The Next Generation of Harapan Jaya |
Speed boat yang kami
gunakan merapat ke dermaga kayu sederhana itu. Beberapa detik saya habiskan
untuk melihat sekeliling dermaga dan hari masih jauh dari kata senja.
“Har, abis naruh
barang, ke warung lagi yuk” ajak Aria.
“Yuk, sekalian minum
yang dingin-dingin” timpal saya.
Tak membuang waktu lama
berjalan ke penginapan, menaruh barang dan kembali melewati deretan rumah di
desa kecil ini, menuju ke satu-satunya warung yang menjual minuman dingin
karena hanya warung itu yang mempunyai lemari pendingin. Kali ini kami tidak
berdua saja tetapi dikuntit oleh tiga teman seperjalanan lainnya: Anna, Prue
dan Ferry.
Menunggu senja datang
di warung “gaul”, bertemankan sebotol minuman dingin. Kami duduk di bangku kayu
panjang di depan warung, sembari terkadang memainkan kamera kami untuk
mengabadikan moment-moment yang tertangkap oleh jendela hati.
Pemandangan dari warung,
teduh dan indah, khas Misool. Dan pemandangan ini menjadi lebih indah dan hidup
takala moment-moment lain membaur dengan alam Misool. Anak-anak kecil
berhamburan di sepanjang jalan kecil yang memisahkan deretan rumah penduduk
dari pantai, berceloteh dan bermain seolah hari itu menjadi hari yang paling
membahagiakan buat mereka. Rombongan pekerja berduyun-duyun turun dari kapal
angkot, berjalan menyusuri dermaga kayu untuk mencapai kerajaan kecilnya,
membuat keindahan yang hidup ini nyata. Tak hanya mem”bongkar-muat” pekerja,
sang empunya kapal angkot juga masih meneruskan dengan membongkar muat
kebutuhan sehari-hari baik dari pulau sebelah, pulau ini maupun pulau kecil berpenghuni
lainnya.
pulang kerja |
Kapal Angkot |
Loading after Unloading |
pulang |
yang narsis nongsis pun ada :D |
“Aduh cantik banget,
namanya siapa?” tanya Anna kepada seorang gadis cilik yang tampak segar habis
mandi dan sedikit pendiam.
“Ami.” Jawab si gadis
cilik.
Dan percakapan kedua
gadis cantik ini berlanjut dan berakhir dengan bando pink cantik untuk Ami dari
Anna, yang langsung dikenakan oleh Ami, menghiasi rambut legamnya.
Saya sudah bertemu
dengan Ami di hari sebelumnya. Ami sempat menarik perhatian saya dan Aria
karena si Ami ini ternyata jago membuat gasing dari janin buah kelapa, potongan
karet gelang dan sebatang lidi pendek. Saya masih ingat, Ami membuat
gasing-gasing kecil lucu itu dan membagikan ke anak-anak yang lebih kecil.
sharing is love |
Sempat Ami bercerita
kepada kami, sambil memungut satu buah yang entah apa namanya, bahwa jika
mereka, anak-anak Harapan Jaya, tidak memiliki uang untuk membeli kelereng,
maka buah itu akan menggantikannya. Buahnya berbentuk bulat sempurna dengan
warna dan tekstur kulit seperti kelengkeng/longan tetapi memiliki ukuran
sedikit lebih besar.
Dari awal mula memasuki
desa kecil ini, saya telah melihat beberapa permainan favorite anak-anak
Harapan Jaya. Selain permainan tanpa alat apapun yang terdiri dari nyanyian dan
gerakan tari, mereka juga gemar sekali bermain kelereng (gundu) dan lompat tali
karet gelang.
Tak heran pada saat
hari pertama tiba, Prue yang telah kali kedua ke desa kecil ini, membawa
beberapa mobil mainan kecil untuk dibagikan, yang disambut dengan gembira.
Ingin rasanya saya juga
mempunyai sesuatu yang bisa saya bagi demi untuk melihat binar keriaan di mata
mereka.
“Kelerengnya berapaan
Mbak?” tanya saya di warung sebelah warung “gaul”
“Seribu dapat delapan”
jawab si mbak.
Eh murah juga yah batin
saya,”Saya beli sepuluh ribu yah mbak.” Kata saya lagi. Saat kembali ke
penginapan nanti, akan saya bagi ke anak-anak Harapan Jaya, yang entah karena
kebiasaan atau bagaimana selalu menghabiskan sore dengan bermain di depan rumah
yang kami inapi dan pada saat
saya membagikan kelereng kemudiannya, anak-anak Harapan Jaya segera bergerombol
mengelilingi saya dengan mengacungkan tangan berharap ada sebutir atau dua
butir kelereng dari genggaman saya.
Keriaan kami
menghabiskan waktu menunggu senja terakhir di Misool bertambah meriah dengan
bergabungnya si bocah dengan sepuluh semangat di dalam jiwanya, yaitu Wawan.
Wawan bocah yang tak pernah mengenal kata lelah dan super aktif ke sana kemari
dengan senyuman ramah dan gemar menolong.
Wawan dan saya |
Ami, saya dan the gasings |
Selesai cemal-cemil,
minum-minum dingin di warung, kami beralih ke sebidang tanah kecil disebelah warung
“gaul”. Anna, Prue, Ferry dan Aria akhirnya berakhir menantang anak-anak
Harapan Jaya beradu main kelereng. Pagelaran pun dibuka dan berlangsung seru
meski berakhir dengan kekalahan telak om-om dan tante-tante ini dari
bocah-bocah Harapan Jaya.
Wefie dulu after the game |
“Ngapain Ar?” tanya
saya ke Aria, yang sibuk menata 2 buah gasing Ami (julukan saya) dan 4 butir
kelereng.
“Mau difoto” jawab
singkat Aria.
Dan entah apa yang
terjadi, saya merasakan ada sedikit genangan air mata di sudut-sudut mata saya.
Penataan gasing Ami dan kelereng tersebut menyadarkan saya bahwa hanya itulah
alat permainan mereka. Gasing dan kelereng itulah batas sumber kegembiraan dari
mainan anak yang bisa mereka punya dan mereka begitu bahagia, tertawa lepas
layaknya anak paling bahagia di bumi pertiwi ini.
Mereka tidak punya
handphone, mereka tidak punya play station, mereka tidak punya tab atau ipad. Mereka
tidak punya mainan lain selain alam, gasing Ami, tali karet gelang dan kelereng
yang kadang tergantikan dengan buah bulat seperti kelengkeng itu. Tapi entah
mengapa saya melihat mereka sepertinya memiliki semua alasan kebahagiaan yang ada
di bumi pertiwi ini.
Saya iri dan rindu akan
masa kanak-kanak saya dimana tidak ada handphone, ipad, tab, play station, dan
lain lain. Saya bersyukur dan malu bahwa saya memiliki lebih dari mereka tetapi
saya selalu menuntut lebih.
Saya hidup di kota
metropolitan dan kota terbesar di Indonesia, yaitu: Jakarta. Kehidupan saya
dikelilingi dengan berbagai kemewahan gedung-gedung perkantoran dan pusat-pusat
perbelanjaan dari yang biasa hingga yang kelas atas.
Mereka, anak-anak
Harapan Jaya, hidup di penghujung ibu pertiwi di Papua. Empat jam mengarungi
lautan Raja Ampat hingga bisa mencapai dermaga kayu sederhana mereka, sebagai
gerbang dari desa kecil itu. Listrik pun hanya bisa mereka gunakan selama 12
jam saja dalam satu harinya.
Kekurangan mereka
merupakan kekurangan saya, dan kekurangan saya bukanlah kebutuhan mereka.
Bagi mereka, mungkin,
saya adalah orang ber-duit, bagi saya mereka adalah orang yang berkekurangan
materi. Saya cemburu, iri karena mereka memiliki kebahagiaan yang sesungguhnya.
Gasing dan Kelereng saat ini, tetap menjadi pengingat saya akan mereka, teman-teman kecil saya |
Dedicated to Wawan dan
Ami – 2 bocah generasi penerus Harapan Jaya.
No comments:
Post a Comment