Rebah, berbaring
di atas ranjang kapuk sederhana, raga ini tak inginkan malam berlalu. Otot kaki
yang pegal-pegal karena trekking melintasi hutan siang tadi pun, menjadi
sesuatu yang terindukan. Suasana khas pedesaan menemani jiwa yang belum lelap
ini. Suara riak air dari sungai kecil di belakang kampung terdengar jelas,
gesekan dedaunan pohon-pohon hutan indah berirama, beragam bunyi dari
hewan-hewan nocturnal saling bersahutan. Layaknya sebuah orchestra alam yang
mendendangkan pujanya kepada ibu bumi yang dicintai.
Berusaha menahan
otot mata untuk tetap terbuka dan tak puas-puasnya menikmati semua kedamaian
ini. Meresapi setiap detik yang berlalu, mencakup dengan semua panca indera
yang sadar. Jiwa ini bahagia, jiwa ini damai, jiwa ini mereguk manisnya rindu
akan desa kecil ini dan alam sekitarnya. Jiwa ini tersenyum sejati, sadar
akhirnya kembali ke tempat ini, Desa Malasari – Taman Nasional Gunung Halimun
Salak.
***
Tepat pukul
22.40 malam, kami bertolak ke Desa Malasari yang terletak di dalam kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak, di wilayah perbatasan Kabupaten Bogor dan
kabupaten Sukabumi. Kurang lebih 5 jam perjalanan darat dari Jakarta
(Semanggi).
Taman Nasional
Gunung Halimun Salak atau biasa kami sebut singkat dengan Halimun, adalah hasil
perluasan dari Hutan Lindung Gunung Halimun yang ditetapkan pada tahun 1924.
Halimun kini memiliki area seluas lebih dari 113ribu kilometer persegi dengan
ratusan ragam flora dan fauna, termasuk jenis hewan endemic langka yang
dilindungi, seperti macan tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa
(Hylobates moloch), surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), dan juga ajag (Cuon
alpinus).
Nama Halimun diambil
dari kondisi alam yang sering dan cenderung berkabut (halimun) di area Halimun.
Masih di area Halimun, pada sisi kawasan Pegunungan Kendeng merupakan tempat
tinggal masyarakat adat Baduy dan sisi lain yang dihuni masyarakat adat
Kasepuhan Banten Kidul.
***
Alunan musik
yang mendayu berdendang di telinga melalui earphone ipod. Titik-titik hujan tak
hentinya menubruk kaca jendela mobil dan mengalir mengikuti gravitasi ke bawah.
Helaan nafas panjang
saya merupakan tanda bahwa kekhawatiran saya selama seminggu sebelum malam ini
terjadi, yaitu: hujan.
“Pokoknya gue
mau lihat langit penuh bintang yang lo bilang keren abis pas di Halimun!”
Harapan dari Kathy, salah seorang dari rombongan, segera teriang-iang di benak
saya.
Hujan! Bagaimana
mungkin ada bintang jika sinarannya tertutup oleh awan-awan cargo titik hujan? Ya
semoga saja, hujan segera reda dan langit kembali cerah.
Harapan akhirnya
tetap menjadi harapan. Pukul 02.00 dini hari kami memasuki gerbang “Selamat
Datang” di Halimun, menjejaskan jejak kami melalui guratan bunga ban mobil ELF
yang kami tumpangi dan masih saja langit tak usainya mencurahkan titik-titik
air kecilnya.
Plan berhenti di
salah satu spot untuk melihat jutaan bintang di langit yang kelam pun sirna.
Mobil kami tak bergeming menderu, melewati area datar kecil diantara jalanan
sempit berkelok menanjak dengan lereng-lereng perkebunan teh yang curam.
***
Menjelang pukul
04.00 subuh, akhirnya kami memasuki sebuah rumah di perkampungan kecil yang
akan menjadi atap peneduhan kami selama 1 hari 1 malam di Desa Malasari Halimun
ini.
Masih rumah yang
sama, masih perabotan yang sama dan masihlah saya disambut oleh seraut wajah
Pak Suryana yang teduh, ramah dan bersahabat, seolah mengucapkan selamat datang
kembali. Masih dalam kesederhanaan dan kesahajaan yang sama seperti setahun
yang lalu..
Kantuk dan udara
dingin tak juga mengurangi kegembiraan kami. Sejenak melepas penat, duduk
mengelilingi meja makan dengan seduhan minuman hangat dan mie gelas yang saya
bawa dari Jakarta, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak
dengan harapan esok hari cuaca cerah.
photo by Paulus Rudy |
***
Aroma nasi
goreng dan seduhan kopi hitam adalah alarm kami di pagi hari itu (4 jam setelah
kedatangan kami). Dengan sedikit kantuk menggelayut, kami beranjak dari kasur
dan tertatih menuju meja makan yang sudah penuh dengan makanan.
Usai sarapan
yang cukup lama. Saya memutuskan untuk membawa rombongan yang sudah bersemangat
lagi ini, ke sungai di belakang kampung dan bermain menghabiskan pagi di sana.
***
Sedikit
menyusuri jalanan kampung serta pematang sawah dan sampailah kami di sisi
sungai. Sungai yang dangkal dengan aliran yang cukup deras, bening dan dingin
segar.
“Eh pakai acara
nyebrang ke sana yah?” “Yah basah-basahan dong.” Seru beberapa teman, saat
beberapa dari kami memutuskan untuk menyebrang dan bermain di sisi sungai yang
lain.
“Iya, ayo sini.
Pelan-pelan aja.” “Yah jelas basahlah, kan tadi sudah dibilang main di sungai.”
Jawab saya.
“Em … nggak apa
deh. Gue di sini aja nunggu.” “Iya, gue juga di sini aja deh.” Keputusan mereka
setelah sedetik dua detik, memandang air bening yang dingin segar itu.
“Ya udah, kalian
hunting foto and narsis di sini aja yah, kalau mau balik ke rumah dulu juga
boleh.” Tanggap saya.
*beberapa
saat kemudian*
“Eh fotoin gue
dong.” “Eh sini-sini hahaha.” “Coba deh ambil foto ke sanaan dikit.” “Geser
dikit.” “Tahan!” “Kya kya, mau fotonya ambil back ground itu yah.” “Lagi coba.”
“… … …” saya speechless.
Teman-teman yang
memutuskan menunggu di sisi sungai dan enggan menyeberang, entah terprovokasi
apa, akhirnya menyeberang juga dan asik ber-narsis ria, di sana di sini di
situ, dimana-mana. Bakalan susah nih ngajak mereka balik haha.
photo by Umro |
Hati saya senang
melihat mereka begitu menikmati sebuah sungai sederhana dan ter-wow akan sebuah
pemandangan sederhana, yaitu: sawah dan gerombolan pohon dari sisi luar hutan
hujan Halimun. Sungai kecil bersahaja, sungai kecil bentukan alam tanpa
sentuhan tangan manusia pun. Sungai kecil yang sejenak membuat anak-anak kota
megapolitan tersebut melupakan gadget mereka (kecuali camera tentunya),
tertawa, tak peduli akan pakaian yang basah dan sejenak melupakan kepenatan
akan tuntutan pekerjaan dan tugas yang menunggu di Jakarta.
Sesuai prediksi,
memang agak susah mengajak mereka kembali dan dengan janji akan segera
menikmati makan siang, maka rombongan pun mulai beranjak kembali ke rumah Pak
Suryana.
***
“Kalian ditemani
2 ranger yah buat jungle trekking.” Kata Umro, sang travel organizer.
“Lho, lo ga
ikutan mas?” tanya saya.
“Ga Har, ntar
gue nemenin mobilnya jemput kalian di pos ama bawain kalian minuman panas. Jadi
ntar balik ke rumah ga usah pake trekking lagi.” Jawab Umro, disambut dengan
anggukan kepala saya.
Ini kali ke dua
saya ke Halimun. Kali pertama jungle trekking di hari pertama kala itu harus
dibatalkan karena hujan deras yang mengguyur kawasan dari pagi hingga siang
hari, dan memaksa kami untuk mengambil jalur rocky pedestrian trekking yang
lebih mudah dan aman.
Lucky us, hujan
yang mengguyur kawasan dari malam hingga dini hari, berhenti saat menjelang
subuh, sehingga saat siang harinya, jalur jungle trekking dirasa sudah bisa
ditempuh karena tidak terlalu licin lagi.
photo by Paulus Rudy |
Ini kali ke dua
saya ke Halimun dan akhirnya saya bisa merasakan jungle trekking, memasuki
hutan hujan Halimun melalui jalur ranger. Dengan beriringan kami memebelah
pepohonan dan membaur dengan aroma basah lembab tanah, desiran dedaunan yang
bertengger di atas pohon, seruan-seruan saling bersahutan dari hewan-hewan
hutan, geraman macan kumbang dan … wait! Geraman macan kumbang!
IYA! Tanpa sadar
rombongan kami melewati tempat macan kumbang itu sedang berada. Ranger pun
kaget dan sempat melihat sekelebat perawakan si macan yang hitam pekat, berlari
mendaki sisi yang lebih tinggi dari jalur ranger. Pak Ranger sangat heran
sekali, karena berdasarkan pengalaman beliau, waktu-waktu siang biasa macan
kumbang ada di atas pohon.
Selain geraman
macan kumbang, kami juga beruntung bisa melihat Surili dan Lutung Hitam dalam
gerombolannya mencari bahan-bahan kunyahan, melompat menyeberangi celah langit
di antara pepohonan tinggi.
Ini kali ke dua
saya ke Halimun dan masih saja keberuntungan tidak mendatangi saya, untuk bisa melihat
Owa Jawa. Ingin sekali bisa melihat Owa Jawa di habitat aslinya, meski dari
jauh saja.
***
Melangkah dan
melangkah, menyusuri jalan setapak ranger yang terkadang menjadi begitu becek
dan licin, melewati semak-semak liar, melalui gelantungan dahan-dahan rotan
yang berduri tajam, dan sampailah kami di dasar menara canopy setinggi hingga
30 meter dari permukaan tanah. Terdapat beberapa canopy, yang satu sama lain
terhubung secara garis lurus oleh jembatan-jembatan gantung. Perlu ijin
terlebih dahulu untuk menaiki canopy serta melewati jembatan gantungnya, karena
memang fungsi utamanya adalah untuk penelitian bukan untuk wisata. Ada beberapa
syarat-syarat dan ketentuan khusus untuk naik ke canopy dan menggunakan
jembatan gantungnya.
***
Air Terjun
(Curug) Macan. Masih seperti saat kali pertama saya datang, hanya terlihat
lebih termakan alam saja. tetap mengguyurkan air dalam debit yang cukup besar
untuk ukuran air terjun yang kecil ini. Masih indah dengan bebatuan yang
berserakan di sungai pada sisi depannya.
Letak Curug
Macan tidaklah jauh dari dasar tangga canopy utama, sehingga tak membutuhkan
waktu yang lama untuk dicapai.
***
Menjelang senja,
kami sudah berada di pos ranger Pusat Penelitian Cikaniki. Seperti pada
kunjungan pertama saya, kami menunggu hingga langit dan alam mengelam untuk
menyaksikan Glowing Mushroom.
Sambil menunggu,
kami menikmati sore itu dengan duduk-duduk di teras pusat penelitian sambil
menghirup minuman panas yang dibawa oleh Umro. Sempat kami beranjak ke sisi
belakang (berseberangan langsung dengan hutan) dan dari jauh menyaksikan
segerombolan Surili bermain di pepohonan.
Perlahan langit
mengelam dan kami siap untuk melihat jamur-jamur kecil yang lucu berpendar
dalam gelap laksana bintang-bintang di langit sana.
Ini kali ke dua
saya ke Halimun dan entah mungkin karena sudah lama sempat tak turun hujan,
mushroom-mushroom lucu itu berkurang jumlahnya.
“Pada saat curah
hujan tinggi, barulah jamurnya banyak.” Jelas Umro.
***
Tiba kembali di
rumah Pak Suryana malam hari dan berikutnya adalah acara favorite saya. Duduk
mengelilingi meja makan, bersantap, ngemil, ngopi dan saling berbagi canda
hingga buaian peri kantuk tiba.
Saat-saat dimana
jalinan pertemanan akhirnya mencapai titik yang lebih tinggi dari sekedar
kenal. Berbagi olokan dan cerita tanpa paksaan, tanpa kepura-puraan, tanpa
keharusan. Lepas! Bebas! Itu saja dan tak lebih.
***
Rebah dan
berbaring di ranjang kapuk sederhana, raga ini tak inginkan malam berlalu dan
bersikukuh menikmati sebuah orchestra alam yang mendendangkan pujanya kepada
ibu bumi. Jiwa ini tersenyum sejati, sadar masih ada setengah hari lagi di tempat
ini, Desa Malasari – Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
***
Ini kali ke dua
saya kembali gagal melihat sunrise dan konon memang susah sekali untuk
melihat sunrise di Halimun.
Acara tea walk
tetap berjalan dengan track yang tidaklah terlalu panjang, mengelilingi sebuah
bukit kecil yang sepenuhnya tertutup oleh pohon-pohon teh.
Malang, belum
juga memutari separuh bukit kecil itu, hujan turun perlahan dan semakin deras
di setiap menit yang berlalu. Walhasil kami tergopoh-gopoh berbalik arah
kembali ke rumah dengan extra hati-hati karena jalan setapak tanahnya menjadi
licin dan sangat licin di beberapa tempat.
Kami habiskan
pagi itu dengan sarapan dan bercakap-cakap menunggu hujan mereda.
***
Tetesan-tetesan
hujan terakhir pun akhirnya menghempas ke permukaan jalan dan meresep ke dalam
tanah. Perlahan sang bola api muncul perlahan malu-malu di balik gumpalan awan
yang besar.
“Siap!” “Ayo
lanjutin tea walk-nya.” Seru saya mengkomando.
Rombongan kami
pun kembali bergerak menyusuri jalan-jalan setapak pemanen daun teh di antara
jutaan pohon-pohon teh yang pendek. Jalan, jalan dan jalan memutari sebuah
bukit kecil. Pemandangan yang hijau dengan latar belakang pegunungan Halimun
yang bearak-arakan hingga ke batas horizon.
***
Saya duduk di
sini, di meja ini, menuliskan sebuah cerita tentang perjalanan singkat saya ke
Halimun untuk yang ke dua kalinya. Duduk di dalam ruangan yang berada di lantai
19, di sebuah gedung perkantoran modern dan keinginan saya hanya satu, yaitu:
entah kapan, saya pasti kembali ke sana. Bukan wahana, tempat wisata, sight
seeing yang saya cari di sana, melainkan sebuah rasa damai dan bebas dalam
sebuah kesederhanaan yang seadanya. Jiwa ini selalu mempunyai secuil rindu akan
tempat itu. Halimun, dimana saya akan kembali.
No comments:
Post a Comment