Solo, salah satu
kota di Indonesia yang mempunyai reputasi terbaik sebagai tempat wisata terutama
ragam kulinernya. Dulu, pada awal tahun 2000an saat saya masih berdomisili di
Yogyakarta, sekali atau dua saya pernah berkunjung ke Solo. Yah tetapi hanya sekedar
datang untuk menghadiri resepsi pernikahan teman saja. Tak pernah terbersit
keinginan untuk menjelajah mencicip semua rasa yang ada di kota batik ini.
Kunjungan kali
ini pun tak lain tak bukan adalah untuk menghadiri resepsi pernikahan teman
juga. Kali ini saya datang sehari sebelumnya karena ingin sejenak melihat
sedikit-sedikit apa yang ditawarkan oleh kota budaya ini kepada para pejalan.
Unfortunately waktu yang saya punyai sangat terbatas dan kali ini saya akan
lebih menengok di area kota yangd ekat-dekat saja saja.
Saya bersama
dengan dua orang teman mencoba mencicipi sebanyak mungkin kenikmatan lokal baik
makanan maupun budaya yang ditawarkan oleh kota ini.
Dari beberapa
tempat yang saya kunjungi, inilah catatan highlight (my version) akan Solo.
Pasar Triwindu
(Ngarsopuro)
Sebuah pasar
yang cukup besar, terletak di pusat kota Solo. Pasar yang sangat menarik dan
eksotis dengan segala pernak-pernik hiasan, alat rumah tangga hingga perabot
kuno, antik baik bekas maupun baru. Merupakan surga kecil bagi penggemar
barang-barang kuno dan antik. Tak cukup jika berkunjung ke sini hanya dengan
waktu sekedarnya.
Ketika malam
tiba, kemeriahan tidak ikut terhenti dengan tutupnya pasar yang terletak di jalan
Diponegoro itu. Jalan Diponegoro ditutup untuk kendaraan apapun semenjak petang
dan tepat di depan Pasar Triwindu berjajar puluhan tenda yang menggelar
dagangannya, dari pernak-pernik souvenir, pakaian, hingga ragam santapan umum
yang sangat mengundang untuk dicoba.
Museum Batik
Danarhadi
Tak jauh dari
Pasar Triwindu, museum pribadi ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki santai
saja. Ratusan bahkan ribuan koleksi batik dari segala bangsa dan masa, ada di
sini. Biaya yang harus dibayar untuk memasuki museum ini sudah termasuk biaya
guide yang membuat putaran langkah kaki kami menjadi lebih menarik lagi dengan
cerita-ceritanya.
Sesungguhnya
saya cukup skeptic dan tidak berharap banyak dari museum ini. Tapi tampaknya
saya harus menelan kembali kesan awal saya dan keluar dari museum ini dengan kekaguman.
Museum ini bagus sekali terutama yang mencintai keindahan dan seni kain batik.
Es Puter (di
depan) Pasar Triwindu
Sebuah gerobak
kecil berhiasakan gantung-gantungan gelas-gelas tinggi dari kaca yang dipakai
untuk menyajikan seporsi es puter jadul yang lezat. Saya sendiri mencampurnya
dengan tape beras yang juga tersedia jika diinginkan. Sebuah kenikmatan masa
kecil di Kota Malang dulu, dulu sekali yang kembali saya nikmati di Solo.
Nothing fancy for sure, duduk di pinggir jalan, di atas trotoar dan menyendok
es puter itu, merasakannya melumer di dalam mulut saya. Dingin, manis dengan
rasa kelapa yang jelas berpesta di dalam mulut saya.
Sekali atau dua,
menjadi kegemaran saya untuk duduk sambil menyesap kopi atau (kali ini) es
puter dan diam hanya menyerap semua moment yang terjadi di sekeliling saya. Mengamati
dan mencoba beragumen dengan diri saya sendiri tentang orang-orang yang sama
sekali asing buat saya, yang hilir mudik berjalan melalui saya.
Soto Triwindu
Sebuah depot
rumahan yang kala itu tampak lengang, karena sudah lewat dari jam makan siang.
Terletak tepat di sisi belakang Pasar Triwindu, depot ini menyajikan soto
daging dengan kuah bening yang sangat sedap sekali.
Tentunya
tambahan sambal soto dan jeruk nipis menjadikan Soto Daging Triwindu ini sangat
nikmat dan cocok dinikmati kala minggu siang yang cenderung lengang.
Sayangnya karena
kami datang lewat jam makan siang maka aneka ragam side dishes yang biasanya
berjajar mengundang untuk dicicip, yang terletak di etalase kaca disetiap meja,
sudah habis semua. Nampaknya depot soto ini memang kondang benar dan ramai
sekali pada saat jam sarapan dan makan siang.
Warung Selat Mbak Lies
Selat Solo
adalah salah satu menu khas Solo yang popular. Hidangan ini memiliki kesamaan
dengan bistik jawa, dengan potongan daging/lidah sapi dengan kuah kental manis
kecoklatan dengan aneka ragam sayuran rebus dan sesendok saus (seperti)
mayonnaise.
Warung Mbak Lies
ini juga sangat popular meskipun terletak di dalam gang kecil. Tak heran jika
pada jam-jam makan akan terlihat antrian yang cukup panjang. Beragam menu selat
dan menu lainnya ditawarkan di Warung Mbak Lies, termasuk pemandangan sembari
menikmati hidangan. Warung ini menurut saya unik dan menarik dengan segala
macam ragam pernak-pernik yang dipasang dari hiasan hingga sapu gabah. Meja dan
kursi yang kita pakai untuk makan juga unik dan beragam, mulai dari kayu hingga
keramik cina-cinaan.
Museum Radya
Pustaka
Konon (setahu
saya) adalah museum utama di Solo. Sebuah museum yang memiliki koleksi yang beragam
dari jaman ancient hingga jaman tempo dulu. Dengan membayar tiket masuk yang
sangat murah kami bisa mengakses semua sudut di museum yang tidaklah terlalu
besar itu.
Berbanding
terbalik dengan (menurut saya) koleksinya yang bagus dan beragam, kondisi
museum maupun perawatan koleksinya dalam kondisi yang (menurut saya)
mengenaskan. Satu hal yang saya lihat pertama adalah sarang laba-laba ada
dimana-mana bahkan hingga ke dalam etalase-etalase kaca. Sistem pengamanan yang
sama sekali hampir tidak ada (sejauh pantauan saya). dinding yang kusam dan
jamur-jamur yang ada di beberapa tempat.
Tampaknya Jokowi
belum sempat “cawe-cawe” di museum yang menurut saya seharusnya bisa menjadi
salah satu destinasi wisata utama dan menjadi kebanggaan Solo. Budaya adalah
jati diri bangsa yang kekal selama penceritaan peradaban masih ada. Ekonomi
adalah roda penggerak kesejahteraan rakyat. Mungkin, mungkin saja, aspek
ekonomi lebih menjadi perhatian pemerintahan Solo. Museum Radya Pustaka needs
to be saved. Bagi penggemar budaya amatiran macam saya saja, melihat kondisi
museum tersebut, membuat saya sedih dan menyayangkan generasi lebih muda yang
mungkin tidak mempunyai kesempatan melihat saksi-saksi bisu sejarah bangsa dan
peradaban Indonesia, di Solo.
***
Saya yakin bahwa
suatu saat saya akan kembali ke Solo dan semoga bukan untuk menghadiri resepsi
pernikahan teman. Saat itu saya akan mencoba menjejak ke sudut-sudut lain dan
mungkin sedikit kepinggiran Solo yang belum pernah saya jejak serta mengelupas
potongan-potongan memori lama di tempat-tempat yang telah saya kunjungi pada
masa ini.
No comments:
Post a Comment