Subuh
menjelang pada hari Sabtu itu, dan meski mata ini masih ingin terpejam, saya
harus bangun. Dengan imin-imin bayangan penjelajahan singkat selama akhir
pekan, saya memupuk kekuatan jiwa untuk tetap membuka mata, mengabaikan bujuk
rayu kasur bantal guling, menyeret diri ke bawah pancuran shower kamar mandi.
Hujaman
titik-titik air menhempas pada permukaan kulit, yang sedikit terkejut dengan
sensasi sejuk, mendongkrak kesadaran diri kembali penuh. Sambil menikmati
bulir-bulir sejuk air, teriring dendang sebuah melodi absurd dari pita suara
saya.
Riang
rasanya hati ini, membayangkan sejenak lagi langkah kaki saya akan bergerak
dalam penjelajahan baru. Bahagia bahwa langkah yang biasa dibalut dengan sepatu
kulit dalam salah satu gedung bertingkat perkantoran, akhirnya kembali
melangkahkan kaki dalam sandal jepit nyaman sebagai seorang pejalan biasa.
Penjelajahan
kali ini adalah penjelajahan pertama saya di tahun 2015, setelah rehat sejenak
selama 7 bulan sejak terakhir kali saya menjelajah, ke Kerajaan Misool.
Penjelajahan untuk mengobati rindu saya pada perjalanan. Penjelajahan yang saya
paksa ada untuk mencoba sedikit mengobati luka di hati akibat kehilangan cinta
suci dalam hidup saya untuk selama-lamanya di bulan Maret kemarin.
***
Nama
Pulau Papatheo dan Pulau Kaliage, yang merupakan bagian dari Kepulauan Seribu,
sudah pernah saya dengar sebelumnya. Tetapi hingga kali ini, saya belum pernah
menengok dan mencicip keindahannya, yang saya dengar dari beberapa teman
pejalan.
Tak
memerlukan waktu yang lama untuk membujuk teman saya dan saling mengajak teman
masing-masing, sehingga menutup kuota minimal dari penjelajahan kali ini.
Penjelajahan Kaliage dan Papatheo akhirnya settle di jumlah peserta lima belas
orang.
***
Sang
mata Apollo mulai bersinar ceria menerangi gelap sisi bumi Jakarta saat kami
berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju ke Dermaga Pelabuhan Angke.
Berjajar berdesakan kami mencari tempat yang relative nyaman di kapal kayu
besar, dengan kapasitas ratusan orang, yang akan menyeberangkan kami dari Angke
ke Pulau Harapan. Pulau Harapan kami pilih sebagai basecamp dan tempat menginap
semalam dalam penjelajahan kali ini.
***
Tiga
jam berlalu dan langkah telapak kami akhirnya menjejakkan bayangannya ke
dermaga batu Pulau Harapan, beserta dengan ratusan orang lainnya.
“Randie
mana yah?” tanya saya.
“Dia
masih kena periksa tuh ranselnya” jawab seseorang dalam kerumunan group kami.
Ah
rupanya sekarang ada pemeriksaan atas barang bawaan pengunjung secara random
oleh aparat keamanan di Pulau Harapan. Saya perhatikan rata-rata yang
diperiksa, yang membawa ransel yang relative besar.
***
Sejenak
setelah kami check-in ke penginapan dan beberes, kami telah kembali siap di sisi
dermaga batu Pulau Harapan, siap untuk memulai penjelajahan kami ke Pulau
Papatheo.
“Are
you ready kids? Aye aye Captain!” lagu pembuka SpongeBob teriang-iang dalam
pikiran saya, saat kapal kayu bermotor, yang mengantar kami, mulai berjalan
membelah perairan Laut Jawa.
Sesaat
kemudian:
“Masih
lama ga?” tanya Mega.
“Lumayan.”
jawab saya.
Sesaat
kemudian:
“Masih
lama lagi ga?” tanya Vina.
“Bentar
lagi” jawab saya.
Sesaat
kemudian:
“Ran,
masih lama ga?” tanya saya, berteriak mengalahan suara mesin kapal.
“Tuh
udah kelihatan pulaunya.” jawab Randie.
Satu
jam kami arungi perairan ini, untuk mencapai Pulau Papatheo, yang konon salah
satu pulau terjauh dari gugusan Kepulauan Seribu.
First
thing first, adalah bongkar muat bekal dan makan siang dulu. Alih-alih mengisi
perut dulu di pulau Harapan, kami memutuskan untuk membawa bekal dan makan
siang di Pulau Papatheo. Sedap banget, makan siang dipayungi rindangnya
pepohonan di pinggir pantai, sambil menikmati celoteh deburan ombak.
Lepas
makan siang, kami habisan waktu sesaat untuk menikmati keindahan landscape dari
Pulau Papatheo. Ajang potret sana sini pun mendominasi sisa waktu yang kami
habiskan di pulau ini. Mencoba mengabadikan keindahan dan moment-moment dalam
gambar berwarna melalui camera masing-masing.
Papatheo Island |
Papatheo Beach |
***
“Plung…”
em okay, not literally sounds like that. Tapi entah bagaimana mendeskripsikan
dalam bentuk tulisan, bunyi saat kami satu per satu menjeburkan diri ke air
laut, di pemberhentian kami berikutnya, yaitu Pulau Sepa.
Saya
merasakannya lagi setelah sekian bulan berlalu, sejuk hangatnya air laut yang
menyambut hempasan tubuh saya. Merasakan asinnya air laut di bibir saya dengan
gigi mencengkram alat snorkel. Merasakan sensasi belain arus kecil dari laut
Pulau Sepa ini, dan memandang melalui google saya, taman-taman laut yang ada
diperairan pulau.
Cukup
lama kami habiskan waktu untuk bersnorkeling ria di Pulau Sepa, sebelum
berlanjut kembali mengarungi perairan Kepulauan Seribu, menuju ke Pulau Kaliage
Kecil.
Underwater of Sepa Island |
Underwater of Sepa Island |
***
Kembali
kami merasakan sejuk hangatnya perairan Kepulau Seribu di Pulau Kaliage Kecil.
Satu per satu kami bergabung di permukaan air dan mencicipi keindangan taman
bawah laut Kaliage Kecil. Taman laut di Kaliage Kecil didominasi oleh hard
coral dengan jenis-jenis yang mengingatkan saya pada saat ber-snorkeling di Pulau
Nawan, di Anambas. Indah dan cantik, meski agak keruh untuk visibility di bawah
airnya.
Underwater of Kaliage Kecil Island |
Underwater of Kaliage Kecil Island |
Underwater of Kaliage Kecil |
Save their habitat, yes we can save the ocean |
Kami
habiskan hari pertama hingga sunset menjelang di Pulau Kaliage Kecil. Lucky us,
sore itu langit sangat cerah dan sunset-nya sungguh indah. Clear sunset,
istilah saya.
“Dukdukdruduk
duruduk duk” bunyi mesin motor kapal yang mengiringi kami menikmati keindahan
sunset yang tersaji, perlahan untuk diserap jendela hati. Tak ada yang
bersuara, semua diam, hening memandang pesona bola pijar itu tenggelam di ufuk
barat menyisakan semburat warna-warna surgawinya.
Ma,
apakah kau ada di sana? I miss you so much Ma. Kau berkata relakan dirimu untuk
pergi, menuju kebebasan yang akhirnya kau ingini. Aku merelakanmu Ma, tetapi
harap mengerti dan ijinkan aku untuk sesekali merindukanmu. I love you Mom, I
will see you when I see you.
Sunset from Kaliage Kecil Island |
***
Penjelajahan
ini adalah kali kedua untuk saya menginap di Pulau Harapan. Kali kedua ini saya
akhirnya punya teman untuk menjelajah pusat keramaian pulau. Entah lupa
namanya, semacam alun-alun kecil tetapi tidaklah terletak di tengah pulau,
melainkan di samping dermaga utama Pulau Harapan. Alun-alun yang ramai
dikunjungi baik oleh turis domestic, mancanegara dan penduduk lokal. Beragam
makanan kecil dijajakan. Alun-alun kecil itu mempunyai jalan kecil ke samping
yang ternyata berisi beberapa warung-warung makan yang juga menawarkan buah
kelapa muda.
Menyenangkan
sekali menghabiskan malam di area alun-alun ini. Bercengkerama baik dengan
teman lama dan teman yang baru saya temui pada penjelajahan kali ini. Berbagi
cerita, berbagi canda dan mimpi. Menemukan kesamaan akan cinta kami terhadap
alam Indonesia, upaya pelestarian dan tentunya jiwa kami yang terikat dengan
perjalanan-perjalanan lainnya.
***
Pagi
hari kedua menjelang di Pulau Harapan dan tampaknya tak seorang pun
menginginkan menyaksikan sunrise dari gelap. Walhasil kami hanya sempat sedikit
melongok sisa-sisa sunrise kala sang bola pijar telah merambat keluar diderajat
25.
Usai
sarapan pagi, kami kembali menaiki kapal kayu bermotor dan bergerak menuju ke
Pulau Bintang. Cukup lama juga, butuh waktu kurang lebih 45 menit dari Pulau
Harapan untuk mencapai Pulau Bintang.
The lonely island, on teh way to Bintang Island |
Pulau
Bintang sebenarnya tidak bsia dimasuki oleh umum, tetapi setelah meminta ijin
hanya berfoto di dermaga kayunya saja, akhirnya bapak penjaga memberikan
persetujuannya.
Pulau
Bintang memiliki dermaga kayu dan bersambung ke dermaga batu yang cukup
panjang, menuju ke pasir pulaunya. Pemandangan dari dermaga, khususnya sebelum
tengah hari sangat indah.
Bintang Island |
Me and the view from Bintang Island |
***
Pemberhentian
kedua, sekaligus pemberhentian terakhir penjelajahan kali ini adalah Pulau
Panjang Kecil. Pulau Panjang kecil memiliki dermaga kayu panjang menjorok ke
perairan dangkal. Kibaran Bendera Sang Saka tampak mencolok di sebuah tiang
yang diapit oleh 2 gasebo.
Cukup
lama kami habiskan waktu di sini, dari berfoto ria di dermaga kayu sampai
menjelajah pulau kecilnya yang telah ditinggalkan oleh pengembangnya,
meninggalkan bekas-bekasnya memenuhi beberapa sudut pulau.
Panjang Kecil Island |
***
Matahari
telah berada di tengah langit di atas sana. Menyinarkan pijar panasnya pada
semua jenis kehidupan di sisi bumi yang ini. Angin laut semilir sepoi berhembus
dan bertambah kencang seiring dengan bergeraknya kapal kayu besar ini membawa
kami dan ratusan penumpang lain berlayar kembali menuju Angke. Ya, penjelajahan
singkat ini telah usai. Singkat memang tetapi sejatinya membawa warna sendiri
bagi cerita dan memori kami akan sebuah perjalanan lagi.
Dalam
perjalanan ini, saya menemukan pribadi-pribadi baru pencinta alam Indonesia.
Dalam perjalanan ini, saya menemukan kembali mimpi-mimpi yang sama akan alam
Indonesia. Dalam perjalanan ini, saya menemukan kembali insan-insan pelindung
alam Indonesia. Indonesiku, Indonesianya, Indonesia kami.
No comments:
Post a Comment