Wednesday, December 21, 2011

Segara Anakan - Sempu: The Lost Paradise



Pulau Sempu (Sempu) belakangan ini mulai berkumandang dimana-mana namanya, bahkan hingga ke wisatawan asing dan menjadi pembahasan yang menarik jika membicarakan Sempu. Beberapa hari yang lalu sempat terjadi perbincangan ringan, singkat yang menarik di twitter bersama beberapa teman-teman twitter sesama traveler ala backpacker dan juga dengan beberapa teman-teman kantor. Perbincangan itu membuat saya jadi ingat perjalanan saya sendiri dengan 3 orang teman ke Sempu sekitar tahun 2003 atau 2004 (sudah agak lupa pastinya). Haha memang cukup lama sejak pertama kalinya saya menjejakkan kaki saya di Sempu, tetapi memang pada saat itu hampir tidak ada orang yang tahu adanya Pulau Sempu yang merupakan salah satu situs cagar alam dengan “surga” tersembunyinya yang disebut Segara Anakan, yang berupa pantai kecil yang tenang (kecuali ada badai) dipagari dengan Karang-karang raksasa sehingga membuat pantai kecil ini terisolasi dan susah didatangi. Selain pantainya yang bersih, tenang dan terpencil dengan ombak yang kecil, biota lautnya juga menjadi daya tarik tersendiri bagai Segara Anakan ini.


Pagi hari entah tanggal berapa sekitaran tahun 2003 atau 2004 kami berempat siap untuk berangkat ke Pantai Sendang Biru (Sendang Biru) dengan menggunakan mobil pribadi dan sopir pribadi salah seorang teman (hehehe lumayan irit ongkos, karena biaya bensin disponsorin oleh yang punya mobil). Perjalanan dari Kota Malang ke Sendang Biru sendiri ditempuh sekitar 2,5 sampai 3 jam dengan mobil pribadi. Perjalanan kali ini kami tempuh dengan cukup lancar meski sempat terjadi insiden kecil yang cukup bikin deg-degan karena mobil kami sempat ditabrak motor yang tahu-tahu muncul dari sebuah gang kecil ke jalan raya. Walhasil perjalanan kami sempat tertunda karena harus ngurusin tuh pengendara motor yang sembrono. Untungnya pengendara tersebut sadar diri kalau memang dirinya yang salah dan pada saat kami tawarkan untuk dicek ke rumah sakit/klinik terdekat, yang bersangkutan malah menolak dan segera kabur entah kemana dengan motornya.
Pagi menjelang siang kami telah tiba di Sendang Biru yang merupakan gugusan dari Pantai Selatan dimana Sempu hanya berjarak 15 menit berperahu kayu dengan single motor. Kondisi Sendang Biru sendiri kala itu, saya ingat relative sepi karena bukan akhir pekan dan bukan masa liburan anak sekolah.

Sebelum kami bertolak ke Sempu, sebelumnya kami harus mendaftarkan diri dulu ke semacam kantor pengawas dan pengelolah Sendang Biru termasuk juga Sempu (saya lupa apa nama tepatnya tuh kantor) dengan tanpa biaya sama sekali sembari melihat peta Sempu yang terpampang di pintu masuk kantor tersebut. Lepas urusan administrasi yang sangat simple dan bebas biaya tersebut, kami tak membuang waktu dan segera menuju gerombolan perahu yang disewakan di tepian pantai. Tawar-menawar pun terjadi dan seingat saya, kami memperoleh harga Rp 75.000,- per perahu untuk pergi dan pulang (ingat itu harga pada tahun 2003/2004, sedangkan menurut teman saya harga sewa per perahu untuk pergi pulang di tahun 2009-an sekitar Rp 100.000,-). Dikarenakan kami berencana untuk menginap semalam di Sempu, maka perahu yang kami sewa akan mengantarkan kami saja pada hari ini dan menjemput kami keesok harinya di titik yang sama dengan pemberhentian nantinya, pada jam yang sudah kami sepakati bersama.

Mengarungi laut Sendang biru dengan ombak yang relative tenang sungguh membuat kami terlena, waktu 15 menit seolah-olah hanya 5 menit saja dan kami harus beranjak dari perahu menuju daratan Sempu dan dimulailah petualangan kami. Petualangan? YA petualangan kami untuk mencapai Segara Anakan tidaklah mudah. Dikarenakan Segara Anakan adalah pantai kecil yang dikelilingi tebing-tebing Karang maka tidaklah memungkinkan untuk merapat ke sana, tetapi kami harus memutar sekitar ¼ hingga 1/3 dari lingkar pulau (kurang yakin juga jaraknya) dimana memungkinkan kami untuk mendarat di sana dan dilanjutkan dengan berjalan kaki (tracking) melintasi hutan menuju ke Segara Anakan.

Jalur tracking yang kami lewati sebetulnya hanyalah jalan setapak yang kadang hilang dan muncul kembali beberapa belas meter di depannya yang dipenuhi pohon dan semak-semak seperti lazimnya hutan. Selain permukaan tracking yang naik turun, saya juga ingat harus melintasi semacam sungai yang sedang mengering tetapi hanya bisa dilalui dengan menyebrangi semacam bongkahan karang yang besar sebagai “jembatan” sungai terebut.
Tracking ini berat juga bagi kami karena jalur trackingnya saja sudah lumayan berat ditambah dengan beban di backpack kami yang terisi dengan ransum makanan, tenda dan sleeping bag (bego banget nih bawa sleeping bag segala) serta yang terberat adalah air mineral. Seorang teman sempat menyesal kenapa tadi ditawarin pakai porter kok ga mau hahaha (harga porter sendiri Rp 100.000,- per orang di tahun 2009-an dan biasa cukup sewa porter 1 orang saja buat bawa beban-beban yang relative berat).
Cukup disayangkan bahwa akibat keletihan dengan beban yang berat (waktu itu kami seorang membawa beban minimal sekitar 20 kg per orang), kami kurang menimati tracking kali itu. Di beberapa tempat kami juga diserbu dengan “prajurit-prajurit” gerombolan nyamuk. Walhasil sambil cari jalan, berpeluh, ngos-ngosan plus tangan ini masih “menari” mengusir nyamuk.

Tips:
-       Sebaiknya datang pada musim kemarau supaya track yang sulit ini tidak tambah sulit dengan lumpur yang licin, bahkan genangan lumpur bisa mencapai kedalaman selutut dan jarak tempuh tracking jelas akan lebih lama (bisa mencapai 4 jam).
-       Pakailah sepatu dengan kaos kaki, bukan sandal.
-       Bawalah obat spray anti nyamuk dan pakailah sebelum memulai tracking ini dengan cukup banyak di seluruh tubuh yang terbuka.  
-       Jika membawa beban yang relative cukup berat sewalah porter sehingga bisa menikmati tracking melintasi alam ini.
-       Bawa air mineral yang cukup, karena di Segara Anakan tidak ada sumber air tawar, sedangkan untuk ke satu-satunya danau air tawar di Sempu, letaknya cukup jauh di tengah pulau, belum lagi tempat itu juga menjadi tempat minum dari binatang-binatang liar yang tinggal di Sempu.
-       Sempu adalah salah satu situs cagar alam, jadi jangan mengharapkan jalan setapak aspal atau dengan paving block dan TIDAK ADA warung di sana, Sempu sepenuhnya tidak berpenghuni.
-       Jangan beristirahat sembarangan, coba cekidot insiden kecil berikut.

Tracking yang seakan tiada habisnya ini membuat 2 teman kami sempat tertinggal agak kebelakang dan 1 orang teman agak terlalu cepat di depan hehehe (secara posisi saya di nomor 2). Sembari menunggu saya dan 2 teman saya yang tertinggal cukup jauh di belakang. Teman saya berisitirahat sejenak dan insiden itu pun terjadi. Katakanlah serbuan nyamuk masih belum teratasi, teman saya juga diserbu ama semut-semut merah karena duduk sembarangan di sebatang pohon tumbang yang ternyata merupakan jalur sarang semut-semut merah, walhasil teman saya ini “menari” lebih gila lagi sampai saya tiba di pohon tumbang tersebut dan buru-buru menolong dia “menggilas” semut-semut yang marah itu.

Jalur tracking kami kembali membawa kami menembus hutan dan ke pinggiran hutan mendekati tebing ke pantai, sehingga kami bisa melihat birunya air laut cukup dekat di bawah kami, sebelum akhirnya setelah 2 sampai 3 jam, kami sampai juga di Segara Anakan (katanya sih kalau yang sudah biasa tracking and hiking perjalanan ini bsia hanya ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam-an). Sempat bingung juga karena pantai dari Segara Anakan ada di bawah kami sekitar 3 meter. Didera keletihan yang sangat dan semangat yang tiba-tiba kembali membuat kami melempar backpack kami ke bawah dan kami mulai merambat turun ke pantai (sebenarnya kalau mau terus bisa juga hingga sampai di area pasir pantai yang berbatasan dengan tanah pulau, sehingga tidak perlu merembet menuruni tebing tanah yang curam.

Pada saat kami sampai ternyata bukan kami saja pengunjung Segara Anakan pada hari itu, beberapa tenda yang bergerombol menjadi satu sudah berdiri manis di dataran yang lebih kearah perbatasan ke tanah pulau. Untuk itulah kami mendirikan tenda kami agak jauh di bawah tebing yang kami turunin tadi dengan hamparan pasir pantai. Setelah menikmati menu lunch seadanya yang sudah kami siapkan dari rumah maka kami sibuk dengan aktivitas mendirikan 2 tenda untuk kami berempat, sedikit mengatur barang-barang kami dan mulai meng-explore Segara Anakan yang luasnya bisa dibilang kecil juga.

Teman-teman saya segera mulai melakukan snorkeling di pantai-pantai dangkal dan menurut mereka cukup bagus kondisi biota lautnya. Oh tetangga tenda sebelah juga sempat nyamperin kami sekedar berbasa-basi dengan seorang teman saya yang kebetulan bule Utah hahaha, mungkin ingin menjajal kemampuan Bahasa Inggris mereka yah, padahal teman saya yang bule tuh Bahasa Indonesianya pinter banget dan bahkan bisa sedikit berbicara Bahasa Jawa halus (Kromo).  Sedangkan saya? (I’m not a big fan of beach) duduk saja di depan tenda sambil menikmati pemandangan yang memukau, ditemani dengan hembusan angin laut yang lembut dan deburan ombak yang menerobos masuk melalui celah-celah tebing karang yang memagari Segara Anakan, sambil berpikir bodohnya saya tidak membawa obat migraine saya dan saat itu migraine saya tiba-tiba “berkata halo”. Untungnya migraine ini mereda menjelang sore hari dan saya bisa kembali ceria menikmati Segara Anakan yang tentunya diisi pula dengan acara berfoto ria. Mana fotonya? Kok ga ada fotonya? Iya, ceritanya yah, ga lama setelah kembali ke Malang ternyata hard disk-nya rusak dan tuh foto belum diback-up atau dicopy kemana-mana dan yah hilang sudah semua foto di Sempu, sedih banget.

Menjelang petang, cuaca semakin berangin dan jelas totally gelap banget karena memang tidak ada lampu sama sekali kecuali dari bara api di depan tenda kami dan tenda sebelah. Sedang asik-asiknya memasak makan malam kami (kebetulan istri dari teman bule kami membawakan 4 porsi makanan dibungkus dalam aluminium foil tetapi harus dimasak dulu, semacam chopped vegetables dengan meat ball), tiba-tiba angin super kencang datang diiringi dengan hujan besar, yupe badai tiba-tiba datang padahal diperkirakan oleh petugas Sempu, cuaca hari itu seharusnya akan cerah. Well alam memang tidak selalu bisa diprediksi bukan? Tergopoh-gopoh dan panik, kami segera memasukkan semua barang-barang kami yang tercecer di luar tenda, termasuk satu porsi makan malam yang sudah matang sementara yang lainnya tidak terselamatkan lagi. Sedang asik-asiknya mendekam dalam tenda dan memperbincangkan badai yang datang, tiba-tiba pintu tenda kami “digedor” oleh ga lain ga bukan 2 teman kami dari tenda satunya yang ternyata bocor hahahaha, walhasil kami berempat harus berdempet-dempet dalam 1 tenda padahal badan kami termasuk gede-gede. Rencana menikmati malam di tepi pantai mengelilingi api unggun kecil yang rencananya kami buat pupus sudah. Makan malam pun kami harus sharing berempat dari 1 porsi saja. Badai tak juga kunjung berhenti sampai tengah malam saat kami telah tertidur ala sarden dalam kaleng.

Pagi hari cuaca sudah kembali cerah dan basah tentunya. Tenda kami yang bocor telah terangkat dari pasaknya dan menempel di tebing belakangnya bagaikan sepotong kain basah. Well untungnya kami tidak memilih mendirikan tenda di tanah yang landai, kalau iya, bisa jadi tenda bocor ini sudah hilang ga tahu kemana rimbanya.
Hari ke dua ini kami isi masih dengan meng-explore Segara Anakan kembali dan tetap ber-snorkeling bagi teman-teman saya dan berenang di “kubangan” Segara Anakan yang indah sekali. Menjelang siang kami mulai beberes barang-barang kami dan bersiap menempuh perjalanan panjang lagi kembali tracking menembus hutan untuk kembali ke titik ketika kami sampai di Sempu. Sebenarnya belum rela juga kami meninggalkan Segara Anakan dan kami belum sempat menjelajah sekitaran hutan yang melatarbelakangi Segara Anakan, tapi apa daya, selain sudah janji dengan bapak pemilik perahu yang menjemput kami, kondisi air mineral juga semakin sedikit.

Perjalanan kembali pun kami tempuh juga dengan susah payah, terutama karena badai kemarin, jalanan lebih licin karena lumpur tetapi memang terasa lebih cepat dari pada saat kami menuju ke Segara Anakan dan tentunya terasa lebih ringan karena beban yang kami bawa telah berkurang banyak. Sedikit bikin merinding karena 2 orang teman sempat melihat seekor ular besar bergelayut di dahan pohon besar pada saat perjalanan pulang.
Sampai ke titik penjemputan ternyata perahu telah stand by menunggu kami dan segera mulai mengarungi laut Sendang Biru untuk mencapai pantai.

Sesampai di pantai ternyata mobil dan sopir teman saya pun sudah stand by untuk membawa kami pulang kembali ke Kota Malang. Setelah mengisi perut sebentar kami pun segera bertolak kembali ke Kota Malang. Suatu perjalanan yang singkat dan melelahkan tetapi sejatinya sesuai dengan apa yang kami temui di Sempu khususnya Segara Anakan.

Just Info:
Jika diinginkan bisa saja minta tolong bapak pemilik perahu untuk menyediakan makan siang/sore di pantai aka pesta ikan. Pada tahun 2009-an hanya dihargai Rp 300.000,- untuk 15 orang dan menurut teman saya porsinya besar sekali karena sehabis makan pun masih banyak sisanya.

BONUS cerita tentang Insiden BAB:
Insiden kembali terjadi pada saat perjalanan pulang dari Sendang Biru ke Kota Malang. Lepas dari Sendang Biru, sekitar 30 menit perjalanan tiba-tiba perut saya berkontraksi hebat (baca: mules berat) sampai saya berkeringat dingin dan pantat ini tidak bisa menyentuh jok tempat duduk (baca: ga bsia duduk), benar-benar mules yang tak tertahankan. Mules ini memaksa mobil berhenti dan saya segera lari ke daerah rumah penduduk lereng gunung untuk meminjam memakai toilet mereka. Celakanya dari sekian belas rumah yang berjajar (berundak) tidak ada yang memiliki toilet dan mereka bilang bahwa saya harus ke sungai yang letaknya cukup jauh dari pemukiman tersebut. Haduh saya sudah hampir putus asa, sementara perut tetap berkontraksi semakin hebat.
Setelah kembali “melompat-lompat” di beberapa rumah kearah atas, akhirnya ada 1 warga yang bilang bahwa ada 1 rumah yang dilengkapi dengan toilet. Tanpa buang waktu saya segera ngebut ke rumah yang ditunjuk dan meminta ijin memakai toiletnya. Empunya rumah melihat raut muka saya segera ikutan panik mengantar saya ke bagian belakang rumahnya dan tergopoh-gopoh akan mengambilkan air… lha ganti saya yang bingung, kenapa airnya mau ditaruh di ember dan dikeluarkan? Ga taunya air hanya tersedia di kamar mandi kecil yang khusus untuk mandi, sedangkan untuk BAB saya harus ke “toilet” beberapa meter dari kamar mandi kecil tersebut kearah lereng bukit. Ga tahunya tempat saya bisa ber-BAB ria adalah septic tank yang bagian atasnya ada lubang persegipanjang seukuran 1 buah batubata dengan hanya ditutupin ditiga sisi dengan gedek (semacam anyaman bambu) yang renggang setinggi 50cm tanpa atap. Jadi jelas jika saya BAB disana, maka warga yang rumahnya di atas akan dapat melihat saya dengan jelas. Melihat kondisi toiletnya yang terbuka lebar seperti itu tidaklah menyurutkan saya untuk segera menghilangkan kontraksi ini, bahkan saya tolak tawaran empunya rumah untuk mengambil air dulu diember (kelamaan menurut saya). Dengan membawa se-pax tissue (untungnya yah pas sampai di pantai, sempat beli meskipun sebenarnya untuk bersihin hidung) saya pun segera melepas celana, tanpa peduli dengan mbak-mbak yang sedang menjemur pakaian beberapa undak di atas saya dan saya pun segera bisa menghembuskan nafas lega selega-leganya.
The good thing about “toilet” terbuka itu adalah pemandangan yang disajikan, indah sekali yaitu lereng bukit yang dipenuhi oleh beraneka ragam jenis flora.
Pengalaman yang benar-benar mengesankan, baru sekali itu sejak saya bisa mengingat sampai saat saya menulis artikel ini, saya BAB di toilet terbuka seperti itu.

Yang mengherankan saya adalah bahwa seorang teman diantara kami berempat biasanya paling sering tidak bisa menahan BAB, tetapi kok kali ini diam-diam saja malah saya yang kayak ayam kehilangan anaknya?
Usut punya usut ternyata pada saat badai berhenti dan kami semua masih terlelap, dia sudah kontraksi duluan. Pertanyaan saya yang pertama “Lha terus loe BAB dimana?” yang dijawab santai ama teman saya “Yah gue naik dikit agak ke hutan di atas dan BAB di bawah pohon, gue beneran sudah ga kuat.” kemudian hening sejenak sebelum saya tersentak dan mendadak bertanya “Lha loe cebok pakai apa, kan tissue-nya basah semua kena hujan badai karena lupa dimasukin ke tenda?” hening lagi sejenak sebelum teman saya menjawab dengan malu-malu “Eh..pakai daun.” dan meledaklah tawa kami semua sambil ada yang menimpali “Wah bro, loe ninggalin ranjau di sono”.

Catatan: berhubung foto saya hilang semua, saya tampilkan foto dari Segara Anakan koleksi dari situs bacaananda.blogspot.com

2 comments:

  1. Seru Har :D Udah gue link dari artikel gue:
    http://www.duaransel.com/topik/travelopini/travelopini-tempat-wisata-favorit/

    Ini pasti ga sempet ngeluarin alas toilet ya? lol

    ReplyDelete
  2. thanks :)
    hahaha jaman itu masih belum kenal yg namanya "alas toilet" lagian udah ga bisa mikir babarblas, kepikir pun mau ditaruh dmn, lha wong cuman bolongan doang XD

    ReplyDelete