Friday, April 22, 2016

Solo - Highlight One Day Trip



Solo, salah satu kota di Indonesia yang mempunyai reputasi terbaik sebagai tempat wisata terutama ragam kulinernya. Dulu, pada awal tahun 2000an saat saya masih berdomisili di Yogyakarta, sekali atau dua saya pernah berkunjung ke Solo. Yah tetapi hanya sekedar datang untuk menghadiri resepsi pernikahan teman saja. Tak pernah terbersit keinginan untuk menjelajah mencicip semua rasa yang ada di kota batik ini.

Kunjungan kali ini pun tak lain tak bukan adalah untuk menghadiri resepsi pernikahan teman juga. Kali ini saya datang sehari sebelumnya karena ingin sejenak melihat sedikit-sedikit apa yang ditawarkan oleh kota budaya ini kepada para pejalan. Unfortunately waktu yang saya punyai sangat terbatas dan kali ini saya akan lebih menengok di area kota yangd ekat-dekat saja saja.

Saya bersama dengan dua orang teman mencoba mencicipi sebanyak mungkin kenikmatan lokal baik makanan maupun budaya yang ditawarkan oleh kota ini.

Dari beberapa tempat yang saya kunjungi, inilah catatan highlight (my version) akan Solo.

Pasar Triwindu (Ngarsopuro)
Sebuah pasar yang cukup besar, terletak di pusat kota Solo. Pasar yang sangat menarik dan eksotis dengan segala pernak-pernik hiasan, alat rumah tangga hingga perabot kuno, antik baik bekas maupun baru. Merupakan surga kecil bagi penggemar barang-barang kuno dan antik. Tak cukup jika berkunjung ke sini hanya dengan waktu sekedarnya. 

Ketika malam tiba, kemeriahan tidak ikut terhenti dengan tutupnya pasar yang terletak di jalan Diponegoro itu. Jalan Diponegoro ditutup untuk kendaraan apapun semenjak petang dan tepat di depan Pasar Triwindu berjajar puluhan tenda yang menggelar dagangannya, dari pernak-pernik souvenir, pakaian, hingga ragam santapan umum yang sangat mengundang untuk dicoba.


Museum Batik Danarhadi
Tak jauh dari Pasar Triwindu, museum pribadi ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki santai saja. Ratusan bahkan ribuan koleksi batik dari segala bangsa dan masa, ada di sini. Biaya yang harus dibayar untuk memasuki museum ini sudah termasuk biaya guide yang membuat putaran langkah kaki kami menjadi lebih menarik lagi dengan cerita-ceritanya.

Sesungguhnya saya cukup skeptic dan tidak berharap banyak dari museum ini. Tapi tampaknya saya harus menelan kembali kesan awal saya dan keluar dari museum ini dengan kekaguman. Museum ini bagus sekali terutama yang mencintai keindahan dan seni kain batik.


Es Puter (di depan) Pasar Triwindu
Sebuah gerobak kecil berhiasakan gantung-gantungan gelas-gelas tinggi dari kaca yang dipakai untuk menyajikan seporsi es puter jadul yang lezat. Saya sendiri mencampurnya dengan tape beras yang juga tersedia jika diinginkan. Sebuah kenikmatan masa kecil di Kota Malang dulu, dulu sekali yang kembali saya nikmati di Solo. Nothing fancy for sure, duduk di pinggir jalan, di atas trotoar dan menyendok es puter itu, merasakannya melumer di dalam mulut saya. Dingin, manis dengan rasa kelapa yang jelas berpesta di dalam mulut saya.


Sekali atau dua, menjadi kegemaran saya untuk duduk sambil menyesap kopi atau (kali ini) es puter dan diam hanya menyerap semua moment yang terjadi di sekeliling saya. Mengamati dan mencoba beragumen dengan diri saya sendiri tentang orang-orang yang sama sekali asing buat saya, yang hilir mudik berjalan melalui saya.

Soto Triwindu
Sebuah depot rumahan yang kala itu tampak lengang, karena sudah lewat dari jam makan siang. Terletak tepat di sisi belakang Pasar Triwindu, depot ini menyajikan soto daging dengan kuah bening yang sangat sedap sekali.
Tentunya tambahan sambal soto dan jeruk nipis menjadikan Soto Daging Triwindu ini sangat nikmat dan cocok dinikmati kala minggu siang yang cenderung lengang.

Sayangnya karena kami datang lewat jam makan siang maka aneka ragam side dishes yang biasanya berjajar mengundang untuk dicicip, yang terletak di etalase kaca disetiap meja, sudah habis semua. Nampaknya depot soto ini memang kondang benar dan ramai sekali pada saat jam sarapan dan makan siang.


Warung Selat Mbak Lies
Selat Solo adalah salah satu menu khas Solo yang popular. Hidangan ini memiliki kesamaan dengan bistik jawa, dengan potongan daging/lidah sapi dengan kuah kental manis kecoklatan dengan aneka ragam sayuran rebus dan sesendok saus (seperti) mayonnaise.

Warung Mbak Lies ini juga sangat popular meskipun terletak di dalam gang kecil. Tak heran jika pada jam-jam makan akan terlihat antrian yang cukup panjang. Beragam menu selat dan menu lainnya ditawarkan di Warung Mbak Lies, termasuk pemandangan sembari menikmati hidangan. Warung ini menurut saya unik dan menarik dengan segala macam ragam pernak-pernik yang dipasang dari hiasan hingga sapu gabah. Meja dan kursi yang kita pakai untuk makan juga unik dan beragam, mulai dari kayu hingga keramik cina-cinaan.


Museum Radya Pustaka
Konon (setahu saya) adalah museum utama di Solo. Sebuah museum yang memiliki koleksi yang beragam dari jaman ancient hingga jaman tempo dulu. Dengan membayar tiket masuk yang sangat murah kami bisa mengakses semua sudut di museum yang tidaklah terlalu besar itu.

Berbanding terbalik dengan (menurut saya) koleksinya yang bagus dan beragam, kondisi museum maupun perawatan koleksinya dalam kondisi yang (menurut saya) mengenaskan. Satu hal yang saya lihat pertama adalah sarang laba-laba ada dimana-mana bahkan hingga ke dalam etalase-etalase kaca. Sistem pengamanan yang sama sekali hampir tidak ada (sejauh pantauan saya). dinding yang kusam dan jamur-jamur yang ada di beberapa tempat.

Tampaknya Jokowi belum sempat “cawe-cawe” di museum yang menurut saya seharusnya bisa menjadi salah satu destinasi wisata utama dan menjadi kebanggaan Solo. Budaya adalah jati diri bangsa yang kekal selama penceritaan peradaban masih ada. Ekonomi adalah roda penggerak kesejahteraan rakyat. Mungkin, mungkin saja, aspek ekonomi lebih menjadi perhatian pemerintahan Solo. Museum Radya Pustaka needs to be saved. Bagi penggemar budaya amatiran macam saya saja, melihat kondisi museum tersebut, membuat saya sedih dan menyayangkan generasi lebih muda yang mungkin tidak mempunyai kesempatan melihat saksi-saksi bisu sejarah bangsa dan peradaban Indonesia, di Solo.
***
Saya yakin bahwa suatu saat saya akan kembali ke Solo dan semoga bukan untuk menghadiri resepsi pernikahan teman. Saat itu saya akan mencoba menjejak ke sudut-sudut lain dan mungkin sedikit kepinggiran Solo yang belum pernah saya jejak serta mengelupas potongan-potongan memori lama di tempat-tempat yang telah saya kunjungi pada masa ini.

No comments:

Post a Comment