia di sisi kiri jalan
dan Blue Mosque di sisi kanan, kami menyusuri jalanan batu yang indah, menurun
menuju jalan-jalan 2 lajur yang berujung ke Selat Bosphorus.
|
area hotel dan reataurant di Sultanahmet |
|
Nobel Hostel di malam hari |
Selepas check in dan mandi, kami mulai bergerak
dalam langkah-langkah menuju ke tempat-tempat wisata unggulan di Istanbul.
Sarapan? Kami lakukan sambil berjalan santai dengan sebuah simit dengan olesan
feta. Sedikit alot dan kenyal, tapi enak juga.
|
Simit |
Pemberhentian pertama
adalah Topkapi Palace. Sebuah museum bekas istana dan tempat tinggal pribadi para
sultan selama lebih dari 600 tahun. Dibangun pertama kali oleh Sultan Mehmet II
di tahun 1459 dan berjaya dengan kemegahannya hingga Istana Dolmabahce mulai
menjadi tempat tingga resmi dari Sultan Abd ul Mejid I pada tahun 1856. Topkapi
sangatlah luas dan terdiri dari beberapa taman dan bangunan dari beberapa masa
selama sejarahnya. Pemandangan di sisi dalam atau belakang istana juga sangat
indah, karena istana ini terletak tepat diujung pertemuan Golden Horn dan Selat
Bosphorus.
|
pemandangan dari sisi belakang istana |
|
di depan salah satu ruangan di istana |
|
gerbang utama Topkapi Palace |
Tak jauh dari pintu
masuk Topkapi Palace, terdapat sebuah bangunan bekas gereja bernama Hagia
Irene. Sebuah gereja dari abad ke 4 yang didirikan oleh Kaisar Constantine I.
Sebuah gereja dengan kubah raksasa yang jika dibandingkan, seolah menjadi
miniatur dari Hagia Sophia. Gereja ini almost
tidak menyisakan apapun dari kejayaannya selain konstruksi yang megah.
|
Hagia Irene |
Tak lama kami habiskan
waktu di Hagia Irene dan melanjutkan jelajah kami ke Hagia Sophia. Sebuah museum yang merupakan bekas
gereja/basilika dan masjid. Sejak dibangunnya pada tahun 537 tempat ini
merupakan katedral Ortodoks dan Katholik Roma, sebelum akhirnya pada tahun 1453
diubah menjadi masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani dan berakhir
menjadi museum pada tahun 1935 hingga
saat ini, oleh Republik Turki. Yang membuat saya betah dan takjub berada di
dalam dan menyusuri seluruh petak dan sudut bangunan megah 1,5 lantai ini
adalah sisa-sisa kejayaannya, baik semasa menjadi gereja maupun masjid, masih
terlihat jelas dan terawat indah. Unik tak biasa tetapi sekaligus menenangkan
jiwa melihat unsur-unsur Ortodoks dan Katholik Roma bersanding dalam diam dan
damai dengan unsur-unsur Islam. Saling bersanding bersama, tampak seolah saling
bersandar, dalam ketenangan dan bersama memukaukan kemilaunya.
|
salah satu lukisan dinding yang dalam kondisi hampir utuh |
|
kubah utama Hagia Sophia |
|
sisi samping Hagia Sophia |
|
Hagia Sophia |
Keluar dari biusan
keindahan Hagia Sophia, kami beranjak ke Basilica Cistern, setelah sebelumnya mengisi
perut dulu di restaurant dekat-dekat
sana. Entah kenapa? Basilica Cistern adalah tempat favorite saya di Istanbul. 336 pilar marmer setinggi 9 meter
menyangga langit-langit “katedral”, membentuk baris dan kolom yang berjajar
angkuh dan arogan. Sungguh mempesona dan sedikit mengintimidasi. Terletak di
bawah tanah jantung kota, waduk air dengan luas hampir 1 hektar ini
dikembangkan oleh Kaisar Justinian pada abad ke 6 pada masa Konstantinopel.
Situs ini juga beberapa kali sempat menjadi scene
dari film layar lebar dan buku, termasuk menjadi salah satu scene utama dalam buku terakhir Dan
Brown – Inferno.
|
Basilica Cistern |
|
pumpung ada lampu dikit, pose dulu |
Jelajah Istanbul berlanjut
dengan tram, bus dan berjalan kaki menuju
ke arah Barat Laut. Agak lama juga perjalanan ke sini dan ternyata Chora Museum
yang tak lain tak bukan adalah bekas gereja, berada di tengah-tengah kawasan
pemukiman penduduk lokal. Sayang sekali saat kunjungan kami, gereja dalam masa
restorasi, sehingga hanya bisa kami kunjungi di sisi hall depan dan samping kanan saja. Meski bisa dibilang kosong, museum ini meninggalkan masa-masa
keemasannya dengan lulisan-lukisan dinding dan kubah yang sangat indah dan
dalam kondisi yang relative masih
bagus.
|
lukisan dinding dan kubah di Chora Church |
|
salah satu hall yang indah di Chora Church |
Dari area old Istanbul (Eropa), kami menuju
ke area new Istanbul (masih di benua
Eropa). Kami mengunjungi salah satu alun-alun utama di Istanbul, yaitu Taksim
Square. Sebuah alun-alun yang sangat crowded
dan hiruk pikuk. Di sini kami menyusuri Jalan Istikal yang menurun dengan
toko-toko brand terkenal, berjajar
memagari jalanan batu dengan rel tram
kuno membelah ditengah-tengahnya. Menyenangkan juga naik tram kuno dari Taksim Square ke arah hilir, membelah kerumunan
pejalan kaki yang memadati Jalan Istikal.
|
Taksim Square |
|
Istikal Street |
|
Tram kuno |
Tak jauh dari Taksim
Square, kami berjalan santai ke arah Galata Tower. Sebuah menara batu dengan
atap yang runcing tampak menjulang dan telah mengintip melalui celah atap-atap
rumah dari kejauhan. Galata Tower didirikan pada tahun 1349 dengan tinggi 66,9
meter yang terdiri dari 9 lantai. Menara dari abad pertengahan ini salah satu
bangunan tertinggi di area-nya,
sehingga mempunyai pemandangan panoramic
yang sangat indah tentang Istanbul dan Bosphorus.
|
Galata Tower |
|
antrian masuk untuk naik ke atas (ada lift) |
Dari sini saya berpisah
dengan teman-teman seperjalanan saya. Saya memutuskan kembali ke Sultanahmet area dan menghabiskan waktu dengan
menikmati suasana sore di Hippodrome dan mengintip Blue Mosque. Untuk masuk dan
melihat bagian dalamnya, saya harus menunggu esok hari pada jam-jam yang
ditentukan. Sehingga petang itu saya hanya menikmati indah dan megahnya
struktur dan detail-detail-nya dari
sisi square dalam saja.
|
Salah satu fountain di Hippodrome |
|
Blue Mosque |
|
Square dalam Blue Mosque |
***
“One sweet sour
chicken, please” order saya kepada pramusaji
di sebuah restaurant Korea yang
menyajikan masakan Chinese food juga.
Waktu itu petang telah menjelang dan saya yang mabok dengan kebap-kebap-an akhirnya memutuskan makan
Chinese food saja, biar ada
selingannya.
Sultanahmet tampak
lengang dan tak banyak aktivitas, meskipun di restaurant-restaurant yang berjajar di setiap kelokan jalanan batu
di area ini. Begitu tenang dan angin
sejuk mulai berhembus mencoba mengusir sisa sisa teriknya sinar matahari
seharian tadi.
Satu hari terlalui,
satu hari yang penuh cerita dan moment
di Istanbul. Penatnya kaki yang seolah berteriak-teriak memekikan protes
menjadi terbayar dengan kepuasan yang diserap dan didapat dari jelajah Istanbul
hari ini.
“Hari ini disudahi saja
dan besok lagi” batin saya, “Let’s see apa yang diberikan Istanbul kepada
memori saya, esok hari.”
***
No comments:
Post a Comment