Friday, December 22, 2017

Mendadak Jelajah Toraja


Check my Instagram @harry_mdj for more pictures

“Gunung Agung-nya erupsi!” dan berawal dari kalimat pendek ini, maka rencana ber-long weekend di Ubud dan Sanur – Bali terpaksa dengan berat hati dibatalkan. Keputusan batal ini lebih dipicu oleh kondisi Bandara Ngurah Rai yang bisa tutup operasi sewaktu-waktu, sedangkan 3 dari kami (4) sudah harus ada di Jakarta kembali pada hari Senin-nya. Keputusan ini juga berimbas kepada ticket pesawat yang tidak bisa di-refund 100% dan begitu juga booking-an hotel di Ubud dan Sanur – Bali.

Imbas force major dan kerugian yang kami tanggung tak guna jua menyurutkan keingan untuk hengkang dari Jakarta selama long weekend Maulid di awal Desember kemarin. 1 hari sebelum dimulainya masa long weekend, akhirnya kami ber-4 memutuskan untuk merubah destinasi, dadakan issued ticket, booking akomodasi, transportasi ke dan di destinasi baru.

Jumat, 1 Desember 2017 (09:00 WITA).
Perwakilan Bintang Prima, Makassar.
Ber-4 kami duduk menunggu bus suspensi yang akan membawa kami melintas membelah Provinsi Sulawesi Selatan dari ujung Selatan menuju ke Utara. Ke Toraja kami akan menghabiskan long weekend ini. Keputusan yang cukup ambisius menurut saya tapinya tetap kami jalani dengan optimis.

Tips:
Terdapat beberapa operator Bus dari Makassar ke Toraja yang dibagi menjadi beberapa jenis bus: Suspensi (bus dengan tempat duduk dua dua yang cukup nyaman), Scania (sama dengan suspensi tetapi kursinya lebih lebar dan lebih nyaman), dan Sleeper (berisi 16 tempat duduk dan 8 tempat tidur). Untuk keberangkatan pagi hari hanya tersedia bus suspensi, jadi tidak ada pilihan. Tetapi jika berangkat malam hari, saya sangat menyarankan memakai Sleeper yang tempat tidur. Sangat nyaman dan terjangkau (beda harganya ga jauh-jauh amat).
Saya juga menyarankan perjalanan malam hari yang memakan waktu hingga 8 jam saja dibanding pagi hari yang bisa memakan waktu hingga 10 jam lebih. Pertimbangan kami berangkat ke Toraja pada pagi hari hanya karena ingin mengejar sunrise di Toraja pada hari Sabtu. Dan jangan kaget kalau bus pagi hari akan berhenti di beberapa spot selain tempat makan siang (biaya pribadi), seperti di penjual mangga dan salak, dimana para penumpang bus akan berbondong-bondong turun dan membeli buah-buahan tersebut. Kami ikutan juga sih beli mangga dan salaknya. Murah dan enak!
Perwakilan (pool) dari Bintang prima berada tidak terlalu jauh dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Cukup sulit untuk mendapatkan taxi dan taxi online di bandara yang dipenuhi oleh calo-calo taxi gelap (mobil pribadi). Setelah tawar menawar yang cukup sengit akhirnya kami mendapat deal Rp 80.000,- (mobil xenia) dari airport ke Perwakilan Bintang Prima di jalan Perintis Kemerdekaan No.12 Makassar. Entah mahal atau tidak.

Jumat 1 Desember 2017 (20:00 WITA).
Hotel Indra Toraja, Rantepao – Toraja Utara.
Lepas dari perjalanan yang penat banget selama lebih dari 10 jam, dan dilanjut dengan menumpang bentor, sampailah kami di Hotel Indra Toraja sebagai tempat inap 1 malam di Rantepao.

Hotel Indra Toraja adalah hotel jadul dengan konsep taman di tengah bangunan, sehingga semua kamar mempunyai view garden yang asri. Ruang tidur dan kamar mandinya juga dalam kondisi yang terawat dan bersih. Lokasi hotel sangat strategis dan hanya membutuhkan waktu 5 menit berjalan santai untuk mencapai pusat keramaian Rantepao.

Hari pertama atau malam pertama di Rantepao, kami buka dan tutup dengan menyantap hidangan khas Makassar, yaitu Sop Saudara. Satu mangkuk kecil yang terisi penuh dengan potongan-potongan daging sapi dan jerohan sapi (bisa daging saja) dalam kubangan kuah yang encer tetapi sarat akan rasa. Menu enak ini sangat cocok sebagai santapan dalam sejuknya udara Rantepao di malam hari. 


Tips:
Kok kulinernya yang khas Makassar? Pada perjalanan kali ini, kami tidak menjajal sama sekali makanan khas Toraja karena makanan khas Toraja selalu mengandung babi, sedangkan 2 diantara kami tidak mengkonsumsi babi. Masakan khas Toraja yang paling terkenal adalah Piong Babi (potongan babi dimasak dengan dedaunan dalam bambu, yang biasanya sudah habis menjelang siang), pamarrasan babi dan bakso babi (yang tersebar di seantero kota). Di hari ke 2 saya mencoba cari Piong sih, tetapi karena kesiangan pada habis dimana-mana, bahkan sampai ke pasar Makale.
Bagi teman-teman Moslem, hendaknya cukup berhati-hati dan makan di warung-warung halal yang saat ini tampaknya sudah lebih banyak dibandingkan pada tahun 2012 yang lalu. Warung-warung halal biasanya mempunyai tulisan halal atau mempunyai menu khas Makassar (sop saudara, coto, konro dan lain-lain). Warung bakso pun akan mempunyai tulisan halal jika tidak menggunakan babi. Bakso Umum means mengandung babi, karena umumnya bakso orang Toraja menggunakan daging babi.

Sabtu 2 Desember 2017 (pagi hari).
Pong Torra, Lolai – Toraja Utara.
Angin sejuk berhembus cukup kencang. Entah jam berapa ini, pastinya matahari mulai muncul di ufuk timur, merenggangkan sayap-sayap cahayanya. Langit biru kelam mulai berubah dan cahaya merah yang perlahan berubah menjadi kuning keemasan meredupan kerlipan bintang-bintang kecil di langit yang tinggi.


Saya terdiam sesaat dan asyik sendiri mengamati keindahan warna langit dan tekstur alam di bawahnya yang perlahan terkuak semakin jelas. Alam di bawah awan dari tempat saya berpijak di Pong Torra, puncak tertinggi Lolai, negeri di atas awan.

Lolai adalah salah satu destinasi di Toraja yang relative masih baru. Tahun 2012 saat saya ke Toraja, belum ada destinasi ini. View-nya bagus, khususnya saat fajar menyingsing. Area-nya bersih dengan banyak spot-spot foto kekinian aka. instagramable. Dilengkapi dengan penginapan dan resto serta toilet umum, destinasi baru ini benar-benar dipersiapkan dengan baik. Durasi perjalanan ke destinasi ini juga relative singkat, hanya 1 jam dari pusat Rantepao dengan kondisi jalanan yang cukup baik. 


Tips:
Berangkatlah dari hotel (jika hotel di Rantepao) paling lambat pukul 4 dini hari.

Dari Lolai, kami menuju ke Batu Tumonga. Kali ini perjalanan ke Batu Tumonga sangat menyenangkan karena, dibandingkan tahun 2012, jalanan menuju ke Batu Tumonga sekarang sangat bagus. Dalam perjalanan ke Batu Tumonga kami melewati salah satu destinasi kecil tetapi sangat sarat akan kultur budaya after life masyarakat Toraja, yaitu Lokomata.

Lokomata adalah sebuah batu besar (literally it is a massive single stone) dengan puluhan liang kubur pahat (seratus ada ga yah?). Like most Torajans, orang meninggal dikuburkan di dalam gua, dalam lubang batu pahat, dan lereng tebing. Lokomata adalah batu individu yang terbesar dari puluhan batu-batu makam yang tersebar di sepanjang jalan menuju Batu Tumonga.


Batu Tumonga sendiri masih seperti yang dulu, meski sekarang jumlah bangunannya sudah bertambah luas dan terdapat penambahan pelataran-pelataran baru bagi pengunjung sebagai tempat untuk menikmati pemandangan alam pegunungan dan sawah terasering ala Batu Tumonga.


Setelah melepas penat dan menikmati secangkir kopi robusta Toraja serta penganan kecil, kami melanjutkan jelajah Toraja menuju ke salah satu destinasi baru lain yaitu Tugu Salib Bukit Singki.

Tugu Salib ini berdiri di ujung tertinggi dari Bukti Singki yang terletak di dalam Kota Rantepao. Tugu Salib ini juga bersinar pada malam hari dan bisa dikunjungi melalui jalur tangga yang cukup tinggi. 


Di seantero Toraja terdapat 3 kubur ala Torajans yang sangat terkenal yaitu Ketekesu, Londa dan Lemo. Kali ini, selepas dari Tugu Salib, kami putuskan untuk hanya mengunjungi Ketekesu saja. Kondisi Ketekesu masih juga seperti dulu dan tibak berubah sama sekali. Perubahan temporary hanya terjadi karena kedatangan kami bertepatan dengan upacara adat penggantian pakaian jenasah yang diadakan setiap 3 tahun sekali, sehingga kondisi Ketekesu sangat-sangat ramai sekali. Upacara ini tidak menghalangi wisatawan untuk tetap berkunjung ke Ketekesu. Keragu-raguan kami untuk masuk dan menyusuri tebing makam Ketekesu langsung raib saat peserta upacara memaksa dan mempersilakan kami untuk tetap memasuki area makam hingga ke ujung goa.


Penjelajahan Toraja kami sempat terhenti sementara saat menjelang siang dan saatnya mengisi perut yang sudah keroncongan di sebuah kedai halal di sekitaran jalan menuju ke destinasi selanjutnya, yaitu Patung Yesus Buntu Burake.

Patung Yesus Buntu Burake tak jauh berbeda dengan patung Tuhan Yesus di Rio de Janeiro, Brasil. Konon patung Tuhan Yesus Buntu Burake adalah yang tertinggi di dunia. Dugaan saya, tertingginya terhitung dari permukaan laut. Patung Tuhan Yesus Buntu Burake telah rampung didirikan pada tahun 2015, tetapi tidak pada pembangunan kawasannya. Terus terang ekspektasi saya agak drop saat melihat kemegahan patung tidak diimbangi dengan kondisi kawasan yang memadai. Bayangan kami, karena patung sudah selesai dibangun pada tahun 2015, harusnya kondisi kawasan sudah jadi juga pada akhir tahun 2017. Nyatanya kondisi kawasan masih sangat-sangat minim sekali. Beberapa jalur-jalur dan tangga-tangga pedestrian sudah selesai dibangun atau sedang dibangun, tetapi pelataran di depan pedestal patung masih dalam tahap pengecoran. Sedangkan toko-toko souvenir dan toko-toko makanan minuman juga masih menempati bangunan semi permanent bahkan temporary.

Tips:
Best spot untuk mengambil photo patung ini adalah turun ke bawah dan sedikit menerobos area belum dikembangkan yang masih dipenuhi rumput liar dan batu-batu karang gunung. Meskipun area ini sudah dilengkapi pagar permanen yang cukup tinggi, kehati-hatian pengunjung sangat dibutuhkan. Untuk menuju ke spot ini anda harus menuruni tangga menuju ke jajaran toko-toko souvenir di bawah patung. Untuk perhatian: anak-anak balita dan manula mungkin membutuhkan bantuan khusus saat menuruni tangga.
Jika anda berkunjung dengan sopir, selepas menurunkan anda di pintu masuk, mintalah sopir untuk menunggu di pintu keluar di bawah, sehingga anda tidak perlu naik turun tangga bolak balik.

Cukup lama kami menghabiskan waktu di area Patung Tuhan Yesus Buntu Burake dan selanjutnya melanjutkan penjelajahan kami ke Mata Air Tilanga, yang merupakan destinasi wisata terakhir dari jelajah Toraja kali ini.

Mata Air Tilanga adalah sebuah kolam alam air tawar yang dikeramatkan oleh Torajans. Pengunjung dipersilakan untuk berenang di kolam jika mau atau cukup menikmati celoteh dan action dari anak-anak lokal di sana yang akan merong-rong untuk mendapatkan sekeping logam atau uang kecil untuk menyelam dan melompat dari dahan pohon tinggi yang menggantung di tengah kolam.


Kolam ini juga didiami oleh Masapi. Masapi adalah morea aka. giant eel yang bisa ditemukan juga di Desa Waai atau Desa Larike di Ambon. Masapi Tilanga sama halnya morea di Desa Waai, mereka memakan telur. Tetapi tampaknya di Tilanga, pengunjung tidak bisa “bermain” dengan masapi karena kayaknya masapi sangat pemalu sekali, berbeda jika kita ke Desa Waai.

Tips:
Pengunjung yang berenang dilarang menggunakan sabun dan semua benda sejenis.

Kunjungan ambisius kami ke Toraja kali ini ditutup dengan makan malam di Rumah Makan Saruran yang menyediakan hidangan khas Makassar. Mie Titi-nya menurut saya enak lho, tetapi tidak Nasi Goreng Merah-nya yang menurut saya cenderung kurang rasa. Untuk minuman saya menjajal Juice Markisa Tamarillo. Tamarillo tak lain tak bukan adalah terong belanda. 


Tips:
Rumah makan Saruran adalah salah satu rumah makan khas Makassar terbaik di Rantepao dan meski pun menyajikan menu non babi, tetapi rumah makan ini juga menyajikan banyak menu babi. Menu-nya cukup beragam, jadi banyak pilihan menu, baik yang mengandung babi atau pun tidak.

Sabtu, 2 Desember 2017 (20:30 WITA).
Perwakilan Bintang Prima, Rantepao.
Teriring rintik hujan, kami melambai dalam hening kepada Toraja. Saatnya berbaring dan menutup mata untuk melangkah ke dunia utopia. Sampai suatu saat nanti, hai Toraja, penyimpan budaya-budaya yang mencengangkan ahli-ahli dan penggemar budaya di seluruh dunia. Ada saatnya nanti, mungkin saya, kami akan datang kembali dan sedikit lagi mengintip ragam budayamu yang lain.


Tips:
Kami meninggalkan Toraja dan kembali menuju ke Makassar masih dengan Bus Bintang Prima. Kali ini kami mencoba sleeper bus dengan tempat tidur. Nyaman sekali, I love it! Saya yang selalu kesulitan untuk tidur dalam perjalanan, tertidur lelap hingga mendekati Maros, Makassar.
Di Makassar tujuan kami hanya kuliner, kuliner dan kuliner. Menu kami selama di Makassar adalah Pisang Epe, Coto Makassar Nusantara, Bakpao dan Bakcang Lompobattang (mengandung babi), Pallu Basa Serigala, Sop Ubi pindahan Datumuseng, Otak-otak Ibu Elly serta Pallu Butung dan Pisang Ijo Muda Mudi.


***

No comments:

Post a Comment