Friday, August 10, 2012

Satu Malam di Yogyakarta


“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu, masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku
bersahabat penuh selaksa makna, terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama suasana Yogya, di persimpangan langkahku terhenti, ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera orang duduk bersila, musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu merintih sendiri ditelan deru kotamu …”

sebait lagu monumental yang sangat terkenal di tahun 1990-an oleh KLa Project yang akhirnya menjadi music icon dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY/Yogya/YK) itu sendiri.
Sebait lagu itu pula yang saya dengarkan pagi ini dalam Voice Note (VN via Blackberry) dari seorang troopers yang ada di YK #ree_cyntara dan sebait lagu itu pula yang membuat saya tersenyum lebar penuh kerinduan kepada kota yang sudah lebih dari 6 tahun saya tinggalkan. Entah kapan saya akan bisa kembali lagi ke kota dimana setiap sudutnya menyapa bersahabat penuh selaksa makna.

Akhir Juli Tahun 2002 saya memberanikan diri untuk keluar dari kenyamanan lingkungan keluarga dan merantau seorang diri ke kota yang dulunya sempat menjadi incaran saya untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S1, yang kemudian kandas pada saat masih menjadi mimpi haha.

Berbekal 1 buah koper dan 1 dus compo JVC, sore di hari Kamis, saya pun menginjakkan kaki saya di YK dengan was-was karena saya belum dapat kost dan hari Senin saya sudah harus masuk kerja di tempat yang notabene, saya tidak tahu letaknya (waktu interview dijemput oleh mobil kantor dan pulangnya juga diantar ke hotel).
Secepat mungkin, setelah menaruh barang-barang saya di hostel di Jalan Sosrowijayan (area Mailoboro) dan berbekal sebuah peta YK yang saya beli sebelumnya serta informasi beberapa teman, maka saya pun menjelajah YK seputaran area Tugu untuk mencari kost (it was kind of my first solo traveling haha) dengan berjalan kaki karena saya tidak tahu apakah ada angkutan umum dan harus pilih yang mana dan bagaimana serta kemana?, sedang untuk naik becak, ojek atau taxi kok uang saya juga “tipis”

Senja berganti malam dan dalam keputus-asaan, akhirnya saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Jalan Kranggan dan menemukan kost-kostan dengan sebuah kamar kosong di lantai 2 dan cerita hidup saya di YK pun dimulai dari sini dalam lembaran bab baru dalam buku kehidupan saya.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang tenang dengan area downtown yang relative kecil. Mall-mall yang ada pun relative kecil jika dibandingkan dengan mall-mall yang ada di  Jakarta dan Surabaya. Jalanan utama yang mulai terlihat lengang pada hari-hari biasa, ketika jam masih belum menyentuh angka 21.00 WIB.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang aman, dimana saya tidak merasa cemas atau was-was jika berjalan dengan seorang teman atau kadang sendiri ketika malam mulai larut dan jalanan mulai sepi.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang tingkat diversity-nya sangat tinggi, dimana saya tidak pernah sekalipun disebut/dipanggil “cina” dimana pada saat itu (awal tahun 2000-an) masih ada kota-kota yang lebih maju dari YK yang sometime masih memanggil warga keturunan cina dengan literally using word “cina”

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang menyajikan menu khas Gudeg, selain menu-menu kuliner lain yang menggeliurkan, dimana pun dan kapan pun, well I love gudeg, so I was okay with it haha ( Beberapa referensi saya di kota DI Yogyakarta ).

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang memiliki banyak sekali tempat-tempat wisata yang eksotis dan memiliki sejarah yang menarik, dari Taman Sari hingga Candi Prambanan ( Beberapa referensi saya di kota DI Yogyakarta ).

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang masyarakatnya ramah, murah senyum, senang bercengkrama, ringan tangan dan sangat welcome terhadap pendatang (include turis yah, baik domestik dan internasional).

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang memiliki arus lalu lintas yang cukup simple, tidak rumit dan memiliki tingkat kemacetan yang masih tolerable, meskipun memang perlu diakui juga bahwa YK memiliki tingkat kepadatan motor yang sangat tinggi dan sedikit “hutan rimba” dalam menghadapi kerumunan pengguna motor.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang mempertemukan saya dengan begitu banyak wonderful people and lucky me some of them became my best friends or at least they passed to my path.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota dimana terdapat banyak moment-moment kehidupan saya dengan teman-teman maupun *uhuk* (yang saya kadang dapatkan), di sudut-sudut dan dinding-dinding kota yang seolah merekamnya tanpa suara.

YK yang pernah saya tinggali adalah kota yang mana saya merasa nyaman dan hidup di tengah keramaian Jalan Mailoboro, Pasar Ngasem, Klitikan Jalan Mangkubumi atau di Pasar Pathuk.

Entah YK yang sekarang seperti apa?
Apakah YK yang sekarang akan sehangat yang dulu?

Yes, I would like to find out.
Yes, I will come back … soon, even if only just for one night in Yogyakarta.

“…walau kini kau t'lah tiada tak kembali, mamun kotamu hadirkan senyummu abadi, ijinkanlah aku untuk s'lalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa terobati”


1 comment:

  1. Kapan ke yogya maneh ? Jangan lupa bawa camera yah...

    ReplyDelete