Pulau Alor,
sebuah pulau dari gugusan kepulauan Indonesia yang terletak di timur Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor tak pernh ada di wish list saya sebelumnya, bahkan nama pulau ini tak pernah saya
dengar sebelumnya. Ketika seorang teman mengajak saya untuk bergabung dalam
sebuah rombongan kecil, menjelajah ke Pulau Alor, saya sempat ragu tetapi
memutuskan untuk ikut juga. Sebuah keragu-raguan yang akhirnya berujung dengan
candu atas keindahan taman lautnya, keramahan penduduknya, lanskap yang cantik
dan Desa Takpala.
Penjelajahan di
Pulau Alor pada hari ketiga menuntun kami ke salah satu desa adat di Pulau
Alor, yaitu Desa Takpala. Sebuah desa tradisional dari Suku Abui di Pulau Alor
yang terletak di dataran tinggi/bukit tak jauh dari Kota Alor, sekitar kurang
dari satu jam berkendara ke sana.
Dalam perjalanan
ke Desa Takpala dari pusat Kota Alor, kami sempat berhenti di Pasar Kadelang.
Pasar Kadelang adalah pasar tradisional yang ada di pusat Kota Alor. Pasar ini
tak beda dengan pasar-pasar tradisional khas Indonesia lainnya, dimana segala
macam kebutuhan pokok dan sehari-hari ditawarkan oleh sang empunya lapak-lapak
yang berjumlah banyak. Kami berhenti sejenak untuk membeli sirih, pinang dan
kapur sebagai bingkisan bagi penduduk Desa Takpala.
Tiba di sebidang
tanah lapang di depan desa yang diperuntukkan untuk tempat parkir (dengan
pemandangan yang indah), kami melihat diujung tangga batu sudah siap beberapa
penduduk dengan pakaian adat mereka, siap menyambut kami.
“Hat hat hat
hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala dalam lompatan-lompatan
mereka, menghentak tanah berbatu dibawahnya. Seruan-seruan itu bergerak menjauh
mengikuti sang empunya suara mendekat ke pusat desa dimana ritual penyambutan
dan tarian-tarian akan dipertunjukkan kepada kami. Deras dendang wanita-wanita
Takpala tak ketinggalan dalam membuat ritual penyambutan ini menjadi semakin
khusyuk dan indah syahdu berpadu manis dengan suara gesekan dedaunan dari
pohon-pohon yang tumbuh tinggi memagari jalanan batu Takpala.
“Hat hat hat
hat…” “Hat hat hat hat…” terus berkumandang berirama mendayu mengundang,
menuntun kami menaiki undak batu dan berjalan menuju ke pusat desa mereka.
Tiba di
alun-alun batu Desa Takpala, tampak 3 buah Moko yang mempunyai peranan penting
bagi masyarakat Alor. Moko, yang menunjukkan status sosial ini, terletak di
sebuah undak batu rendah di tengah-tengah alun-alun.
Sesaat kami
dipersilakan untuk duduk di salah satu sisi alun-alun yang dilengkapi dengan
bangku-bangku panjang dari kayu. Kami duduk menghadap ke tengah alun-alun yang dilatar
belakangi oleh beberapa rumah-rumah adat Desa Takpala. Dan pertunjukan pun
dimulai.
2 tarian dipertunjukkan
kepada kami, yaitu Lego-lego dan Cakalele. Kedua tarian yang kurang lebih
hampir sama baik dari segi nyanyian maupun gerak. Namun meski hampir sama, Lego-lego
dan Cakalele tetap indah dan menarik untuk dinikmati secara berurutan.
Tarian diawali dengan
seruan-seruan parjurit-prajurit Takpala dan diikuti oleh dendang nyanyian dari
para wanita-wanita Takpala. Nyanyian terus didendangkan dalam nada monoton
indah menghipnotis, diiringi gemerincing gelang kaki, mengikuti gerakan
perlahan dari langkah kaki para penari. Tarian perlahan membentuk sebuah
pusaran yang berpusat pada undak batu dengan tiga moko di atasnya. Sungguh
mempesona, sesuatu yang harus dilihat secara langsung, batin saya. Tak ada
kata-kata atau cuplikan foto yang bisa mengilustrasikan keindahan tarian ini.
Monoton indah, menghipnotis layaknya candu bagi penikmatnya.
Pada saat Tarian
Cakalele, beberapa penonton diajak dan bergabung dalam tariannya. Bersamaan dengan
ditarikannya Tari Cakalele, satu atau dua orang penduduk desa mulai berkeliling
dalam lingkaran untuk membagikan sirih, pinang dan kapur kepada semua penari,
ke dalam kantong anyaman kecil yang diselempangkan di tubuh semua penduduk desa
(termasuk anak-anak). Sangat menarik! It
was so much fun and beauty.
Selesai
pertunjukan tari, penduduk desa tak langsung menghilang tetapi asyik bergabung
membaur dengan kami para turis-turis. Dari berfoto bersama, mengobrol sampai
meminjamkan senjata perang mereka untuk kami bergaya ala-ala prajurit Takpala,
lengkap dengan pakaian adat mereka. Mereka adalah orang-orang yang ramah dengan
senyum yang tampaknya jarang meninggalkan raut mukanya.
Tampaknya
keramahan pekerti dan keindahan tarinya masih berlanjut dengan keterampilan
mereka dalam membuat kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan mereka dipamerkan
pula di sisi desa yang lain. Ditawarkan untuk dibeli bagi orang-orang seperti
saya yang haus akan kerajinan tangan eksotis tradisional.
Petang menjelang
dan kami harus kembali ke kota. Sesaat saya menebarkan pandangan saya melihat kembali
Desa Takpala dalam keremangan yang mulai merambah. Saya tersenyum dan
meyakinkan hati kecil saya bahwa suatu saat saya akan kembali ke sini. Sekali
takkan cukup mereguk dan meresapi semua keindahan yang disajikan oleh ibu bumi
di Desa Takpala, Pulau Alor.
***
No comments:
Post a Comment