Langkahku terhenti.
Kuhisap rokok yang terselip dijemari
tanganku. Mengamati jalan lengang berhiaskan daun-daun kering yang sesekali
menari dipermainkan angin semilir.
“Ah… daun-daun mulai rontok nih.”
desahku
Kulirik jam tangan dan waktu
menunjukkan pukul 3 lebih 24 menit.
Salakan anak anjing dikejauhan, menghantam
ingatanku akan rumah itu. Yah… rumah itu dan ingatanku kembali ke masa dimana setiap
hari kulalui jalan ini menuju rumah itu. 11 tahun berlalu sudah sejak aku dan
keluarga meninggalkan lingkungan perumahan ini. Di daerah yang teduh ini, dulunya
aku tinggal bersama papa, mama dan kakak-kakakku.
Keluargaku mengenal aku sebagai orang
tertutup, suka menyendiri dan pemberontak. Kerap kali aku bersitegang dengan
mereka, terutama dengan Papa, meskipun hanya karena masalah sepele. Sampai ditahun-tahun
terakhirnya, aku tidak bertegur sapa dengan Papa. Berbicara hanya jika memang
perlu dan sering kali terlontar kata-kata bernada benci dan kasar.
“Kamu ini anak kurang ajar!” bentak
Papa
“Ya memang dan kamu juga Papa yang
brengsek!“ timpalku menentang
Pipiku mendadak terasa panas sesaat
kulihat tangan Papa terangkat.
“Aku ini papamu, layak kamu ngomong
seperti itu sama papamu?“ tambah Papa
Aku hanya tersenyum sinis, bergeming
sambil menjawab “Layak atau tidak, itu hakku untuk berbicara. Jika mau pukul
lagi, silakan! Nasib membuat aku menjadi anakmu. Ingat kesalahanmu membuat aku
seperti ini.“
Mendengar jawabanku, Papa hanya tertegun,
diam dan berlalu masuk ke kamarnya.
Kondisi itu berlanjut terus bertahun-tahun
dan bahkan beberapa pertengkaran lain semakin menambah tegangnya hubunganku
dengan Papa. Selalu seperti itu sampai ditahun terakhir papa, dimana ada saat
dimana hubunganku dengannya sedikit membaik. Kami saling bertegur sapa dan bisa
berbincang basa basi. Kondisi yang tidak berlangsung lama, karena perselisihan
akan timbul kembali dan aku akan kembali bersitegang dengan Papa. Kondisi yang
layaknya menjadi suatu kondisi yang “normal”, hingga suatu malam Papa merasakan
kepalanya sakit luar biasa dan layaknya kedipan mata, dengan cepat kudapati Papa
harus masuk rumah sakit serta menjalani perawatan intensif. Beberapa check-up akhirnya
membawa Papa pada kata kanker.
“Kamu ini gimana sih, masa Papa sakit
keras bukannya kuatir dan temenin Papa di rumah sakit, eh… malah main terus
sama temanmu!“ tegur kakakku
“Ah… kan sudah ada Kakak dan Mama.“
jawabku sekenanya
“Iya, tapi Papa juga nanyain kamu
terus.“ timpal Mama
“Aduh aku nggak bisa Ma, kan udah ada
janji sama teman.“ kilahku
“Temanmu kan bisa dikasih tahu kalau
Papa lagi sakit keras. Temanmu juga mau ngerti kondisinya lah. Itu kalau mereka
memang teman yang baik.“ sahut Kakakku lagi
Aku menjawabnya dengan diam dan berlalu.
Hampir dua bulan sejak Papa harus
dirawat di rumah sakit dan Papa “tidur“ untuk selamanya. Masih kuingat jelas, saat
seorang sepupu datang menjemputku di kampus.
“Ah… kondisi papa kayaknya memburuk
dan aku harus ke rumah sakit.” pikirku
Kata-kata duka yang terucap tidak
membuatku terpukul,. Hanya perasaan hampa yang kosong, tiba-tiba menyeruak ke
dalam hati.
Dengan sikap yang biasa aku pulang ke
rumah dan ketika aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan untuk menelepon
teman-temanku, mengabarkan berita duka itu. Ratusan kata belasungkawa dan kata-kata
hiburan kuterima, tetapi tetap saja perasaan ini hampa… kosong.
Di rumah duka, jenasah Papa tampak
damai, terbebas dari penyakit yang menjajah tubuhnya. Setelah beberapa acara
ritual, maka peti jenasah itu pun ditutup. Beberapa petugas mulai memalukan
paku-paku di peti jenasah dan suara dentuman beraturan semakin lama terdengar semakin
keras, monoton dan tak kunjung berhenti.
Aku menangis. Untuk pertama kalinya
aku meneteskan air mata untuk Papa. Tak tahu apa yang menyebabkan tangis itu. Perasaanku
yang tadinya terasa hampa… kosong, mulai merasakan asing yang mulai tumbuh.
Beberapa tahun berlalu dan aku
semakin tahu akan perasaan asing itu, yah… aku mengenalinya sebagai rasa
kehilangan yang nyata. Aku menyadari dalam hati kecilku, aku merindukan Papa
dan rindu untuk akhirnya bisa menjadi anak dan sahabatnya.
Kata sayang yang bisu, sesal dan
murka, membuat aku menemukan bagian dalam hati yang begitu dingin, gelap, tak
tersentuh.
Langit semakin bersemburat kelam.
Kupalingkan pandangan dari jalan di depanku, dimana rumah itu berdiri
diujungnya. Daun-daun masih belum berhenti berguguran, seakan menggantikan
tangisku dalam tari kecilnya.
Kembali kunyalakan rokok yang baru,
kuhisap dalam-dalam dan kuhembuskan kuat-kuat, seakan ingin kuhembuskan pula apa
yang ada.
“Papa, can you hear me? I hate you
and I know, I love you.”
Oooommmm :')
ReplyDeleteponnn :')
Deletethanks sudah mampir dan baca
This comment has been removed by the author.
DeleteEhhh.. keren kali lah.. Hampir nangis aku bacanya, kalo baca dikamar udah banjir air mata kali ini..
DeleteHappy: *hugs* thanks sudah mampir en baca yah :">
Delete