Saturday, September 24, 2016

Jelajah Turki - Istanbul bagian 1




Mentari masih belum juga menampakkan diri dari benteng-benteng beton sepanjang horizon di ufuk timur. Hanyalah sayap-sayap pijarnya yang mulai menyerbu secara perlahan menuju ke arah langit di barat. Langit pun seolah mati-matian mempertahankan warna biru mudanya dari pijar kilau emas keperakan dari bola api yang terus merangsek dari negeri di timur sana.

Bus yang saya tumpangi dari Selcuk, memasuki terminal bus utama dari kota yang terletak di dua benua ini. Sebuah terminal yang luas dan tampak membingungkan bagi saya. Apalagi ditambah dengan bahasa yang berbeda dan jarang sekali ditemui orang yang bisa berbahasa Inggris. Jikalau ada pun, kemampuannya sangat minim sekali.

Bus Terminal of  Istanbul
Singkat cerita, setelah mati-matian mencoba berkomunikasi, akhirnya keluar juga saya dan 3 teman seperjalanan dari terminal bus, menuju jantung kota dengan sebuah free shuttle mini bus. Dengan cepat pemandangan di luar jendela menjadi semakin kota, ramai dengan orang-orang yang mulai hilir mudik melakukan aktivitasnya.

“Yusufpasa” sang sopir berseru sambil menolehkan mukanya ke kami, “Metro Station” sambil menunjuk ke sebuah stasiun kecil di tengah jalan raya.
“Ok, thank you. Bye” kami berseru balas sambil melangkah keluar dari mini bus.

Kota yang diilustrasikan, kota yang dideskripsikan, kota yang dinyanyikan, kota yang digambarkan oleh banyak seniman dan pujangga dunia, Istanbul. This is it! Kota terakhir dari Jelajah Turki saya.

***
Berawal dari sedikit kebingungan, kami menuju ke sebuah kios kecil di pedestrian di seberang jalan. Di sana kami membeli Istanbul Kart untuk masing-masing satu. Sebenarnya Railway Network di Istanbul berlaku tarif fixed, sehingga satu kartu bisa untuk multi passengers. Tetapi kami sengaja membeli satu orang satu kartu, berjaga-jaga jika nantinya kami mempunyai agenda yang tidak sama dalam menghabiskan 3 hari 2 malam di Istanbul.

Dari Yusufpasa Station kami menggunakan tram menuju ke Sultanahmet. Sultanahmet merupakan kawasan tua yang berada di benua eropa. Tempat ini menjadi idola para pejalan karena sekomplek dan tidak jauh dari beberapa tempat wisata utama di Istanbul (walking distance). Di area ini juga relative tenang dan nyaman dibandingkan dengan area di Taksim yang sangat ramai, crowded dan ingar binger.

Tram Station
Sultanahmet Area
Dari Sultanahmet Station kami cukup berjalan santai selama kurang lebih 10 menit untuk mencapai Nobel Hostel tujuan kami. Melewati Hippodrome dengan Hagia Sophia di sisi kiri jalan dan Blue Mosque di sisi kanan, kami menyusuri jalanan batu yang indah, menurun menuju jalan-jalan 2 lajur yang berujung ke Selat Bosphorus.

area hotel dan reataurant di Sultanahmet
Nobel Hostel di malam hari
Selepas check in dan mandi, kami mulai bergerak dalam langkah-langkah menuju ke tempat-tempat wisata unggulan di Istanbul. Sarapan? Kami lakukan sambil berjalan santai dengan sebuah simit dengan olesan feta. Sedikit alot dan kenyal, tapi enak juga.

Simit
Pemberhentian pertama adalah Topkapi Palace. Sebuah museum bekas istana dan tempat tinggal pribadi para sultan selama lebih dari 600 tahun. Dibangun pertama kali oleh Sultan Mehmet II di tahun 1459 dan berjaya dengan kemegahannya hingga Istana Dolmabahce mulai menjadi tempat tingga resmi dari Sultan Abd ul Mejid I pada tahun 1856. Topkapi sangatlah luas dan terdiri dari beberapa taman dan bangunan dari beberapa masa selama sejarahnya. Pemandangan di sisi dalam atau belakang istana juga sangat indah, karena istana ini terletak tepat diujung pertemuan Golden Horn dan Selat Bosphorus.

pemandangan dari sisi belakang istana
di depan salah satu ruangan di istana
gerbang utama Topkapi Palace
Tak jauh dari pintu masuk Topkapi Palace, terdapat sebuah bangunan bekas gereja bernama Hagia Irene. Sebuah gereja dari abad ke 4 yang didirikan oleh Kaisar Constantine I. Sebuah gereja dengan kubah raksasa yang jika dibandingkan, seolah menjadi miniatur dari Hagia Sophia. Gereja ini almost tidak menyisakan apapun dari kejayaannya selain konstruksi yang megah.
Hagia Irene
Tak lama kami habiskan waktu di Hagia Irene dan melanjutkan jelajah kami ke Hagia Sophia. Sebuah museum yang merupakan bekas gereja/basilika dan masjid. Sejak dibangunnya pada tahun 537 tempat ini merupakan katedral Ortodoks dan Katholik Roma, sebelum akhirnya pada tahun 1453 diubah menjadi masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani dan berakhir menjadi museum pada tahun 1935 hingga saat ini, oleh Republik Turki. Yang membuat saya betah dan takjub berada di dalam dan menyusuri seluruh petak dan sudut bangunan megah 1,5 lantai ini adalah sisa-sisa kejayaannya, baik semasa menjadi gereja maupun masjid, masih terlihat jelas dan terawat indah. Unik tak biasa tetapi sekaligus menenangkan jiwa melihat unsur-unsur Ortodoks dan Katholik Roma bersanding dalam diam dan damai dengan unsur-unsur Islam. Saling bersanding bersama, tampak seolah saling bersandar, dalam ketenangan dan bersama memukaukan kemilaunya.  

salah satu lukisan dinding yang dalam kondisi hampir utuh
kubah utama Hagia Sophia
sisi samping Hagia Sophia
Hagia Sophia
Keluar dari biusan keindahan Hagia Sophia, kami beranjak ke Basilica Cistern, setelah sebelumnya mengisi perut dulu di restaurant dekat-dekat sana. Entah kenapa? Basilica Cistern adalah tempat favorite saya di Istanbul. 336 pilar marmer setinggi 9 meter menyangga langit-langit “katedral”, membentuk baris dan kolom yang berjajar angkuh dan arogan. Sungguh mempesona dan sedikit mengintimidasi. Terletak di bawah tanah jantung kota, waduk air dengan luas hampir 1 hektar ini dikembangkan oleh Kaisar Justinian pada abad ke 6 pada masa Konstantinopel. Situs ini juga beberapa kali sempat menjadi scene dari film layar lebar dan buku, termasuk menjadi salah satu scene utama dalam buku terakhir Dan Brown – Inferno.

Basilica Cistern
pumpung ada lampu dikit, pose dulu
Jelajah Istanbul berlanjut dengan tram, bus dan berjalan kaki menuju ke arah Barat Laut. Agak lama juga perjalanan ke sini dan ternyata Chora Museum yang tak lain tak bukan adalah bekas gereja, berada di tengah-tengah kawasan pemukiman penduduk lokal. Sayang sekali saat kunjungan kami, gereja dalam masa restorasi, sehingga hanya bisa kami kunjungi di sisi hall depan dan samping kanan saja. Meski bisa dibilang kosong, museum ini meninggalkan masa-masa keemasannya dengan lulisan-lukisan dinding dan kubah yang sangat indah dan dalam kondisi yang relative masih bagus.

lukisan dinding dan kubah di Chora Church
salah satu hall yang indah di Chora Church
Dari area old Istanbul (Eropa), kami menuju ke area new Istanbul (masih di benua Eropa). Kami mengunjungi salah satu alun-alun utama di Istanbul, yaitu Taksim Square. Sebuah alun-alun yang sangat crowded dan hiruk pikuk. Di sini kami menyusuri Jalan Istikal yang menurun dengan toko-toko brand terkenal, berjajar memagari jalanan batu dengan rel tram kuno membelah ditengah-tengahnya. Menyenangkan juga naik tram kuno dari Taksim Square ke arah hilir, membelah kerumunan pejalan kaki yang memadati Jalan Istikal.

Taksim Square
Istikal Street
Tram kuno
Tak jauh dari Taksim Square, kami berjalan santai ke arah Galata Tower. Sebuah menara batu dengan atap yang runcing tampak menjulang dan telah mengintip melalui celah atap-atap rumah dari kejauhan. Galata Tower didirikan pada tahun 1349 dengan tinggi 66,9 meter yang terdiri dari 9 lantai. Menara dari abad pertengahan ini salah satu bangunan tertinggi di area-nya, sehingga mempunyai pemandangan panoramic yang sangat indah tentang Istanbul dan Bosphorus.

Galata Tower
antrian masuk untuk naik ke atas (ada lift)
Dari sini saya berpisah dengan teman-teman seperjalanan saya. Saya memutuskan kembali ke Sultanahmet area dan menghabiskan waktu dengan menikmati suasana sore di Hippodrome dan mengintip Blue Mosque. Untuk masuk dan melihat bagian dalamnya, saya harus menunggu esok hari pada jam-jam yang ditentukan. Sehingga petang itu saya hanya menikmati indah dan megahnya struktur dan detail-detail-nya dari sisi square dalam saja.

Salah satu fountain di Hippodrome
Blue Mosque
Square dalam Blue Mosque
***
“One sweet sour chicken, please” order saya kepada pramusaji di sebuah restaurant Korea yang menyajikan masakan Chinese food juga. Waktu itu petang telah menjelang dan saya yang mabok dengan kebap-kebap-an akhirnya memutuskan makan Chinese food saja, biar ada selingannya.

Sultanahmet tampak lengang dan tak banyak aktivitas, meskipun di restaurant-restaurant yang berjajar di setiap kelokan jalanan batu di area ini. Begitu tenang dan angin sejuk mulai berhembus mencoba mengusir sisa sisa teriknya sinar matahari seharian tadi.

Satu hari terlalui, satu hari yang penuh cerita dan moment di Istanbul. Penatnya kaki yang seolah berteriak-teriak memekikan protes menjadi terbayar dengan kepuasan yang diserap dan didapat dari jelajah Istanbul hari ini.

“Hari ini disudahi saja dan besok lagi” batin saya, “Let’s see apa yang diberikan Istanbul kepada memori saya, esok hari.”

***

Detail: Itinerary, Tips and Fun Facts
More pictures on my Instagram Harry_Mdj 


No comments:

Post a Comment