Thursday, July 27, 2017

4 Babak dalam 1 Coffee Shop



Sebuah coffee shop yang tidaklah terlu luas, tetapi tidak terlalu kecil juga. Terletak tak jauh dari area pemukiman, berhimpitan dengan toko-toko lain di commercial district ini. Ruko-ruko berjejer rapi membentuk sebuah barisan-barisan kecil dan membentuk pola kotak-kotak.

BABAK 1

Gue memarkir mobil, 1 slot ke kanan dari pintu masuk coffee shop.

“Selamat sore dan Selamat datang” sapa 2 barista yang tampaknya terpotong percakapannya oleh bayang pintu yang gue buka.
“Sore” jawab gue sambil menyunggingkan senyum.
“Bisa dibantu dengan pesanannya?” tanya barista cewek dengan rambut dikepang manis.
“Pesen ice Americano satu yah” jawab gue.
“Ok, ko. Ada yang lain? pastry atau small bites-nya mungkin?” tawar si kepang manis.
Sejenak ada keheningan selagi mata gue menjelajah deretan pastry yang ter-display dengan manis di etalase kaca.
“Em, ama yang ini deh satu” kata gue memotong keheningan singkat itu, sambil jari tangan gue menunjuk sebuah pastry dengan topping buah-buahan segar.
“Ok. Semuanya jadi 75 ribu rupiah” tagih si kepang manis yang dari name tag di apron-nya,.bernama Andra,
“Terima kasih. Uangnya pas yah. Nanti pesanannya kami antar yah, ko” kata Andra sesaat setelah menerima uang yang gue kasih.

Sambil menunggu pesanan gue datang. Mata saya bergerak menilai dan mengkritisi coffee shop ini. Dari tempat duduk gue, pandangan lurus saja sudah bisa menyapu sebagian besar area yang ada. Tampak cukup lengang sore ini dan hanya ada dua meja lain yang terisi. Meja di ujung depan diduduki oleh pasangan muda mudi yang tampaknya adalah sepasang kekasih, jika gue simpulin dari bahasa tubuhnya. Well at least lagi PDKT lha. Meja yang satunya ada di sisi semi outdoor yang diduduki oleh tiga orang. Satu cowok dan satu cewek tampak sedang seru membahas sesuatu dan yang cowok satu lagi tampaknya sedang asyik dengan gadget di tangannya.

Coffee shop ini tampaknya ingin membentuk garden cozy comfy vibe bagi pengunjungnya. Garden, jelas kelihatan dari banyaknya tanaman baik yang digantung, di tempel di dinding ala-ala vertical garden dan taman-taman mini di sudut-sudut coffee shop. Cozy, terlihat dengan penataan taman, bar dan tempat duduk yang ga asal naruh. Belum lagi mural-mural yang menambah semaraknya dinding coffee shop. Comfy, itu yang gue rasakan dengan bangku-bangku kayu dengan bantalan empuk yang surprisingly sangat nyaman buat bokong gue. Dapet banget sih vibe-nya. Dan seingat gue makanan ama kopinya juga enak.

“Permisi, pesanannya kak. Satu ice Americano dan satu bande feuilletee” ujar barista cowok yang mengantar pesanan gue. Name tag-nya bertuliskan Rali. Hm … nama yang ga lazim tapi unik sih, batin saya sambil menjawab, “Yupe, makasih.”

Si Rali tersenyum dan pergi. Sejenak pikiran gue teralihkan dengan pahit dinginnya ice Americano dan manis ringan dari pastry dengan buah-buahan segar ini. Entah apalah tadi namanya, sulit banget sebutannya. Enak nih kuenya, batin gue sambil melihat sisa remah-remah pastry. Gue kelaparan atau emang kuenya yang enak?

Melirik ke tas gue dan langsung memutuskan batal membaca buku yang sudah gue bawa dari rumah tadi. Perhatian gue kembali ke orang-orang yang ada di coffee shop ini.

Dua barista, si Andra dan Rali. Mungkin butuh ketampanan dan kecantikan untuk bisa jadi barista di sini. Rali kayaknya berusia akhir 20-an, berbadan tegap dengan bicep yang jelas nongol dari kaos lengan pendeknya. Wajahnya tampan manis khas Sunda dengan brewok halus. Lagi musim emang brewok macam gini. Gue inget banget, dulu waktu masih SMP, pingin banget punya brewok macam itu tapi mimpi tinggalah mimipi, kumis ama jenggot aja tumbuh ala kadarnya. Sedangkan si Andra jelas kelihatan banget Cinanya. Usia sekitar awal 20-an. Belia banget. Berkulit putih bersih dengan rambut hitam legam lurus dikepang lucu yang makin bikin manis banget. Dibalik apron-nya gue yakin badan Andra juga seksi meski dilapisi dengan kaos kedodoran. Yakinnya si Andra ini terlihat jelas punya aset yang pas baik depan dan belakang, if you know what I mean.

Perhatian gue beralih ke dua sejoli di ujung depan. Hm… kok wajah yang cowok agak berubah canggung yah? Something went wrong kah?
Si cewek mempunyai tinggi tubuh yang ideal dengan wajah cantik, meski menurut gue make up-nya terlalu tebal. Pakaian yang dipakai cukup menarik meski terlihat agak dipaksakan dan kualitas murah. Si cewek tampak sekilas mendominasi pembicaraan dengan tanpa henti ngemil ini itu, apa pun yang ada di meja. Sesekali tangan si cewek menyentuh tangan si cowok sebelum kembali melayang melambai, layaknya penari, mengikuti dramatisir kalimat yang mengalir dari bibirnya.
Si cowok mempunyai tubuh yang ideal juga meski tampangnya biasa saja, tapi tidaklah jelek. Wajahnya terlihat cukup sendu dengan sorot mata yang entah kemana dan pastinya tidak berada di area topic pembicaraan si cewek. Dari penampilan sekilas jelas si cowok ga ada kesulitan keuangan apa pun. Terlihat dari pilihan pakaian yang dipakai, kualitasnya bagus dan cukup trendi meski sedikit classic gayanya. Sesekali si cowok menyedot minumanan dan memberi reaksi seadanya kepada apa pun yang sedang diceritakan si cewek. Ah yang muda yang bercinta nih, lengkap dengan lika-liku dan drama percintaan.

 “Terserah! Gue ikut aja” sebuah suara dalam, mengalihkan perhatian gue kepada meja yang tidak jauh dari meja gue, terletak di area semi outdoor khusus untuk smoker. Tampak si cewek memasang muka sebal kepada cowok gadget, sedangkan cowok yang satunya tampak berusaha tetap berada di posisi yang netral, sambil tersenyum samar.
“Ih, kok gitu sih, kan perginya bareng. Lo juga kudu urun saran dong!” timpal si cewek masih dengan nada sebal.
“Bawel banget sik, gue ikut aja. Toh gue juga belom pernah ke sana sama sekali” jawab si cowok gadget tanpa mengalihkan pandangannya dari layar gadget di depannya.
Dan si cewek pun semakin bete meski dari kerling matanya terlihat pandangan sayang ke arah cowok gadget. Jika 3 insan muda ini adalah sebuah group pertemanan, maka gue yakin si cewek pasti pemimpin yang dominan. Manis, lucu dan trendy banget. Tipikal cewek yang up to date ama trend terakhir dan terlihat menggemaskan dengan kacamata berbingkai hitam tebalnya. Sementara itu si cowok gadget terlihat sangat cuek dan simple meski tetap memperhatikan penampilan. T-shirt polos dengan celana panjang khaki dan sandal, tetapi bersih dan rapi. Di kursi satunya terdapat si cowok satu lagi yang mewakili cowok metroseksual masa kini. Dengan muka mulus dan rambut tersisir rapi, kemeja lengan pendek dan celana pendek khaki berwarna pasta dengan sepatu new balance berwarna cerah. Keren!

Sangat menyenangkan melihat mereka bertiga, begitu muda dan penuh energi. Keseharian berisikan tawa canda, olok-olokan, ambeg-ambegan dan mungkin sedikit air mata.

“Maaf Kak, bisa saya angkat piring kotornya?” sebuah suara menggugah lamuanan gue. Ah rupanya si Rali.
“Yupe. Silakan, thank you” jawab gue dan mulai berkemas untuk meninggalkan coffee shop yang nyaman ini.

***
BABAK 2

“Jadi gimana enaknya? Mau jalan darat naik sleeper bus atau mendingan sore-sore sudah terbang? Supaya bisa tidur dan pagi-pagi bisa langsung explore. Agak mepet nih waktunya” jelas gue ke 2 anak manusia di depan gue.
“Gue sih prefer terbang sore. Sampe sana malem, trus check in, bisa tidur dan besok paginya fresh buat explore” jawab Dika.
Hening sejenak dan gue perhatiin si Bayu masih aja asik ama hp-nya.
“Bay, gimana?” tanya gue sambil goyangin kaki Bayu.
“Terserah! Gue ikut aja” sahut Bayu.
“Ih, kok gitu sih, kan perginya bareng. Lo juga kudu urun saran dong!” sahut gue.
“Bawel banget sik, gue ikut aja. Toh gue juga belom pernah ke sana sama sekali” jawab Bayu lagi tanpa mengalihkan perhatian dari layar hp-nya.

Bete banget gue ama Bayu, si cuek bebek yang reseh banget. Tapi aku sayang dia. Meski cuek bebek tapi dia tahu kapan perhatian-perhatian kecilnya dibutuhin saat gue lagi down banget atau lagi ada masalah. Gue juga nyaman dan berasa aman banget saat dia ngerangkul gue.

Hati gue hancur saat Bayu akhirnya bersama dia. Meskipun gue ga nunjukin perasaan apa-apa dan gue tetep hang out bareng, tapi Tuhan tahu hati gue hancur, pedih banget dan terbiasa memalingkan muka dengan samar saat gue harus melihat kemesraan Bayu ama dia. Bayu dan dia ga tahu perasaanku ama Bayu, jadi ga bisa juga nyalahin mereka. Gimana-gimana Bayu dan Dika adalah sahabat-sahabatku. Aku harus belajar bahagia untuk mereka.

“Oci! Woi! Ngelamun malahan” suara Dika menyeruak membubarkan lamuanku.
“Heh, ya kali gue kudu nyerocos muluk” jawab gue sekenanya.
“Emang lo dari dulu gitu” timpal Bayu sambil tergelak. Gelak tawa yang aku mau hanya untuk aku… tapi gelak itu milik Dika.
“Heh! Pepes! Gue jahit mulut lo sini” canda gue menimpali.

Dan kami tertawa.

***
BABAK 3

“Jadi memang sih aku yang agak lupa, tapi bukan berarti akunya yang harus minta maaf kan? Ribet deh emang kalau ama dia…… masa dia mau pokoknya terserah dia…… mendingan usulku dong kan yah? ……. cakep sih……………………….. enggak juga………………………. bisa jadi ga tulus dulunya……………………………………….bahannya………………dia…..” rentetan cerita Melisa yang semakin lama semakin tak terdengar oleh pendengaranku.

Melisa anaknya cantik dengan penampilan yang cukup menarik tapi apa kuat aku harus selalu menghadapi gempuran ceritanya yang menyerocos hampir tanpa jeda? Duh demi apa aku mau dicomblangin ama Hendry kampret! Tapi si Hendry juga dapet nih cewek dari bininya sih. Duh Tuhan gimana nih cara nyetop-nya.

“Masa yah, pas lagi makan gitu dianya malah……………………….ngomong kek……………….aduh………………….lucu banget…….” Ah biar saja ini cewek ngoceh kemana-mana sampai cape sendiri ntar, batinku. Toh nanti, semoga, cape sendiri.

Pandanganku memang seolah menatap Melisa, tetapi sebenarnya yang menjadi perhatianku adalah obyek manis dibelakang Melisa, di balik meja kasir. Anaknya lucu dan tenang dengan rambut lurus dikepang manis. Sejenak pemandangan indahku ini terhalang oleh pengunjung baru yang memesan kopi, sebelum gadis kasirku nongol lagi. Eh hilang lagi sebentar saat dia mengambil pesanan pengunjung tadi dari etalase kaca. Duh bisa ga sih yah dapet cewek kayak gitu aja? Yang ini kok …

“Menurut kamu gitu ga sih Vin?” tanya Melisa mendadak.
“Iya sih” jawabku sekenanya.
“Kan, aku juga sudah yakin, semua yang denger ceritaku pasti setuju deh ama tindakanku. Aku tuh ……………….mengapa gitu…………………….sedih……………..” dan cerocosan babak berikutnya pun berlanjut tanpa bisa kukendalikan.

***
BABAK 4

Aku melihat bayangannya tiba. Meski mulutku sedang berbincang ringan dengan Andra, tapi seluruh perhatianku mendadak bertumpu pada sebuah bayangan yang sedang berjalan dan memasuki coffee shop ini.

“Selamat sore dan Selamat datang” sambuku dan Andra bersamaan, saat bayangan itu memasuki coffee shop kami.
“Sore” jawabnya sambaing melempar senyum.
Dan Andra pun menanyakan pesanannya, sementara aku mencuri-curi pandang padanya.

Laki-laki separuh baya, mungkin pertengahan 40-an, dengan postur tubuh tegap tinggi dan punya perut yang sedikit nongol, tapi ga buncit. Aku ingat kedatangan pertamanya di coffee shop ini. Sekitar 3 minggu yang lalu dan memesan …

“Pesen ice Americano satu yah” kata dia kepada Andra. Ah masih sama pesenan kopinya. Kenapa aku ingat kunjungannya, bukan karena tubuh tegap tingginya atau raut mukanya yang keras dengan senyum yang lucu, tetapi lebih karena sorot matanya adalah sorot mata tertajam yang pernah aku lihat. Bikin deg-degan dan nervous kalau bertemu pandang dengannya.

Sejenak aku sibuk menyiapkan pesanan ice Americano dan setelah Andra menaruh sepotong bande feuilletee di sebelah segelas ice Americano di baki bundar ini, aku siap mengantar pesanan laki-laki itu.

Perlahan aku berjalan ke meja itu dan tampak dia tidak menangkap bayanganku bergerak ke arahnya, melainkan memandang sekilas ke meja ujung depan dan meja di smoking area yang diduduki 3 abg dan terpaku pada mural-mural di dinding barat.

“Permisi, pesanannya yah. Satu ice Americano dan satu bande feuilletee” ujarku menarik perhatiannya.
Dia menoleh dan menjawah dengan suara lembutnya, “Yupe, makasih.”

Kuletakan baki dan sedikit mengeringkan cipratan air di area coffee machine sebelum perhatianku tertarik kembali ke dia. Wah sudah habis aja tuh pastry, laper banget mungkin yah. Masih seperti tempo hari, gelas kecil gula cair ga disentuh sama sekali. Sorot matanya juga masih setajam yang dulu dan tetap bikin deg-degan.

Aku suka dia. Andai aku punya sedikit keberanian untuk… ah mana mungkinlah. Dia begitu mature dan tampaknya cukup berada. Nah aku? Cuma anak kampung yang pindah ke pinggiran ibukota dan jadi barista. Mana mungkin sih dia ngelirik aku. Bahkan mungkin dia ga sadar aku ada. Dia Cina, aku Sunda. Begitu banyak perbedaan kami.

Kami baru bertemu dua kali dan mengapa bayangannya sangat sulit kusingkirkan. Khususnya saat aku sedang berolah-raga di kamar mandi, membayangkan sorot mata tajam itu mengintimidasiku. Ah…. Andai aku bisa mengobrol dengan dia lebih lama dan lebih dekat.

Dan mendadak aku jadi cemburu sama Andra.

***

No comments:

Post a Comment