Pulau Bawah - Anambas |
Angin laut
menghempas kencang menampar kulit muka dan tubuh. Sesekali air laut yang hangat
memercik dari gulungan-gulungan ombak kecil berbuih yang tercipta dari
kombinasi lambung speedboat dan baling-balingnya. Langit biru cerah dan
matahari bersinar terik meski terkadang terhalang oleh arakan awan di atas
sana. Speedboat ini melaju kencang membelah Laut China Selatan, menghantar kami
menjelajahi pulau-pulau kecil yang rata-rata tidak berpenghuni, bertebaran
bergerombol membentuk Kepulauan Anambas.
Pulau-pulau
kecil berbukit dengan batu-batu granit besar membingkai pantai pasir putihnya.
Ratusan pohon-pohon kelapa berjajar melambai mengikuti buaian sang angin. Suasana
damai, tenang dan membuai, berlagukan dengungan speedboat saja. Inilah tipikal
dari pemandangan di Kepulauan Anambas. Indah tapi tak membius seperti halnya
cerita tentang keindahan taman lautnya. Di sinilah kami melaju, menuju ke
beberapa tempat untuk membuktikan, melihat dan menikmati bius Taman Laut
Kepulauan Anambas.
***
Berbulan-bulan
sebelum hari H ☼
“Yuk ke
Anambas.”
“Dimana tuh?”
“Di Kepulauan
Riau, deket Natuna sana. Keren, salah satu kepulauan tercantik di Asia Tenggara
versi National Geographic.”
“How?”
“Nanti kita
terbang ke Batam trus lanjut terbang ke Matak di Anambas, trus lanjut naik
pompong ke Tarempa.”
“Er… I assume
Matak ama Tarempa salah dua dari banyak pulau di Anambas yak. Nah kalo pompong
apaan?”
“Pompong mah yah
kapal kayu pake motor tempel gitu, sebutan lokalnya aja pompong.”
“HUWOW! Hayuk
lah.”
Sebulan sebelum
hari H ☼
“Gawat, Sky
Aviation-nya tutup dan ga ada penerbangan lain ke Matak!”
“Jadi kudu via
laut yah”
“Lha kalo ferry
kan adanya dari Tanjungpinang aja, ga ada yang dari Batam, tapi langsung ke
Tarempa sih.”
“Lama yah
konon?”
“9 jam!”
“Okay rubah
Itinerary”
2 minggu sebelum
hari H ☼
“Perubahan lagi!
Jadwal ferry ternyata ga setiap hari ada dan berangkat hanya sekali, jam 7
pagi”
“Buset lha kita
dari Jakarta aja baru jam 7 pagi.”
“Okay rubah
itinerary lagi.”
3 hari sebelum
hari H ☼
“Perubahan lagi!
Jadwal ferry yang kita beli diundur berangkatnya, karena kurang bbm konon!”
“WTF!”
“Ini gimana
sehhhhh, kok serba ga pasti.”
1 hari sebelum
hari H ☼
“Kayaknya kita
baru bisa berangkat ke Tarempa dari Tanjungpinang hari Senin deh.”
“Waduh, berarti
buang berapa hari yah.”
“Yah udah ,
tetep semangat! Kita muter-muter Batam ama Bintan aja selama 3 hari itu.”
Rencana
perjalanan ke Anambas ini, menurut kami adalah salah satu perjalanan yang
paling menguras hati, haha. Bagaimana tidak stress dengan semua ketidakpastian
jadwal dan minim-nya info yang bisa kami peroleh baik dari teman-teman traveler
lainnya maupun dari internet.
Akankah semua
energi itu akan terbayar?
***
Hari 1 ☼
Menapakkan kaki
sebelum matahari mendekati titik derajat 90, kami dijemput oleh mobil carteran
yang kami sewa bersama sang driver untuk sekedar berkeliling Kota/Pulau Batam.
Hang Nadim Int. Airport - Batam |
Rumah Makan Mie
Tarempa adalah pemberhentian pertama kami. Lho kok! Iya, pemanasan dulu sebelum
ke Tarempa-nya beneran. Rumah Makan ini cukup luas dan ramai sekali, meski
waktu itu belum juga mendekati waktu makan siang dan telah lama lewat dari
waktu makan pagi. Lucky! Kami mendapatkan 2 meja yang cukup untuk menampung
kami semua. Rumah Makan ini didirikan oleh orang asli Tarempa – Anambas dan
tentunya menyajikan sejumlah menu khas dan andalan dari Tarempa. Bagi saya
pribadi, meski tempatnya standar tetapi memiliki menu yang banyak dan ENAK! serta
murah Haha.
Kelana kami pun
berlanjut ke salah satu icon utama Batam, yaitu: Jembatan Barelang. Jembatan
kebanggaan warga Batam yang menghubungkan 3 pulau besar ini (Batam, Rempang dan
Galang) memang indah dengan latar belakang laut dan pucuk-pucuk bukit
pulau-pulau lainnya. Terdapat 6 jembatan di sepanjang Barelang dan kami pun
menempuh hingga hampir ke titik jembatan 6, singgah di salah satu kawasan
menarik lain, yaitu Kampung Vietnam. Kampung Vietnam merupakan bagian dari Pulau
Galang, dimana pengungsi dari Vietnam semasa Vietnam Civil War berlabuh (baca:
nyasar/terdampar) dan akhirnya mendirikan pemukiman di sana. Konon tempat
pengungsian ini menjadi layaknya semacam desa kecil yang lengkap dengan
sekolah, klinik dan tempat-tempat ibadah seperti Klenteng Avalokitesvara dan
Goa Maria. Konon? Yupe karena kami hanya bisa masuk hingga Klenteng
Avalokitesvara dan tidak bisa menengok ke jantung Kampung Vietnam karena
perbaikan jalan besar-besaran. Kampung Vietnam ini didirikan dan dikembangkan
secara legal dengan bantuan Indonesia dan PBB, meski pada prakteknya, Kampung
Vietnam dulunya diisolasi dari penduduk asli setempat guna mencegah tersebarnya
penyakit Vietnam Rose yang dibawah oleh imigran Vietnam.
Barelang Bridge - Batam |
Klenteng Avalokitesvara Bodhisatva |
Senja menjelang
dan kami harus menyeberang ke Bintan dari Terminal Punggur – Batam. Once kami
keluar dari mobil, teriakan mbak-mbak penjual tiket ferry pun meledak! Ada
beberapa kios penjual tiket dan semuanya menjual tiket yang sama, walhasil
persaingan sangat tajam dan kami memilih mbak-mbak dengan suara paling
menggelegar hehe.
sunset at Sri Bintan Pura Seaport |
Perjalanan
dengan Ferry Baruna kami tempuh kurang lebih selama satu jam dan kami pun
berlabuh di Pelabuhan Sri Bintan Pura. Alih-alih istirahat di hotel random yang
menjadi pilihan kami untuk menginap (karena lokasi yang bisa ditempuh dengan
jalan kaki dari pelabuhan dan murah), kami malah ke kantor ferry tujuan Tarempa
untuk memastikan hari dan tanggal keberangkatan kami. Lucky! Kantor ferry ada
di sebelah hotel persis dan LUCKY! kami bisa berangkat esok harinya (Minggu,
alih-alih Senin yang konon malah diundur ke Selasa).
At last, urursan
ferry ke Tarempa beres dan hati ini menjadi ringan untuk menyusuri tujuan
kuliner malam kami di Tanjungpinang, yaitu: Akau Potong Lembu.
Akau Potong
Lembu adalah Night Street Food Market yang bisa kami tempuh dengan berjalan
kaki dari hotel, meski banyak penduduk lokal yang bilang terlalu jauh untuk
jalan. Haha tenang Jakartans, jauh bagi mereka adalah jalan santai around 15
menit hehe. Akau menempati bidang lapang diantara himpitan ruko jadul, dimana
para penjual makanan dan minuman mengelilingi tempat para pengunjung menikmati
hidangan. Semua ragam kuliner (khususnya) Bintan, ada di sini. Kami mencoba
Oluak (tiram telur orak-arik), Sate Mie (mie, cakwe, potongan ikan dengan bumbu kacang), Siput Gong-gong, cumi
bakar, Bakut Teh dan aneka gorengan. Nikmat, apalagi ditemani es teh tarik dan
ditutup dengan buah-buahan potong segar. Ke Tanjungpinang HARUS ke Akau Potong
Lembu.
Dari pengamatan
kami, teman-teman muslim harus extra hati-hati memilih menu di sini dan memang
menu babi di sini sangat murah jika dibandingkan di Jakarta.
***
Terombang-ambing
dengan tenang menyusuri Laut China Selatan ke Tarempa, bersama dengan puluhan
penumpang lain selama 9 jam. Duduk manis, dengerin music dari ipod, ngemil,
tidur, bangun, ke toilet, ngerokok di dek belakang, duduk manis, ngemil, nonton
film jadul hitam putih Malaysia yang diputar, tidur, bangun, dan seterusnya,
dan seterusnya.
Akhirnya
berlabuh juga Ferry Seven Star (alternative lain: VOC Batavia) di Pelabuhan
Tarempa dan setelah cape hati, deg-degan, emosi, putus harapan, akhirnya kami
menorehkan jejak kami di Tarempa – Anambas.
Hari 2 ☼
Hari pertama di
Anambas kami habiskan hanya dengan duduk-duduk sambil ngemil dan ngopi di
warung-warung kopi yang banyak berterbaran di seantero kota yang sangat kecil
ini. Oh tak lupa kami bertemu dan berkoordinasi dengan 2 vendor speedboat yang
akan menghantarkan kami berkelana di kepulauan Anambas ini selama 4 hari.
Tarempa Seaport |
siang hari di Kota Tarempa |
welcome to Tarempa - Batu Tiga Tumpuk |
penampakan dalam hotel |
penampakan dalam hotel |
view dari kamar hotel |
***
Speedboat
membawa kami menderu membelah riak laut yang tenang. Memulai kelana kami dari
pagi hari pertama di Anambas.
“Bawa snorkeling
gear ga hari ini?”
“Selama di
Anambas dan do island hoping, yes selalu bawa snorkeling gear dan sunblock
haha.”
Hari 3 ☼
Selat Rangsang
(landscape)
Kami mendapatkan
pemandangan yang indah dari atas bukit dan sempat melihat beberapa penyu
bermain di permukaan laut dari kejauhan. Selat Rangsang terapit dari beberapa
pulau kecil yang tidak berpenghuni kecuali di pulau utama yang terdapat satu
rumah penjaga.
Landscape dari
pantainya bagus tetapi banyak sampah non organic.
Pulau Temawan
(snorkeling)
Snorkeling di
Temawan, dari sisi koralnya kurang bagus, banyak yang rusak dan mati, tetapi
ragam dan jumlah ikannya cukup banyak. Kami kudu extra hati-hati karena begitu
banyak Bulu Babi dengan ukuran yang besar. Pulau Temawan adalah pulau kecil
berbatu yang tidak berpenghuni.
Landscape dari
pantainya bagus tetapi banyak sampah non organic.
Temburun
Waterfall (landscape)
Air terjun yang
menjadi salah satu icon Anambas ini, sangat indah. Mengucur dari puncak bukit
hingga langsung bergabung dengan laut. Dari sisi yang tepat di laut, kami bisa
melihat keseluruhan dari air terjun Temburun ini (head to toe). Air terjun
Temburun sebenarnya terletak di Pulau Tarempa juga, tetapi di sisi lain dari
Kota Tarempa, yang jalur daratnya belum selesai dan layak digunakan. Melabuhkan
speedboat kami di desa setempat, kami harus berjalan lagi dan menanjak sedikit
untuk mencapai titik tengah dari air terjun ini.
Musim kemarau
membuat debit air Temburun sedikit dan unsur tanah pada airnya menjadi lebih
kuat sehingga lumut merah mendominasi kolam-kolam dari air terjun yang
(katanya) memiliki 7 tingkat ini. Segar juga lho mandi di sini dan mencoba
“pijat” grojokan air terjun.
Kondisinya
sangat terbelengkalai, dengan tangga batu yang rusak dan tak terurus, banyak
sampah non organic dan kerangka gazebo-gazebo yang hampir roboh.
Selain air
terjun yang indah, ketika kami berbalik tubuh ke laut, maka kami menemukan
pemandangan yang luar biasa indahnya. Personally bagi saya, itu adalah pemandangan
landscape paling indah dari tempat-tempat yang saya kunjungi di Anambas.
***
Pagi hari pukul
6 kami sudah siap berada di dermaga dan siap bertolak menuju salah satu icon
lain dari Anambas, yaitu Pulau Bawah dan 2 pulau lainnya.
“Bawa snorkeling
gear ga hari ini?”
“Selama di
Anambas dan do island hoping, yes selalu bawa snorkeling gear !!!!!”
Hari 4 ☼
Pulau Bawah
(snorkeling)
Dengan speedboat,
kami membutuhkan waktu 2 jam untuk mencapai salah satu pulau dari gugusan
pulau-pulau kecil paling selatan dari Anambas ini. Landscape pantai yang indah
(walau sedikit rusak karena konstruksi pembangunan bungalow-bungalow baru dari
pengembang resort), tetapi banyak sampah non organic.
Taman laut di
sini sangat indah dengan kontur yang cenderung datar dan dangkal. Biota laut
yang banyak dan beragam. Tentunya arus di sini sangat tenang karena terlindungi
gugusan pulau-pulau kecil yang tersambung menghimpit “laguna” ini. Sayangnya
speedboat kami tidak dilengkapi tangga kayu atau semacamnya,sehingga tidak
semua spot snorkeling yang kami inginkan bisa kami explore, karena terlalu jauh
dari pantai.
Pulau Lingai
(snorkeling)
Pulau kecil
lainnya di antara Pulau Bawah dan Pulau Nawan yang memiliki garis pantai
rata-rata (cenderung pendek) dengan sampah non organic di sana sini tetapi
memiliki taman laut yang indah dengan ragam biota lautnya.
Pulau Nawan
(snorkeling)
Pulau kecil,
yang tak terlalu jauh dari Pulau Tarempa (kurang dari 1 jam dengan speedboat),
dengan landscape pantai yang bagus meski kurang bersih dari sampah non organic.
Mempunyai taman laut yang luar biasa indah dengan biota laut yang sangat banyak
dan beragam. Setelah perdebatan yang seru maka diputuskan secara unanimous
bahwa Pulau Nawan-lah yang mempunyai taman laut terindah di Anambas dan menjadi
the best snorkeling’s spot kami di Anambas.
Hari 5 ☼
Pulau Penjalin
(snorkeling)
Tak terlalu jauh
dari Pulau Tarempa, Pulau Penjalin memiliki garis pantai yang cukup panjang
(sampah non organic tetap berceceran) yang digapurai oleh bebatuan granit besar
bertumpuk di masing-masing sisinya. Taman laut yang indah dengan kedalaman yang
cukup dalam dibandingkan dengan Pulau Bawah dan Pulau Nawan. Taman lautnya tak
seindah Pulau Nawan tetapi tetap indah dan memiliki ragam biota laut tak kalah
banyak, dengan ikan-ikan yang tampak lebih besar di sini.
Pulau Nongkat
(landscape)
Pulau berbatu itu
memiliki keunggulan di landscape-nya dengan taman laut yang tak membuat kami
tertarik untuk ber-snorkeling. Air yang tenang berdebur halus ke garis pantai
yang pendek berhamburan batu-batu granit besar dan kecil dengan laut yang
dangkal membentang cukup luas.berpagarkan batu-batu mencuat dari tengah laut
membentuk pulau-pulau batu kecil.
Air Sena
(budidaya perikanan)
Tempat budidaya dan
penangkaran Ikan Kerapu ini terapung di laut dalam yang tak terlalu jauh
sebenarnya dari pulau terdekat. Sangat luas dengan kayu-kayu terapung mengikat
jaring-jaring besar membentuk kolam-kolam berisikan ratusan ikan kerapu dengan
ukuran yang luar biasa besar bagi kami. Ikan kerapu yang kami lihat biasa hanya
sebesar 8 ons (atau lebih besar, yang biasa berenang di aquarium restoran
seafood atau Chinese food) dan ikan-ikan yang bakalan diimpor ini berukuran
rata-rata sepaha atas saya! Tidak ada landscape, tidak ada taman laut dan tetap
menarik untuk dikunjungi haha.
Hari 6 ☼
Pulau Semut
(snorkeling)
Pulau dengan
garis pantai yang pendek dan sempit ini, selain sampah non organic juga
memiliki taman laut yang cukup indah, meski lebih banyak kerusakan yang terjadi
di sini dibandingkan di Pulau Bawah, Pulau Nawan dan Pulau Penjalin.
Pulau Rango
(landscape)
Pulau kecil
dengan garis pantai pendek melengkung mengikuti kontur ujung pulau dan memiliki
taman laut yang kurang bagus. Alih-alih meng-explore taman laut di sini, kami
malah menghabiskan waktu dengan bersantai dan dalam belaian angin laut yang
bertiup sepoi-sepoi, sebagian insan berjalan menjelajahi dunia lelap.
Pulau Durai
(konservasi penyu)
Pulau ini cukup
besar dan merupakan tempat bertelurnya penyu-penyu besar yang lucu. Setiap
malamnya mereka bergantian menyeret cangkang besar mereka ke tepian, menggali
serta menelurkan ratusan bola ping-pong, menimbunnya lagi dan mempercayakan
benih-benih kecil itu berkembang dalam asuhan sang ibu bumi. Well jaman
sekarang tentunya dalam hal ini, sang ibu bumi dibantu oleh asisten-asistennya,
yaitu: bapak-bapak penjaga pulau dan pengawas area konservasi penyu ini.
Untuk melihat
penyu-penyu ini bertelur, kami harus menunggu hingga pukul 8 malam dan tentunya
kami habiskan waktu hingga larut sebelum menderu lagi kembali kePulau Tarempa.
Kisah lucu
adalah entah karena apa, speedboat kecil kami tak bisa/riskan untuk berlabuh ke
pantai seperti pada saat kami tiba siang harinya. Hal ini sejenak membuat kami
kebingungan karena speedboat terjangkar cukup ke tengah dan sempat terpikir
untuk berenang dengan keseraman menghantui jika benar harus melakukannya,
karena arus yang cukup kuat dan gelap total. Bantuan datang dari sang penjaga
pulau yang dengan ikhlas menghantarkan kami ke speedboat satu-persatu dengan
menggunakan kano berlubangnya. Berlubang? Iya haha, jadi ketika sang penjaga
mengayuh dayung, kami mengunakan ember kecil, menyiduk air yang muncrat ke
dalam kano. Terima kasih tak akan pernah cukup kami hanturkan ke sang penjaga
dan maaf yah pak kalau saya yang gede banget ini adalah “penumpang” yang paling
challenging bagi bapak untuk diseberangkan.
sunset di Pulau Durai |
tukik yang siap dilepas |
Hari 7 ☼
Hari ke tujuh
liburan kali ini, kami habiskan dengan bangun tidur yang sedikit lebih siang
dan berleha-leha di La Luna Café yang sudah menjadi tempat tongkrongan wajib. Dari
hasil penjelajahan kami, tempat ini memang menyediakan ragam menu makanan dan
minuman yang paling beragam dengan rasa yang paling enak juga. La Luna Café
juga mempunyai lokasi yang sangat strategis (sebelah hotel persis) dengan
tempat yang asik untuk hangout dan mempunyai pemandangan laut dan Kota Tarempa
dari sisi timur yang indah, khususnya pada malam hari.
Kota Tarempa
pada dasarnya berkembang di sekitar garis pesisir dengan kontur pulau membentuk
huruf U yang cukup tajam. Sisi ujung barat yang padat dan sisi timur yang
kosong, menyisakan pemandangan yang lebih indah dibandingkan sisi barat yang
lebih banyak dipenuhi rumah penduduk dan kapal/pompong berlabuh..
La Luna Cafe |
Sate Tarempa, menu khas di La Luna Cafe |
Mendekati tengah
hari kami berjalan menuju ke sisi barat dari Kota Tarempa untuk berkunjung ke klenteng
dan vihara setempat yang terletak lebih tinggi dari rata-rata rumah penduduk
dengan warna dinding merah menyala yang cukup mencolok di tengah kota kecil itu.
Klenteng merah ini dapat terlihat dari laut jika boat melaju mendekati
pelabuhan.
tengah hari di Kota Tarempa |
Klenteng ini
memiliki Dewi utama yaitu Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisatva) dengan beberapa
dewa-dewi lainnya bersanding di altar. Klentengnya sangat kecil tetapi bersih
dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Siang ini, klenteng dan vihara di
sebelahnya tampak lengang sekali, sehingga kedatangan kami tidak mengganggu
proses ibadah yang mungkin dilakukan oleh penduduk setempat.
Vihara di
sebelahnya, tentu didedikasikan kepada Buddha Gotama, tetapi menurut saya menyebut
dhammasala ini sebagai vihara sebetulnya agak berlebihan, karena ruangan
dhammasala yang disebut sebagai vihara tersendiri ini sebenarnya tak lain
daripada sayap bangunan klenteng ini.
salah satu arah view dari klenteng ke Kota Tarempa |
***
Terombang-ambing
dengan tenang menyusuri Laut China Selatan kembali ke Bintan, bersama dengan
puluhan penumpang lain selama 9 jam. Duduk manis, dengerin music dari ipod,
ngemil, tidur, bangun, ke toilet, duduk manis, ngemil, nonton film Thailand
yang diputar sepotong-potong, tidur, bangun, dan seterusnya, dan seterusnya.
Hari 8 ☼
Sore menjelang
dan di pelabuhan ini lagi kami akhirnya berlabuh kembali. Berjalan beriringan
dengan backpack masing-masing, menyusuri kembali jalanan sempit mengarah keluar
dari Pelabuhan Sri Bintan Pura di Kota Tanjungpinang.
Petang terakhir dalam
masa liburan kali ini kami habiskan (kembali) di Akau Potong Lembu, dengan
segala ragam kulinernya yang dasyat (meski sempat hujan) dan setelahnya berburu
oleh-oleh khas Tanjungpinang di sebuah toko pusat oleh-oleh (kayaknya cuma ada
1 toko) yang terletak tepat di depan hotel, tempat kami menginap.
Hari 9 ☼
Matahari sang
motor kehidupan belum juga lama beranjak dari sisi bumi yang lain, kami telah
duduk manis dalam tabung pesawat yang melaju membelah awan dan langit-langit
bumi, menghantar kami kembali ke Jakarta.
Raja Haji Fisabillilah Int. Airport - Tanjungpinang |
Liburan yang
cukup lama bagi kami dan cukup puas kami mereguk segala keindahan ibu bumi
Indonesia yang ada di Anambas. Secuil hati ini tertinggal di sana, berharap ada
masa yang akan datang tuk ijinkan kami kembali menikmati hangatnya air laut
yang bening dan segala keindahan biota lautnya.
Semoga surga
kecil Anambas akan bertahan menghadapi segala sepak terjang modernisasi yang
meski perlahan tetapi menyusup ke pedalaman Anambas.
Terima kasih
kami ucapkan atas segala upaya teman-teman baru yang membantu kami dalam
perjalanan ini. Special thanks kami hanturkan untuk Om dan Tante Liong atas
segala keramahan, jamuan dan bantuan selama kami ada di Anambas.
missing Citra and Dian |
Info (sampai
dengan kami berkunjung):
Belum ada
persewaan snorkeling gear di Anambas.
Dalam Speedboat
biasanya jumlah life vest lebih sedikit dari jumlah kapasitas penumpang.
Tidak ada tangga
kayu dan/atau sejenisnya untuk naik ke speedboat jika kami ingin snorkeling
dari lokasi tengah laut, jadi harus berlabuh dulu ke pantai terdekat.
Penggunaan
Pompong sebagai alternative pengganti speedboat banyak tersedia, tetapi
membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk mencapai tujuan.
Kondisi taman
laut di Anambas dalam kondisi yang bagus tetapi perlahan rusak dan menyisakan
terumbu karang yang hancur dan/atau mati karena bom maupun potas serta sampah
non organic yang tak mengotori pantai tetapi beberapanya sempat terseret dan
mencemari laut dalamnya.
Wow, thank you for your awesome account. Loving your images.
ReplyDeleteI think Anambas truly has the potential to be the next Maldives. I’ve actually visited both Tarempa and Jemaja several times, as well as Maldives (Atol Bandos) and I can conclude that the coral reefs in and around Anambas (Bawah, Penjalin, Temawan etc.) are still untouched, as compared to Maldives, which , in my experience, was showing a bit of wear and tear.
Anambas is still so pristine and idyllic, it's almost like stepping back hundreds of years into history and arriving at the edges of the earth. I found it truly paradise, with the added benefit that it's not as commercialised as Maldives is.
Once the Anambas’ infrastructure has improved, which I noticed is currently being worked on at break-neck speed, and also the flights from Batam and Bintan and Jakarta, and perhaps Singapore (one can hope) are consistent, the Anambas Archipelago as a whole has the potential to be a marine tourism magnet on a world-wide scale.
Fingers crossed that it happens soon :)
Jean
Wow, thank you for your awesome account. Loving your images.
ReplyDeleteI think Anambas truly has the potential to be the next Maldives. I’ve actually visited both Tarempa and Jemaja several times, as well as Maldives (Atol Bandos) and I can conclude that the coral reefs in and around Anambas (Bawah, Penjalin, Temawan etc.) are still untouched, as compared to Maldives, which , in my experience, was showing a bit of wear and tear.
Anambas is still so pristine and idyllic, it's almost like stepping back hundreds of years into history and arriving at the edges of the earth. I found it truly paradise, with the added benefit that it's not as commercialised as Maldives is.
Once the Anambas’ infrastructure has improved, which I noticed is currently being worked on at break-neck speed, and also the flights from Batam and Bintan and Jakarta, and perhaps Singapore (one can hope) are consistent, the Anambas Archipelago as a whole has the potential to be a marine tourism magnet on a world-wide scale.
Fingers crossed that it happens soon :)
Jean
Nice sharing Jean, thanks for sharing it with me
DeleteWhoopsie, sorry for the double post. The page hung on me.
ReplyDelete