Check my Instagram @harry_mdj for more pictures |
“Gunung
Agung-nya erupsi!” dan berawal dari kalimat pendek ini, maka rencana ber-long
weekend di Ubud dan Sanur – Bali terpaksa dengan berat hati dibatalkan.
Keputusan batal ini lebih dipicu oleh kondisi Bandara Ngurah Rai yang bisa
tutup operasi sewaktu-waktu, sedangkan 3 dari kami (4) sudah harus ada di
Jakarta kembali pada hari Senin-nya. Keputusan ini juga berimbas kepada ticket
pesawat yang tidak bisa di-refund 100% dan begitu juga booking-an hotel di Ubud
dan Sanur – Bali.
Imbas
force major dan kerugian yang kami tanggung tak guna jua menyurutkan keingan untuk
hengkang dari Jakarta selama long weekend Maulid di awal Desember kemarin. 1
hari sebelum dimulainya masa long weekend, akhirnya kami ber-4 memutuskan untuk
merubah destinasi, dadakan issued ticket, booking akomodasi, transportasi ke dan
di destinasi baru.
Jumat,
1 Desember 2017 (09:00 WITA).
Perwakilan
Bintang Prima, Makassar.
Ber-4
kami duduk menunggu bus suspensi yang akan membawa kami melintas membelah
Provinsi Sulawesi Selatan dari ujung Selatan menuju ke Utara. Ke Toraja kami
akan menghabiskan long weekend ini. Keputusan yang cukup ambisius menurut saya
tapinya tetap kami jalani dengan optimis.
Tips:
Terdapat beberapa operator
Bus dari Makassar ke Toraja yang dibagi menjadi beberapa jenis bus: Suspensi
(bus dengan tempat duduk dua dua yang cukup nyaman), Scania (sama dengan
suspensi tetapi kursinya lebih lebar dan lebih nyaman), dan Sleeper (berisi 16
tempat duduk dan 8 tempat tidur). Untuk keberangkatan pagi hari hanya tersedia
bus suspensi, jadi tidak ada pilihan. Tetapi jika berangkat malam hari, saya
sangat menyarankan memakai Sleeper yang tempat tidur. Sangat nyaman dan
terjangkau (beda harganya ga jauh-jauh amat).
Saya juga menyarankan
perjalanan malam hari yang memakan waktu hingga 8 jam saja dibanding pagi hari
yang bisa memakan waktu hingga 10 jam lebih. Pertimbangan kami berangkat ke
Toraja pada pagi hari hanya karena ingin mengejar sunrise di Toraja pada hari
Sabtu. Dan jangan kaget kalau bus pagi hari akan berhenti di beberapa spot
selain tempat makan siang (biaya pribadi), seperti di penjual mangga dan salak,
dimana para penumpang bus akan berbondong-bondong turun dan membeli buah-buahan
tersebut. Kami ikutan juga sih beli mangga dan salaknya. Murah dan enak!
Perwakilan (pool) dari
Bintang prima berada tidak terlalu jauh dari Bandara Internasional Sultan
Hasanuddin. Cukup sulit untuk mendapatkan taxi dan taxi online di bandara yang
dipenuhi oleh calo-calo taxi gelap (mobil pribadi). Setelah tawar menawar yang
cukup sengit akhirnya kami mendapat deal Rp 80.000,- (mobil xenia) dari airport
ke Perwakilan Bintang Prima di jalan Perintis Kemerdekaan No.12 Makassar. Entah
mahal atau tidak.
Jumat
1 Desember 2017 (20:00 WITA).
Hotel
Indra Toraja, Rantepao – Toraja Utara.
Lepas
dari perjalanan yang penat banget selama lebih dari 10 jam, dan dilanjut dengan
menumpang bentor, sampailah kami di Hotel Indra Toraja sebagai tempat inap 1
malam di Rantepao.
Hotel
Indra Toraja adalah hotel jadul dengan konsep taman di tengah bangunan,
sehingga semua kamar mempunyai view garden yang asri. Ruang tidur dan kamar
mandinya juga dalam kondisi yang terawat dan bersih. Lokasi hotel sangat
strategis dan hanya membutuhkan waktu 5 menit berjalan santai untuk mencapai pusat
keramaian Rantepao.
Hari
pertama atau malam pertama di Rantepao, kami buka dan tutup dengan menyantap
hidangan khas Makassar, yaitu Sop Saudara. Satu mangkuk kecil yang terisi penuh
dengan potongan-potongan daging sapi dan jerohan sapi (bisa daging saja) dalam
kubangan kuah yang encer tetapi sarat akan rasa. Menu enak ini sangat cocok
sebagai santapan dalam sejuknya udara Rantepao di malam hari.
Tips:
Kok kulinernya yang khas
Makassar? Pada perjalanan kali ini, kami tidak menjajal sama sekali makanan
khas Toraja karena makanan khas Toraja selalu mengandung babi, sedangkan 2
diantara kami tidak mengkonsumsi babi. Masakan khas Toraja yang paling terkenal
adalah Piong Babi (potongan babi dimasak dengan dedaunan dalam bambu, yang
biasanya sudah habis menjelang siang), pamarrasan babi dan bakso babi (yang
tersebar di seantero kota). Di hari ke 2 saya mencoba cari Piong sih, tetapi
karena kesiangan pada habis dimana-mana, bahkan sampai ke pasar Makale.
Bagi teman-teman Moslem,
hendaknya cukup berhati-hati dan makan di warung-warung halal yang saat ini
tampaknya sudah lebih banyak dibandingkan pada tahun 2012 yang lalu.
Warung-warung halal biasanya mempunyai tulisan halal atau mempunyai menu khas
Makassar (sop saudara, coto, konro dan lain-lain). Warung bakso pun akan
mempunyai tulisan halal jika tidak menggunakan babi. Bakso Umum means
mengandung babi, karena umumnya bakso orang Toraja menggunakan daging babi.
Sabtu
2 Desember 2017 (pagi hari).
Pong
Torra, Lolai – Toraja Utara.
Angin
sejuk berhembus cukup kencang. Entah jam berapa ini, pastinya matahari mulai
muncul di ufuk timur, merenggangkan sayap-sayap cahayanya. Langit biru kelam
mulai berubah dan cahaya merah yang perlahan berubah menjadi kuning keemasan
meredupan kerlipan bintang-bintang kecil di langit yang tinggi.
Saya
terdiam sesaat dan asyik sendiri mengamati keindahan warna langit dan tekstur
alam di bawahnya yang perlahan terkuak semakin jelas. Alam di bawah awan dari tempat
saya berpijak di Pong Torra, puncak tertinggi Lolai, negeri di atas awan.
Lolai
adalah salah satu destinasi di Toraja yang relative masih baru. Tahun 2012 saat
saya ke Toraja, belum ada destinasi ini. View-nya bagus, khususnya saat fajar
menyingsing. Area-nya bersih dengan banyak spot-spot foto kekinian aka.
instagramable. Dilengkapi dengan penginapan dan resto serta toilet umum, destinasi
baru ini benar-benar dipersiapkan dengan baik. Durasi perjalanan ke destinasi
ini juga relative singkat, hanya 1 jam dari pusat Rantepao dengan kondisi
jalanan yang cukup baik.
Tips:
Berangkatlah dari hotel
(jika hotel di Rantepao) paling lambat pukul 4 dini hari.
Dari
Lolai, kami menuju ke Batu Tumonga. Kali ini perjalanan ke Batu Tumonga sangat
menyenangkan karena, dibandingkan tahun 2012, jalanan menuju ke Batu Tumonga
sekarang sangat bagus. Dalam perjalanan ke Batu Tumonga kami melewati salah
satu destinasi kecil tetapi sangat sarat akan kultur budaya after life
masyarakat Toraja, yaitu Lokomata.
Lokomata
adalah sebuah batu besar (literally it is a massive single stone) dengan
puluhan liang kubur pahat (seratus ada ga yah?). Like most Torajans, orang
meninggal dikuburkan di dalam gua, dalam lubang batu pahat, dan lereng tebing.
Lokomata adalah batu individu yang terbesar dari puluhan batu-batu makam yang
tersebar di sepanjang jalan menuju Batu Tumonga.
Batu
Tumonga sendiri masih seperti yang dulu, meski sekarang jumlah bangunannya
sudah bertambah luas dan terdapat penambahan pelataran-pelataran baru bagi
pengunjung sebagai tempat untuk menikmati pemandangan alam pegunungan dan sawah
terasering ala Batu Tumonga.
Setelah
melepas penat dan menikmati secangkir kopi robusta Toraja serta penganan kecil,
kami melanjutkan jelajah Toraja menuju ke salah satu destinasi baru lain yaitu Tugu
Salib Bukit Singki.
Tugu
Salib ini berdiri di ujung tertinggi dari Bukti Singki yang terletak di dalam
Kota Rantepao. Tugu Salib ini juga bersinar pada malam hari dan bisa dikunjungi
melalui jalur tangga yang cukup tinggi.
Di
seantero Toraja terdapat 3 kubur ala Torajans yang sangat terkenal yaitu
Ketekesu, Londa dan Lemo. Kali ini, selepas dari Tugu Salib, kami putuskan
untuk hanya mengunjungi Ketekesu saja. Kondisi Ketekesu masih juga seperti dulu
dan tibak berubah sama sekali. Perubahan temporary hanya terjadi karena
kedatangan kami bertepatan dengan upacara adat penggantian pakaian jenasah yang
diadakan setiap 3 tahun sekali, sehingga kondisi Ketekesu sangat-sangat ramai
sekali. Upacara ini tidak menghalangi wisatawan untuk tetap berkunjung ke
Ketekesu. Keragu-raguan kami untuk masuk dan menyusuri tebing makam Ketekesu
langsung raib saat peserta upacara memaksa dan mempersilakan kami untuk tetap
memasuki area makam hingga ke ujung goa.
Penjelajahan
Toraja kami sempat terhenti sementara saat menjelang siang dan saatnya mengisi
perut yang sudah keroncongan di sebuah kedai halal di sekitaran jalan menuju ke
destinasi selanjutnya, yaitu Patung Yesus Buntu Burake.
Patung
Yesus Buntu Burake tak jauh berbeda dengan patung Tuhan Yesus di Rio de
Janeiro, Brasil. Konon patung Tuhan Yesus Buntu Burake adalah yang tertinggi di
dunia. Dugaan saya, tertingginya terhitung dari permukaan laut. Patung Tuhan
Yesus Buntu Burake telah rampung didirikan pada tahun 2015, tetapi tidak pada
pembangunan kawasannya. Terus terang ekspektasi saya agak drop saat melihat
kemegahan patung tidak diimbangi dengan kondisi kawasan yang memadai. Bayangan
kami, karena patung sudah selesai dibangun pada tahun 2015, harusnya kondisi
kawasan sudah jadi juga pada akhir tahun 2017. Nyatanya kondisi kawasan masih
sangat-sangat minim sekali. Beberapa jalur-jalur dan tangga-tangga pedestrian
sudah selesai dibangun atau sedang dibangun, tetapi pelataran di depan pedestal
patung masih dalam tahap pengecoran. Sedangkan toko-toko souvenir dan toko-toko
makanan minuman juga masih menempati bangunan semi permanent bahkan temporary.
Tips:
Best spot untuk mengambil
photo patung ini adalah turun ke bawah dan sedikit menerobos area belum
dikembangkan yang masih dipenuhi rumput liar dan batu-batu karang gunung.
Meskipun area ini sudah dilengkapi pagar permanen yang cukup tinggi,
kehati-hatian pengunjung sangat dibutuhkan. Untuk menuju ke spot ini anda harus
menuruni tangga menuju ke jajaran toko-toko souvenir di bawah patung. Untuk
perhatian: anak-anak balita dan manula mungkin membutuhkan bantuan khusus saat
menuruni tangga.
Jika anda berkunjung dengan
sopir, selepas menurunkan anda di pintu masuk, mintalah sopir untuk menunggu di
pintu keluar di bawah, sehingga anda tidak perlu naik turun tangga bolak balik.
Cukup
lama kami menghabiskan waktu di area Patung Tuhan Yesus Buntu Burake dan
selanjutnya melanjutkan penjelajahan kami ke Mata Air Tilanga, yang merupakan
destinasi wisata terakhir dari jelajah Toraja kali ini.
Mata
Air Tilanga adalah sebuah kolam alam air tawar yang dikeramatkan oleh Torajans.
Pengunjung dipersilakan untuk berenang di kolam jika mau atau cukup menikmati
celoteh dan action dari anak-anak lokal di sana yang akan merong-rong untuk
mendapatkan sekeping logam atau uang kecil untuk menyelam dan melompat dari
dahan pohon tinggi yang menggantung di tengah kolam.
Kolam
ini juga didiami oleh Masapi. Masapi adalah morea aka. giant eel yang bisa
ditemukan juga di Desa Waai atau Desa Larike di Ambon. Masapi Tilanga sama
halnya morea di Desa Waai, mereka memakan telur. Tetapi tampaknya di Tilanga,
pengunjung tidak bisa “bermain” dengan masapi karena kayaknya masapi sangat
pemalu sekali, berbeda jika kita ke Desa Waai.
Tips:
Pengunjung yang berenang
dilarang menggunakan sabun dan semua benda sejenis.
Kunjungan
ambisius kami ke Toraja kali ini ditutup dengan makan malam di Rumah Makan
Saruran yang menyediakan hidangan khas Makassar. Mie Titi-nya menurut saya enak
lho, tetapi tidak Nasi Goreng Merah-nya yang menurut saya cenderung kurang rasa.
Untuk minuman saya menjajal Juice Markisa Tamarillo. Tamarillo tak lain tak
bukan adalah terong belanda.
Tips:
Rumah makan Saruran adalah
salah satu rumah makan khas Makassar terbaik di Rantepao dan meski pun
menyajikan menu non babi, tetapi rumah makan ini juga menyajikan banyak menu
babi. Menu-nya cukup beragam, jadi banyak pilihan menu, baik yang mengandung
babi atau pun tidak.
Sabtu,
2 Desember 2017 (20:30 WITA).
Perwakilan
Bintang Prima, Rantepao.
Teriring
rintik hujan, kami melambai dalam hening kepada Toraja. Saatnya berbaring dan
menutup mata untuk melangkah ke dunia utopia. Sampai suatu saat nanti, hai
Toraja, penyimpan budaya-budaya yang mencengangkan ahli-ahli dan penggemar
budaya di seluruh dunia. Ada saatnya nanti, mungkin saya, kami akan datang
kembali dan sedikit lagi mengintip ragam budayamu yang lain.
Tips:
Kami meninggalkan Toraja dan
kembali menuju ke Makassar masih dengan Bus Bintang Prima. Kali ini kami
mencoba sleeper bus dengan tempat tidur. Nyaman sekali, I love it! Saya yang
selalu kesulitan untuk tidur dalam perjalanan, tertidur lelap hingga mendekati
Maros, Makassar.
Di Makassar tujuan kami
hanya kuliner, kuliner dan kuliner. Menu kami selama di Makassar adalah Pisang
Epe, Coto Makassar Nusantara, Bakpao dan Bakcang Lompobattang (mengandung
babi), Pallu Basa Serigala, Sop Ubi pindahan Datumuseng, Otak-otak Ibu Elly
serta Pallu Butung dan Pisang Ijo Muda Mudi.
***
No comments:
Post a Comment