Tak pernah saya sangka
bahwa saya bisa berada di sini, berada dalam rengkuhan pegunungan perkasa yang
merupakan benteng alami dari sebuah kota kecil bernama Wamena. Sebuah kota
kecamatan kecil yang juga merupakan ibukota dari Kabupaten Jayawijaya, terbentang
di tengah luasnya Propinsi Papua, Indonesia.
Keindahan dan keagungan
lansekap Lembah Baliem telah membuat saya kagum sejak pertama kali jejak kaki
saya mendarat di Bandara Wamena. Sekilas pegunungan tersebut seolah beriringan
bergandeng tangan membentuk sebuah lingkaran sempurna, memandang dan menjaga
lembah yang ada dalam kekapannya.
Saya dan beberapa teman
datang ke Kota Wamena untuk melihat dan bergabung dalam perayaan pesta budaya
yang ke 26 dari Festival Budaya Lembah Baliem, yang kali ini diadakan di Distrik
Usilimo. Selama 3 hari berturut-turut saya akan dibanjiri dengan segala macam
bentukan budaya yang ada dan lestari di Lembah Baliem.
3 suku mayoritas, yaitu
Suku Dani, Yali dan Lanny akan menyuguhkan dan melombakan lagu dan tari-tarian
adat suku mereka. Diikuti pula dengan permainan dan olah raga tradisional
mereka seperti karapan anak babi, dan perlombaan memainkan alat musik
tradisional mereka yang disebut pikon. Selain itu mereka juga akan membanjiri
saya dan ribuan turis lain, baik domestik maupun manca negara, dengan
atraksi-atraksi anyaman noken (tas rajut), sekan (gelang), dan Bakar Batu yang
merupakan cara tradisional dalam memasak.
Suku Dani |
Suku Yali |
Menjelang tengah hari
pertama, suku-suku peserta festival budaya mulai berdatangan dan membanjiri
area savannah yang cukup luas, yang dijadikan area utama. Perwakilan suku-suku
peserta memenuhi sisi-sisi area festival dan sebagian berjajar membentuk
barisan yang panjang menghadap ke podium utama. Sedangkan kami para penonton mulai
memenuhi panggung berundak panjang yang telah disediakan sebagai tempat duduk
dan menonton sebagian besar penampilan yang akan ada.
Cukup lama kami
menunggu sebelum perwakilan dari pemerintahan datang dan secara resmi
membuka festival tersebut. Atraksi lagu
dan tari-tarian mulai membuka perhelatan perayaan pesta budaya ini dan
berlanjut ke atraksi perang-perangan antar suku dengan berbagai skenario yang
menurut kesimpulan saya sendiri, merupakan alasan-alasan terjadinya perang
antar suku di masa lalu yang terkadang masih terjadi hingga saat ini.
Alasan-alasan penyebab terjadi perang antar suku tersebut cenderung lebih ke
persoalan kehidupan sehari-hari, seperti percintaan dan perselingkuhan,
pencurian babi, sengketa batas wilayah suku, mabuk karena minuman keras,
kesalah pahaman, dan lain lain.
Masing-masing atraksi
perang-perangan menggunakan tombak dan panahan asli yang digunakan secara
main-main saja, meski tetap saja cukup berbahaya bagi kami yang menyaksikan di
luar jarak aman. Banyaknya skenario atraksi perang-perangan ini ditampilkan
semua selama 3 hari perhelatan festival budaya, masing-masing distrik mempunyai
skenario masing-masing. Pada festival budaya yang ke 26 ini, terjadwal 34
distrik dengan 34 skenario yang sedikit banyak berbeda dengan distrik yang
lain.
Sedikit untuk
menghilangan pegal di pantat karena terlalu lama duduk, saya dan seorang teman
beranjak ke sisi belakang area utama tempat terdapat desa adat kecil yang
mempertunjukkan atraksi Bakar Batu. Bakar Batu adalah cara tradisional,
khususnya, Suku Dani dalam memasak bahan makanan, yang dipelajari secara
turun-temurun. Pertama-tama mereka membakar beberapa batu hingga membara.
Kemudian mereka membuat lubang di tanah yang cukup besar dan melapisinya dengan
rerumputan. Setelahnya batu-batu panas mulai ditaruh di atas rerumputan yang
disusul dengan ubi-ubian, taro, kentang, singkong, jagung, sayur-sayuran, kol
dan daging, yang bisa berupa daging ayam, babi, dan sapi. Setelahnya masih ditambahkan
batu-batu panas dan ditutup kembali dengan rerumputan dan daun pisang. Butuh
waktu 45 menit sampai dengan 1 jam hingga bahan-bahan tadi matang dengan
sempurna.
Selesai melihat proses
memasak tradisional tersebut dan puas mencoba mengintip-intip kecil ke dalam
honai-honai (rumah adat) yang memang diijinkan untuk diintip, saya dan teman kembali
ke area utama. Di area utama sudah terlihat beberapa anak laki-laki telah siap
pada posisinya masing-masing dengan masing-masing menggenggam sebatang tombak. Saya
agak terlewat dengan perkenalan atas perlombaan ini sehingga tidak tahu
namanya. Perlombaan ini dimainkan oleh 4 anak laki-laki remaja yang berbaris
dalam 1 garis dan menghadap ke samping dengan jarak satu sama lain sekitar 1
meter. Perlombaan ini bertajuk anak lelaki mana yang berhasil melempar
tombaknya melalui sebuah lingkaran kayu yang digelindingkan melalui mereka
berempat. Menarik dan seru.
Perlombaan berikutnya
adalah giliran wanita-wanita yang berlomba dalam permainan yang disebut dengan
Karapan Anak Babi. Babi-babi kecil ini dipelihara oleh wanita-wanita dengan
penuh kasih sayang dan tak jarang anak-anak babi ini disusuin pula oleh wanita
pemiliknya. Babi merupakan hewan penting dalam budaya Lembah Baliem. Babi
merupakan alat pembayaran mas kawin, denda adat dan menunjukkan status sosial
pemiliknya berdasarkan jumlah babi yang dimilikinya. Kota Wamena sendiri
memiliki kosakata yang berarti babi, yaitu kata wam, sedangkan ena berarti
jinak..
Lomba Karapan Babi ini
sangat unik dan hanya bisa ditemui di Lembah Baliem. Unik, menghibur dan
mengundang banyak tawa. Karapan Anak Babi dimainkan dengan sangat sederhana. Masing-masing
wanita peserta lomba, berdiri pada garis start dengan jalur lurus yang digambar
di area lomba. Pada hitungan dimulai, maka wanita tersebut harus lari mengikuti
jalurnya dan, diharapkan, anak babinya akan mengikutinya ke ujung jalur dan
kembali lagi. Akan mengundang tepuk tangan yang keras saat anak babi mengikuti
wanita pemiliknya kemanapun wanita tersebut berlari dan akan mengundang pekik
tawa saat anak babi memutuskan untuk berkunjung ke jalur sebelah dan
bercengkeramah dengan anak babi yang lain.
Cukup lama saya dan
teman rela berpanas-panasan menentang terik matahari timur sebelum perhatian
saya teralih dan membuat kaki saya melangkah ke area tengah pada panggung kecil
utama. Kerumunan semakin banyak dan kami menyaksikan perlombaan memainkan alat
musik tradisional bernama Pikon. Pikon adalah alat musik tiup yang menghasilkan
nada-nada melalui rongga mulut dan udara yang dihembuskan bersamaan dengan
getaran alat musik pikon yang terbuat dari kulit kayu. Musik yang dilantunkan
dengan pikon biasanya merupakan ungkapan isi hati sang musisi. Sebelum
memainkan alat musik pikonnya, maka sang musisi diharuskan untuk memberikan
sepatah dua kata yang menceritakan musik yang akan dimainkan.
Suatu perhelatan pesta
budaya yang sangat meriah dan beragam. Masih ada dua hari lagi batin saya dan sejenak
saya terdiam dalam keramaian festival ini. Dalam hiruk pikuk suara yang
tercampur saya menangkap perasaan damai. Tertangkap oleh pandangan saya, di area
utama masih berlangsung atraksi perang-perangan antar suku, yang kali ini
menampilkan skenario perselingkuhan seorang wanita dengan laki-laki dari suku
lain.
Sengatan terik matahari
timur tak mampu menyurutkan semangat saya, teman-teman group dan sesama turis
untuk terus menyaksikan pagelaran pesta budaya ini. Terkadang mencoba
mengabadikannya melalui memori digital kamera untuk bekal cerita pada saat
pulang nanti. Memori yang mencoba menyampaikan cerita tentang ragam budaya yang
kaya, budaya yang menarik dan indah dari suku-suku pegunungan dalam di Lembah
Baliem yang agung.
Cerita tentang saudara yang
jauh di timur. Cerita tentang kehidupan yang seolah lain, dari Indonesia Timur.
Cerita dari bumi pertiwi Papua, Indonesiaku.
Wa Wa Wa Wa Wa.
No comments:
Post a Comment