Sunday, October 07, 2012

Can you hear me?


Langkahku terhenti.

Kuhisap rokok yang terselip dijemari tanganku. Mengamati jalan lengang berhiaskan daun-daun kering yang sesekali menari dipermainkan angin semilir.

“Ah… daun-daun mulai rontok nih.” desahku

Kulirik jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 3 lebih 24 menit.

Salakan anak anjing dikejauhan, menghantam ingatanku akan rumah itu. Yah… rumah itu dan ingatanku kembali ke masa dimana setiap hari kulalui jalan ini menuju rumah itu. 11 tahun berlalu sudah sejak aku dan keluarga meninggalkan lingkungan perumahan ini. Di daerah yang teduh ini, dulunya aku tinggal bersama papa, mama dan kakak-kakakku.

Keluargaku mengenal aku sebagai orang tertutup, suka menyendiri dan pemberontak. Kerap kali aku bersitegang dengan mereka, terutama dengan Papa, meskipun hanya karena masalah sepele. Sampai ditahun-tahun terakhirnya, aku tidak bertegur sapa dengan Papa. Berbicara hanya jika memang perlu dan sering kali terlontar kata-kata bernada benci dan kasar.

“Kamu ini anak kurang ajar!” bentak Papa
“Ya memang dan kamu juga Papa yang brengsek!“ timpalku menentang
Pipiku mendadak terasa panas sesaat kulihat tangan Papa terangkat.
“Aku ini papamu, layak kamu ngomong seperti itu sama papamu?“ tambah Papa
Aku hanya tersenyum sinis, bergeming sambil menjawab “Layak atau tidak, itu hakku untuk berbicara. Jika mau pukul lagi, silakan! Nasib membuat aku menjadi anakmu. Ingat kesalahanmu membuat aku seperti ini.“

Mendengar jawabanku, Papa hanya tertegun, diam dan berlalu masuk ke kamarnya.

Kondisi itu berlanjut terus bertahun-tahun dan bahkan beberapa pertengkaran lain semakin menambah tegangnya hubunganku dengan Papa. Selalu seperti itu sampai ditahun terakhir papa, dimana ada saat dimana hubunganku dengannya sedikit membaik. Kami saling bertegur sapa dan bisa berbincang basa basi. Kondisi yang tidak berlangsung lama, karena perselisihan akan timbul kembali dan aku akan kembali bersitegang dengan Papa. Kondisi yang layaknya menjadi suatu kondisi yang “normal”, hingga suatu malam Papa merasakan kepalanya sakit luar biasa dan layaknya kedipan mata, dengan cepat kudapati Papa harus masuk rumah sakit serta menjalani perawatan intensif. Beberapa check-up akhirnya membawa Papa pada kata kanker.

“Kamu ini gimana sih, masa Papa sakit keras bukannya kuatir dan temenin Papa di rumah sakit, eh… malah main terus sama temanmu!“ tegur kakakku
“Ah… kan sudah ada Kakak dan Mama.“ jawabku sekenanya
“Iya, tapi Papa juga nanyain kamu terus.“ timpal Mama
“Aduh aku nggak bisa Ma, kan udah ada janji sama teman.“ kilahku
“Temanmu kan bisa dikasih tahu kalau Papa lagi sakit keras. Temanmu juga mau ngerti kondisinya lah. Itu kalau mereka memang teman yang baik.“ sahut Kakakku lagi
Aku menjawabnya dengan diam dan berlalu.

Hampir dua bulan sejak Papa harus dirawat di rumah sakit dan Papa “tidur“ untuk selamanya. Masih kuingat jelas, saat seorang sepupu datang menjemputku di kampus.

“Ah… kondisi papa kayaknya memburuk dan aku harus ke rumah sakit.” pikirku

Kata-kata duka yang terucap tidak membuatku terpukul,. Hanya perasaan hampa yang kosong, tiba-tiba menyeruak ke dalam hati.
Dengan sikap yang biasa aku pulang ke rumah dan ketika aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan untuk menelepon teman-temanku, mengabarkan berita duka itu. Ratusan kata belasungkawa dan kata-kata hiburan kuterima, tetapi tetap saja perasaan ini hampa… kosong.

Di rumah duka, jenasah Papa tampak damai, terbebas dari penyakit yang menjajah tubuhnya. Setelah beberapa acara ritual, maka peti jenasah itu pun ditutup. Beberapa petugas mulai memalukan paku-paku di peti jenasah dan suara dentuman beraturan semakin lama terdengar semakin keras, monoton dan tak kunjung berhenti.
Aku menangis. Untuk pertama kalinya aku meneteskan air mata untuk Papa. Tak tahu apa yang menyebabkan tangis itu. Perasaanku yang tadinya terasa hampa… kosong, mulai merasakan asing yang mulai tumbuh.

Beberapa tahun berlalu dan aku semakin tahu akan perasaan asing itu, yah… aku mengenalinya sebagai rasa kehilangan yang nyata. Aku menyadari dalam hati kecilku, aku merindukan Papa dan rindu untuk akhirnya bisa menjadi anak dan sahabatnya.
Kata sayang yang bisu, sesal dan murka, membuat aku menemukan bagian dalam hati yang begitu dingin, gelap, tak tersentuh.

Langit semakin bersemburat kelam. Kupalingkan pandangan dari jalan di depanku, dimana rumah itu berdiri diujungnya. Daun-daun masih belum berhenti berguguran, seakan menggantikan tangisku dalam tari kecilnya.

Kembali kunyalakan rokok yang baru, kuhisap dalam-dalam dan kuhembuskan kuat-kuat, seakan ingin kuhembuskan pula apa yang ada.

“Papa, can you hear me? I hate you and I know, I love you.”  

5 comments:

  1. Replies
    1. ponnn :')
      thanks sudah mampir dan baca

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. Ehhh.. keren kali lah.. Hampir nangis aku bacanya, kalo baca dikamar udah banjir air mata kali ini..

      Delete
    4. Happy: *hugs* thanks sudah mampir en baca yah :">

      Delete