Sunrise dari Masjid Jami' |
Bulatan mentari
mulai muncul, memetakan batasan horizon yang tak lain adalah jajaran atap-atap
rumah yang membentang luas jauh ke timur. Sayap-sayap cahaya menyebar indah menerobos
semua bayangan ke ufuk barat yang terjauh yang bisa digapai. Perlahan denyut
kehidupan di kota kecil ini berima semakin cepat, setelah kemarin sejenak lama
tertidur. Sedikit semilir angin berhembus mencoba mematahkan jaringan hawa
panas yang merongrong pagi ini. Ah… terlihat sia-sia saja, seolah menjadi
kepastian bahwa 2 hari ini akan dibekap oleh hawa panas pesisir Laut Jawa.
Saya duduk di pelataran
Masjid Jami’ Lasem dengan peluh yang masih melekat, menikmati semua apa yang
sedang terjadi. Mencoba meresapi setip detik dan setiap moment yang sedang
beredar di sekeliling saya. Entah berapa tahun sudah? dua? tiga? Pastinya sudah
lama ada keinginan di hati untuk berkunjung ke Tiongkok Kecil ini. Bersama dengan
dua teman pejalan akhirnya saya ada di sini, Lasem.
Lasem adalah
kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang, yang merupakan titik awal dari
pendaratan orang Cina Daratan pertama di daratan Jawa. Lasem berada dalam
lintasan jalur pantura yang terdiri dari gabungan 20 desa dalam satu kota kecamatan
kecil. Dari Semarang, kami mencapai Lasem dengan bus umum yang memakan durasi
perjalanan kurang lebih 3 jam dan berhenti tepat di depan Masjid Jami’. Dengan
kebaikan dan ijin bapak penjaga Masjid, maka kami bertiga menumpang untuk
sekedar cuci muka dan rehat sebentar di pelataran Masijd yang bersih, yang
telah berdiri sejak tahun 1588.
***
Untuk
mengelilingi Lasem, kami bertiga dan satu orang guide lokal menggunakan 2 buah
motor yang kami sewa dari guest house tempat kami menginap. Guest house tempat
kami menginap, adalah sebuah rumah penduduk setempat yang juga merupakan rumah
produksi Batik Lasem. Menjadi pengalaman lain yang menyenangan saat kami
melangkah keluar dari kamar dan disambut dengan puluhan kain batik tulis yang
digantung dalam proses pengeringannya.
***
Pemberhentian kami selama mengelilingi Lasem,
banyak dan jenisnya cukup beragam. Diantaranya adalah klenteng-klenteng kuno
yang masih aktif sebagai tempat ibadah hingga saat ini. Klenteng-klenteng di
Lasem rata-rata telah berusia tua dan bahkan ada yang telah berdiri sejak abad
ke 15. Klenteng-klenteng tersebut rata-rata tidaklah terlalu luas tetapi
tentunya sarat akan histori-histori budaya Cina peranakan di Lasem.
Sebuah keunikan
Klenteng-klenteng di Lasem yang belum pernah saya temui di Klenteng-klenteng di
beberapa kota yang pernah saya kunjungi adalah lukisan dindingnya yang indah.
Semua Klenteng di Lasem biasanya mempunyai dua sisi tembok bercat dasar putih
di ruang ibadah utamanya. Kedua sisi tembok bercat putih tersebut,
masing-masing memiliki lukisan dinding hitam putih yang sarat akan cerita
filosofi Cina dan tokoh-tokoh penting seperti legenda pahlawan serta dewa dewi
dalam sistem Ketuhanan aliran kepercayaan Kong Hu Chu/Tao.
Setelah meminta
ijin kepada penjaga Klenteng, kami bebas untuk masuk ke dalam dan
menjelajahinya petak demi petak, mengabadikan moment dan keindahan arsitektur
dan seni yang melekat pada bangunan Klenteng-klenteng tersebut. Tentunya
kebebasan yang dimaksud tetap menjaga etika-etika pengunjung karena ini adalah
tempat ibadah dan harus pula menghormati apa yang mereka anggap suci dengan
tidak berprilaku seenaknya demi sebuah foto yang bagus atau lucu (untuk yang
kurang berpendidikan).
Salah satu
keunikan lain yang hanya kami temukan di Lasem ada di Klenteng Gie Yong Bio
yang berdiri pada tahun 1780. Klenteng ini didirikan untuk mengenang jasa
pahlawan Lasem pada saat berperang melawan VOC pada kurun waktu tahun 1742
sampai dengan 1750. Pahlawan-pahlawan tersebut adalah Raden Ngabehi
Widyadiningrat (Oei Ing Kiat) – orang cina peranakan yang pernah menjabat
sebagai adipati dan mayor di Lasem, Raden Panji Margono Putra Tejakusuma V –
bekas adipati Lasem, dan Tan Kee Wie – orang terpandang di Lasem. Di sayap
kanan bangunan utama Klenteng ini terdapat sebuah altar sembayang yang khusus
diperuntukan bagi Raden Panji, lengkap dengan dupa, lilin dan persembahan. Baru
kali ini saya melihat ada pahlawan yang didewakan oleh masyarakat Cina
(khususnya peranakan) yang berasal dari non legenda/pahlawan Cina Daratan. Saya
kira hal ini menjadikan Raden Panji sebagai satu-satunya dewa (orang) Jawa di sistem
perdewaan Klenteng di Indonesia (khususnya).
***
Rumah-rumah Cina
peranakan di Lasem memiliki bentuk yang sama baik dari bagian depan hingga
konsep dasar di dalam bangunan rumah. Satu layer tebal tembok mengelilingi
tanah dengan sebuah gapura kecil sebagai gerbang dan satu-satunya pintu untuk
keluar dan masuk ke rumah tersebut. Di dalamnya, kami disambut dengan halaman
depan yang luas dengan bangunan utama di tengah yang diapit dua bangunan kecil
masing-masing di samping kanan dan kiri. Bangunan utama memiliki teras yang
luas sekali dan biasanya terdiri dari dua tingkatan lantai. Taman berumput atau
bertanaman hias ada di sisi samping bangunan utama dan sisi belakang. Di bagian
belakang rumah terdapat beberapa bangunan kecil lagi, yang terpisah dari
bangunan utama dan biasanya adalah dapur, tempat pembantu dan kamar mandi luar
serta sumurnya.
Sudah sejak
lama, gaya-gaya arsitektur dan kualitas bangunan Cina peranakan Lasem ini
menjadi bahan studi bagi pelajar-pelajar dan praktisi dibidang arsitektur, baik
nasional maupun mancanegara. Bahkan rumah orang Cina pertama di Lasem pun masih
berdiri sejak abad ke 14 meskipun, rumah yang sangat besar itu, sudah berubah
fungsi menjadi gudang dan sarang burung walet. Menjadi renungan bagi saya bahwa
kondisi rumah-rumah kuno Cina peranakan Lasem ini, sebagian telah berubah
fungsi menjadi sarang burung walet dan mayoritas yang masih tersisa sebagai
rumah hunian dalam kondisi yang tidak terawat, bahkan terabaikan menunggu
runtuh karena menua dikikis cuaca. Kami sadar bahwa biaya perawatan rumah-rumah
kuno ini tentunya sangat mahal dan less efficient jika ditilik dari
pemanfaatannya sebagai rumah hunian pada era modern ini. Menjadi sebuah dilemma
ketika warisan budaya perlahan akan musnah karena tak sejalan dengan aspek
ekonomis bagi pemiliknya.
***
Lasem telah lama
tersohor sebagai Kota Santri, tercatat lebih dari 15 Pondok Pesantren yang
berada dalam wilayah Lasem yang tidak lebih dari 45 km². Di
sisi terluar wilayah Lasem, juga terdapat Pasujudan Sunan Bonang yang berada dalam
satu lokasi makam Putri Cempo yang sangat popular dikalangan peziarah khususnya
saudara-saudara umat Muslim. Hanya di Lasem, kami menyaksikan pintu depan dari
sebuah Pondok Pesantren yang berhiaskan dengan ukiran huruf mandarin (bahasa
Cina). Hal ini membuktikan bahwa di Lasem, umat Kong Hu Chu yang mayoritas
adalah Cina peranakan hidup berdampingan dengan damai bersama umat Muslim yang
mayoritas adalah penduduk asli Pulau Jawa.
***
Batik Indonesia
sudah tidak diragukan lagi, sangat terkenal di dunia. Salah satu batik yang
menonjol adalah Batik Tulis Lasem. Batik Lasem mempunyai keunikan tersendiri
yang sedikit banyak terpengaruh dengan kultur seni Cina dan Champa (sekarang
sebagian Vietnam) yang bermigrasi serta menetap di Lasem. Batika Laseman dengan
teknik Tulis, mempunyai paduan warna yang berani dan mencolok dengan ragam motif
yang khas tetapi tetap indah serta elegan.
Pada kesempatan
ini saya selain memperhatikan proses pembuatan batik di tempat saya menginap, saya
juga bertandang ke sebuah rumah produksi batik. Sebuah bangunan bata sederhana
yang sangat luas di sisi payungan sebuah pohon trembesi berusia ratusan tahun
yang besar sekali, indah dan agung, membentuk sebuah lingkaran yang nyaris
sempurna. Dalam rumah batik tersebut terdapat puluhan pekerja batik dengan
teknik tulis yang dengan ahli, gesit dan tanpa ragu membubuhkan cairan lelehan
malam dengan beberapa macam canting. Para pengrajin batik ini duduk melingkar
mengelilingi sebuah kompor dengan wadah berisi carian lelehan malam. Satu
lingkaran group kecil ini terdiri dari (sekitar) enam orang pengrajin dengan
beberapa kendi terselip diantara mereka. Kendi berisikan air minum membuat
mereka tak perlu beranjak setiap kali butuh minum. Kendi juga membuat air minum
mereka menjadi tetap sejuk pada hawa panas di dalam rumah batik.
Satu sisi dari pohon trembesi raksasa |
***
Lasem adalah
kota pesisir, sehingga tentu hawa udaranya panas dan cukup gersang. Pada sebuah
sisi lain Lasem, saya mengunjungi sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari
pusat keramaian dengan melewati kolam-kolam produksi garam. Pantai dengan garis
pantai yang panjang, menghadap condong ke utara sehingga sunset masih bisa kita
nikmati di ujung sisi garis pantai terbarat. Pantainya cukup bersih dan mempunyai
banyak tempat teduh karena sepanjang sisi pantai, ditumbuhi oleh pohon-pohon
yang cukup rindang. Di sisi dalam juga banyak warung-warung, menawarkan tempat
duduk bersantai sembari menikmati mie instant, minuman dingin dan kelapa muda.
***
Makam Han.
Sebuah makam kuno dari seorang saudagar bermarga Han. Terletak sendiri
dikeliling sawah dan kebuh dari penduduk setempat, tampaknya penduduk setempat
tidak berniat untuk memindahkan makam kuno ini. Tidak ada yang menarik dari
makam ini, melainkan kisah urban legend-nya yang cukup menggugah rasa ingin
tahu kami.
Terceritakan
seorang saudagar bermarga Han, mempunyai bisnis yang sangat bagus di Lasem dan
menjadi salah satu orang kaya di Lasem. Si Han mempunyai 2 anak laki-laki yang
unfortunately (katakanlah) tidak berbakat dalam berbisnis dan gemar sekali
berjudi. Harta si Han pun semakin lama semakin habis terseret jerat judi kedua
anaknya. Singkat cerita si Han pun menutup hayatnya dalam kondisi bangkrut.
Kedua anak laki-laki harus mencari dana hutang ke saudara-saudara si Han untuk
menutup biaya pemakaman. Malangnya, setelah mendapat dana bantuan kematian,
kedua bersaudara Han malah mentaruhkan dana tersebut dalam sebuah judi dan
kalah. Pada hari penguburan, saat prosesi di tanah kubur turunlah hujan badai
yang sangat lebat, sehingga semua orang berlarian meneduh di rumah terdekat,
meninggalkan peti tanpa penjagaan. Saat reda peti si Han pun sudah berada di
liang kuburnya sendiri. Konon Si Han kecewa dan murka atas tabiat kedua anak
laki-lakinya dan memasukan petinya sendiri ke liangnya. Kedua bersaudara Han
pun terusir selamanya dari Lasem. Sejak saat itu pula semua marga Han terkutuk
dan terusir dari Lasem hingga tujuh turunan.
Surprise-nya
ternyata kutukan itu sempat saya dengar dari teman yang bermarga Han, beberapa
bulan sejak kunjungan saya ke Lasem, bahwa dia pun dilarang oleh orang tuanya
untuk ke Lasem karena kutukan itu. What an urban legend of Han’s Family.
***
Kuliner Lasem
dalam keterbatasan waktu saya berkunjung tidaklah beragam. Rata-rata kulineran
Lasem adalah menu-menu umum dari Pulau Jawa. Lontong Tuyuhan adalah
satu-satunya kuliner authentic Lasem yang saya coba. Potongan-potongan lontong
yang diguyur dengan kuah opor / kari jawa dengan sepotong ayamnya. Tasty dan
sangat popular di Lasem. Bagi saya yang penggemar makanan pedas, sayang sekali
di Lontong Tuyuhan tidak tersedia sambal atau cabe dalam bentuk apapun.
Yakinnya jika ada sambalnya maka santapan tersebut pasti jauh lebih nikmat.
Kopi Lasem, kopi
ampas halus yang pekat dan pahitnya sungguh nikmat. Saya dan teman seperjalanan
mencoba kopi Lasem, yang disajikan dalam cangkir kecil, di sebuah warung kopi
sederhana bernama “Pak Gendut”. Di warung ini pulalah saya melihat sebuah
keunikan dalam meramu flavor kopi pada sebatang rokok kretek. Seni rokok
Laseman ini sebenarnya sudah pernah saya lihat dari teman saya yang asal
Tulungagung, Jawa Timur. Seninya adalah ampas bekas kopi di gelas, dituang ke
piring kecil (dalam bahasa Jawa: lepek) dan sisa air kopi dihisap dengan
tissue. Setelah itu ampas dicampur dengan sedikit susu kental manis, aduk rata
dan siap menjadi “cat” untuk melukis sebatang rokok dengan keunikan pola bebas
masing-masing pelukis. Melukis rokok ini biasanya menggunakan seutas benang dan
sebatang tusuk gigi. Bagi yang sudah biasa hasilnya bisa keren sekali. Konon
menurut teman saya yang asal Tulungagung, ada yang bisa melukiskan tokoh wayang
tertentu. Setelah proses lukis selesai, maka rokok tersebut disandarkan pada
sepotong kayu untuk proses pengeringan. Rokok-rokok Laseman ini jika dihisap
akan mengeluarkan aroma kopinya.
***
Tiba pada subuh
hari pertama, saya dan teman perjalanan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
kami ke kota lain pada pagi hari kedua. Beberapa tempat tujuan di Lasem masih
ada yang belum sempat saya sambangi. Mungkin jika ada jodoh, suatu saat saya
akan kembali ke kota kecil ini.
Dari jauh tampak
bus yang akan membawa kami kembali ke Semarang. Kami pun bersiap dan beranjak
dari tempat menunggu kami.
Duduk di dalam
bus, bertolak meninggalkan Lasem di belakang dan entah mengapa sederet lirik
lagu teriang dalam benak saya. Ah dasar anak 90an.
“Pabila
tersayang jatuh di pangkuan. Tiada keinginan hatiku menyayang selain dirimu.
Pabila tercinta inginkan pelukan. Akan kuberikan padamu seorang semampu diriku.
Selama bersama akan hanya ada cinta. Semenjak bersama tak 'kan ada hasrat
hilangkan cinta yang telah ada untuk s'lamanya” – Tak Kan Habis Cintaku by
Lingua
terhimpit modernisasi |
Rumah Tegel/Ubin/Keramik |
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete