Curug Cileat |
Matahari
bergerak mendekat menuju ke tengah singgasananya, tak tampak gulungan awan yang
berarti di atas sana yang kiranya bisa menjadi tabir. Peluh bermunculan,
menggumpal dan jatuh membentuk aliran-aliran kecil menuju gravitasi. Sudah hampir
dua jam kami berjalan melintas hutan, sawah dan semak ilalang liar, dari yang
sebatas mata kaki hingga menerobos semak-semak yang lebih tinggi dari kepala
saya.
“Belum
sampai juga nih?”
“Aak
masih jauh kah?”
“Bentar
lagi, tuh suaranya sudah kedengeran”
Dan
langkah kami membelok mengikuti jalan setapak tanah sempit yang sedari tadi
kami telusuri. Disanalah tampak ujung jatuhan air terjun. Jutaan galon air
tumpah ruah menyeruak jalur bebatuan bumi, seolah ingin kembali dalam pelukan rahim
ibu bumi. Menggelegak dan jatuh menghempas.
“Wuhuuu”
“Keren”
“Tinggi
banget ternyata yah”
“Heh,
foto dulu dari sini supaya bisa kelihatan ujung air terjunnya”
“Iya,
ntar kalo udah sampe kolamnya ga mungkin dapet nih ujungnya”
“Eh
air terjun apa ini namanya tadi?”
“Air
terjun Cileat”
***
Perjalanan
ini bermula dari dari ajakan seorang teman pejalan yang saya kenal waktu trip
ke Pulau Papatheo tempo hari.
“Eh
jalan yuk, di Subang katanya ada beberapa air terjun yang bagus.”
“Ayo
aja, naik apa?”
“Sewa
mobil ama sopir aja dan ga usah banyak-banyak orangnya”
Dan
percakapan itu berakhir dengan sebuah avanza dengan sopir sewaan dengan lima
penumpang yang siap melongok sebentar ke tetangga jauh, Subang.
***
Matahari
sudah melintas dari derajat 45 saat kami akhirnya memarkir mobil di pelataran
kecil untuk memulai trekking ke Curug Cileat. Kondisinya sepi sekali, mungkin
karena masih cenderung pagi di hari Sabtu dan sedang masa puasa.
“Pipis
dulu yak” dan tergopoh-gopoh kami bergantian antri masuk ke kamar mandi bersama
warga yang sederhana tetapi airnya bersih jernih dan dingin segar.
***
Trekking
kami dimulai dengan dituntun oleh seorang pemuda lokal sebagai guide kami. Dari
menembus padatnya rumah-rumah di desa kecil ini, hingga persawahan, hutan,
semak belukar, ilalang dan akhirnya kembali ke padang terbuka. Berlanjut lagi memasuki
semak belukar, ilalang, hutan dan berulang berganti.
melintasi desa dan persawahan |
melintasi semak-semak tinggi |
pemandangan sepanjang jalur trekking |
pemandangan sepanjang jalur trekking |
Setelah
melewati 3 air terjun kecil lainnya, akhirnya terlihatlah dari kejauhan ujung
dari Curug Cileat yang kami tuju. Dan setelah 2 jam-an trekking, sampailah kami
di aliran air dari kolam yang terbentuk di kaki air terjun itu.
Sejenak
kami diam menikmati pemandangan yang indah dan megah ini. Air terjun ini sangat
tinggi dan cukup besar mengalir turun deras menghempas bebatuan gunung yang
menumpuk menyambut hempasan air, mencoba merengkuh dalam kolam kecil yang
mereka bentuk.
Curug
Cileat jatuh dalam 2 jalur air terjun. Yang besar dan utama ada di sisi tengah
dari tebih yang seolah terpotong rapi membentuk setengah lingkaran. Sedangkan
yang kecil agak menyamping dan sedikit tersembunyi dari pandangan. Tanaman
hijau menghiasi sisi kanan dan kiri dari jatuhan air itu, membentuk hamparan
karpet hikau dengan sembulan warna putih dan ungu dari bunga-bunganya.
Bergunduk-gunduk membentuk pemandangan yang sejuk, damai dan memanjakan mata
serta jiwa.
Hanya
kami berlima ada di sana, ini air terjun pribadi kami untuk saat itu. Dan
setelah memantapkan diri, akhirnya kami terjun juga ke kolam dangkal yang dingin
dan segar. Hanya kami dan ibu bumi, hanya kami dan lembah tersembunyi ini.
difoto oleh Priguna Kurniadi. titik merah dan putih di bawah batu besar adalah saya dan teman seperjalanan |
Curug Cileat |
***
Saya
duduk menikmati hembusan sejuk angin dan rasa dingin yang kadang menusuk.
Sangat indah, tenang dalam gemuruh air terjun, dan megah. Mencoba memetakan
semua moment yang ada, mencoba berpuas diri terucap syukur saya bisa menyaksikan
curug ini, mencoba tak tahu diri mencuri dengar dan mengira-ngira pembicaraan
alam dalam semua suara alam yang terdengar di lembah bulan sabit ini.
Indah.
***
No comments:
Post a Comment