Monday, April 18, 2016

Tiongkok Kecil ini bernama Lasem, Jawa Tengah, Indonesiaku

Sunrise dari Masjid Jami'


Bulatan mentari mulai muncul, memetakan batasan horizon yang tak lain adalah jajaran atap-atap rumah yang membentang luas jauh ke timur. Sayap-sayap cahaya menyebar indah menerobos semua bayangan ke ufuk barat yang terjauh yang bisa digapai. Perlahan denyut kehidupan di kota kecil ini berima semakin cepat, setelah kemarin sejenak lama tertidur. Sedikit semilir angin berhembus mencoba mematahkan jaringan hawa panas yang merongrong pagi ini. Ah… terlihat sia-sia saja, seolah menjadi kepastian bahwa 2 hari ini akan dibekap oleh hawa panas pesisir Laut Jawa.

Saya duduk di pelataran Masjid Jami’ Lasem dengan peluh yang masih melekat, menikmati semua apa yang sedang terjadi. Mencoba meresapi setip detik dan setiap moment yang sedang beredar di sekeliling saya. Entah berapa tahun sudah? dua? tiga? Pastinya sudah lama ada keinginan di hati untuk berkunjung ke Tiongkok Kecil ini. Bersama dengan dua teman pejalan akhirnya saya ada di sini, Lasem.

Lasem adalah kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang, yang merupakan titik awal dari pendaratan orang Cina Daratan pertama di daratan Jawa. Lasem berada dalam lintasan jalur pantura yang terdiri dari gabungan 20 desa dalam satu kota kecamatan kecil. Dari Semarang, kami mencapai Lasem dengan bus umum yang memakan durasi perjalanan kurang lebih 3 jam dan berhenti tepat di depan Masjid Jami’. Dengan kebaikan dan ijin bapak penjaga Masjid, maka kami bertiga menumpang untuk sekedar cuci muka dan rehat sebentar di pelataran Masijd yang bersih, yang telah berdiri sejak tahun 1588.
***
Untuk mengelilingi Lasem, kami bertiga dan satu orang guide lokal menggunakan 2 buah motor yang kami sewa dari guest house tempat kami menginap. Guest house tempat kami menginap, adalah sebuah rumah penduduk setempat yang juga merupakan rumah produksi Batik Lasem. Menjadi pengalaman lain yang menyenangan saat kami melangkah keluar dari kamar dan disambut dengan puluhan kain batik tulis yang digantung dalam proses pengeringannya.
***
Pemberhentian kami selama mengelilingi Lasem, banyak dan jenisnya cukup beragam. Diantaranya adalah klenteng-klenteng kuno yang masih aktif sebagai tempat ibadah hingga saat ini. Klenteng-klenteng di Lasem rata-rata telah berusia tua dan bahkan ada yang telah berdiri sejak abad ke 15. Klenteng-klenteng tersebut rata-rata tidaklah terlalu luas tetapi tentunya sarat akan histori-histori budaya Cina peranakan di Lasem.

Sebuah keunikan Klenteng-klenteng di Lasem yang belum pernah saya temui di Klenteng-klenteng di beberapa kota yang pernah saya kunjungi adalah lukisan dindingnya yang indah. Semua Klenteng di Lasem biasanya mempunyai dua sisi tembok bercat dasar putih di ruang ibadah utamanya. Kedua sisi tembok bercat putih tersebut, masing-masing memiliki lukisan dinding hitam putih yang sarat akan cerita filosofi Cina dan tokoh-tokoh penting seperti legenda pahlawan serta dewa dewi dalam sistem Ketuhanan aliran kepercayaan Kong Hu Chu/Tao.

Setelah meminta ijin kepada penjaga Klenteng, kami bebas untuk masuk ke dalam dan menjelajahinya petak demi petak, mengabadikan moment dan keindahan arsitektur dan seni yang melekat pada bangunan Klenteng-klenteng tersebut. Tentunya kebebasan yang dimaksud tetap menjaga etika-etika pengunjung karena ini adalah tempat ibadah dan harus pula menghormati apa yang mereka anggap suci dengan tidak berprilaku seenaknya demi sebuah foto yang bagus atau lucu (untuk yang kurang berpendidikan).
Legenda 8 Dewa
Salah satu keunikan lain yang hanya kami temukan di Lasem ada di Klenteng Gie Yong Bio yang berdiri pada tahun 1780. Klenteng ini didirikan untuk mengenang jasa pahlawan Lasem pada saat berperang melawan VOC pada kurun waktu tahun 1742 sampai dengan 1750. Pahlawan-pahlawan tersebut adalah Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oei Ing Kiat) – orang cina peranakan yang pernah menjabat sebagai adipati dan mayor di Lasem, Raden Panji Margono Putra Tejakusuma V – bekas adipati Lasem, dan Tan Kee Wie – orang terpandang di Lasem. Di sayap kanan bangunan utama Klenteng ini terdapat sebuah altar sembayang yang khusus diperuntukan bagi Raden Panji, lengkap dengan dupa, lilin dan persembahan. Baru kali ini saya melihat ada pahlawan yang didewakan oleh masyarakat Cina (khususnya peranakan) yang berasal dari non legenda/pahlawan Cina Daratan. Saya kira hal ini menjadikan Raden Panji sebagai satu-satunya dewa (orang) Jawa di sistem perdewaan Klenteng di Indonesia (khususnya).

***
Rumah-rumah Cina peranakan di Lasem memiliki bentuk yang sama baik dari bagian depan hingga konsep dasar di dalam bangunan rumah. Satu layer tebal tembok mengelilingi tanah dengan sebuah gapura kecil sebagai gerbang dan satu-satunya pintu untuk keluar dan masuk ke rumah tersebut. Di dalamnya, kami disambut dengan halaman depan yang luas dengan bangunan utama di tengah yang diapit dua bangunan kecil masing-masing di samping kanan dan kiri. Bangunan utama memiliki teras yang luas sekali dan biasanya terdiri dari dua tingkatan lantai. Taman berumput atau bertanaman hias ada di sisi samping bangunan utama dan sisi belakang. Di bagian belakang rumah terdapat beberapa bangunan kecil lagi, yang terpisah dari bangunan utama dan biasanya adalah dapur, tempat pembantu dan kamar mandi luar serta sumurnya.

Sudah sejak lama, gaya-gaya arsitektur dan kualitas bangunan Cina peranakan Lasem ini menjadi bahan studi bagi pelajar-pelajar dan praktisi dibidang arsitektur, baik nasional maupun mancanegara. Bahkan rumah orang Cina pertama di Lasem pun masih berdiri sejak abad ke 14 meskipun, rumah yang sangat besar itu, sudah berubah fungsi menjadi gudang dan sarang burung walet. Menjadi renungan bagi saya bahwa kondisi rumah-rumah kuno Cina peranakan Lasem ini, sebagian telah berubah fungsi menjadi sarang burung walet dan mayoritas yang masih tersisa sebagai rumah hunian dalam kondisi yang tidak terawat, bahkan terabaikan menunggu runtuh karena menua dikikis cuaca. Kami sadar bahwa biaya perawatan rumah-rumah kuno ini tentunya sangat mahal dan less efficient jika ditilik dari pemanfaatannya sebagai rumah hunian pada era modern ini. Menjadi sebuah dilemma ketika warisan budaya perlahan akan musnah karena tak sejalan dengan aspek ekonomis bagi pemiliknya.
***
Lasem telah lama tersohor sebagai Kota Santri, tercatat lebih dari 15 Pondok Pesantren yang berada dalam wilayah Lasem yang tidak lebih dari 45 km². Di sisi terluar wilayah Lasem, juga terdapat Pasujudan Sunan Bonang yang berada dalam satu lokasi makam Putri Cempo yang sangat popular dikalangan peziarah khususnya saudara-saudara umat Muslim. Hanya di Lasem, kami menyaksikan pintu depan dari sebuah Pondok Pesantren yang berhiaskan dengan ukiran huruf mandarin (bahasa Cina). Hal ini membuktikan bahwa di Lasem, umat Kong Hu Chu yang mayoritas adalah Cina peranakan hidup berdampingan dengan damai bersama umat Muslim yang mayoritas adalah penduduk asli Pulau Jawa. 

***
Batik Indonesia sudah tidak diragukan lagi, sangat terkenal di dunia. Salah satu batik yang menonjol adalah Batik Tulis Lasem. Batik Lasem mempunyai keunikan tersendiri yang sedikit banyak terpengaruh dengan kultur seni Cina dan Champa (sekarang sebagian Vietnam) yang bermigrasi serta menetap di Lasem. Batika Laseman dengan teknik Tulis, mempunyai paduan warna yang berani dan mencolok dengan ragam motif yang khas tetapi tetap indah serta elegan.


Pada kesempatan ini saya selain memperhatikan proses pembuatan batik di tempat saya menginap, saya juga bertandang ke sebuah rumah produksi batik. Sebuah bangunan bata sederhana yang sangat luas di sisi payungan sebuah pohon trembesi berusia ratusan tahun yang besar sekali, indah dan agung, membentuk sebuah lingkaran yang nyaris sempurna. Dalam rumah batik tersebut terdapat puluhan pekerja batik dengan teknik tulis yang dengan ahli, gesit dan tanpa ragu membubuhkan cairan lelehan malam dengan beberapa macam canting. Para pengrajin batik ini duduk melingkar mengelilingi sebuah kompor dengan wadah berisi carian lelehan malam. Satu lingkaran group kecil ini terdiri dari (sekitar) enam orang pengrajin dengan beberapa kendi terselip diantara mereka. Kendi berisikan air minum membuat mereka tak perlu beranjak setiap kali butuh minum. Kendi juga membuat air minum mereka menjadi tetap sejuk pada hawa panas di dalam rumah batik.

Satu sisi dari pohon trembesi raksasa
***
Lasem adalah kota pesisir, sehingga tentu hawa udaranya panas dan cukup gersang. Pada sebuah sisi lain Lasem, saya mengunjungi sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari pusat keramaian dengan melewati kolam-kolam produksi garam. Pantai dengan garis pantai yang panjang, menghadap condong ke utara sehingga sunset masih bisa kita nikmati di ujung sisi garis pantai terbarat. Pantainya cukup bersih dan mempunyai banyak tempat teduh karena sepanjang sisi pantai, ditumbuhi oleh pohon-pohon yang cukup rindang. Di sisi dalam juga banyak warung-warung, menawarkan tempat duduk bersantai sembari menikmati mie instant, minuman dingin dan kelapa muda.

***
Makam Han. Sebuah makam kuno dari seorang saudagar bermarga Han. Terletak sendiri dikeliling sawah dan kebuh dari penduduk setempat, tampaknya penduduk setempat tidak berniat untuk memindahkan makam kuno ini. Tidak ada yang menarik dari makam ini, melainkan kisah urban legend-nya yang cukup menggugah rasa ingin tahu kami.

Terceritakan seorang saudagar bermarga Han, mempunyai bisnis yang sangat bagus di Lasem dan menjadi salah satu orang kaya di Lasem. Si Han mempunyai 2 anak laki-laki yang unfortunately (katakanlah) tidak berbakat dalam berbisnis dan gemar sekali berjudi. Harta si Han pun semakin lama semakin habis terseret jerat judi kedua anaknya. Singkat cerita si Han pun menutup hayatnya dalam kondisi bangkrut. Kedua anak laki-laki harus mencari dana hutang ke saudara-saudara si Han untuk menutup biaya pemakaman. Malangnya, setelah mendapat dana bantuan kematian, kedua bersaudara Han malah mentaruhkan dana tersebut dalam sebuah judi dan kalah. Pada hari penguburan, saat prosesi di tanah kubur turunlah hujan badai yang sangat lebat, sehingga semua orang berlarian meneduh di rumah terdekat, meninggalkan peti tanpa penjagaan. Saat reda peti si Han pun sudah berada di liang kuburnya sendiri. Konon Si Han kecewa dan murka atas tabiat kedua anak laki-lakinya dan memasukan petinya sendiri ke liangnya. Kedua bersaudara Han pun terusir selamanya dari Lasem. Sejak saat itu pula semua marga Han terkutuk dan terusir dari Lasem hingga tujuh turunan.
Makam Han
Surprise-nya ternyata kutukan itu sempat saya dengar dari teman yang bermarga Han, beberapa bulan sejak kunjungan saya ke Lasem, bahwa dia pun dilarang oleh orang tuanya untuk ke Lasem karena kutukan itu. What an urban legend of Han’s Family.
***
Kuliner Lasem dalam keterbatasan waktu saya berkunjung tidaklah beragam. Rata-rata kulineran Lasem adalah menu-menu umum dari Pulau Jawa. Lontong Tuyuhan adalah satu-satunya kuliner authentic Lasem yang saya coba. Potongan-potongan lontong yang diguyur dengan kuah opor / kari jawa dengan sepotong ayamnya. Tasty dan sangat popular di Lasem. Bagi saya yang penggemar makanan pedas, sayang sekali di Lontong Tuyuhan tidak tersedia sambal atau cabe dalam bentuk apapun. Yakinnya jika ada sambalnya maka santapan tersebut pasti jauh lebih nikmat.

Kopi Lasem, kopi ampas halus yang pekat dan pahitnya sungguh nikmat. Saya dan teman seperjalanan mencoba kopi Lasem, yang disajikan dalam cangkir kecil, di sebuah warung kopi sederhana bernama “Pak Gendut”. Di warung ini pulalah saya melihat sebuah keunikan dalam meramu flavor kopi pada sebatang rokok kretek. Seni rokok Laseman ini sebenarnya sudah pernah saya lihat dari teman saya yang asal Tulungagung, Jawa Timur. Seninya adalah ampas bekas kopi di gelas, dituang ke piring kecil (dalam bahasa Jawa: lepek) dan sisa air kopi dihisap dengan tissue. Setelah itu ampas dicampur dengan sedikit susu kental manis, aduk rata dan siap menjadi “cat” untuk melukis sebatang rokok dengan keunikan pola bebas masing-masing pelukis. Melukis rokok ini biasanya menggunakan seutas benang dan sebatang tusuk gigi. Bagi yang sudah biasa hasilnya bisa keren sekali. Konon menurut teman saya yang asal Tulungagung, ada yang bisa melukiskan tokoh wayang tertentu. Setelah proses lukis selesai, maka rokok tersebut disandarkan pada sepotong kayu untuk proses pengeringan. Rokok-rokok Laseman ini jika dihisap akan mengeluarkan aroma kopinya.

***
Tiba pada subuh hari pertama, saya dan teman perjalanan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami ke kota lain pada pagi hari kedua. Beberapa tempat tujuan di Lasem masih ada yang belum sempat saya sambangi. Mungkin jika ada jodoh, suatu saat saya akan kembali ke kota kecil ini.

Dari jauh tampak bus yang akan membawa kami kembali ke Semarang. Kami pun bersiap dan beranjak dari tempat menunggu kami.

Duduk di dalam bus, bertolak meninggalkan Lasem di belakang dan entah mengapa sederet lirik lagu teriang dalam benak saya. Ah dasar anak 90an.

“Pabila tersayang jatuh di pangkuan. Tiada keinginan hatiku menyayang selain dirimu. Pabila tercinta inginkan pelukan. Akan kuberikan padamu seorang semampu diriku. Selama bersama akan hanya ada cinta. Semenjak bersama tak 'kan ada hasrat hilangkan cinta yang telah ada untuk s'lamanya” – Tak Kan Habis Cintaku by Lingua

terhimpit modernisasi
Rumah Tegel/Ubin/Keramik

1 comment: