Thank God, meski
sedikit menegangkan, kami landing dengan sempurna. Jeda sunyi sempat menghampiri
saat pesawat terbang, berkapasitas penumpang 12 orang ini, bermanuver tajam dan
terguncang cukup keras mengarah ke landasan Bandara Banda Neira.
“Akhirnya sampai juga
gue di sini” benak saya berujar sambil melihat tulisan Banda Neira. Impian untuk
berkunjung akhirnya terwujud juga dari setahun yang lalu.
“Halo, halo selamat
datang” suara seorang pria memecah perhatian saya sesaat kami memasuki ruang
kedatangan di bandara kecil di Pulau Neira.
“Perkenalkan ini Abba,
our host” kata Dwi, dari Tukang Jalan, dan bertemulah kami dengan Abba Rizal
yang akan menjadi tuan rumah kami selama kunjungan kami di Banda Neira.
***
Banda Neira adalah kota
kecil yang saat saya berkunjung hanya memiliki 2 mobil saja karena semua tujuan
di kota kecil ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dan bersepeda motor. Kota
penuh sejarah kolonial dan perjuangan Bangsa Indonesia ini, merupakan kota
pusat administratif Kecamatan Banda yang terdiri dari 6 desa.
Tak membutuhkan waktu
lama dari bandara menuju ke hotel kami selama di Banda Neira, Hotel Cilu
Bintang Estate. Sebuah hotel bekas dari bangunan kolonial yang dipugar kembali
dan menjadi hotel terbaik di Banda Neira, dengan harga yang terjangkau. Lokasi
hotel berseberangan persis dengan salah satu main landmark dari Banda Neira,
yaitu Benteng Belgica.
***
Hari Pertama.
Tak lama setelah
beberes dan rehat sebentar, saya dan 3 orang teman memutuskan untuk
berjalan-jalan menuju satu-satunya pasar tradisional di Pulau Neira.
Pasar kecil yang
sederhana tetapi penuh dengan bangunan-bangunan kolonial yang sayangnya
sebagian besar sudah tidak terpakai dan terabaikan. Layaknya jajaran
tembok-tembok diam yang menjadi saksi sejarah keemasan dan kelam dari Banda
Neira.
***
Kembali ke hotel, menu
makan siang telah tersaji. Menu kali ini adalah ikan goreng dan sayur, serta makan
khas Timur Indonesia, yaitu Papeda. Tak ketinggalan sebuah “sambal” khas dari
Banda Neira, Bakasang, ikut memanjakan indra pengecap kami. Bakasang berupa
pate yang terbuat dari ikan asin yang dihancurkan sampai halus sekali seperti
mousse dan dicampur dengan irisan bawang merah segar dan cabe rawit, sedap
sekali.
Lepas makan siang
dengan perut kenyang, kami ditemani dengan seorang tour guide lokal, mulai
menjelajah kota kecil penuh cerita ini.
Pemberhentian pertama
tepat ada di samping hotel, yaitu Taman Monumen Parigirante. Sebuah bukti
sejarah kelam dari Banda Neira, berupa sumur tempat pembuangan
potongan-potongan tubuh 40 tahanan politik dan orang terpandang di Banda Neira
yang dieksekusi oleh batosai yang disewa oleh Belanda. Eksekusi ini dilakukan
di area publik dan disaksikan oleh seluruh penduduk Banda Neira pada saat itu,
tepatnya di depan Benteng Nassau. Benteng yang terletak persis di sebelah lain
Hotel Cilu Bintang.
Pemberhentian kedua
adalah Istana Mini yang berada dalam satu area dengan Dermaga Banda Neira dan
Sociteit Harmonie. Istana Mini adalah bangunan yang cukup luas, menghadap dan
berseberangan dengan Dermaga Banda Neira, Bangunan ini merupakan bekas tempat
tinggal dan kantor dari Gubernur VOC. Di ruangan depan, pada sebuah kaca
jendela terdapat tulisan ukir dalam bahasa asing, sebagai kalimat terakhir
sebelum empunya mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Tulisan ini konon
ditulis oleh salah satu pejabat VOC yang berasal dari Perancis dengan latar
belakang yang kompleks.
Di sisi lain dari
Istana Mini, berdiri bangunan Sociteit Harmonie yang konon dulunya merupakan
bangunan terbaik di kota, yang merupakan tempat para bangsawan, pejabat dan
orang-orang terpandang dari VOC untuk bersosialisasi dan menikmati teh, pertunjukan
musik dan dansa.
Pemberhentian ke tiga,
kami singgah ke sebuah rumah yang tampak sederhana dimasa sekarang tetapi cukup
baik pada masanya, yaitu rumah pengasingan dari seorang Pahlawan Nasional yang
juga merupakan salah satu dari Proklamator Indonesia, Bung Hatta. Semasa
pengasingan di Banda Neira, Bung Hatta mendiami rumah yang cukup luas ini. Di
sisi belakang dari rumah masih ada peninggalan bangku-bangku sekolah jaman
dulu, yang digunakan oleh Bung Hatta untuk mengajar anak-anak Banda Neira.
Pemberhentian kami
berikutnya adalah Gereja Tua Neira. Gereja yang berdiri pada tahun 1873 ini,
oleh 2 misionaris Belanda (Maurits Lantzius dan John Hoeke) dibangun diatas 30
pusara prajurit Belanda yang gugur dalam perang Penaklukan Banda. Hingga saat
ini ke 30 makam tersebut masih ada dan tak terusik, menjadi lantai dari gereja
kecil ini, yang sampai saat ini masih aktif digunakan oleh penduduk untuk kebaktian.
Satu hal lain yang menurut saya unik adalah terdapat sebuah balkon kecil di
atas mimbar yang mungkin (menurut saya) digunakan Pastor dalam berkotbah kepada
para umat.
Dalam perjalan kami
menjelajah kota kecil Neira ini, kami juga singgah di rumah pejabat pengasingan
lain yaitu Bung Syahrir, yang diasingkan oleh Belanda bersama dengan Bung
Hatta. Tak jauh dari rumah ini, kami juga mampir melihat koleksi museum dari
Rumah Budaya Banda Neira, yang sayangnya dalam kondisi yang kurang terawat.
Keunikan lain di Banda
Neira, yaitu semua tempat wisata dalam kondisi terkunci dan hanya bisa dimasuki
oleh pengunjung dengan pemberitahuan sebelumnya. Hal ini, menurut perkiraan
saya, karena minimnya jumlah pengunjung yang datang ke Banda Neira dan tertarik
untuk menjelah situs-situs bersejarah perjuangan.
Siang menjelang sore
dan titik bola api telah sedari tadi bergerak ke ufuk barat. Perjalanan kami
hari itu berakhir di Benteng Belgica. Sebuah benteng kolonial yang berdiri
megah di puncak bukit kecil di Pulau Neira. Salah satu spot yang cukup bagus
untuk menghabiskan sore hari dan menikmati sunset yang sedikit tertutup Gunung
Api Banda Neira. Benteng batu dengan lima menara ini, dapat dimasuki hingga
petang hari (usai sunset) hingga ke puncak menara-menaranya. Tentunya
kehati-hatian sangat dibutuhkan dalam memanjat tangga besi sederhana yang cukup
vertical menuju pelataran menaranya.
***
Hari ke Dua.
It’s all about island
hopping and snorkeling.
Kondisi taman laut
perairan Banda Neira-lah sebenarnya yang membuat saya ingin sekali mengunjungi
kepulauan kecil ini. Belum begitu terkenal layaknya Raja Ampat atau Pantai Ora,
tetapi apa yang saya dengar dari beberapa teman sesama pejalan, Banda Neira
mempunyai taman bawah laut yang sangat indah, terutama untuk diver.
Tak ada salahnya, pikir
saya, untuk membuktikan reputasi itu dengan hanya ber-snorkeling saja. Lagian
memang saya adalah pecinta snorkeling yang hingga saat ini belum tertarik untuk
mencoba diving.
Jump in ke dalam kapal
dan kami pun melaju berlayar memecah ombak perairan laut Kepulauan Banda, yang
cukup berombak tinggi. Sinar matahari pagi ini bersinar hangat dan angin sejuk
yang bertiup laksana sebuah restu dari ibu pertiwi bagi penjelajahan hari ini.
Saya dan beberapa
teman, alih-alih duduk manis dalam tabung dalam kapal, memutuskan untuk duduk
di atas kapal dan memetakan pemandangan lanskap dari Kepulauan Banda yang
cantik dan membius dalam angan kami masing-masing.
Pulau Run.
Sebuah pulau dengan
desa kecil di Kepulauan Banda. Pulau yang berseberangan dengan Pulau Nailaka
yang kecil tak berpenghuni. Dalam kondisi air laut yang surut, kedua pulau ini
akan terhubung oleh busung pasir.
Kami berlabuh dan
menyusuri jalanan desa yang menanjak. Desa di Pulau Run ini memiliki kontur
lereng dan semakin lama pembangunan rumah semakin menuju ke puncak bukit. Di
ujung bukitnya, terletak reruntuhan apa yang penduduk lokal sebut dengan Rumah
Besi. Rumah Besi kini hanya tersisa rangka pondasi yang terbuat dari besi baja
dan bangunan batu yang terlihat seperti dapur dan kamar mandi. Konon dulunya
merupakan tempat tinggal seorang putri Belanda. Saya berasumsi julukan putri
bukan merujuk pada keluarga Kerajaan Belanda, melainkan putri seorang pejabat
VOC. Tempat ini tidaklah angker meski pohon-pohon besar seolah menghalangi
reruntuhan ini dari sinar matahari, tetapi penduduk lokal menganggap tempat ini
bukan tempat umum biasa, someplace like a not so sacred.
Pulau Nailaka.
Pasir putih membentang
cukup panjang mengikuti garis pantai pulau kecil ini. Ombak berdebur
bercengkeramah dengan warnanya yang bergradasi dari warna biru, hijau jamrud
dan toska. Pulau kecil yang indah dengan arus yang cukup kuat dan dimulailah
pemetaan pertama kami pada keindahan taman laut Banda Neira.
Kontur landai dari
perairan Pulau Nailaka cukup lebar dan berakhir dengan wall yang cukup tajam.
Kontur ini mengingatkan saya pada salah satu spot snorkeling di Pulau Kepa,
Alor, NTT.
Beberapa belas meter
saya ber-snorkeling dan hanya menemui beberapa ikan dan karang-karang yang
tidaklah indah. Kekecewaan kecil di hati saya segera mencapai titik balik,
sesaat gerakan fin saya mengarahkan saya sedikit jauh ke tengah. Seperti ada
batas pagarnya saja, dari kondisi yang tak cantik, tetiba berubah drastis menjadi
sebuah taman laut yang sangat cantik dan indah. Gunungan-gunungan kecil corals
berjubel bermunculan dari lapisan dasar perairan ini. Tak mau kalah dengan
lenggak lenggok gemulai cantik soft corals, ratusan ribuan ikan-ikan dengan
puluhan jenis ikut memeriahkan petak-petak moment yang terekam melalui mata
memori.
Oh di pantainya
sendiri, puluhan hermit crab ikutan berlomba-lomba bermunculan memeriahkan
suasana pantai, dimana kami menikmati makan siang kami.
Pulau Ai.
“Buset arusnya kenceng
banget”
“Iya nih, yang ada
kebawa arus mulu, ga bisa maju-maju”
“Cape nih”
Spot snorkeling di
Pulau Ai memiliki arus yang kencang dan hal itulah yang membuat kami tak lama
singgah dan ber-snorkeling di sana. Kontur bawah lautnya sempit dan cukup
indah. Alih-alih menghabiskan waktu untuk berjuang melawan arus kuat, kami
memutuskan untuk sight seeing di daratan saja.
Pulau ini pun memiliki
desa kecil dengan penduduk yang ramah. Selain mencoba cemilan murah meriah di
desa ini, yaitu rujak buah, kami juga mengunjungi another colonial fort yang
bernama Benteng Revengie. Benteng yang berdiri pada tahun 1616 ini mempunyai
kondisi yang hampir sama dengan Benteng Nassau, tertinggal beberapa dinding
saja. Bedanya Benteng Nassau sedang dipugar sedangkan Benteng Revengie terlihat
terbelengkalai.
Pulau Ai adalah
destinasi terakhir kami hari itu dan saat kami tiba kembali di hotel Cilu
Bintang, hidangkan makan malam segera tersaji.
Hidangan makan malam,
seperti pada malam sebelumnya, yang luar biasa dengan beragam menu. It’s like
feast every night di Hotel Cilu Bintang. Malam ini saya jatuh hati dengan
dessert yang disajikan yaitu Kue Jagung. Konon inilah signature dessert dari
Hotel Cilu Bintang. Sangat enak, manis dan lembut dengan tekstur seperti kue
talam dengan rasa jagung yang kuat! Love it so much. Dengan kebaikan hati crew Hotel
Cilu Bintang, saya berhasil mendapatkan porsi kedua untuk Kue Jagung ini. So
good.
Hari ke Tiga.
Hari baru di Banda
Neira dan cuaca cerah dengan sinar matahari yang sedikit lebih menyengat,
menjanjikan moment-moment indah perjalanan lain di kepulauan kecil ini.
Jump in ke kapal dan
kami pun berlayar lagi, meneruskan penjelajahan kami, memecah ombak yang masih
sama tinggi dari kemarin. No problem!
Pulau Hatta.
Hamparan indah pasir
putih yang panjang dengan air biru dan toska. Terujar bahwa Pulau Hatta mempunyai
landskap terbaik dan terindah di Kepulauan Banda ini.
“Save the best for
last” begitulah kata Abba.
Dan tak hanya terujar
janji saja, nyatanya memang inilah the best spot (at least) for snorkeling di
Banda Neira.
Pulau Banda Besar.
Sebuah pulau yang
terbesar di kepulauan ini dan memiliki beberapa desa, yang terletak hanya
sejangkauan di seberang Pulau Neira. Di pulau ini kami tidak melakukan
aktivitas snorkeling, melainkan village tour dengan seorang guide lokal yang
sudah disediakan menemani kami dan berbagi kisah, menjadi ensiklopedia kami
atas Pulau Banda Besar.
Spice Tour.
Kegiatan utama kami di
Pulau Banda Besar adalah spice tour. Seperti temanya, maka kami berduyun-duyun
berjalan menanjak melewati desa dan sampai pada perkebunan Pala, Kenari dan
Kayu Manis.
Sejak jaman kolonial,
Banda Neira memang terkenal akan kualitas dari Pala-nya. Salah satu alasan
kepulauan kecil ini menjadi rebutan para penjajah adalah untuk merampok
pala-nya.
Biji Pala pada jaman
dulu, konon juga berfungsi sebagai semacam candu, jika dikonsumsi mentah dalam
dosis tertentu. Biji pala ini memiliki lapisan serat berwarna merah di dalam
daging buahnya, yang menjadi semacam herb untuk any kind of cuisine, dari sup
hingga campuran pasta. Sedangkan daging buahnya bisa dimakan mentah, diolah
menjadi manisan atau diolah menjadi selai.
Sejauh penjelajahan
kami di Banda Neira, pemandangan akan biji pala dan serat merahnya sudah
menjadi hal lazim ditemukan di depan-depan rumah penduduk untuk proses
pengeringan.
Dalam hal budi daya
kebun pala, yang kami dengar dari cerita seorang pemilik kebun, pohon-pohon
pala tersebut sebaiknya tidak terkena banyak sinar matahari secara langsung.
That’s why, kami melihat begitu banyak pohon kenari raksasa di sana sini yang
menjadi anomali-anomali di tengah rimbunnya pohon pala yang tidaklah terlalu
tinggi dan langsing. Pohon kenari itulah yang membatasi pasokan sinar matahari
secara langsung ke pohon-pohon pala.
Hasil-hasil kebun utama
ini tentunya tersaji pula di piring-piring kami baik di Hotel Cilu BIntang dan
beberapa rumah makan lokal lainnya.
Sup Kayu Manis: menjadi
salah satu menu khas di Banda Neira. Sup bening dengan beragam sayur dengan
rasa kayu manis yang kuat.
Terong Kenari: another
authentic delicacies di Banda Neira. Terong-terong goreng kecil dengan topping
adonan kenari. Saya bukan penggemar terong, tapi yang satu ini saya suka.
Sedangkan pala sendiri,
seperti yang kita tahu adalah merupakan spice penting dalam banyak cuisine baik
nusantara maupun internasional.
Benteng Hollandia.
Sebuah benteng dari era
kolonial yang berbetuk segi lima, seperti juga Benteng Nassau, Benteng Belgica
dan Benteng Revengie. Kondisi benteng juga tertinggal reruntuhan dengan
beberapa dinding masih bertahan. Benteng yang terbelengkalai tetapi menjadi
spot terbaik di Banda Neira untuk menikmati pemandangan Gunung Api Banda Neira
dengan beralaskan perairan laut yang biru. Sangat indah dan harus foto di sini.
Senja menjelang, sebuah
pertunjukkan sunset indah mengiringi kami bertolak kembali ke Pulau Neira.
***
Malam terakhir kami di
Banda Neira, kami harus menempuh perjalanan kaki sedikit untuk menikmati makam
malam kami. Yupe, makan malam kali ini disediakan di Hotel Maulana. Sebuah
hotel lain yang terletak tepat di tepi perairan Pulau Neira.
Satu menu yang sangat
menarik bagi lidah saya, yaitu Sasate. Sasate adalah bola-bola goreng yang
terbuat dari patty ikan dan campuran bumbu-bumbu. Sangat ringan dan enak
sekali. Makan nasi putih dengan sasate saja rasanya cukup bagi saya tanpa perlu
mencicipi yang lain.
Lepas makan malam, kami
berkesempatan berkenalan dan berkunjung ke salah satu pusat diving di Banda Neira,
The Sea Hobbit, yang telah beroperasi selama dua tahun. Sasa, salah seorang
pemiliknya berbagi cerita bagaimana seorang anak Jakarta Barat akhirnya
berakhir menetap dan berwirausaha di Banda Neira. Sasa sendiri merupakan salah
satu pendatang yang berkontribusi memajukan dunia per-diving-an di Banda Neira.
Sasa merupakan perintis dan yang menemukan beberapa spot diving cantik di perairan
Banda Neira. Sebut saja Bikini Bottom, Susu Panas dan beberapa spot lain.
“Kok namanya Susu
Panas?”
Sasa tertawa dan
bercerita, saat itu dia sedang ber-diving ria di tempat tak bernama tersebut,
dan saat bergerak menuju permukaan, ternyata ada turis asing dengan bikini yang
sedang berenang. Voila, tercetus nama spot tersebut adalah Susu Panas.
***
Canda tawa, hidangan
bintang lima seolah menjadi penutup yang sempurna untuk mengakhiri penjelajahan
kami di Banda Neira. Tapi sejatinya penjelajahan kami tidaklah pernah berakhir.
Tertunda kosakata saya.
Apa yang menjadikannya titik
penundaan yang sempurna adalah dalam penjelajahan ini, meski hati belum puas,
tetapi ribuan moment-moment indah telah ramai mengisi pigura-pigura kosong
dalam memory bank ini.
Apa yang menjadikannya
titik penundaan yang sempurna adalah dalam penjelajahan ini, saya memintal
persahabatan lebih erat dengan teman-teman pejalan yang telah saya kenal
sebelumnya dan tentunya merajut pintalan baru dengan teman-teman pejalan baru
yang mempunyai latar belakang berbeda. Perbedaan yang menarik dan tersatukan
oleh passion yang sama atas kecintaan kami menjadi pejalan dan obsesi kami
untuk menjelajah ibu pertiwi Indonesia.
Indonesiaku, Indonesia
kami, Indonesia kita.
No comments:
Post a Comment