Sebuah coffee shop yang
tidaklah terlu luas, tetapi tidak terlalu kecil juga. Terletak tak jauh dari
area pemukiman, berhimpitan dengan toko-toko lain di commercial district ini.
Ruko-ruko berjejer rapi membentuk sebuah barisan-barisan kecil dan membentuk
pola kotak-kotak.
BABAK 1
Gue memarkir mobil, 1
slot ke kanan dari pintu masuk coffee shop.
“Selamat sore dan
Selamat datang” sapa 2 barista yang tampaknya terpotong percakapannya oleh
bayang pintu yang gue buka.
“Sore” jawab gue sambil
menyunggingkan senyum.
“Bisa dibantu dengan
pesanannya?” tanya barista cewek dengan rambut dikepang manis.
“Pesen ice Americano
satu yah” jawab gue.
“Ok, ko. Ada yang lain?
pastry atau small bites-nya mungkin?” tawar si kepang manis.
Sejenak ada keheningan
selagi mata gue menjelajah deretan pastry yang ter-display dengan manis di
etalase kaca.
“Em, ama yang ini deh
satu” kata gue memotong keheningan singkat itu, sambil jari tangan gue menunjuk
sebuah pastry dengan topping buah-buahan segar.
“Ok. Semuanya jadi 75
ribu rupiah” tagih si kepang manis yang dari name tag di apron-nya,.bernama
Andra,
“Terima kasih. Uangnya
pas yah. Nanti pesanannya kami antar yah, ko” kata Andra sesaat setelah
menerima uang yang gue kasih.
Sambil menunggu pesanan
gue datang. Mata saya bergerak menilai dan mengkritisi coffee shop ini. Dari
tempat duduk gue, pandangan lurus saja sudah bisa menyapu sebagian besar area
yang ada. Tampak cukup lengang sore ini dan hanya ada dua meja lain yang
terisi. Meja di ujung depan diduduki oleh pasangan muda mudi yang tampaknya
adalah sepasang kekasih, jika gue simpulin dari bahasa tubuhnya. Well at least
lagi PDKT lha. Meja yang satunya ada di sisi semi outdoor yang diduduki oleh
tiga orang. Satu cowok dan satu cewek tampak sedang seru membahas sesuatu dan
yang cowok satu lagi tampaknya sedang asyik dengan gadget di tangannya.
Coffee shop ini
tampaknya ingin membentuk garden cozy comfy vibe bagi pengunjungnya. Garden,
jelas kelihatan dari banyaknya tanaman baik yang digantung, di tempel di
dinding ala-ala vertical garden dan taman-taman mini di sudut-sudut coffee
shop. Cozy, terlihat dengan penataan taman, bar dan tempat duduk yang ga asal
naruh. Belum lagi mural-mural yang menambah semaraknya dinding coffee shop.
Comfy, itu yang gue rasakan dengan bangku-bangku kayu dengan bantalan empuk
yang surprisingly sangat nyaman buat bokong gue. Dapet banget sih vibe-nya. Dan
seingat gue makanan ama kopinya juga enak.
“Permisi, pesanannya
kak. Satu ice Americano dan satu bande feuilletee” ujar barista cowok yang
mengantar pesanan gue. Name tag-nya bertuliskan Rali. Hm … nama yang ga lazim
tapi unik sih, batin saya sambil menjawab, “Yupe, makasih.”
Si Rali tersenyum dan pergi.
Sejenak pikiran gue teralihkan dengan pahit dinginnya ice Americano dan manis
ringan dari pastry dengan buah-buahan segar ini. Entah apalah tadi namanya,
sulit banget sebutannya. Enak nih kuenya, batin gue sambil melihat sisa
remah-remah pastry. Gue kelaparan atau emang kuenya yang enak?
Melirik ke tas gue dan
langsung memutuskan batal membaca buku yang sudah gue bawa dari rumah tadi.
Perhatian gue kembali ke orang-orang yang ada di coffee shop ini.
Dua barista, si Andra
dan Rali. Mungkin butuh ketampanan dan kecantikan untuk bisa jadi barista di
sini. Rali kayaknya berusia akhir 20-an, berbadan tegap dengan bicep yang jelas
nongol dari kaos lengan pendeknya. Wajahnya tampan manis khas Sunda dengan
brewok halus. Lagi musim emang brewok macam gini. Gue inget banget, dulu waktu
masih SMP, pingin banget punya brewok macam itu tapi mimpi tinggalah mimipi,
kumis ama jenggot aja tumbuh ala kadarnya. Sedangkan si Andra jelas kelihatan
banget Cinanya. Usia sekitar awal 20-an. Belia banget. Berkulit putih bersih
dengan rambut hitam legam lurus dikepang lucu yang makin bikin manis banget.
Dibalik apron-nya gue yakin badan Andra juga seksi meski dilapisi dengan kaos
kedodoran. Yakinnya si Andra ini terlihat jelas punya aset yang pas baik depan
dan belakang, if you know what I mean.
Perhatian gue beralih
ke dua sejoli di ujung depan. Hm… kok wajah yang cowok agak berubah canggung
yah? Something went wrong kah?
Si cewek mempunyai
tinggi tubuh yang ideal dengan wajah cantik, meski menurut gue make up-nya
terlalu tebal. Pakaian yang dipakai cukup menarik meski terlihat agak
dipaksakan dan kualitas murah. Si cewek tampak sekilas mendominasi pembicaraan
dengan tanpa henti ngemil ini itu, apa pun yang ada di meja. Sesekali tangan si
cewek menyentuh tangan si cowok sebelum kembali melayang melambai, layaknya
penari, mengikuti dramatisir kalimat yang mengalir dari bibirnya.
Si cowok mempunyai
tubuh yang ideal juga meski tampangnya biasa saja, tapi tidaklah jelek.
Wajahnya terlihat cukup sendu dengan sorot mata yang entah kemana dan pastinya
tidak berada di area topic pembicaraan si cewek. Dari penampilan sekilas jelas si
cowok ga ada kesulitan keuangan apa pun. Terlihat dari pilihan pakaian yang
dipakai, kualitasnya bagus dan cukup trendi meski sedikit classic gayanya.
Sesekali si cowok menyedot minumanan dan memberi reaksi seadanya kepada apa pun
yang sedang diceritakan si cewek. Ah yang muda yang bercinta nih, lengkap
dengan lika-liku dan drama percintaan.
“Terserah! Gue ikut aja” sebuah suara dalam,
mengalihkan perhatian gue kepada meja yang tidak jauh dari meja gue, terletak
di area semi outdoor khusus untuk smoker. Tampak si cewek memasang muka sebal
kepada cowok gadget, sedangkan cowok yang satunya tampak berusaha tetap berada
di posisi yang netral, sambil tersenyum samar.
“Ih, kok gitu sih, kan
perginya bareng. Lo juga kudu urun saran dong!” timpal si cewek masih dengan
nada sebal.
“Bawel banget sik, gue
ikut aja. Toh gue juga belom pernah ke sana sama sekali” jawab si cowok gadget
tanpa mengalihkan pandangannya dari layar gadget di depannya.
Dan si cewek pun
semakin bete meski dari kerling matanya terlihat pandangan sayang ke arah cowok
gadget. Jika 3 insan muda ini adalah sebuah group pertemanan, maka gue yakin si
cewek pasti pemimpin yang dominan. Manis, lucu dan trendy banget. Tipikal cewek
yang up to date ama trend terakhir dan terlihat menggemaskan dengan kacamata
berbingkai hitam tebalnya. Sementara itu si cowok gadget terlihat sangat cuek
dan simple meski tetap memperhatikan penampilan. T-shirt polos dengan celana
panjang khaki dan sandal, tetapi bersih dan rapi. Di kursi satunya terdapat si
cowok satu lagi yang mewakili cowok metroseksual masa kini. Dengan muka mulus
dan rambut tersisir rapi, kemeja lengan pendek dan celana pendek khaki berwarna
pasta dengan sepatu new balance berwarna cerah. Keren!
Sangat menyenangkan
melihat mereka bertiga, begitu muda dan penuh energi. Keseharian berisikan tawa
canda, olok-olokan, ambeg-ambegan dan mungkin sedikit air mata.
“Maaf Kak, bisa saya
angkat piring kotornya?” sebuah suara menggugah lamuanan gue. Ah rupanya si
Rali.
“Yupe. Silakan, thank
you” jawab gue dan mulai berkemas untuk meninggalkan coffee shop yang nyaman
ini.
***
BABAK 2
“Jadi gimana enaknya?
Mau jalan darat naik sleeper bus atau mendingan sore-sore sudah terbang? Supaya
bisa tidur dan pagi-pagi bisa langsung explore. Agak mepet nih waktunya” jelas
gue ke 2 anak manusia di depan gue.
“Gue sih prefer terbang
sore. Sampe sana malem, trus check in, bisa tidur dan besok paginya fresh buat
explore” jawab Dika.
Hening sejenak dan gue
perhatiin si Bayu masih aja asik ama hp-nya.
“Bay, gimana?” tanya
gue sambil goyangin kaki Bayu.
“Terserah! Gue ikut
aja” sahut Bayu.
“Ih, kok gitu sih, kan
perginya bareng. Lo juga kudu urun saran dong!” sahut gue.
“Bawel banget sik, gue
ikut aja. Toh gue juga belom pernah ke sana sama sekali” jawab Bayu lagi tanpa
mengalihkan perhatian dari layar hp-nya.
Bete banget gue ama
Bayu, si cuek bebek yang reseh banget. Tapi aku sayang dia. Meski cuek bebek
tapi dia tahu kapan perhatian-perhatian kecilnya dibutuhin saat gue lagi down
banget atau lagi ada masalah. Gue juga nyaman dan berasa aman banget saat dia
ngerangkul gue.
Hati gue hancur saat
Bayu akhirnya bersama dia. Meskipun gue ga nunjukin perasaan apa-apa dan gue
tetep hang out bareng, tapi Tuhan tahu hati gue hancur, pedih banget dan
terbiasa memalingkan muka dengan samar saat gue harus melihat kemesraan Bayu
ama dia. Bayu dan dia ga tahu perasaanku ama Bayu, jadi ga bisa juga nyalahin
mereka. Gimana-gimana Bayu dan Dika adalah sahabat-sahabatku. Aku harus belajar
bahagia untuk mereka.
“Oci! Woi! Ngelamun
malahan” suara Dika menyeruak membubarkan lamuanku.
“Heh, ya kali gue kudu
nyerocos muluk” jawab gue sekenanya.
“Emang lo dari dulu
gitu” timpal Bayu sambil tergelak. Gelak tawa yang aku mau hanya untuk aku…
tapi gelak itu milik Dika.
“Heh! Pepes! Gue jahit
mulut lo sini” canda gue menimpali.
Dan kami tertawa.
***
BABAK 3
“Jadi memang sih aku
yang agak lupa, tapi bukan berarti akunya yang harus minta maaf kan? Ribet deh
emang kalau ama dia…… masa dia mau pokoknya terserah dia…… mendingan usulku
dong kan yah? ……. cakep sih……………………….. enggak juga………………………. bisa jadi ga tulus
dulunya……………………………………….bahannya………………dia…..” rentetan cerita Melisa yang
semakin lama semakin tak terdengar oleh pendengaranku.
Melisa anaknya cantik
dengan penampilan yang cukup menarik tapi apa kuat aku harus selalu menghadapi
gempuran ceritanya yang menyerocos hampir tanpa jeda? Duh demi apa aku mau
dicomblangin ama Hendry kampret! Tapi si Hendry juga dapet nih cewek dari
bininya sih. Duh Tuhan gimana nih cara nyetop-nya.
“Masa yah, pas lagi
makan gitu dianya malah……………………….ngomong kek……………….aduh………………….lucu banget…….”
Ah biar saja ini cewek ngoceh kemana-mana sampai cape sendiri ntar, batinku.
Toh nanti, semoga, cape sendiri.
Pandanganku memang
seolah menatap Melisa, tetapi sebenarnya yang menjadi perhatianku adalah obyek
manis dibelakang Melisa, di balik meja kasir. Anaknya lucu dan tenang dengan
rambut lurus dikepang manis. Sejenak pemandangan indahku ini terhalang oleh
pengunjung baru yang memesan kopi, sebelum gadis kasirku nongol lagi. Eh hilang
lagi sebentar saat dia mengambil pesanan pengunjung tadi dari etalase kaca. Duh
bisa ga sih yah dapet cewek kayak gitu aja? Yang ini kok …
“Menurut kamu gitu ga
sih Vin?” tanya Melisa mendadak.
“Iya sih” jawabku
sekenanya.
“Kan, aku juga sudah
yakin, semua yang denger ceritaku pasti setuju deh ama tindakanku. Aku tuh
……………….mengapa gitu…………………….sedih……………..” dan cerocosan babak berikutnya pun
berlanjut tanpa bisa kukendalikan.
***
BABAK 4
Aku melihat bayangannya
tiba. Meski mulutku sedang berbincang ringan dengan Andra, tapi seluruh
perhatianku mendadak bertumpu pada sebuah bayangan yang sedang berjalan dan
memasuki coffee shop ini.
“Selamat sore dan
Selamat datang” sambuku dan Andra bersamaan, saat bayangan itu memasuki coffee
shop kami.
“Sore” jawabnya
sambaing melempar senyum.
Dan Andra pun
menanyakan pesanannya, sementara aku mencuri-curi pandang padanya.
Laki-laki separuh baya,
mungkin pertengahan 40-an, dengan postur tubuh tegap tinggi dan punya perut
yang sedikit nongol, tapi ga buncit. Aku ingat kedatangan pertamanya di coffee
shop ini. Sekitar 3 minggu yang lalu dan memesan …
“Pesen ice Americano
satu yah” kata dia kepada Andra. Ah masih sama pesenan kopinya. Kenapa aku
ingat kunjungannya, bukan karena tubuh tegap tingginya atau raut mukanya yang
keras dengan senyum yang lucu, tetapi lebih karena sorot matanya adalah sorot
mata tertajam yang pernah aku lihat. Bikin deg-degan dan nervous kalau bertemu
pandang dengannya.
Sejenak aku sibuk
menyiapkan pesanan ice Americano dan setelah Andra menaruh sepotong bande
feuilletee di sebelah segelas ice Americano di baki bundar ini, aku siap mengantar
pesanan laki-laki itu.
Perlahan aku berjalan
ke meja itu dan tampak dia tidak menangkap bayanganku bergerak ke arahnya,
melainkan memandang sekilas ke meja ujung depan dan meja di smoking area yang
diduduki 3 abg dan terpaku pada mural-mural di dinding barat.
“Permisi, pesanannya
yah. Satu ice Americano dan satu bande feuilletee” ujarku menarik perhatiannya.
Dia menoleh dan
menjawah dengan suara lembutnya, “Yupe, makasih.”
Kuletakan baki dan
sedikit mengeringkan cipratan air di area coffee machine sebelum perhatianku
tertarik kembali ke dia. Wah sudah habis aja tuh pastry, laper banget mungkin
yah. Masih seperti tempo hari, gelas kecil gula cair ga disentuh sama sekali.
Sorot matanya juga masih setajam yang dulu dan tetap bikin deg-degan.
Aku suka dia. Andai aku
punya sedikit keberanian untuk… ah mana mungkinlah. Dia begitu mature dan
tampaknya cukup berada. Nah aku? Cuma anak kampung yang pindah ke pinggiran
ibukota dan jadi barista. Mana mungkin sih dia ngelirik aku. Bahkan mungkin dia
ga sadar aku ada. Dia Cina, aku Sunda. Begitu banyak perbedaan kami.
Kami baru bertemu dua
kali dan mengapa bayangannya sangat sulit kusingkirkan. Khususnya saat aku
sedang berolah-raga di kamar mandi, membayangkan sorot mata tajam itu
mengintimidasiku. Ah…. Andai aku bisa mengobrol dengan dia lebih lama dan lebih
dekat.
Dan mendadak aku jadi
cemburu sama Andra.
***
No comments:
Post a Comment