Tugu - Yogyakarta |
Kakiku melangkah
menuruni gerbong kereta dan menjejakkan telapak kakiku di stasiun ini, lagi. Semua
potongan-potongan memori lama berkelebatan layaknya pemandangan yang terpigura
berlari menjauh dari jendela kereta tadi. Stasiun ini bergeming dalam keramaian
ratusan orang yang berjalan lalu lalang melaluiku. Ada saat aku berdiri diam
dan menyerap semua dalam indraku yang sadar.
“Har, ayo.” Seru seorang
teman seperjalanan menggugah kegeminganku.
Setapak demi setapak
kaki ini melangkah mengikuti kaki-kaki lain yang berjalan keluar dari stasiun
ini. Di luar matahari bersinar cerah dengan riak awan membentuk noda-noda putih
di langit yang biru cerah.
“Mas, taxi?” tawar
seorang sopir taxi. Dan aku sadar kota ini menyapaku, memberikan senyuman
selamat datang kembali melalui raga seorang sopir taxi.
Delapan tahun lebih
sejak terakhir kalinya aku melebur dalam irama kota ini, meninggalkan semua
canda, tawa, tangis, amarah dan gairah.
“Welcome back.” Bisikku
lirih kepada jiwaku yang sangat merindu akan kota ini, Kota Yogyakarta.
***
Bersama teman
seperjalanan lain (Candy, Hardi dan Donal), aku memutuskan untuk berlibur akhir
pekan di Yogyakarta. Alih-alih menggunakan pesawat atau kereta api executive,
kami memilih mencoba sensasi baru yaitu: kereta api ekonomi. Kereta api ekonomi
yang sekarang ber-ac dan menggunakan nomor tempat duduk tanpa ada pedagang-pedagang
dan pengamen yang tiada habisnya silih berganti melewati gerbong demi gerbong
mencoba mengumpulkan rupiah.
Nyaman, tapi entah
terasa ada yang hilang dari ketidak-nyamanan hiruk pikuk mereka. Ah tapi pemandangan
penumpang bergoleran di sela-sela bangku tegak 90 derajat dan di sepanjang lorong
gerbong, beralaskan koran masih terlihat.
Entah berapa jam kami
habiskan dalam mencari posisi yang nyaman. Menjejakkan kaki ke depan, mencondongkan
tubuh ke samping, menekukkan kaki ke sana kemari, sampai akhirnya kami memasuki
Stasiun Tugu, dimana kami memutuskan untuk turun daripada mencapai stasiun
akhir yaitu: Stasiun Lempuyangan.
mencoba meniup bantal, tapi perutnya yang mlembung :'( |
***
Aku memandang keluar
jendela, mencoba mencari kenangan-kenangan lama dalam setiap sudut kota yang
terjelajahi, dalam mobil sewaan yang meluncur membelah Yogyakarta. Mencoba mengerti
mengapa begitu banyak perubahan modernisasi di kota ini. Okay, aku egois dan
aku lebih suka Yogyakarta yang dulu, tapi yakinnya inti dan jiwa kota ini masih
sama seperti yang dulu.
“Kemana kita nih?”
“Makan dong, laper beut
nih!”
“Ya udah, sesuai plan
yah. Yuk cus ke Gudeg Bu Atmo.”
Dengan ingatanku yang
rabun dan tambahan petunjuk Candy, akhirnya Donal memarkirkan mobil di depan Gudeg
Bu Atmo, yang seingatku tak berubah dari delapan tahun yang lalu.
Gudeg Bu Atmo (Song
Djie) selalu menjadi gudeg favorite-ku dan suapan-suapanku membuktikan
kenikmatannya tidak berubah dengan harga yang jelas lebih mahal tapi masih terjangkau.
Gudeg Bu Atmo tidak seperti gudeg khas Yogya dengan merk yang mentereng
terkenal dengan satu rasa, manis! Gudeg Bu Atmo menurutku pas sekali peraduannya.
Manisnya areh dan nangka bercampur dengan gurih lembutnya daging ayam serta
pedasnya krecek.
“Ini beneran mantap bro!”
kata Donal diantara kunyahannya.
“Nah kan! Selain di Godean,
kalo malem buka juga di Malioboro bro, depan jalan Ketandan.” Timpalku.
Jawara! Nasi gudeg, krecek, tahu, telor, tempe dan paha ceker |
***
Meninggalkan kecapan
nikmat gudeg, Donal memacu mobil sewaan kami menuju ke Kaliurang.
“Taman bermain itu
masih sama, tak berubah” bisikku dalam hati, ketika melewati jantung Kaliurang,
menuju Museum Ullen Sentalu.
Melewati taman bermain
ini, mengundang segudang memori indah penuh gelak tawa dalam kilasan-kilasan
dibenakku. Dulu, dulu sekali entah berapa puluh kali aku dan teman-teman
seperjuangan melewati taman ini menuju villa yang kami sewa untuk menghabiskan
akhir pekan atau hanya sekedar hang out saja di Kaliurang. Teman-teman
seperjuangan, teman-teman sekantor yang mostly adalah perantauan yang mencoba peruntungan
di Yogyakarta.
“Wah tempat tongkrongan
teh poci-nya masih ada.” Seruku bersemangat, memandang sebidang warung rumahan
yang tutup. Teh poci biasanya buka dan ramai sekali pada malam hari terutama
saat malam minggu.
Tak jauh dari taman
bermain, alun-alun Kaliurang julukanku, menjorok ke dalam dari jalan raya berdirilah
sebuah museum, Ullen Sentalu. Museum budaya yang alih-alih dimiliki pemerintah,
dimiliki oleh pribadi dan didedikasikan untuk semua pengunjung yang haus akan
budaya tradisional dan sejarahnya.
Di Museum Ullen
Sentalu, pengunjung akan dibagi menjadi beberapa kelompok (dalam kondisi ramai
pengunjung) dan harus ditemani dengan seorang guide. Guide ini membawa kami
menyusuri satu demi satu ruangan yang ada dalam museum dan menjelaskan
cerita-cerita yang melekat pada koleksi benda-benda budaya yang terpajang. Koleksi
didominasi oleh lukisan dan foto dari anggota-anggota keluarga empat kerajaan di
Yogyakarta dan Solo. Koleksi museum juga menampilkan benda-benda lain seperti
alat musik, surat-surat pribadi dan batik tradisional dengan berbagai motif.
Bagiku yang adalah penggemar
cerita sejarah dan budaya, keberadaan guide ini sungguh menyenangkan karena
sang guide ini sangat fasih dan tahu tentang sejarah dalam setiap koleksi
benda-benda budaya di sini. Sayangnya karena pengunjung yang ramai maka sang
guide agak tergesa-gesa dalam menyampaikan cerita-cerita indah itu, karena
rombongan lain di belakang kami hanya terpaut lima menit saja. Walhasil,
rombongan-rombangan ini seolah saling berkejaran.
Mengakhiri tour, kami
diajak ke tempat terbuka dengan replika besar dari salah satu relief di Candi
Borobudur. Di area relief inilah kami baru diperbolehkan mengambil foto dan
bebas menghabiskan waktu menikmati keindahan tamannya.
Thanks to Hardi yang
merekomendasikan tempat ini, yakinnya Museum Ullen Sentalu adalah tempat yang
akan kukunjungi lagi, jika ke Kaliurang dan hopefully di hari kerja, biar sepi
dan puas bertanya dan mendengarkan cerita indah para pendahulu dari sang guide.
The one and only, Ullen Sentalu |
tiket masuk yang cakep |
replika relief di candi Borobudur |
wefie dulu bareng Donal, Candy, Hardi |
***
Perjalanan kembali
menuju kota sedikit terhambat karena 3 anak manusia teman seperjalanan, ingin
mengecap jadah tempe, yang merupakan penganan khas Kaliurang.
“Lo ga mau Har?” tanya
Hardi.
“Ga ah, entah dari dulu
gue ga suka. Gue minum aja deh.” Jawab saya.
***
“Gila yah perubahan
Yogya banyak banget, mall mulai bermunculan dimana-mana.”
“Woi, mau kemana kita?”
“Makan siang lah.”
“Yuk lunchy di Mbok
Sabar.”
Memasuki kota kembali
dari Kaliurang, Donal mengarahkan mobil sewaan kami ke Jalan Jagalan. Entah bawaan
libur atau gimana? Tapi perut ini kapasitasnya bertambah, mungkin karena hawa
sejuk di Kaliurang (alasan).
Mbok Sabar menyajikan
ayam bacem yang lezat. Ayam kecoklatan yang didominasi rasa manis khas Yogya
dengan lalapan segar dan sambal bajaknya, disajikan dengan nasi putih hangat.
Makan hanya seperempat ekor selalu terasa kurang.
seperempat ekor, kurang deh |
***
Sang mentari perlahan
mulai condong ke ufuk barat dan perlahan lampu jalanan Yogya satu persatu mulai
menerangi sisi-sisi kehidupan Yogya yang sama, yang semakin ramai menjelang
petang.
Seusai check in dan
beristirahat sejenak di hotel, kami memutuskan untuk berjalan menyusuri hiruk
pikuknya Jalan Malioboro. Menyusuri deretan pedagang kaki lima dari ujung Hotel
Garuda sampai ke Mirota Batik.
Jalanan yang dari dulu,
saat masih menghuni kota ini, tak pernah dan tak akan pernah bosan kususuri.
Dulu, dulu sekali entah berapa ratus kali kulalui sisi jalanan ini, bersama
teman, menghantar tamu atau sendiri mencari ketenangan dalam keramaian
Malioboro.
“Silakan mas,
dilihat-lihat dulu.” Sambut seorang ibu penjual pernak pernik gelang dengan
senyumannya yang bersahabat. Tidak ada panggilan “Koh Cik”, tidak ada sambutan ”Boleh,
cari apa”, tidak ada plengosan jutek saat batal membeli. Aku sadar, senang aku
telah kembali ke Yogaya, meski sedih untuk meninggalkannya lagi.
Jalan Malioboro menjelang petang |
warna Malioboro |
pembatik di Mirota Batik |
***
Berlalu dari hangatnya Malioboro,
kami melaju melintasi Jalan Sultan Agung untuk menembus dan mencapai Warung
Makan Cak Koting untuk bersantap malam.
“Hm lupa-lupa ingat,
kayaknya ini jalan tempatmu.” Batinku. Dan memori tentangmu menghampiriku
seketika. Kamu yang dulu, dulu sekali pernah menjadi bunga sekali atau dua
dalam hidupku di Yogya. Kamu memang bukanlah cintaku tapi yakinnya kamu tak
akan terhapus dalam memori ini karena kamulah yang pertama dan kesekian bagiku.
Entah kamu ada dimana sekarang, kita bagaikan 2 insan yang bebas tak menuntut
dan acuh satu sama lain. Mungkinkah karena sentimentil Yogya telah membuatku
mendadak rindu dan ingin bersua, meski ku tahu engkau telah tertambat di
pelabuhannya.
***
“Haiiiii” seru seorang
cewek manis berhijab.
“Halo Reeeee, haha
akhirnya ketemu juga.”
“Rereeeeee.”
Di tengah
menikmati sedapnya gigitan pedas sambal Cak Koting, muncullah yang
ditunggu-tunggu. Teman kami Rere dalam kesibukannya menyempatkan diri untuk
bersua dengan kami, melaju dengan motornya dari Bantul.
Acara
santap malam di Cak Koting menjadi lebih sedap dengan kehadiran dan celoteh Rere,
salah satu “adik kecil” kami di private group pejalan (Travel Troopers).
Cak
Koting, sudah ada dan menjadi favorite sejak dulu. Lokasi di depan (bekas)
Bioskop Mataram (bukan Jalan Mataram). Warung yang dulunya luas sekali, entah
kenapa sekarang menjadi mengecil, tetapi “dapur”-nya menjadi lebih modern. Cak
Koting menyajikan Soto Sulung dan aneka ragam penyetan dari bebek, ayam, tempe
sampai jerohan sapi macam babat dan paru. Lezat, apalagi disantap dengan sambal
penyetan Cak Koting yang pedas menggigit.
***
“Jadi kita ke House of
Raminten?”
“Eh jadi dong,
penasaran ama gosipnya haha.”
*kasak kusuk bahas gosip
seputar House of Raminten*
Dan tak berapa lama,
kami telah bergabung dengan puluhan pengunjung lain dalam antrian di House of
Raminten yang heitz di Yogya. Sambil menunggu tempat kami dipersiapkan, kami
menumpang kamar kecil dan melewati 3 kandang kuda. Literally 3 kandang kuda
dengan 3 ekor kuda poni di masing-masing biliknya. 1 ekor kuda cukup jinak
untuk dibelai sedikit kepalanya, 1 ekor kuda sangat agresif terhadap orang
asing dan 1 ekor kuda yang cuek dan membelakangi kami.
Sesaat tak lama antri,
akhirnya ada meja kosong dan telah dipersiapkan untuk kami. Duduk mengelilingi meja
bulat dan bertukar kalimat bersama dengan seorang teman lagi, Isna, yang
merupakan salah satu teman seperjalananku ke Raja Ampat tempo hari.
House of Raminten
menyajikan beberapa menu yang cukup beragam dengan pelayanan yang baik. Environment-nya
asik buat hang out dan ditunjang dengan harga makanan dan minuman yang
terjangkau.
***
Malam semakin larut dan
larut tapi tak menyurutkan antrian di House of Raminten. Batin ini kembali
diterjang dengan kerinduan yang sangat dalam akan teman-teman seperjuangan yang
telah tercerai berai, menyusuri jalan kehidupannya masing-masing. Entah kapan
dan bagaimana kami akan bisa bersua bersama kembali. Saat ini semuanya terlihat
tak mungkin meski hati ini masih menyimpan harapan. Beberapa orang masih
terhubung dengan social media, meski tak ada lagi komunikasi. Sebagian hilang
raib entah kemana, terputus oleh jalan yang terlalu bersimpang. Sebagian lagi
masih menjaga jalinan persahabatan meski tak se-intens layaknya masa lampau.
Sahabat lama, jikalau
kau membaca tulisan ini, kiranya tahulah bahwa seseorang sangat merindukan
kalian. Mencoba memetakan kembali potongan-potongan memori terdahulu,
merangkainya dalam lusinan kenangan cerita yang tak lekang oleh waktu, sebatas
nafas ini berhembus dalam raga.
Sahabat lama, jikalau
kau membaca tulisan ini, mungkinkah kalian merasakan kerinduan yang sama. Dulu,
dulu sekali pernah ada cerita tawa, tangis, canda dan amarah yang terangkai
menjadi sesuatu yang sempurna dalam ketidak kesempurnaan hidup bagi kisah kita
dalam kehidupan yang ini.
Sahabat lama, apakah
mungkin kita akan bersua, berkumpul kembali, menangis dan tertawa bahagia
bercerita akan masa lalu dan menerawang masa yang akan datang. Mungkinkah? Meski
hanya satu kali saja sepanjang sisa nafas kita.
Dedicated to Gang Hore –
Yogyakarta (2002 – 2005)
No comments:
Post a Comment