Wednesday, April 27, 2016

Festival Lembah Baliem - Highlight, Baliem Valley, Wamena, Papua, Indonesiaku




Tak pernah saya sangka bahwa saya bisa berada di sini, berada dalam rengkuhan pegunungan perkasa yang merupakan benteng alami dari sebuah kota kecil bernama Wamena. Sebuah kota kecamatan kecil yang juga merupakan ibukota dari Kabupaten Jayawijaya, terbentang di tengah luasnya Propinsi Papua, Indonesia.

Keindahan dan keagungan lansekap Lembah Baliem telah membuat saya kagum sejak pertama kali jejak kaki saya mendarat di Bandara Wamena. Sekilas pegunungan tersebut seolah beriringan bergandeng tangan membentuk sebuah lingkaran sempurna, memandang dan menjaga lembah yang ada dalam kekapannya.

Saya dan beberapa teman datang ke Kota Wamena untuk melihat dan bergabung dalam perayaan pesta budaya yang ke 26 dari Festival Budaya Lembah Baliem, yang kali ini diadakan di Distrik Usilimo. Selama 3 hari berturut-turut saya akan dibanjiri dengan segala macam bentukan budaya yang ada dan lestari di Lembah Baliem.

3 suku mayoritas, yaitu Suku Dani, Yali dan Lanny akan menyuguhkan dan melombakan lagu dan tari-tarian adat suku mereka. Diikuti pula dengan permainan dan olah raga tradisional mereka seperti karapan anak babi, dan perlombaan memainkan alat musik tradisional mereka yang disebut pikon. Selain itu mereka juga akan membanjiri saya dan ribuan turis lain, baik domestik maupun manca negara, dengan atraksi-atraksi anyaman noken (tas rajut), sekan (gelang), dan Bakar Batu yang merupakan cara tradisional dalam memasak.

Suku Dani
Suku Yali
Menjelang tengah hari pertama, suku-suku peserta festival budaya mulai berdatangan dan membanjiri area savannah yang cukup luas, yang dijadikan area utama. Perwakilan suku-suku peserta memenuhi sisi-sisi area festival dan sebagian berjajar membentuk barisan yang panjang menghadap ke podium utama. Sedangkan kami para penonton mulai memenuhi panggung berundak panjang yang telah disediakan sebagai tempat duduk dan menonton sebagian besar penampilan yang akan ada.

Cukup lama kami menunggu sebelum perwakilan dari pemerintahan datang dan secara resmi membuka  festival tersebut. Atraksi lagu dan tari-tarian mulai membuka perhelatan perayaan pesta budaya ini dan berlanjut ke atraksi perang-perangan antar suku dengan berbagai skenario yang menurut kesimpulan saya sendiri, merupakan alasan-alasan terjadinya perang antar suku di masa lalu yang terkadang masih terjadi hingga saat ini. Alasan-alasan penyebab terjadi perang antar suku tersebut cenderung lebih ke persoalan kehidupan sehari-hari, seperti percintaan dan perselingkuhan, pencurian babi, sengketa batas wilayah suku, mabuk karena minuman keras, kesalah pahaman, dan lain lain.

 

Masing-masing atraksi perang-perangan menggunakan tombak dan panahan asli yang digunakan secara main-main saja, meski tetap saja cukup berbahaya bagi kami yang menyaksikan di luar jarak aman. Banyaknya skenario atraksi perang-perangan ini ditampilkan semua selama 3 hari perhelatan festival budaya, masing-masing distrik mempunyai skenario masing-masing. Pada festival budaya yang ke 26 ini, terjadwal 34 distrik dengan 34 skenario yang sedikit banyak berbeda dengan distrik yang lain.


Sedikit untuk menghilangan pegal di pantat karena terlalu lama duduk, saya dan seorang teman beranjak ke sisi belakang area utama tempat terdapat desa adat kecil yang mempertunjukkan atraksi Bakar Batu. Bakar Batu adalah cara tradisional, khususnya, Suku Dani dalam memasak bahan makanan, yang dipelajari secara turun-temurun. Pertama-tama mereka membakar beberapa batu hingga membara. Kemudian mereka membuat lubang di tanah yang cukup besar dan melapisinya dengan rerumputan. Setelahnya batu-batu panas mulai ditaruh di atas rerumputan yang disusul dengan ubi-ubian, taro, kentang, singkong, jagung, sayur-sayuran, kol dan daging, yang bisa berupa daging ayam, babi, dan sapi. Setelahnya masih ditambahkan batu-batu panas dan ditutup kembali dengan rerumputan dan daun pisang. Butuh waktu 45 menit sampai dengan 1 jam hingga bahan-bahan tadi matang dengan sempurna.


Selesai melihat proses memasak tradisional tersebut dan puas mencoba mengintip-intip kecil ke dalam honai-honai (rumah adat) yang memang diijinkan untuk diintip, saya dan teman kembali ke area utama. Di area utama sudah terlihat beberapa anak laki-laki telah siap pada posisinya masing-masing dengan masing-masing menggenggam sebatang tombak. Saya agak terlewat dengan perkenalan atas perlombaan ini sehingga tidak tahu namanya. Perlombaan ini dimainkan oleh 4 anak laki-laki remaja yang berbaris dalam 1 garis dan menghadap ke samping dengan jarak satu sama lain sekitar 1 meter. Perlombaan ini bertajuk anak lelaki mana yang berhasil melempar tombaknya melalui sebuah lingkaran kayu yang digelindingkan melalui mereka berempat. Menarik dan seru.

Perlombaan berikutnya adalah giliran wanita-wanita yang berlomba dalam permainan yang disebut dengan Karapan Anak Babi. Babi-babi kecil ini dipelihara oleh wanita-wanita dengan penuh kasih sayang dan tak jarang anak-anak babi ini disusuin pula oleh wanita pemiliknya. Babi merupakan hewan penting dalam budaya Lembah Baliem. Babi merupakan alat pembayaran mas kawin, denda adat dan menunjukkan status sosial pemiliknya berdasarkan jumlah babi yang dimilikinya. Kota Wamena sendiri memiliki kosakata yang berarti babi, yaitu kata wam, sedangkan ena berarti jinak..

Lomba Karapan Babi ini sangat unik dan hanya bisa ditemui di Lembah Baliem. Unik, menghibur dan mengundang banyak tawa. Karapan Anak Babi dimainkan dengan sangat sederhana. Masing-masing wanita peserta lomba, berdiri pada garis start dengan jalur lurus yang digambar di area lomba. Pada hitungan dimulai, maka wanita tersebut harus lari mengikuti jalurnya dan, diharapkan, anak babinya akan mengikutinya ke ujung jalur dan kembali lagi. Akan mengundang tepuk tangan yang keras saat anak babi mengikuti wanita pemiliknya kemanapun wanita tersebut berlari dan akan mengundang pekik tawa saat anak babi memutuskan untuk berkunjung ke jalur sebelah dan bercengkeramah dengan anak babi yang lain.


Cukup lama saya dan teman rela berpanas-panasan menentang terik matahari timur sebelum perhatian saya teralih dan membuat kaki saya melangkah ke area tengah pada panggung kecil utama. Kerumunan semakin banyak dan kami menyaksikan perlombaan memainkan alat musik tradisional bernama Pikon. Pikon adalah alat musik tiup yang menghasilkan nada-nada melalui rongga mulut dan udara yang dihembuskan bersamaan dengan getaran alat musik pikon yang terbuat dari kulit kayu. Musik yang dilantunkan dengan pikon biasanya merupakan ungkapan isi hati sang musisi. Sebelum memainkan alat musik pikonnya, maka sang musisi diharuskan untuk memberikan sepatah dua kata yang menceritakan musik yang akan dimainkan. 


Suatu perhelatan pesta budaya yang sangat meriah dan beragam. Masih ada dua hari lagi batin saya dan sejenak saya terdiam dalam keramaian festival ini. Dalam hiruk pikuk suara yang tercampur saya menangkap perasaan damai. Tertangkap oleh pandangan saya, di area utama masih berlangsung atraksi perang-perangan antar suku, yang kali ini menampilkan skenario perselingkuhan seorang wanita dengan laki-laki dari suku lain.

Sengatan terik matahari timur tak mampu menyurutkan semangat saya, teman-teman group dan sesama turis untuk terus menyaksikan pagelaran pesta budaya ini. Terkadang mencoba mengabadikannya melalui memori digital kamera untuk bekal cerita pada saat pulang nanti. Memori yang mencoba menyampaikan cerita tentang ragam budaya yang kaya, budaya yang menarik dan indah dari suku-suku pegunungan dalam di Lembah Baliem yang agung.

Cerita tentang saudara yang jauh di timur. Cerita tentang kehidupan yang seolah lain, dari Indonesia Timur. Cerita dari bumi pertiwi Papua, Indonesiaku.

Wa Wa Wa Wa Wa.


No comments:

Post a Comment