Tuesday, June 30, 2015

Sudut-sudut Tersembunyi dari Kepulauan Seribu - Jakarta - Indonesia




Subuh menjelang pada hari Sabtu itu, dan meski mata ini masih ingin terpejam, saya harus bangun. Dengan imin-imin bayangan penjelajahan singkat selama akhir pekan, saya memupuk kekuatan jiwa untuk tetap membuka mata, mengabaikan bujuk rayu kasur bantal guling, menyeret diri ke bawah pancuran shower kamar mandi.

Hujaman titik-titik air menhempas pada permukaan kulit, yang sedikit terkejut dengan sensasi sejuk, mendongkrak kesadaran diri kembali penuh. Sambil menikmati bulir-bulir sejuk air, teriring dendang sebuah melodi absurd dari pita suara saya.

Riang rasanya hati ini, membayangkan sejenak lagi langkah kaki saya akan bergerak dalam penjelajahan baru. Bahagia bahwa langkah yang biasa dibalut dengan sepatu kulit dalam salah satu gedung bertingkat perkantoran, akhirnya kembali melangkahkan kaki dalam sandal jepit nyaman sebagai seorang pejalan biasa.

Penjelajahan kali ini adalah penjelajahan pertama saya di tahun 2015, setelah rehat sejenak selama 7 bulan sejak terakhir kali saya menjelajah, ke Kerajaan Misool. Penjelajahan untuk mengobati rindu saya pada perjalanan. Penjelajahan yang saya paksa ada untuk mencoba sedikit mengobati luka di hati akibat kehilangan cinta suci dalam hidup saya untuk selama-lamanya di bulan Maret kemarin.

***
Nama Pulau Papatheo dan Pulau Kaliage, yang merupakan bagian dari Kepulauan Seribu, sudah pernah saya dengar sebelumnya. Tetapi hingga kali ini, saya belum pernah menengok dan mencicip keindahannya, yang saya dengar dari beberapa teman pejalan.

Tak memerlukan waktu yang lama untuk membujuk teman saya dan saling mengajak teman masing-masing, sehingga menutup kuota minimal dari penjelajahan kali ini. Penjelajahan Kaliage dan Papatheo akhirnya settle di jumlah peserta lima belas orang.

***
Sang mata Apollo mulai bersinar ceria menerangi gelap sisi bumi Jakarta saat kami berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju ke Dermaga Pelabuhan Angke. Berjajar berdesakan kami mencari tempat yang relative nyaman di kapal kayu besar, dengan kapasitas ratusan orang, yang akan menyeberangkan kami dari Angke ke Pulau Harapan. Pulau Harapan kami pilih sebagai basecamp dan tempat menginap semalam dalam penjelajahan kali ini.

***
Tiga jam berlalu dan langkah telapak kami akhirnya menjejakkan bayangannya ke dermaga batu Pulau Harapan, beserta dengan ratusan orang lainnya.

“Randie mana yah?” tanya saya.
“Dia masih kena periksa tuh ranselnya” jawab seseorang dalam kerumunan group kami.

Ah rupanya sekarang ada pemeriksaan atas barang bawaan pengunjung secara random oleh aparat keamanan di Pulau Harapan. Saya perhatikan rata-rata yang diperiksa, yang membawa ransel yang relative besar.

***
Sejenak setelah kami check-in ke penginapan dan beberes, kami telah kembali siap di sisi dermaga batu Pulau Harapan, siap untuk memulai penjelajahan kami ke Pulau Papatheo.
“Are you ready kids? Aye aye Captain!” lagu pembuka SpongeBob teriang-iang dalam pikiran saya, saat kapal kayu bermotor, yang mengantar kami, mulai berjalan membelah perairan Laut Jawa.

Sesaat kemudian:
“Masih lama ga?” tanya Mega.
“Lumayan.” jawab saya.

Sesaat kemudian:
“Masih lama lagi ga?” tanya Vina.
“Bentar lagi” jawab saya.

Sesaat kemudian:
“Ran, masih lama ga?” tanya saya, berteriak mengalahan suara mesin kapal.
“Tuh udah kelihatan pulaunya.” jawab Randie.

Satu jam kami arungi perairan ini, untuk mencapai Pulau Papatheo, yang konon salah satu pulau terjauh dari gugusan Kepulauan Seribu.

First thing first, adalah bongkar muat bekal dan makan siang dulu. Alih-alih mengisi perut dulu di pulau Harapan, kami memutuskan untuk membawa bekal dan makan siang di Pulau Papatheo. Sedap banget, makan siang dipayungi rindangnya pepohonan di pinggir pantai, sambil menikmati celoteh deburan ombak.

Lepas makan siang, kami habisan waktu sesaat untuk menikmati keindahan landscape dari Pulau Papatheo. Ajang potret sana sini pun mendominasi sisa waktu yang kami habiskan di pulau ini. Mencoba mengabadikan keindahan dan moment-moment dalam gambar berwarna melalui camera masing-masing.

Papatheo Island
Papatheo Beach
 ***
“Plung…” em okay, not literally sounds like that. Tapi entah bagaimana mendeskripsikan dalam bentuk tulisan, bunyi saat kami satu per satu menjeburkan diri ke air laut, di pemberhentian kami berikutnya, yaitu Pulau Sepa.

Saya merasakannya lagi setelah sekian bulan berlalu, sejuk hangatnya air laut yang menyambut hempasan tubuh saya. Merasakan asinnya air laut di bibir saya dengan gigi mencengkram alat snorkel. Merasakan sensasi belain arus kecil dari laut Pulau Sepa ini, dan memandang melalui google saya, taman-taman laut yang ada diperairan pulau.

Cukup lama kami habiskan waktu untuk bersnorkeling ria di Pulau Sepa, sebelum berlanjut kembali mengarungi perairan Kepulauan Seribu, menuju ke Pulau Kaliage Kecil.

Underwater of Sepa Island
Underwater of Sepa Island
  ***
Kembali kami merasakan sejuk hangatnya perairan Kepulau Seribu di Pulau Kaliage Kecil. Satu per satu kami bergabung di permukaan air dan mencicipi keindangan taman bawah laut Kaliage Kecil. Taman laut di Kaliage Kecil didominasi oleh hard coral dengan jenis-jenis yang mengingatkan saya pada saat ber-snorkeling di Pulau Nawan, di Anambas. Indah dan cantik, meski agak keruh untuk visibility di bawah airnya.
Underwater of Kaliage Kecil Island
Underwater of Kaliage Kecil Island

Underwater of Kaliage Kecil
Save their habitat, yes we can save the ocean
Kami habiskan hari pertama hingga sunset menjelang di Pulau Kaliage Kecil. Lucky us, sore itu langit sangat cerah dan sunset-nya sungguh indah. Clear sunset, istilah saya.

“Dukdukdruduk duruduk duk” bunyi mesin motor kapal yang mengiringi kami menikmati keindahan sunset yang tersaji, perlahan untuk diserap jendela hati. Tak ada yang bersuara, semua diam, hening memandang pesona bola pijar itu tenggelam di ufuk barat menyisakan semburat warna-warna surgawinya.

Ma, apakah kau ada di sana? I miss you so much Ma. Kau berkata relakan dirimu untuk pergi, menuju kebebasan yang akhirnya kau ingini. Aku merelakanmu Ma, tetapi harap mengerti dan ijinkan aku untuk sesekali merindukanmu. I love you Mom, I will see you when I see you.

Sunset from Kaliage Kecil Island
 ***
Penjelajahan ini adalah kali kedua untuk saya menginap di Pulau Harapan. Kali kedua ini saya akhirnya punya teman untuk menjelajah pusat keramaian pulau. Entah lupa namanya, semacam alun-alun kecil tetapi tidaklah terletak di tengah pulau, melainkan di samping dermaga utama Pulau Harapan. Alun-alun yang ramai dikunjungi baik oleh turis domestic, mancanegara dan penduduk lokal. Beragam makanan kecil dijajakan. Alun-alun kecil itu mempunyai jalan kecil ke samping yang ternyata berisi beberapa warung-warung makan yang juga menawarkan buah kelapa muda.

Menyenangkan sekali menghabiskan malam di area alun-alun ini. Bercengkerama baik dengan teman lama dan teman yang baru saya temui pada penjelajahan kali ini. Berbagi cerita, berbagi canda dan mimpi. Menemukan kesamaan akan cinta kami terhadap alam Indonesia, upaya pelestarian dan tentunya jiwa kami yang terikat dengan perjalanan-perjalanan lainnya.

***
Pagi hari kedua menjelang di Pulau Harapan dan tampaknya tak seorang pun menginginkan menyaksikan sunrise dari gelap. Walhasil kami hanya sempat sedikit melongok sisa-sisa sunrise kala sang bola pijar telah merambat keluar diderajat 25.

Usai sarapan pagi, kami kembali menaiki kapal kayu bermotor dan bergerak menuju ke Pulau Bintang. Cukup lama juga, butuh waktu kurang lebih 45 menit dari Pulau Harapan untuk mencapai Pulau Bintang.

The lonely island, on teh way to Bintang Island

Pulau Bintang sebenarnya tidak bsia dimasuki oleh umum, tetapi setelah meminta ijin hanya berfoto di dermaga kayunya saja, akhirnya bapak penjaga memberikan persetujuannya.

Pulau Bintang memiliki dermaga kayu dan bersambung ke dermaga batu yang cukup panjang, menuju ke pasir pulaunya. Pemandangan dari dermaga, khususnya sebelum tengah hari sangat indah.

Bintang Island
Me and the view from Bintang Island
 ***
Pemberhentian kedua, sekaligus pemberhentian terakhir penjelajahan kali ini adalah Pulau Panjang Kecil. Pulau Panjang kecil memiliki dermaga kayu panjang menjorok ke perairan dangkal. Kibaran Bendera Sang Saka tampak mencolok di sebuah tiang yang diapit oleh 2 gasebo.

Cukup lama kami habiskan waktu di sini, dari berfoto ria di dermaga kayu sampai menjelajah pulau kecilnya yang telah ditinggalkan oleh pengembangnya, meninggalkan bekas-bekasnya memenuhi beberapa sudut pulau.

Panjang Kecil Island
 ***
Matahari telah berada di tengah langit di atas sana. Menyinarkan pijar panasnya pada semua jenis kehidupan di sisi bumi yang ini. Angin laut semilir sepoi berhembus dan bertambah kencang seiring dengan bergeraknya kapal kayu besar ini membawa kami dan ratusan penumpang lain berlayar kembali menuju Angke. Ya, penjelajahan singkat ini telah usai. Singkat memang tetapi sejatinya membawa warna sendiri bagi cerita dan memori kami akan sebuah perjalanan lagi.

Dalam perjalanan ini, saya menemukan pribadi-pribadi baru pencinta alam Indonesia. Dalam perjalanan ini, saya menemukan kembali mimpi-mimpi yang sama akan alam Indonesia. Dalam perjalanan ini, saya menemukan kembali insan-insan pelindung alam Indonesia. Indonesiku, Indonesianya, Indonesia kami.


No comments:

Post a Comment