Thursday, January 28, 2016

Desa Takpala, Alor, Nusa Tenggara Timur - Yang Tersisa dan Bertahan



Pulau Alor, sebuah pulau dari gugusan kepulauan Indonesia yang terletak di timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Alor tak pernh ada di wish list saya sebelumnya, bahkan nama pulau ini tak pernah saya dengar sebelumnya. Ketika seorang teman mengajak saya untuk bergabung dalam sebuah rombongan kecil, menjelajah ke Pulau Alor, saya sempat ragu tetapi memutuskan untuk ikut juga. Sebuah keragu-raguan yang akhirnya berujung dengan candu atas keindahan taman lautnya, keramahan penduduknya, lanskap yang cantik dan Desa Takpala.

Penjelajahan di Pulau Alor pada hari ketiga menuntun kami ke salah satu desa adat di Pulau Alor, yaitu Desa Takpala. Sebuah desa tradisional dari Suku Abui di Pulau Alor yang terletak di dataran tinggi/bukit tak jauh dari Kota Alor, sekitar kurang dari satu jam berkendara ke sana.

Dalam perjalanan ke Desa Takpala dari pusat Kota Alor, kami sempat berhenti di Pasar Kadelang. Pasar Kadelang adalah pasar tradisional yang ada di pusat Kota Alor. Pasar ini tak beda dengan pasar-pasar tradisional khas Indonesia lainnya, dimana segala macam kebutuhan pokok dan sehari-hari ditawarkan oleh sang empunya lapak-lapak yang berjumlah banyak. Kami berhenti sejenak untuk membeli sirih, pinang dan kapur sebagai bingkisan bagi penduduk Desa Takpala.

Tiba di sebidang tanah lapang di depan desa yang diperuntukkan untuk tempat parkir (dengan pemandangan yang indah), kami melihat diujung tangga batu sudah siap beberapa penduduk dengan pakaian adat mereka, siap menyambut kami.

“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala dalam lompatan-lompatan mereka, menghentak tanah berbatu dibawahnya. Seruan-seruan itu bergerak menjauh mengikuti sang empunya suara mendekat ke pusat desa dimana ritual penyambutan dan tarian-tarian akan dipertunjukkan kepada kami. Deras dendang wanita-wanita Takpala tak ketinggalan dalam membuat ritual penyambutan ini menjadi semakin khusyuk dan indah syahdu berpadu manis dengan suara gesekan dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh tinggi memagari jalanan batu Takpala.
“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” terus berkumandang berirama mendayu mengundang, menuntun kami menaiki undak batu dan berjalan menuju ke pusat desa mereka.

Tiba di alun-alun batu Desa Takpala, tampak 3 buah Moko yang mempunyai peranan penting bagi masyarakat Alor. Moko, yang menunjukkan status sosial ini, terletak di sebuah undak batu rendah di tengah-tengah alun-alun.

Sesaat kami dipersilakan untuk duduk di salah satu sisi alun-alun yang dilengkapi dengan bangku-bangku panjang dari kayu. Kami duduk menghadap ke tengah alun-alun yang dilatar belakangi oleh beberapa rumah-rumah adat Desa Takpala. Dan pertunjukan pun dimulai.

2 tarian dipertunjukkan kepada kami, yaitu Lego-lego dan Cakalele. Kedua tarian yang kurang lebih hampir sama baik dari segi nyanyian maupun gerak. Namun meski hampir sama, Lego-lego dan Cakalele tetap indah dan menarik untuk dinikmati secara berurutan.

Tarian diawali dengan seruan-seruan parjurit-prajurit Takpala dan diikuti oleh dendang nyanyian dari para wanita-wanita Takpala. Nyanyian terus didendangkan dalam nada monoton indah menghipnotis, diiringi gemerincing gelang kaki, mengikuti gerakan perlahan dari langkah kaki para penari. Tarian perlahan membentuk sebuah pusaran yang berpusat pada undak batu dengan tiga moko di atasnya. Sungguh mempesona, sesuatu yang harus dilihat secara langsung, batin saya. Tak ada kata-kata atau cuplikan foto yang bisa mengilustrasikan keindahan tarian ini. Monoton indah, menghipnotis layaknya candu bagi penikmatnya.

Pada saat Tarian Cakalele, beberapa penonton diajak dan bergabung dalam tariannya. Bersamaan dengan ditarikannya Tari Cakalele, satu atau dua orang penduduk desa mulai berkeliling dalam lingkaran untuk membagikan sirih, pinang dan kapur kepada semua penari, ke dalam kantong anyaman kecil yang diselempangkan di tubuh semua penduduk desa (termasuk anak-anak). Sangat menarik! It was so much fun and beauty.

Selesai pertunjukan tari, penduduk desa tak langsung menghilang tetapi asyik bergabung membaur dengan kami para turis-turis. Dari berfoto bersama, mengobrol sampai meminjamkan senjata perang mereka untuk kami bergaya ala-ala prajurit Takpala, lengkap dengan pakaian adat mereka. Mereka adalah orang-orang yang ramah dengan senyum yang tampaknya jarang meninggalkan raut mukanya.

Tampaknya keramahan pekerti dan keindahan tarinya masih berlanjut dengan keterampilan mereka dalam membuat kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan mereka dipamerkan pula di sisi desa yang lain. Ditawarkan untuk dibeli bagi orang-orang seperti saya yang haus akan kerajinan tangan eksotis tradisional.

Petang menjelang dan kami harus kembali ke kota. Sesaat saya menebarkan pandangan saya melihat kembali Desa Takpala dalam keremangan yang mulai merambah. Saya tersenyum dan meyakinkan hati kecil saya bahwa suatu saat saya akan kembali ke sini. Sekali takkan cukup mereguk dan meresapi semua keindahan yang disajikan oleh ibu bumi di Desa Takpala, Pulau Alor.

***

No comments:

Post a Comment