More pictures in my Instagram @harry_mdj |
Baca sebelumnya di: hello hong kong, day 1 - ngong ping
Baca sebelumnya di: hello hong kong, day 2 - disneyland
Baca sebelumnya di: hello hong kong, day 2 - disneyland
Di
hari ketiga, kami menyempatkan diri ke daerah Causeway Bay karena paket data hp
teman saya bermasalah, sedangkan pulsa sudah terpotong.
Di
Causeway Bay, Keswick Street, kami temui gedung Grapari Telkomsel, Kedutaan
Indonesia, kantor cabang Bank Mandiri dan kantor cabang BNI. Di sebelah Grapari
malahan ada toko khas Indonesia yang selain menjual produk Indonesia juga
menjual kue-kue basah khas Indonesia.
Tips:
Info
ini kami dapat dari mbak-mbak baik hati di Grapari, untuk paket roaming di Hong
Kong better menggunakan nomor pra bayar dibandingkan dengan nomor Hallo atau
pasca bayar.
Untuk
ke Causeway Bay, gunakan MTR (Island Line), turun di MTR Causeway Bay dan lanjut
berjalan kaki ke Keswick Street .
Dari
Causeway Bay, kami kembali ke Kowloon, menuju ke salah satu temple utama di
Hong Kong, yaitu Wong Tai Sin Temple atau biasa disebut juga Sik Sik Yuen
Temple. Sebuah rumah ibadah untuk 3 aliran agama (Taoisme, Buddha dan Konghucu).
Temple ini mulai dibuka untuk umum pada tahun 1956 dan sejak saat itu selalu
ramai dikunjungi oleh pengunjung yang biasanya datang untuk berdoa menyampaikan
permohonannya.
Bangunan
tempat ibadah ini juga konon mewakili lima unsur geomantic, yaitu: logam (Paviliun
Perunggu), kayu (Gudang Arsip), air (Air Mancur Yuk Yin), api (tempat suci Yue
Heungi dan tempat pemujaan Buddha), dan tanah (dinding tanah).
Pada
saat kami berkunjung, ternyata bertepatan dengan entah hari raya apa? (atau
sejenisnya). Ramai sekali bahkan untuk berjalan masuk harus antri dan merayap.
Kami yang terlanjur ikut arus merasa tidak enak karena mereka yang datang
mostly adalah untuk berdoa. Saat memutar ingin kembali malah tidak diijinkan
oleh petugas dan tetap disuruh mengikuti arus pergerakan orang yang ingin naik
ke main temple untuk berdoa.
“Sir,
is it okay that we are not praying here?” tanya saya kepada petugas.
“It’s
okay” jawab petugas yang untungnya sedikit-sedikit mengerti bahasa Inggris,
sambil mengarahkan kami dengan gerakan tangan.
Tips:
Di
sisi luar temple terdapat sebuah bangunan lagi yang “dipagari” oleh puluhan
toko souvenir. Souvenir yang dijual lebih ke barang-barang kerajinan tangan
yang berbau agama, bukan souvenir ala-ala Hong Kong. Dibalik jajaran toko
tersebut juga terdapat sebuah lorong sempit yang dijejali dengan puluhan toko
kecil-kecil yang berujung ke sebuah bangunan yang cukup besar yang berisi
puluhan tukang ramal yang membuka praktek. Mau coba diramal? Ga yakin
peramalnya bisa bahasa Inggris sih.
Jika
berbelanja di sini, jangan lupa tawar juga. It’s common.
Untuk
mencapai Wong Tai Sin Temple, gunakan MTR (Kwun Tong Line), turun di MTR Wong
Tai Sin dan berjalan ke exit Wong Tai Sin Temple/Sik Sik Yuen Temple. Dari
pintu keluar MTR, gapura awal komlpek temple sudah akan menyambut di sisi kiri.
Memulai dengan sarapan |
Murah ini! Paket telur orak arik, roti panggang, noodles soup dan pork chop hanya seharga HKD 35 |
Wong Tai Sin Temple |
Keramaian pada saat kami berkunjung |
Tak mendapat tempat di main temple, sesaji dan doa pun dihanturkan di pelataran depan main temple |
Handy-craft Tunnel |
Entah untuk apaan, saya ikutan aja menulis nama mandarin saya |
Lepas
dari keriuhan di Wong Tai Sin Temple, kami menuju salah satu landmark utama
dari Hong Kong setelah Big Buddha di Ngong Ping, yaitu The Peak.
Untuk
mencapai The Peak kami memutuskan menggunakan The Peak Tram. Agak jauh juga
kami harus berjalan dari MTR Central menuju ke The Peak Tram. Untungnya banyak
petunjuk sehingga tidak membuat kami tersasar. Sesampai di Peak Tram Station
ternyata antrian sudah mengular hingga lebih dari 100 meter.
Dari MTR Central berjalan melalui taman ini |
Setelah 1 jam lebih akhirnya mencapai antrian yang sudah dekat ke antrian masuk tram |
Tips:
Tiket
bisa dibeli di hotel tempat menginap (we did) untuk paket Peak Tram Return,
Madame Tussaud dan Sky Terrace 428. Kami beli di hotel dengan harga HKD 310 dan
tetap harus antri hingga sekitar 10 meter dari pintu masuk, baru kami bisa by
pass karena sudah memiliki tiket. Antrian tersebut memakan waktu kami 1,5 jam
lebih. Saran: jangan beli di hotel tetapi pada saat antri, pasti beberapa staff
dari Madam Tussaud menawarkan pembelian paket yang sama seharga HKD 315 (Iya!
Cuma HKD 5 lebih mahal) dan bisa langsung masuk ke pintu masuk melalui loket
Madam Tussaud.
Alternatif
lain adalah gunakan bus umum yang harga tiketnya jauh lebih murah, tanpa antri
meski harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam dengan pemandangan
yang sama jika naik tram.
Untuk
mencapai Peak Tram Station, guankan MTR (Island Line) dan turun di MTR Central.
Tidak
lebih dari 30 menit kami menumpang tram (cukup berdesakan) menuju The Peak.
Sesampainya di sana kami langsung disambut oleh ragam souvenir shop di The Peak
Market. Untung kami sudah belanja duluan di Ladies Market sehingga tidak
tertarik membeli di sini karena harganya jauh lebih mahal.
Langkah
kami segera menuju ke Sky Terrace 428 dan menyaksikan panoramic view atas
keindahan hutan gedung pencakar langit Hong Kong.
“Ini
juga Hong Kong banget view-nya” ujar teman seperjalanan yang saya jawab dengan
anggukan.
Sky Terrace 428 |
Tips:
Tiket
paket yang terdiri dari Peak Tram return dan Sky Terrace 428 hanya terdiri dari
1 tiket saja dan akan dipergunakan pada saat masuk ke tram (pergi, pulang) dan
ke Sky Terrace 428. Jadi jangan sampai hilang. Sedangkan untuk masuk ke Madame
Tussaud, kita akan diberikan tiket yang berbeda.
Di
Sky Terrace 428, jika ada yang menawarkan foto resmi, kita harus melakukan
claim di pintu keluar dan membayar biaya tambahan atas hardcopy foto tersebut.
Diterpa
hembusan angin dingin di Sky Terrace 428, membuat perut kami berteriak minta
diisi dan sesampainya di The Peak Galleria, saya menangkap signage Mak’s
Noodles (dalam huruf latin). Mak’s Noodles menyajikan noodles soup dan tossed
noodles dengan wonton, dumpling, beef brisket dan lain-lain. Mak’s Noodle
sangat terkenal karena pernah 3 kali mendapatkan rekomendasi dari Michelin
Stars. Rekomendasi saya adalah wonton dan beef brisket noodles in soup dengan
harga HKD 59. Menu makanan di Mak’s Noodles mulai dari harga HKD 42 sedangkan
untuk minuman tersedia teh hangat (tanpa susu) gratis dan free flow.
Ini dia incarannya |
Wonton and beef brisket in noodles soup seharga HKD 59 |
Tips:
Pastinya
akan terlihat antrian untuk makan di restaurant ini. Tidak usah kuatir karena
antrian biasanya tidak terlalu lama, apalagi mereka memberlakukan sharing table
bagi pengunjungnya.
Dengan perut kenyang, kami melanjutkan sight seeing kami ke Madame Tussaud Museum. Cukup menghibur dengan banyaknya patung lilin dengan ukuran yang riil dari beberapa artis, tokoh politik dan karakter terkenal. Serunya patung-patung ini bebas diajak berfoto ria dan "boleh" dipegang.
Wefie ama Babe |
Doraemon! |
Sejenak
menghabiskan waktu melihat-lihat di The Peak Galleria, sebelum akhirnya kami memutuskan
untuk turun dan kembali ke kota. Hal ini sebenarnya juga dipicu oleh trauma
harus antri 1.5 jam lebih. Sedangkan antrian tram untuk turun sudah mulai nampak
meski belum panjang.
Setiba
kembali di kota, kami memutuskan untuk menjajal kuliner lain yang sampai saat
ini masih memperoleh Michelin Star, yaitu Yat Lok yang terkenal dengan Roasted
Goose-nya. Yah, di Hong Kong jarang saya lihat menu bebek, yang banyak adalah
goose atau angsa/soang (bukan angsa swan yang berleher panjang). Pada saat
sudah matang yang membedakan bisa dilihat dari kepalanya. Semacam ada punuk
kecil di antara kepala dan paruh dari goose/soang.
Dan
tutup!
“New
years holiday, tomorrow open” seru bapak-bapak di toko sebelah kepada kami.
Dengan
sedikit kecewa, kami berjalan gontai kembali ke MTR.
“Buset
yah, padahal sudah seminggu setelah imlek ini” gerutu saya kepada teman
seperjalanan.
Tips:
Untuk
mencapai Yat Lok, gunakan MTR (Island Line), turun di MTR Central dan lanjut
berjalan ke exit D2. Begitu keluar ambil arah kanan, setelah store Zara, belok
ke kiri, naik tangga, kembali berjalan lurus hingga pertigaan dan ambil arah
kiri, Yat Lok akan berada di sebelah kanan.
Dari
sana kami menuju Temple Street Night Market. Sangat similar dengan Ladies
Market tetapi lebih kecil dan ragam barangnya lebih sedikit.
Main gate of Temple Street |
Tips:
Untuk
mencapai Temple Street Night Market, gunakan MTR (Tsuen Wan Line), turun di MTR
Jordan dan berjalan sedikit untuk mencapai market ini. Harga lebih mahal dari
Ladies Market untuk barang yang sama.
Dari
Temple Street Night Market, kami kembali ke TST dan mencari local restaurant
untuk makan malam. PIlihan kami adalah restaurant yang menyajikan macam-macam
barbeque termasuk roasted goose. Seporsi BBQ dan noodles soup/nasi dikisaran
harga HKD 70.
Meal Package seharga HKD 70 (exclude roasted goose) |
Lepas
dari makan malam, karena the night still so young, maka kami memutuskan untuk
hang out di café setempat yang menjual beer. Beer in winter? Why not?
Pilihan
kami adalah Malty yang terletak tak jauh dari hotel, pinggir jalan dan tampak
relative lebih tenang dibanding di beberapa café lainnya. Kebetulan kami tiba
sekitar pukul 8.30 malam dan ternyata masih happy hour dan harga pun jadi lebih
murah. Segelas Asahi (ukuran gelas 500ml) dihargai HKD 56.
Tips:
Di
Malty kekurangannya adalah kacang yang dihidangkan di meja ternyata bayar HKD
36 tetapi bisa refill. Happy hour di Malty hingga pukul 9.00 malam.
Dan
2 gelas beer Asahi cukup bagi saya untuk menutup penjelajahan di Hong Kong.
Esok hari saya dan 2 teman seperjalanan akan menjelajah ke Macau dan keesokan
harinya lagi, saya akan kembali ke tanah air.
***
Masih
teriang di benak saya bahwa muka oriental saya selalu dianggap sebagai orang
lokal di Hong Kong. Walhasil saya selalu diajak berbicara dalam bahasa Kanton.
Ketika saya menimpali mereka dengan bahasa Inggris, mimik mereka terlihat
terheran-heran, seolah berpikir ini anak gaya banget jawabnya pakai bahasa
Inggris yang tidak atau sedikit sekali mereka mengerti.
Saat
saya kembali berbicara “I can’t speak Cantonese nor Mandarin. I’m not Chinese”,
barulah mereka tertawa dan bertimpal “Mixed?” yang tentunya ganti membuat saya
tertawa sembari menjawab “No, I’m Indonesian, Yin Ni Ren.”
Tak
terpungkiri bahwa kakek dan nenek saya adalah orang Kanton, berasal dari
Propinsi Guang Dong (Sang Heng, Ya Yao, Nan Hai – yang dekat dengan Kota Guang
Zhou) yang setelah 3 kali bolak balik (Guang Dong – Indonesia), akhirnya kakek
memutuskan untuk menetap di Indonesia pada tahun 1930-an dan memulai kehidupan
barunya di kota Malang, Jawa Timur.
“Attention
please. Pessanger of Cathay Pacific flight number CX … please board ...”
So
long Hong Kong. I’m not sure that Hong Kong will be my favorite destination,
yet for sure it gaves me memories and a story to tell.
ciao Hong Kong |
***
No comments:
Post a Comment