“Okay guys, kami berdua
pisah di sini yah”
“Have fun yah di Raja
Ampat”
“Byeeee”
Saya dan Herlina, seorang
teman dari trip Banda Neira akhirnya memisahkan diri dari rombongan yang akan
meneruskan pergerakan ke Misool (Raja Ampat) dan Takabonarate.
Misool telah saya
kunjungi setahun sebelumnya, tapi Takabonarate adalah salah satu wish list saya
yang belum terkabul. Beberapa tugas corporate dan keterbatasan lain membuat
saya tidak available untuk meneruskan pergerakan ke Takabonarate.
Jadi di sinilah kami
berdua terdampar menunggu esok hari. Untuk saya, bertolak balik ke Jakarta dan untuk
Tante Herlina, bertolak ke Pulau Kei. Damn! Hanya saya yang tidak memiliki
kemungkinan melanjutkan pergerakan kemana pun selain kembali ke belakang meja
di Jakarta.
Kami berdua berdiri di
lobby Bandara Internasional Pattimura, Ambon dan berusaha mencari persewaan
mobil.
***
Kondisi guest house
meskipun sudah sedikit tua, tetapi bersih dan cukup nyaman dengan harga yang
sangat terjangkau. Pemiliknya pun sangat ramah dan fasih sekali berbahasa
Inggris. Penting? Bagi kami turis domestik tentunya tidak, tetapi Om Yani
sering sekali mengajak berbicara dengan bahasa Inggris. Menurut kenalan saya,
memang guest house ini sering kali digunakan oleh backpacker-backpacker
mancanegara. Tak heran, karena terjangkau, di pusat kota dan cukup nyaman
dengan AC dan kamar mandi dalam yang bersih.
***
Lepas beberes singkat
di guest house, kami kembali melaju keliling Ambon.
Patung Pattimura.
Seorang Pahlawan
Nasional yang diabadikan dalam bentuk patung yang terletak di jantung Ambon.
Patung ini juga merupakan pusat dari taman luas yang menjadi alun-alun Ambon.
Gong Perdamaian Dunia.
Gong perdamaian yang ke
39, terletak tak jauh dari Patung Pattimura. Gong ini untuk memperingati
kerusuhan sosial bermotif SARA di Ambon pada tahun 1996 sampai dengan 2002.
Museum Siwalima.
Saat kami berkunjung
ternyata sedang dalam proses renovasi. Segala benda koleksi museum tersimpan
kecuali 3 rangka paus yang tetap bertengger di singgasananya.
Pantai Pintu Kota.
Sebuah pantai karang
yang cantik, terletak tak jauh dari downtown Ambon. Airnya yang biru jernih
tentunya mengundang insan-insan pecinta laut untuk mencicipinya. Sayangnya
pantai ini berkarang dengan ombak yang kuat, sehingga berenang di sini bukan
keputusan yang bijak, saya kira.
Pantai Namalatu.
Masih terletak tak jauh
dari Pantai Pintu Kota, Pantai Namalatu adalah pantai yang indah dengan garis
pantai yang cukup panjang dengan pasir putih yang cantik. Sejenak kami berhenti
di sini dan menikmati pemandangan pensusuk pesisir yang sedang kembali dari
berlayar.
Pantai Santai.
Pantai yang satu
memiliki pantai yang sangat sempit dan sedikit berbatu. Terletak sangat dekat
dari Pantai Namalatu. Di kawasan pantai ini, seperti halnya di pantai
tetangganya, tersedia beberapa gazebo-gasebo bagi pengunjung untuk duduk
menikmati hembusan angin laut yang segar. Tentunya pedagang minuman dingin,
rujak buah dan kelapa muda dengan mudah kami temukan di sini dengan harga yang
murah.
Pantai Eri.
Pantai dengan batu-batu
kecil sebagai ganti pasir lembut, terbentang panjang mengikuti kontur tepian
Teluk Ambon. Terlihat tak jauh dari kami duduk menunggu sunset, tulisan besar
HOLLYWOOD. Entah kenapa tulisan itu ada di sana. Tidak berdiri seperti tulisan
HOLLYWOOD di Los Angles, tulisan di Teluk Ambon ini terukir menempel tembok
batu yang menyanggah memisahkan jalan raya ke downtown Ambon dengan batas air
dari teluk.
Cukup lama kami
menunggu waktu sunset. Sedikit kecewa waktu tampak awan bergumpal tak kunjung
bergerak dari posisi sang pijar akan meninggalkan sisi bumi yang ini.
“Doa gue di dengar oleh
Tuhan, tuh mataharinya nongol juga dari celah awan” dan sore itu kami jadi
menikmati sunset yang indah.
Sang pijar telah hilang
menuju belahan bumi yang lain dan kami kembali ke Avema Lestari untuk mandi dan
meluncur ke seorang teman pejalan dari Tante Herlina yang bekerja di Ambon.
Malam itu kami habiskan berkeliling dan menikmati Ambon di malam hari. Kami
sempat menjajal coffe shop yang konon paling heitz di Ambon, Warung Kopi
Sibu-Sibu.
Di coffee shop ini saya
mencoba minuman hangat kopi khas Sibu-Sibu, yaitu Kopi Rarobang. Kopi hitam
yang diseduh dengan campuran susu kental manis, madu, rempah-rempah dan
ditaburi dengan potongan kenari. Sedap nian, definitely saya merekomendasikan
kopi ini bagi pecinta kopi manis. Di Sibu-Sibu kami juga memesan beberapa
penganan khas Ambon sebagai teman kopi yang kami sesap.
“Makan malam khas
Ambon? Nasi kuning tentunya” kata teman kami. meluncur kembali ke jalanan
Ambon? Nope, karena Nasi Kuning paling enak di Ambon terletak di seberang
Sibu-Sibu. Seporsi nasi kuning dengan lauk khas yaitu telor rebus dan ikan
balado adalah menu yang sempurna untuk menutup malam kami di Ambon.
***
Pagi hari menjelang dan
kami berdua membuka pagi hari ini dengan menjajal makanan pagi atau menu
sarapan khas dari Kota Ambon, yaitu Nasi Kelapa. Nasi kelapa terdiri dari
seporsi nasi gurih dengan telor dan ikan yang dimasak pedas ala balado, dengan
sejumput parutan kelapa berbumbu. Parutan kelapanya, seperti kelapa urap,
bercita rasa gurih dan manis natural yang keluar dari sari kelapanya.
Porsi jumbo yang
dihidangkan ke kami ludes perlahan dan kami mulai melanjutkan penjelajahan
singkat kami di Ambon sekitar.
Desa Waai
Perjalanan ke Desa Waai
ditempuh dengan singkat dan saat kami datang kondisi sangat lengang. Hanya ada
beberapa ibu-ibu yang sedang mencuci di sungai tanpa satu turis pun terkecuali
kami berdua.
Desa ini sangat
terkenal dengan species air sungainya yang cukup sakral, yaitu giant morea.
Morea adalah sejenis ikan belut yang tinggal di air tawar dengan ukuran yang
besar, hingga mencapai hampir 2 meter dengan diameter 15 sentimeter. Di sini,
dengan bantuan seorang pawang dan beberapa butir telur ayam, kami bisa dengan
lembut membelai kulit-kulit licin yang indah dari morea jinak tersebut
sementara sang pawang memberinya makan dengan telur-telur tersebut.
Air Panas Tulehu
Dua bulah kolam besar
mendominasi tempat ini. Kondisinya sangat sederhana, dilengkapi dengan beberapa
warung yang menyediakan minuman dan makanan.
Pantai Natsepa
Sebuah pantai yang
menghadap ke Laut Banda dengan garis pantai yang cukup panjang. Aktivitas yang
paling terkenal di pantai ini berbeda dengan pantai lainnya. Alih-alih bermain
dengan olah raga air atau berbasah-basahan, di Pantai Natsepa, aktivitas paling
popular adalah makan the legendary Rujak Natsepa. Rujak Natsepa adalah rujak
buah dengan saus gula jawa dan kacang yang lezat. Harus coba! Enak, manis,
segar dan sangat cocok dengan udara laut yang berhembus cukup kencang.
Karang Layar
Perjalanan ke Karang (Batu)
Layar kami tempuh cukup lama dari Kota Ambon. Kurang lebih 1,5 jam baru kami bisa
melihat 2 buah karang pipih besar berdiri dipinggir jalan raya yang berbatasan
langsung dengan garis pantai. Laksana 2 buah layar sebuah perahu yang
dikembangkan. Konon karang yang lebih pendek sebenarnya adalah yang paling
besar, tetapi patah karena faktor alam.
Desa Larike
Desa ini adalah desa
pemberhentian kami yang terakhir. Di Desa Larike, atraksi utama adalah another
giant morea. Morea yang ada di Desa Larike mempunyai keunikan lain daripada
yang di Desa Waai.
Di Desa Waai, morea
memakan telur dan bisa kami pegang, yang bersarang pada celah-celah pinggir
sungai yang membentuk sebuah kolam batu dangkal.
Di Desa Larike, morea
memakan daging ikan dan tentunya tidak disarankan untuk bermain, memegang morea
di sini layaknya di Desa Waai, karena bau amis dari air daging ikan bisa
membuat morea tidak bisa membedakan tangan kami dengan daging ikan. Morea
Larike bersarang pada dasar sebuah batu besar di kolam batu. Hal yang paling
mengagumkan adalah sungai di Larike berkontur turun melandai, dimana area pemberian
makan berada di atas kolam batu. Apa yang terjadi? Sesaat sang pawang menuang
air bekas rendaman ikan, air tersebut turun melalui kolam batu sarang morea dan
membuat morea-morea tersebut keluar dan berenang mendaki melawan arus menuju ke
atas, ke tempat asal usul aroma daging ikan tersebut. Suatu pengalaman yang keren
sekali dan sungguh tidak mudah untuk dilupakan melihat belasan giant morea
berdesakan “mendaki” sungai batu melawan arus air untuk mendapatkan sebuah atau
dua potong daging ikan. Must visit!
Selepas dari atraksi
seru di Desa Larike, tiba saatnya bagi saya untuk bertolak kembali ke Bandara
Internasional Pattimura dan mengejar pesawat saya balik ke Jakarta.
***
Waktu yang sangat
singkat tersebut, jelasnya tak cukup untuk meng-explore Ambon sekitar. Masih banyak
tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Kali ini saya harus mengalah pada
waktu.
Duduk di ruang tunggu
Bandara Pattimura, saya sangat sadar bahwa saya harus dan akan kembali lagi
untuk meneruskan penjelajahan saya di sebuah pulau yang sangat manis, yaitu Ambon
Manise.
Destinasi penjelajahan
saya masih mengantri berdesakan di jalur Ambon Manise, sebut saja Haruku,
Saparua, Pombo dan…
“Perhatian, perhatian
bagi penumpang Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6179 …”
dan dengan ransel di
bahu saya berjalan menuju pintu boarding.
***
hallo harry,
ReplyDeletesaya titik rencana mo ke ambon juli. kalau boleh no kontak guest house di Ambon bisa?
dan kalo ada no.kontak persewaan mobil (motor?)
Terima kasih
titikhand@gmail.com
sudah diinfo via email yah
Delete