Tuesday, December 22, 2015

Ambon Manise in less than 48 hours




“Okay guys, kami berdua pisah di sini yah”
“Have fun yah di Raja Ampat”
“Byeeee”

Saya dan Herlina, seorang teman dari trip Banda Neira akhirnya memisahkan diri dari rombongan yang akan meneruskan pergerakan ke Misool (Raja Ampat) dan Takabonarate.

Misool telah saya kunjungi setahun sebelumnya, tapi Takabonarate adalah salah satu wish list saya yang belum terkabul. Beberapa tugas corporate dan keterbatasan lain membuat saya tidak available untuk meneruskan pergerakan ke Takabonarate.

Jadi di sinilah kami berdua terdampar menunggu esok hari. Untuk saya, bertolak balik ke Jakarta dan untuk Tante Herlina, bertolak ke Pulau Kei. Damn! Hanya saya yang tidak memiliki kemungkinan melanjutkan pergerakan kemana pun selain kembali ke belakang meja di Jakarta.

Kami berdua berdiri di lobby Bandara Internasional Pattimura, Ambon dan berusaha mencari persewaan mobil.

***
Melaju menyusuri jalanan Ambon, bergabung dengan roda-roda lain dan tujuan masing-masing. Kami menuju ke sebuah guest house yang direkomendasikan oleh seorang kenalan, yang terletak di jantung Ambon, Pondok Wisata Avema Lestari. Guest house ini terletak di seberang Hotel Manise, di Jalan WR Soepratman.

Kondisi guest house meskipun sudah sedikit tua, tetapi bersih dan cukup nyaman dengan harga yang sangat terjangkau. Pemiliknya pun sangat ramah dan fasih sekali berbahasa Inggris. Penting? Bagi kami turis domestik tentunya tidak, tetapi Om Yani sering sekali mengajak berbicara dengan bahasa Inggris. Menurut kenalan saya, memang guest house ini sering kali digunakan oleh backpacker-backpacker mancanegara. Tak heran, karena terjangkau, di pusat kota dan cukup nyaman dengan AC dan kamar mandi dalam yang bersih.

***
Lepas beberes singkat di guest house, kami kembali melaju keliling Ambon.

Patung Pattimura.
Seorang Pahlawan Nasional yang diabadikan dalam bentuk patung yang terletak di jantung Ambon. Patung ini juga merupakan pusat dari taman luas yang menjadi alun-alun Ambon.

Gong Perdamaian Dunia.
Gong perdamaian yang ke 39, terletak tak jauh dari Patung Pattimura. Gong ini untuk memperingati kerusuhan sosial bermotif SARA di Ambon pada tahun 1996 sampai dengan 2002.

Museum Siwalima.
Saat kami berkunjung ternyata sedang dalam proses renovasi. Segala benda koleksi museum tersimpan kecuali 3 rangka paus yang tetap bertengger di singgasananya.

Pantai Pintu Kota.
Sebuah pantai karang yang cantik, terletak tak jauh dari downtown Ambon. Airnya yang biru jernih tentunya mengundang insan-insan pecinta laut untuk mencicipinya. Sayangnya pantai ini berkarang dengan ombak yang kuat, sehingga berenang di sini bukan keputusan yang bijak, saya kira.

Pantai Namalatu.
Masih terletak tak jauh dari Pantai Pintu Kota, Pantai Namalatu adalah pantai yang indah dengan garis pantai yang cukup panjang dengan pasir putih yang cantik. Sejenak kami berhenti di sini dan menikmati pemandangan pensusuk pesisir yang sedang kembali dari berlayar.

Pantai Santai.
Pantai yang satu memiliki pantai yang sangat sempit dan sedikit berbatu. Terletak sangat dekat dari Pantai Namalatu. Di kawasan pantai ini, seperti halnya di pantai tetangganya, tersedia beberapa gazebo-gasebo bagi pengunjung untuk duduk menikmati hembusan angin laut yang segar. Tentunya pedagang minuman dingin, rujak buah dan kelapa muda dengan mudah kami temukan di sini dengan harga yang murah.

Pantai Eri.
Pantai dengan batu-batu kecil sebagai ganti pasir lembut, terbentang panjang mengikuti kontur tepian Teluk Ambon. Terlihat tak jauh dari kami duduk menunggu sunset, tulisan besar HOLLYWOOD. Entah kenapa tulisan itu ada di sana. Tidak berdiri seperti tulisan HOLLYWOOD di Los Angles, tulisan di Teluk Ambon ini terukir menempel tembok batu yang menyanggah memisahkan jalan raya ke downtown Ambon dengan batas air dari teluk.

Cukup lama kami menunggu waktu sunset. Sedikit kecewa waktu tampak awan bergumpal tak kunjung bergerak dari posisi sang pijar akan meninggalkan sisi bumi yang ini.

“Doa gue di dengar oleh Tuhan, tuh mataharinya nongol juga dari celah awan” dan sore itu kami jadi menikmati sunset yang indah.

Sang pijar telah hilang menuju belahan bumi yang lain dan kami kembali ke Avema Lestari untuk mandi dan meluncur ke seorang teman pejalan dari Tante Herlina yang bekerja di Ambon. Malam itu kami habiskan berkeliling dan menikmati Ambon di malam hari. Kami sempat menjajal coffe shop yang konon paling heitz di Ambon, Warung Kopi Sibu-Sibu.

Di coffee shop ini saya mencoba minuman hangat kopi khas Sibu-Sibu, yaitu Kopi Rarobang. Kopi hitam yang diseduh dengan campuran susu kental manis, madu, rempah-rempah dan ditaburi dengan potongan kenari. Sedap nian, definitely saya merekomendasikan kopi ini bagi pecinta kopi manis. Di Sibu-Sibu kami juga memesan beberapa penganan khas Ambon sebagai teman kopi yang kami sesap.

“Makan malam khas Ambon? Nasi kuning tentunya” kata teman kami. meluncur kembali ke jalanan Ambon? Nope, karena Nasi Kuning paling enak di Ambon terletak di seberang Sibu-Sibu. Seporsi nasi kuning dengan lauk khas yaitu telor rebus dan ikan balado adalah menu yang sempurna untuk menutup malam kami di Ambon.

***
Pagi hari menjelang dan kami berdua membuka pagi hari ini dengan menjajal makanan pagi atau menu sarapan khas dari Kota Ambon, yaitu Nasi Kelapa. Nasi kelapa terdiri dari seporsi nasi gurih dengan telor dan ikan yang dimasak pedas ala balado, dengan sejumput parutan kelapa berbumbu. Parutan kelapanya, seperti kelapa urap, bercita rasa gurih dan manis natural yang keluar dari sari kelapanya.

Porsi jumbo yang dihidangkan ke kami ludes perlahan dan kami mulai melanjutkan penjelajahan singkat kami di Ambon sekitar.

Desa Waai
Perjalanan ke Desa Waai ditempuh dengan singkat dan saat kami datang kondisi sangat lengang. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci di sungai tanpa satu turis pun terkecuali kami berdua.
Desa ini sangat terkenal dengan species air sungainya yang cukup sakral, yaitu giant morea. Morea adalah sejenis ikan belut yang tinggal di air tawar dengan ukuran yang besar, hingga mencapai hampir 2 meter dengan diameter 15 sentimeter. Di sini, dengan bantuan seorang pawang dan beberapa butir telur ayam, kami bisa dengan lembut membelai kulit-kulit licin yang indah dari morea jinak tersebut sementara sang pawang memberinya makan dengan telur-telur tersebut.

Air Panas Tulehu
Dua bulah kolam besar mendominasi tempat ini. Kondisinya sangat sederhana, dilengkapi dengan beberapa warung yang menyediakan minuman dan makanan.

Pantai Natsepa
Sebuah pantai yang menghadap ke Laut Banda dengan garis pantai yang cukup panjang. Aktivitas yang paling terkenal di pantai ini berbeda dengan pantai lainnya. Alih-alih bermain dengan olah raga air atau berbasah-basahan, di Pantai Natsepa, aktivitas paling popular adalah makan the legendary Rujak Natsepa. Rujak Natsepa adalah rujak buah dengan saus gula jawa dan kacang yang lezat. Harus coba! Enak, manis, segar dan sangat cocok dengan udara laut yang berhembus cukup kencang.

Karang Layar
Perjalanan ke Karang (Batu) Layar kami tempuh cukup lama dari Kota Ambon. Kurang lebih 1,5 jam baru kami bisa melihat 2 buah karang pipih besar berdiri dipinggir jalan raya yang berbatasan langsung dengan garis pantai. Laksana 2 buah layar sebuah perahu yang dikembangkan. Konon karang yang lebih pendek sebenarnya adalah yang paling besar, tetapi patah karena faktor alam.

Desa Larike
Desa ini adalah desa pemberhentian kami yang terakhir. Di Desa Larike, atraksi utama adalah another giant morea. Morea yang ada di Desa Larike mempunyai keunikan lain daripada yang di Desa Waai.
Di Desa Waai, morea memakan telur dan bisa kami pegang, yang bersarang pada celah-celah pinggir sungai yang membentuk sebuah kolam batu dangkal.
Di Desa Larike, morea memakan daging ikan dan tentunya tidak disarankan untuk bermain, memegang morea di sini layaknya di Desa Waai, karena bau amis dari air daging ikan bisa membuat morea tidak bisa membedakan tangan kami dengan daging ikan. Morea Larike bersarang pada dasar sebuah batu besar di kolam batu. Hal yang paling mengagumkan adalah sungai di Larike berkontur turun melandai, dimana area pemberian makan berada di atas kolam batu. Apa yang terjadi? Sesaat sang pawang menuang air bekas rendaman ikan, air tersebut turun melalui kolam batu sarang morea dan membuat morea-morea tersebut keluar dan berenang mendaki melawan arus menuju ke atas, ke tempat asal usul aroma daging ikan tersebut. Suatu pengalaman yang keren sekali dan sungguh tidak mudah untuk dilupakan melihat belasan giant morea berdesakan “mendaki” sungai batu melawan arus air untuk mendapatkan sebuah atau dua potong daging ikan. Must visit!

Selepas dari atraksi seru di Desa Larike, tiba saatnya bagi saya untuk bertolak kembali ke Bandara Internasional Pattimura dan mengejar pesawat saya balik ke Jakarta.

***
Waktu yang sangat singkat tersebut, jelasnya tak cukup untuk meng-explore Ambon sekitar. Masih banyak tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Kali ini saya harus mengalah pada waktu.

Duduk di ruang tunggu Bandara Pattimura, saya sangat sadar bahwa saya harus dan akan kembali lagi untuk meneruskan penjelajahan saya di sebuah pulau yang sangat manis, yaitu Ambon Manise.

Destinasi penjelajahan saya masih mengantri berdesakan di jalur Ambon Manise, sebut saja Haruku, Saparua, Pombo dan…

“Perhatian, perhatian bagi penumpang Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6179 …”

dan dengan ransel di bahu saya berjalan menuju pintu boarding.

***

2 comments:

  1. hallo harry,

    saya titik rencana mo ke ambon juli. kalau boleh no kontak guest house di Ambon bisa?
    dan kalo ada no.kontak persewaan mobil (motor?)


    Terima kasih
    titikhand@gmail.com

    ReplyDelete