“Desember lho, masih
musim ujan?”
“Udah nanya temen lo
yang di Ternate?”
“Udah, katanya ga
tentu. Kadang ujan kadang ga. Gimana dong?”
“Cus dah!”
2 atau 3 hari menjelang
tanggal keberangkatan,
“Eh ini ticket gue
bener kan?”
“Lho! Kok November!”
“What! Beneran salah
dong gue beli tiket kemarin?”
“Tanggalnya bener tapi
kok bulannya November? Desember!”
“Waduh gimana dong. Duh
yah udah gue beli lagi!”
Dan dari kecemasan akan
cuaca Desember yang cenderung bercurah hujan tinggi sampai drama salah beli
tiket dan drama-drama lainnya, kami berenam jadi juga terbang ke Ternate. Lepas
dari segala kendala, ternyata direstui dan diberkati benar perjalanan ke
Ternate ini, kata teman-teman seperjalanan. Sepanjang perjalanan kami selama 5
hari 4 malam cuaca sangat cerah dengan panas yang terik, meski dibubuhi hujan
ringan ketika subuh atau malam hari. Perfect! Dan inilah cerita saya bersama
lima teman pejalan lainnya.
***
Menjejak juga tapak
kaki saya di bumi Ternate, Maluku Utara. 6 orang seperjalanan bertemu di Bandara
Sultan Babullah melalui 2 maskapai penerbangan dan 3 jadwal penerbangan yang
(untungnya) berdekatan. Singkat cerita biar ga ngoceh detail-detail rempong ga
penting, berkumpullah kami di sebuah mobil Innova (sewa plus sopir dan BBM) dan
memulai penjelajahan kami di Ternate.
“Eh belom bisa check in
kan?”
“Yah udah, pada laper
ga sih? Makan yuk.”
“YUK!”
“Pak, mau dong makan
pagi khas Ternate tapi yang harga bersahabat yah Pak. Maaf yah Pak terpaksa
bawa turis dengan budget pas-pasan tapi maunya banyak.”
Rumah Makan Al-Hikmah
di jalan AIS Nasution di Ternate Tengah menyajikan makan khas Ternate untuk
bersantap pagi. Pilihannya ada Lontong Ikan Telur dan Nasi Kuning Ikan Telur
serta Gado-gado. Enak banget dan mengenyangkan. Pas banget untuk ngisi tenaga
buat jelajah Ternate.
***
Setelahnya kami mulai
melaju di jalanan-jalanan sempit Ternate. Sebuah pulau dari keseluruhan Gunung
Gamalama yang mempunyai hunian dan bisnis area di lereng tepian gunung pesisir pantai.
Pemberhentian pertama
adalah Benteng Kalamata yang merupakan peninggalan Portugis. Berdiri tahun
1540, benteng ini juga biasa disebut Benteng Kayu Merah. Kondisinya yang
tersisa terawat dengan baik dan mempunyai pemandangan yang indah menuju ke arah
Pulau Maitara dan Pulau Tidore.
Menyusuri jalanan yang
semakin menanjak, berbelok patah dan mobil sewaan kami bergerak merangkak
menyusuri bukit untuk menuju tempat pandang terbaik dari Danau Laguna atau
Danau Ngade. Tempatnya sempit dan bukan tempat resmi, hanya sebidang tanah
kosong yang mempunyai celah kosong sebagai perfect spot untuk melihat Danau
Ngade dari atas yang seolah hanya dibatasi sejengkal tanah dengan perairan
selat Ternate Tidore. Sangat indah dengan panaromic view yang alami. Danau
Ngade sendiri jika dikunjungi di bawah juga ternyata tak kalah indah lho.
Jadinya bertandang ke danau ini butuh 2 spot, dari atas dan ke tepian danaunya.
Benteng Kastela, atau
Benteng Gamlamo, juga merupakan benteng peninggalan portugis yang sayangnya
dalam kondisi hancur dan kurang terawat. Tak jauh dari benteng juga terdapat
Pantai Kastela yang berpasir hitam.
“Ada yang bawa uang
seribuan ga?”
“Yah LUPA!”
“Pak, punya uang
seribuan ga?”
“Wah tidak ada juga.”
“Yah padahal kemarin
sudah diingetin ama temen gue. Lupa bener dah.”
Memasuki sebuah pantai
berpasir hitam yang cukup panjang dan bersih dengan nama Pantai Fitu, Kami
menyaksikan versi asli dari gambar Pulau Maitara dan Pulau Tidore yang
diabadikan di lembar uang kertas seribu rupiah. Cakep banget.
“Makanan khas Ternate
apa sih Pak?”
“Papeda.”
“Wah pingin nyobain
nih.”
“Yuk cus. Pak cari
papeda … yang ga terlalu mahal yah Pak.”
“Beres!”
Dan makan sianglah kami
dengan menu lokal paket papeda plus ikan bakar. It’s like a feast. Paket papade
dihitung per orang dan terdiri dari bubur sagu, kuah asam gurih 2 macam, 3
macam sambal, kue sagu, lalapan dan sayuran, ikan asap, dan ubi singkong pisang
manis rebus (semacam kayak kolak). Oh yah ditambah dengan potongan besar ikan
bakar yang diguyur dengan sambal dabu-dabu.
Lanjut explore, dari
uang seribu kami menuju ke tempat dimana uang lima ribu bisa membeli 2 kantong plastik
berisi batu untuk dilempar ke Danau Tolire Besar. Urban legend-nya batu yang
kita lempar tidak pernah akan menyentuh permukaan air danau yang bewarna hijau
jamrud. Di area ini juga saya mencoba es kelapa muda khas Ternate Tidore. Es
kelapa muda biasa tetapi dicampur dengan sirop merah cocopan/gula jawa dan susu
kental manis. Manis, segar dan enak, seperti minum susu soda gembira tapi tanpa
bulir-bulir soda dan digantikan dengan irisan-irisan daging kelapa muda yang
lembut enak.
Batu Angus adalah
sebuah taman batu yang berisikan batu-batu besar berwarna hitam yang terbentuk
dari lava dari muntahan Gunung Gamalama. Kontur batunya sangat mirip dengan
yang ada di Leang-Leang, Maros, Makassar.
Benteng Tolukko adalah
satu lagi benteng batu peninggalan Portugis yang terawat sangat baik dan sangat
indah. Terletak di ujung tebing Ternate yang menghadap ke Pulau Halmahera, yang
seolah hanya selemparan jangkar saja dekatnya. Cukup lama kami menghabiskan
waktu di benteng kecil yang indah ini. Pemandangan di sisi belakang juga sangat
indah lho.
Beranjak untuk
mengakhiri sesi jelajah Ternate hari pertama ini, kami sempat mampir sebentar
ke sebuah benteng batu peninggalan Belanda, Fort Oranje. Terletak di pusat
keramaian Ternate, benteng ini masih ramai dikunjungi meski dalam kondisi yang
kurang terawat.
Petang menjelang dan
setelah check in di Hotel Muara dan mandi-mandi, kami bertolak menuju ke Pasar
Ikan Ternate untuk mencari santapan makan malam yang terdiri dari ikan bakar
dan tumisan sayur. Sangat fresh dan sedap.
***
Baca Jelajah Morotai di
sini Morotai, Sisi Keindahan Lain dari Maluku Utara
Baca Jelajah Tidore di
sini Setengah Hari Jelajah Pulau Tidore
***
Pagi menjelang dan
inilah hari terakhir kami dari rangkaian Jelajah Ternate, Morotai dan Tidore.
Batal menengok taman bawah laut Ternate, kami menyempatkan diri untuk
berkunjung ke Pantai Sulamadaha.
Sampai di parkiran,
saya merasa agak kecewa melihat pantai berpasir hitam yang sempit dan kotor.
“Ayo naik, jalan dulu.”
Kata Pak Hamran, sopir sekaligus guide ala-ala kami selama di Ternate sejak
hari pertama.
Dengan patuh kami
berjalan menyusuri tepian tebing selama kurang lebih 10 atau 15 menit dan di
sanalah terpampang keindahan dari Pantai Sulamadaha. WOW! Beda banget 180
derajat. Pantai yang ini punya warna biru bening dengan ombak yang tenang.
Menyesal meninggalkan snorkeling gear di hotel.
Sebelum menuju ke
Bandara Sultan Balbullah, kami isi perut lagi untuk terakhir kali di Ternate. Kali
ini kami dibawa ke sebuah Rumah Makan lokal, di jalan Tapak 2 Komplek Ruko
Bahari Berkesan, yang menyajikan makanan khas Ternate tapi dalam bentuk
prasmanan. Semacam warteg ambil sendiri di Jakarta. Enak! Nasi putih, bubur
sagu, ubi singkong pisang manis (yang selalu kami jadikan dessert instead of
pengganti nasi/bubur sagu) dengan pilihan lauk yang luar biasa banyak, dari
ikan bakar, gorengan, gohu (enak bangettttt), ragam tumisan sayur, olahan ikan
dan ayam lainnya. Bikin kalap mata nih menu-menunya. Sedappppp!
***
“…dengan nomor
penerbangan… dengan tujuan …Jakarta, kami persilakan masuk ke pesawat.”
“Yuk guys.”
“Udahan beneran nih
liburannya.”
*sigh*
“Penumpang yang
terhormat … segera akan tinggal landas…” dan sisa ucapan mbak pramugari sudah
menghilang dari perhatian. Tatapan saya sepenuhnya terarah melalui jendela
pesawat yang menampilkan sebuah pulau gunung berapi kecil yang semakin lama
semakin kecil ditelan biru yang luas dan menghilang dibalik gumpalan-gumpalan
putih awan.
“Jailolo nih!”
“Yuk Jailolo.”
“Kapan?”
“Kapan-kapan.”
***
Berikut rincian biaya selama di Ternate:
No comments:
Post a Comment