Sunday, November 22, 2015

Kota Kecil dengan Segudang Sejarah dan Keindahan Taman Bawah Lautnya, Banda Neira, Maluku Tengah, Indonesiaku

“Penumpang yang terhormat, Selamat datang di Banda Neira” ucap sang kapten disela-sela riuhnya tepuk tangan kami, para penumpang. Sedikit norak? Yes! But who care?

Thank God, meski sedikit menegangkan, kami landing dengan sempurna. Jeda sunyi sempat menghampiri saat pesawat terbang, berkapasitas penumpang 12 orang ini, bermanuver tajam dan terguncang cukup keras mengarah ke landasan Bandara Banda Neira.

“Akhirnya sampai juga gue di sini” benak saya berujar sambil melihat tulisan Banda Neira. Impian untuk berkunjung akhirnya terwujud juga dari setahun yang lalu.

“Halo, halo selamat datang” suara seorang pria memecah perhatian saya sesaat kami memasuki ruang kedatangan di bandara kecil di Pulau Neira.
“Perkenalkan ini Abba, our host” kata Dwi, dari Tukang Jalan, dan bertemulah kami dengan Abba Rizal yang akan menjadi tuan rumah kami selama kunjungan kami di Banda Neira.

***
Banda Neira adalah kota kecil yang saat saya berkunjung hanya memiliki 2 mobil saja karena semua tujuan di kota kecil ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dan bersepeda motor. Kota penuh sejarah kolonial dan perjuangan Bangsa Indonesia ini, merupakan kota pusat administratif Kecamatan Banda yang terdiri dari 6 desa.
 

Tak membutuhkan waktu lama dari bandara menuju ke hotel kami selama di Banda Neira, Hotel Cilu Bintang Estate. Sebuah hotel bekas dari bangunan kolonial yang dipugar kembali dan menjadi hotel terbaik di Banda Neira, dengan harga yang terjangkau. Lokasi hotel berseberangan persis dengan salah satu main landmark dari Banda Neira, yaitu Benteng Belgica.
 
 
***
Hari Pertama.
Tak lama setelah beberes dan rehat sebentar, saya dan 3 orang teman memutuskan untuk berjalan-jalan menuju satu-satunya pasar tradisional di Pulau Neira.

Pasar kecil yang sederhana tetapi penuh dengan bangunan-bangunan kolonial yang sayangnya sebagian besar sudah tidak terpakai dan terabaikan. Layaknya jajaran tembok-tembok diam yang menjadi saksi sejarah keemasan dan kelam dari Banda Neira.
 
dry anchovy

 
***
Kembali ke hotel, menu makan siang telah tersaji. Menu kali ini adalah ikan goreng dan sayur, serta makan khas Timur Indonesia, yaitu Papeda. Tak ketinggalan sebuah “sambal” khas dari Banda Neira, Bakasang, ikut memanjakan indra pengecap kami. Bakasang berupa pate yang terbuat dari ikan asin yang dihancurkan sampai halus sekali seperti mousse dan dicampur dengan irisan bawang merah segar dan cabe rawit, sedap sekali.
lunch
Lepas makan siang dengan perut kenyang, kami ditemani dengan seorang tour guide lokal, mulai menjelajah kota kecil penuh cerita ini.

Pemberhentian pertama tepat ada di samping hotel, yaitu Taman Monumen Parigirante. Sebuah bukti sejarah kelam dari Banda Neira, berupa sumur tempat pembuangan potongan-potongan tubuh 40 tahanan politik dan orang terpandang di Banda Neira yang dieksekusi oleh batosai yang disewa oleh Belanda. Eksekusi ini dilakukan di area publik dan disaksikan oleh seluruh penduduk Banda Neira pada saat itu, tepatnya di depan Benteng Nassau. Benteng yang terletak persis di sebelah lain Hotel Cilu Bintang.
Parigirante Monument
Nassau Fort
Pemberhentian kedua adalah Istana Mini yang berada dalam satu area dengan Dermaga Banda Neira dan Sociteit Harmonie. Istana Mini adalah bangunan yang cukup luas, menghadap dan berseberangan dengan Dermaga Banda Neira, Bangunan ini merupakan bekas tempat tinggal dan kantor dari Gubernur VOC. Di ruangan depan, pada sebuah kaca jendela terdapat tulisan ukir dalam bahasa asing, sebagai kalimat terakhir sebelum empunya mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Tulisan ini konon ditulis oleh salah satu pejabat VOC yang berasal dari Perancis dengan latar belakang yang kompleks.
Istana Mini
 
Banda Neira main dock
last words
Di sisi lain dari Istana Mini, berdiri bangunan Sociteit Harmonie yang konon dulunya merupakan bangunan terbaik di kota, yang merupakan tempat para bangsawan, pejabat dan orang-orang terpandang dari VOC untuk bersosialisasi dan menikmati teh, pertunjukan musik dan dansa.

Pemberhentian ke tiga, kami singgah ke sebuah rumah yang tampak sederhana dimasa sekarang tetapi cukup baik pada masanya, yaitu rumah pengasingan dari seorang Pahlawan Nasional yang juga merupakan salah satu dari Proklamator Indonesia, Bung Hatta. Semasa pengasingan di Banda Neira, Bung Hatta mendiami rumah yang cukup luas ini. Di sisi belakang dari rumah masih ada peninggalan bangku-bangku sekolah jaman dulu, yang digunakan oleh Bung Hatta untuk mengajar anak-anak Banda Neira.
pic by Imel

Pemberhentian kami berikutnya adalah Gereja Tua Neira. Gereja yang berdiri pada tahun 1873 ini, oleh 2 misionaris Belanda (Maurits Lantzius dan John Hoeke) dibangun diatas 30 pusara prajurit Belanda yang gugur dalam perang Penaklukan Banda. Hingga saat ini ke 30 makam tersebut masih ada dan tak terusik, menjadi lantai dari gereja kecil ini, yang sampai saat ini masih aktif digunakan oleh penduduk untuk kebaktian. Satu hal lain yang menurut saya unik adalah terdapat sebuah balkon kecil di atas mimbar yang mungkin (menurut saya) digunakan Pastor dalam berkotbah kepada para umat.
pic by Aget
 

Dalam perjalan kami menjelajah kota kecil Neira ini, kami juga singgah di rumah pejabat pengasingan lain yaitu Bung Syahrir, yang diasingkan oleh Belanda bersama dengan Bung Hatta. Tak jauh dari rumah ini, kami juga mampir melihat koleksi museum dari Rumah Budaya Banda Neira, yang sayangnya dalam kondisi yang kurang terawat.

Keunikan lain di Banda Neira, yaitu semua tempat wisata dalam kondisi terkunci dan hanya bisa dimasuki oleh pengunjung dengan pemberitahuan sebelumnya. Hal ini, menurut perkiraan saya, karena minimnya jumlah pengunjung yang datang ke Banda Neira dan tertarik untuk menjelah situs-situs bersejarah perjuangan.

Siang menjelang sore dan titik bola api telah sedari tadi bergerak ke ufuk barat. Perjalanan kami hari itu berakhir di Benteng Belgica. Sebuah benteng kolonial yang berdiri megah di puncak bukit kecil di Pulau Neira. Salah satu spot yang cukup bagus untuk menghabiskan sore hari dan menikmati sunset yang sedikit tertutup Gunung Api Banda Neira. Benteng batu dengan lima menara ini, dapat dimasuki hingga petang hari (usai sunset) hingga ke puncak menara-menaranya. Tentunya kehati-hatian sangat dibutuhkan dalam memanjat tangga besi sederhana yang cukup vertical menuju pelataran menaranya.
Belgica Fort
***
Hari ke Dua.
It’s all about island hopping and snorkeling.

Kondisi taman laut perairan Banda Neira-lah sebenarnya yang membuat saya ingin sekali mengunjungi kepulauan kecil ini. Belum begitu terkenal layaknya Raja Ampat atau Pantai Ora, tetapi apa yang saya dengar dari beberapa teman sesama pejalan, Banda Neira mempunyai taman bawah laut yang sangat indah, terutama untuk diver.

Tak ada salahnya, pikir saya, untuk membuktikan reputasi itu dengan hanya ber-snorkeling saja. Lagian memang saya adalah pecinta snorkeling yang hingga saat ini belum tertarik untuk mencoba diving.

Jump in ke dalam kapal dan kami pun melaju berlayar memecah ombak perairan laut Kepulauan Banda, yang cukup berombak tinggi. Sinar matahari pagi ini bersinar hangat dan angin sejuk yang bertiup laksana sebuah restu dari ibu pertiwi bagi penjelajahan hari ini.

Saya dan beberapa teman, alih-alih duduk manis dalam tabung dalam kapal, memutuskan untuk duduk di atas kapal dan memetakan pemandangan lanskap dari Kepulauan Banda yang cantik dan membius dalam angan kami masing-masing.
Imel and Aget

Pulau Run.
Sebuah pulau dengan desa kecil di Kepulauan Banda. Pulau yang berseberangan dengan Pulau Nailaka yang kecil tak berpenghuni. Dalam kondisi air laut yang surut, kedua pulau ini akan terhubung oleh busung pasir.

Kami berlabuh dan menyusuri jalanan desa yang menanjak. Desa di Pulau Run ini memiliki kontur lereng dan semakin lama pembangunan rumah semakin menuju ke puncak bukit. Di ujung bukitnya, terletak reruntuhan apa yang penduduk lokal sebut dengan Rumah Besi. Rumah Besi kini hanya tersisa rangka pondasi yang terbuat dari besi baja dan bangunan batu yang terlihat seperti dapur dan kamar mandi. Konon dulunya merupakan tempat tinggal seorang putri Belanda. Saya berasumsi julukan putri bukan merujuk pada keluarga Kerajaan Belanda, melainkan putri seorang pejabat VOC. Tempat ini tidaklah angker meski pohon-pohon besar seolah menghalangi reruntuhan ini dari sinar matahari, tetapi penduduk lokal menganggap tempat ini bukan tempat umum biasa, someplace like a not so sacred.
Run Village
 
locals and nutmegs
 

Pulau Nailaka.
Pasir putih membentang cukup panjang mengikuti garis pantai pulau kecil ini. Ombak berdebur bercengkeramah dengan warnanya yang bergradasi dari warna biru, hijau jamrud dan toska. Pulau kecil yang indah dengan arus yang cukup kuat dan dimulailah pemetaan pertama kami pada keindahan taman laut Banda Neira.

Kontur landai dari perairan Pulau Nailaka cukup lebar dan berakhir dengan wall yang cukup tajam. Kontur ini mengingatkan saya pada salah satu spot snorkeling di Pulau Kepa, Alor, NTT.

Beberapa belas meter saya ber-snorkeling dan hanya menemui beberapa ikan dan karang-karang yang tidaklah indah. Kekecewaan kecil di hati saya segera mencapai titik balik, sesaat gerakan fin saya mengarahkan saya sedikit jauh ke tengah. Seperti ada batas pagarnya saja, dari kondisi yang tak cantik, tetiba berubah drastis menjadi sebuah taman laut yang sangat cantik dan indah. Gunungan-gunungan kecil corals berjubel bermunculan dari lapisan dasar perairan ini. Tak mau kalah dengan lenggak lenggok gemulai cantik soft corals, ratusan ribuan ikan-ikan dengan puluhan jenis ikut memeriahkan petak-petak moment yang terekam melalui mata memori.
 
 
 
 

Oh di pantainya sendiri, puluhan hermit crab ikutan berlomba-lomba bermunculan memeriahkan suasana pantai, dimana kami menikmati makan siang kami.

Pulau Ai.
“Buset arusnya kenceng banget”
“Iya nih, yang ada kebawa arus mulu, ga bisa maju-maju”
“Cape nih”

Spot snorkeling di Pulau Ai memiliki arus yang kencang dan hal itulah yang membuat kami tak lama singgah dan ber-snorkeling di sana. Kontur bawah lautnya sempit dan cukup indah. Alih-alih menghabiskan waktu untuk berjuang melawan arus kuat, kami memutuskan untuk sight seeing di daratan saja.
 
 
 

Pulau ini pun memiliki desa kecil dengan penduduk yang ramah. Selain mencoba cemilan murah meriah di desa ini, yaitu rujak buah, kami juga mengunjungi another colonial fort yang bernama Benteng Revengie. Benteng yang berdiri pada tahun 1616 ini mempunyai kondisi yang hampir sama dengan Benteng Nassau, tertinggal beberapa dinding saja. Bedanya Benteng Nassau sedang dipugar sedangkan Benteng Revengie terlihat terbelengkalai.

Ai Stone Dock
fruit salad with peanut sauce / rujak buah
 

Pulau Ai adalah destinasi terakhir kami hari itu dan saat kami tiba kembali di hotel Cilu Bintang, hidangkan makan malam segera tersaji.

Hidangan makan malam, seperti pada malam sebelumnya, yang luar biasa dengan beragam menu. It’s like feast every night di Hotel Cilu Bintang. Malam ini saya jatuh hati dengan dessert yang disajikan yaitu Kue Jagung. Konon inilah signature dessert dari Hotel Cilu Bintang. Sangat enak, manis dan lembut dengan tekstur seperti kue talam dengan rasa jagung yang kuat! Love it so much. Dengan kebaikan hati crew Hotel Cilu Bintang, saya berhasil mendapatkan porsi kedua untuk Kue Jagung ini. So good.
Kue Jagung / Corn Cake

Hari ke Tiga.
Hari baru di Banda Neira dan cuaca cerah dengan sinar matahari yang sedikit lebih menyengat, menjanjikan moment-moment indah perjalanan lain di kepulauan kecil ini.

Jump in ke kapal dan kami pun berlayar lagi, meneruskan penjelajahan kami, memecah ombak yang masih sama tinggi dari kemarin. No problem!

Pulau Hatta.
Hamparan indah pasir putih yang panjang dengan air biru dan toska. Terujar bahwa Pulau Hatta mempunyai landskap terbaik dan terindah di Kepulauan Banda ini.

“Save the best for last” begitulah kata Abba.

Dan tak hanya terujar janji saja, nyatanya memang inilah the best spot (at least) for snorkeling di Banda Neira.




 
 

Pulau Banda Besar.
Sebuah pulau yang terbesar di kepulauan ini dan memiliki beberapa desa, yang terletak hanya sejangkauan di seberang Pulau Neira. Di pulau ini kami tidak melakukan aktivitas snorkeling, melainkan village tour dengan seorang guide lokal yang sudah disediakan menemani kami dan berbagi kisah, menjadi ensiklopedia kami atas Pulau Banda Besar.
Gunung Api of Banda Neira

Spice Tour.
Kegiatan utama kami di Pulau Banda Besar adalah spice tour. Seperti temanya, maka kami berduyun-duyun berjalan menanjak melewati desa dan sampai pada perkebunan Pala, Kenari dan Kayu Manis.

Sejak jaman kolonial, Banda Neira memang terkenal akan kualitas dari Pala-nya. Salah satu alasan kepulauan kecil ini menjadi rebutan para penjajah adalah untuk merampok pala-nya.

Biji Pala pada jaman dulu, konon juga berfungsi sebagai semacam candu, jika dikonsumsi mentah dalam dosis tertentu. Biji pala ini memiliki lapisan serat berwarna merah di dalam daging buahnya, yang menjadi semacam herb untuk any kind of cuisine, dari sup hingga campuran pasta. Sedangkan daging buahnya bisa dimakan mentah, diolah menjadi manisan atau diolah menjadi selai.
dry red soft skin
raw nutmeg


Sejauh penjelajahan kami di Banda Neira, pemandangan akan biji pala dan serat merahnya sudah menjadi hal lazim ditemukan di depan-depan rumah penduduk untuk proses pengeringan.

Dalam hal budi daya kebun pala, yang kami dengar dari cerita seorang pemilik kebun, pohon-pohon pala tersebut sebaiknya tidak terkena banyak sinar matahari secara langsung. That’s why, kami melihat begitu banyak pohon kenari raksasa di sana sini yang menjadi anomali-anomali di tengah rimbunnya pohon pala yang tidaklah terlalu tinggi dan langsing. Pohon kenari itulah yang membatasi pasokan sinar matahari secara langsung ke pohon-pohon pala.
nutmeg plantation
Hasil-hasil kebun utama ini tentunya tersaji pula di piring-piring kami baik di Hotel Cilu BIntang dan beberapa rumah makan lokal lainnya.
Sup Kayu Manis: menjadi salah satu menu khas di Banda Neira. Sup bening dengan beragam sayur dengan rasa kayu manis yang kuat.
Terong Kenari: another authentic delicacies di Banda Neira. Terong-terong goreng kecil dengan topping adonan kenari. Saya bukan penggemar terong, tapi yang satu ini saya suka.
nutmeg seed

Sedangkan pala sendiri, seperti yang kita tahu adalah merupakan spice penting dalam banyak cuisine baik nusantara maupun internasional.

Benteng Hollandia.
Sebuah benteng dari era kolonial yang berbetuk segi lima, seperti juga Benteng Nassau, Benteng Belgica dan Benteng Revengie. Kondisi benteng juga tertinggal reruntuhan dengan beberapa dinding masih bertahan. Benteng yang terbelengkalai tetapi menjadi spot terbaik di Banda Neira untuk menikmati pemandangan Gunung Api Banda Neira dengan beralaskan perairan laut yang biru. Sangat indah dan harus foto di sini.

Senja menjelang, sebuah pertunjukkan sunset indah mengiringi kami bertolak kembali ke Pulau Neira.
 

***
Malam terakhir kami di Banda Neira, kami harus menempuh perjalanan kaki sedikit untuk menikmati makam malam kami. Yupe, makan malam kali ini disediakan di Hotel Maulana. Sebuah hotel lain yang terletak tepat di tepi perairan Pulau Neira.

Satu menu yang sangat menarik bagi lidah saya, yaitu Sasate. Sasate adalah bola-bola goreng yang terbuat dari patty ikan dan campuran bumbu-bumbu. Sangat ringan dan enak sekali. Makan nasi putih dengan sasate saja rasanya cukup bagi saya tanpa perlu mencicipi yang lain.

Lepas makan malam, kami berkesempatan berkenalan dan berkunjung ke salah satu pusat diving di Banda Neira, The Sea Hobbit, yang telah beroperasi selama dua tahun. Sasa, salah seorang pemiliknya berbagi cerita bagaimana seorang anak Jakarta Barat akhirnya berakhir menetap dan berwirausaha di Banda Neira. Sasa sendiri merupakan salah satu pendatang yang berkontribusi memajukan dunia per-diving-an di Banda Neira. Sasa merupakan perintis dan yang menemukan beberapa spot diving cantik di perairan Banda Neira. Sebut saja Bikini Bottom, Susu Panas dan beberapa spot lain.

“Kok namanya Susu Panas?”
Sasa tertawa dan bercerita, saat itu dia sedang ber-diving ria di tempat tak bernama tersebut, dan saat bergerak menuju permukaan, ternyata ada turis asing dengan bikini yang sedang berenang. Voila, tercetus nama spot tersebut adalah Susu Panas.

***
Canda tawa, hidangan bintang lima seolah menjadi penutup yang sempurna untuk mengakhiri penjelajahan kami di Banda Neira. Tapi sejatinya penjelajahan kami tidaklah pernah berakhir. Tertunda kosakata saya.

Apa yang menjadikannya titik penundaan yang sempurna adalah dalam penjelajahan ini, meski hati belum puas, tetapi ribuan moment-moment indah telah ramai mengisi pigura-pigura kosong dalam memory bank ini.
Apa yang menjadikannya titik penundaan yang sempurna adalah dalam penjelajahan ini, saya memintal persahabatan lebih erat dengan teman-teman pejalan yang telah saya kenal sebelumnya dan tentunya merajut pintalan baru dengan teman-teman pejalan baru yang mempunyai latar belakang berbeda. Perbedaan yang menarik dan tersatukan oleh passion yang sama atas kecintaan kami menjadi pejalan dan obsesi kami untuk menjelajah ibu pertiwi Indonesia.

Indonesiaku, Indonesia kami, Indonesia kita.
 
ready to fly back to Ambon


No comments:

Post a Comment