Wednesday, June 18, 2014

Kecipak Kecipuk Terbius oleh Paras Taman Laut Anambas



Pulau Bawah - Anambas
Angin laut menghempas kencang menampar kulit muka dan tubuh. Sesekali air laut yang hangat memercik dari gulungan-gulungan ombak kecil berbuih yang tercipta dari kombinasi lambung speedboat dan baling-balingnya. Langit biru cerah dan matahari bersinar terik meski terkadang terhalang oleh arakan awan di atas sana. Speedboat ini melaju kencang membelah Laut China Selatan, menghantar kami menjelajahi pulau-pulau kecil yang rata-rata tidak berpenghuni, bertebaran bergerombol membentuk Kepulauan Anambas.

Pulau-pulau kecil berbukit dengan batu-batu granit besar membingkai pantai pasir putihnya. Ratusan pohon-pohon kelapa berjajar melambai mengikuti buaian sang angin. Suasana damai, tenang dan membuai, berlagukan dengungan speedboat saja. Inilah tipikal dari pemandangan di Kepulauan Anambas. Indah tapi tak membius seperti halnya cerita tentang keindahan taman lautnya. Di sinilah kami melaju, menuju ke beberapa tempat untuk membuktikan, melihat dan menikmati bius Taman Laut Kepulauan Anambas.

***
Berbulan-bulan sebelum hari H ☼
“Yuk ke Anambas.”
“Dimana tuh?”
“Di Kepulauan Riau, deket Natuna sana. Keren, salah satu kepulauan tercantik di Asia Tenggara versi National Geographic.”
“How?”
“Nanti kita terbang ke Batam trus lanjut terbang ke Matak di Anambas, trus lanjut naik pompong ke Tarempa.”
“Er… I assume Matak ama Tarempa salah dua dari banyak pulau di Anambas yak. Nah kalo pompong apaan?”
“Pompong mah yah kapal kayu pake motor tempel gitu, sebutan lokalnya aja pompong.”
“HUWOW! Hayuk lah.”

Sebulan sebelum hari H ☼
“Gawat, Sky Aviation-nya tutup dan ga ada penerbangan lain ke Matak!”
“Jadi kudu via laut yah”
“Lha kalo ferry kan adanya dari Tanjungpinang aja, ga ada yang dari Batam, tapi langsung ke Tarempa sih.”
“Lama yah konon?”
“9 jam!”
“Okay rubah Itinerary”

2 minggu sebelum hari H ☼
“Perubahan lagi! Jadwal ferry ternyata ga setiap hari ada dan berangkat hanya sekali, jam 7 pagi”
“Buset lha kita dari Jakarta aja baru jam 7 pagi.”
“Okay rubah itinerary lagi.”

3 hari sebelum hari H ☼
“Perubahan lagi! Jadwal ferry yang kita beli diundur berangkatnya, karena kurang bbm konon!”
“WTF!”
“Ini gimana sehhhhh, kok serba ga pasti.”

1 hari sebelum hari H ☼
“Kayaknya kita baru bisa berangkat ke Tarempa dari Tanjungpinang hari Senin deh.”
“Waduh, berarti buang berapa hari yah.”
“Yah udah , tetep semangat! Kita muter-muter Batam ama Bintan aja selama 3 hari itu.”

Rencana perjalanan ke Anambas ini, menurut kami adalah salah satu perjalanan yang paling menguras hati, haha. Bagaimana tidak stress dengan semua ketidakpastian jadwal dan minim-nya info yang bisa kami peroleh baik dari teman-teman traveler lainnya maupun dari internet.

Akankah semua energi itu akan terbayar?

***
Hari 1 ☼
Menapakkan kaki sebelum matahari mendekati titik derajat 90, kami dijemput oleh mobil carteran yang kami sewa bersama sang driver untuk sekedar berkeliling Kota/Pulau Batam.
Hang Nadim Int. Airport - Batam
Rumah Makan Mie Tarempa adalah pemberhentian pertama kami. Lho kok! Iya, pemanasan dulu sebelum ke Tarempa-nya beneran. Rumah Makan ini cukup luas dan ramai sekali, meski waktu itu belum juga mendekati waktu makan siang dan telah lama lewat dari waktu makan pagi. Lucky! Kami mendapatkan 2 meja yang cukup untuk menampung kami semua. Rumah Makan ini didirikan oleh orang asli Tarempa – Anambas dan tentunya menyajikan sejumlah menu khas dan andalan dari Tarempa. Bagi saya pribadi, meski tempatnya standar tetapi memiliki menu yang banyak dan ENAK! serta murah Haha.

Kelana kami pun berlanjut ke salah satu icon utama Batam, yaitu: Jembatan Barelang. Jembatan kebanggaan warga Batam yang menghubungkan 3 pulau besar ini (Batam, Rempang dan Galang) memang indah dengan latar belakang laut dan pucuk-pucuk bukit pulau-pulau lainnya. Terdapat 6 jembatan di sepanjang Barelang dan kami pun menempuh hingga hampir ke titik jembatan 6, singgah di salah satu kawasan menarik lain, yaitu Kampung Vietnam. Kampung Vietnam merupakan bagian dari Pulau Galang, dimana pengungsi dari Vietnam semasa Vietnam Civil War berlabuh (baca: nyasar/terdampar) dan akhirnya mendirikan pemukiman di sana. Konon tempat pengungsian ini menjadi layaknya semacam desa kecil yang lengkap dengan sekolah, klinik dan tempat-tempat ibadah seperti Klenteng Avalokitesvara dan Goa Maria. Konon? Yupe karena kami hanya bisa masuk hingga Klenteng Avalokitesvara dan tidak bisa menengok ke jantung Kampung Vietnam karena perbaikan jalan besar-besaran. Kampung Vietnam ini didirikan dan dikembangkan secara legal dengan bantuan Indonesia dan PBB, meski pada prakteknya, Kampung Vietnam dulunya diisolasi dari penduduk asli setempat guna mencegah tersebarnya penyakit Vietnam Rose yang dibawah oleh imigran Vietnam.
Barelang Bridge - Batam
 
Klenteng Avalokitesvara Bodhisatva
Senja menjelang dan kami harus menyeberang ke Bintan dari Terminal Punggur – Batam. Once kami keluar dari mobil, teriakan mbak-mbak penjual tiket ferry pun meledak! Ada beberapa kios penjual tiket dan semuanya menjual tiket yang sama, walhasil persaingan sangat tajam dan kami memilih mbak-mbak dengan suara paling menggelegar hehe.
sunset at Sri Bintan Pura Seaport
Perjalanan dengan Ferry Baruna kami tempuh kurang lebih selama satu jam dan kami pun berlabuh di Pelabuhan Sri Bintan Pura. Alih-alih istirahat di hotel random yang menjadi pilihan kami untuk menginap (karena lokasi yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari pelabuhan dan murah), kami malah ke kantor ferry tujuan Tarempa untuk memastikan hari dan tanggal keberangkatan kami. Lucky! Kantor ferry ada di sebelah hotel persis dan LUCKY! kami bisa berangkat esok harinya (Minggu, alih-alih Senin yang konon malah diundur ke Selasa).

At last, urursan ferry ke Tarempa beres dan hati ini menjadi ringan untuk menyusuri tujuan kuliner malam kami di Tanjungpinang, yaitu: Akau Potong Lembu.

Akau Potong Lembu adalah Night Street Food Market yang bisa kami tempuh dengan berjalan kaki dari hotel, meski banyak penduduk lokal yang bilang terlalu jauh untuk jalan. Haha tenang Jakartans, jauh bagi mereka adalah jalan santai around 15 menit hehe. Akau menempati bidang lapang diantara himpitan ruko jadul, dimana para penjual makanan dan minuman mengelilingi tempat para pengunjung menikmati hidangan. Semua ragam kuliner (khususnya) Bintan, ada di sini. Kami mencoba Oluak (tiram telur orak-arik), Sate Mie (mie, cakwe, potongan ikan  dengan bumbu kacang), Siput Gong-gong, cumi bakar, Bakut Teh dan aneka gorengan. Nikmat, apalagi ditemani es teh tarik dan ditutup dengan buah-buahan potong segar. Ke Tanjungpinang HARUS ke Akau Potong Lembu.
 
 
 

Dari pengamatan kami, teman-teman muslim harus extra hati-hati memilih menu di sini dan memang menu babi di sini sangat murah jika dibandingkan di Jakarta.

***
Terombang-ambing dengan tenang menyusuri Laut China Selatan ke Tarempa, bersama dengan puluhan penumpang lain selama 9 jam. Duduk manis, dengerin music dari ipod, ngemil, tidur, bangun, ke toilet, ngerokok di dek belakang, duduk manis, ngemil, nonton film jadul hitam putih Malaysia yang diputar, tidur, bangun, dan seterusnya, dan seterusnya.
Akhirnya berlabuh juga Ferry Seven Star (alternative lain: VOC Batavia) di Pelabuhan Tarempa dan setelah cape hati, deg-degan, emosi, putus harapan, akhirnya kami menorehkan jejak kami di Tarempa – Anambas.

Hari 2 ☼
Hari pertama di Anambas kami habiskan hanya dengan duduk-duduk sambil ngemil dan ngopi di warung-warung kopi yang banyak berterbaran di seantero kota yang sangat kecil ini. Oh tak lupa kami bertemu dan berkoordinasi dengan 2 vendor speedboat yang akan menghantarkan kami berkelana di kepulauan Anambas ini selama 4 hari.
Tarempa Seaport
siang hari di Kota Tarempa
welcome to Tarempa - Batu Tiga Tumpuk
penampakan dalam hotel
penampakan dalam hotel

view dari kamar hotel
***
Speedboat membawa kami menderu membelah riak laut yang tenang. Memulai kelana kami dari pagi hari pertama di Anambas.
“Bawa snorkeling gear ga hari ini?”
“Selama di Anambas dan do island hoping, yes selalu bawa snorkeling gear dan sunblock haha.”

Hari 3 ☼
Selat Rangsang (landscape)
Kami mendapatkan pemandangan yang indah dari atas bukit dan sempat melihat beberapa penyu bermain di permukaan laut dari kejauhan. Selat Rangsang terapit dari beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni kecuali di pulau utama yang terdapat satu rumah penjaga.
Landscape dari pantainya bagus tetapi banyak sampah non organic.
 

Pulau Temawan (snorkeling)
Snorkeling di Temawan, dari sisi koralnya kurang bagus, banyak yang rusak dan mati, tetapi ragam dan jumlah ikannya cukup banyak. Kami kudu extra hati-hati karena begitu banyak Bulu Babi dengan ukuran yang besar. Pulau Temawan adalah pulau kecil berbatu yang tidak berpenghuni.
Landscape dari pantainya bagus tetapi banyak sampah non organic.
 

Temburun Waterfall (landscape)
Air terjun yang menjadi salah satu icon Anambas ini, sangat indah. Mengucur dari puncak bukit hingga langsung bergabung dengan laut. Dari sisi yang tepat di laut, kami bisa melihat keseluruhan dari air terjun Temburun ini (head to toe). Air terjun Temburun sebenarnya terletak di Pulau Tarempa juga, tetapi di sisi lain dari Kota Tarempa, yang jalur daratnya belum selesai dan layak digunakan. Melabuhkan speedboat kami di desa setempat, kami harus berjalan lagi dan menanjak sedikit untuk mencapai titik tengah dari air terjun ini.
Musim kemarau membuat debit air Temburun sedikit dan unsur tanah pada airnya menjadi lebih kuat sehingga lumut merah mendominasi kolam-kolam dari air terjun yang (katanya) memiliki 7 tingkat ini. Segar juga lho mandi di sini dan mencoba “pijat” grojokan air terjun.
Kondisinya sangat terbelengkalai, dengan tangga batu yang rusak dan tak terurus, banyak sampah non organic dan kerangka gazebo-gazebo yang hampir roboh.
Selain air terjun yang indah, ketika kami berbalik tubuh ke laut, maka kami menemukan pemandangan yang luar biasa indahnya. Personally bagi saya, itu adalah pemandangan landscape paling indah dari tempat-tempat yang saya kunjungi di Anambas.
 
 
 

***
Pagi hari pukul 6 kami sudah siap berada di dermaga dan siap bertolak menuju salah satu icon lain dari Anambas, yaitu Pulau Bawah dan 2 pulau lainnya.
“Bawa snorkeling gear ga hari ini?”
“Selama di Anambas dan do island hoping, yes selalu bawa snorkeling gear !!!!!”

Hari 4 ☼
Pulau Bawah (snorkeling)
Dengan speedboat, kami membutuhkan waktu 2 jam untuk mencapai salah satu pulau dari gugusan pulau-pulau kecil paling selatan dari Anambas ini. Landscape pantai yang indah (walau sedikit rusak karena konstruksi pembangunan bungalow-bungalow baru dari pengembang resort), tetapi banyak sampah non organic.
Taman laut di sini sangat indah dengan kontur yang cenderung datar dan dangkal. Biota laut yang banyak dan beragam. Tentunya arus di sini sangat tenang karena terlindungi gugusan pulau-pulau kecil yang tersambung menghimpit “laguna” ini. Sayangnya speedboat kami tidak dilengkapi tangga kayu atau semacamnya,sehingga tidak semua spot snorkeling yang kami inginkan bisa kami explore, karena terlalu jauh dari pantai.
 

Pulau Lingai (snorkeling)
Pulau kecil lainnya di antara Pulau Bawah dan Pulau Nawan yang memiliki garis pantai rata-rata (cenderung pendek) dengan sampah non organic di sana sini tetapi memiliki taman laut yang indah dengan ragam biota lautnya.

Pulau Nawan (snorkeling)
Pulau kecil, yang tak terlalu jauh dari Pulau Tarempa (kurang dari 1 jam dengan speedboat), dengan landscape pantai yang bagus meski kurang bersih dari sampah non organic. Mempunyai taman laut yang luar biasa indah dengan biota laut yang sangat banyak dan beragam. Setelah perdebatan yang seru maka diputuskan secara unanimous bahwa Pulau Nawan-lah yang mempunyai taman laut terindah di Anambas dan menjadi the best snorkeling’s spot kami di Anambas.

Hari 5 ☼
Pulau Penjalin (snorkeling)
Tak terlalu jauh dari Pulau Tarempa, Pulau Penjalin memiliki garis pantai yang cukup panjang (sampah non organic tetap berceceran) yang digapurai oleh bebatuan granit besar bertumpuk di masing-masing sisinya. Taman laut yang indah dengan kedalaman yang cukup dalam dibandingkan dengan Pulau Bawah dan Pulau Nawan. Taman lautnya tak seindah Pulau Nawan tetapi tetap indah dan memiliki ragam biota laut tak kalah banyak, dengan ikan-ikan yang tampak lebih besar di sini.
 
 

Pulau Nongkat (landscape)
Pulau berbatu itu memiliki keunggulan di landscape-nya dengan taman laut yang tak membuat kami tertarik untuk ber-snorkeling. Air yang tenang berdebur halus ke garis pantai yang pendek berhamburan batu-batu granit besar dan kecil dengan laut yang dangkal membentang cukup luas.berpagarkan batu-batu mencuat dari tengah laut membentuk pulau-pulau batu kecil.
 

Air Sena (budidaya perikanan)
Tempat budidaya dan penangkaran Ikan Kerapu ini terapung di laut dalam yang tak terlalu jauh sebenarnya dari pulau terdekat. Sangat luas dengan kayu-kayu terapung mengikat jaring-jaring besar membentuk kolam-kolam berisikan ratusan ikan kerapu dengan ukuran yang luar biasa besar bagi kami. Ikan kerapu yang kami lihat biasa hanya sebesar 8 ons (atau lebih besar, yang biasa berenang di aquarium restoran seafood atau Chinese food) dan ikan-ikan yang bakalan diimpor ini berukuran rata-rata sepaha atas saya! Tidak ada landscape, tidak ada taman laut dan tetap menarik untuk dikunjungi haha.  

Hari 6 ☼
Pulau Semut (snorkeling)
Pulau dengan garis pantai yang pendek dan sempit ini, selain sampah non organic juga memiliki taman laut yang cukup indah, meski lebih banyak kerusakan yang terjadi di sini dibandingkan di Pulau Bawah, Pulau Nawan dan Pulau Penjalin.
 

Pulau Rango (landscape)
Pulau kecil dengan garis pantai pendek melengkung mengikuti kontur ujung pulau dan memiliki taman laut yang kurang bagus. Alih-alih meng-explore taman laut di sini, kami malah menghabiskan waktu dengan bersantai dan dalam belaian angin laut yang bertiup sepoi-sepoi, sebagian insan berjalan menjelajahi dunia lelap.
 
Pulau Durai (konservasi penyu)
Pulau ini cukup besar dan merupakan tempat bertelurnya penyu-penyu besar yang lucu. Setiap malamnya mereka bergantian menyeret cangkang besar mereka ke tepian, menggali serta menelurkan ratusan bola ping-pong, menimbunnya lagi dan mempercayakan benih-benih kecil itu berkembang dalam asuhan sang ibu bumi. Well jaman sekarang tentunya dalam hal ini, sang ibu bumi dibantu oleh asisten-asistennya, yaitu: bapak-bapak penjaga pulau dan pengawas area konservasi penyu ini.
Untuk melihat penyu-penyu ini bertelur, kami harus menunggu hingga pukul 8 malam dan tentunya kami habiskan waktu hingga larut sebelum menderu lagi kembali kePulau Tarempa.
Kisah lucu adalah entah karena apa, speedboat kecil kami tak bisa/riskan untuk berlabuh ke pantai seperti pada saat kami tiba siang harinya. Hal ini sejenak membuat kami kebingungan karena speedboat terjangkar cukup ke tengah dan sempat terpikir untuk berenang dengan keseraman menghantui jika benar harus melakukannya, karena arus yang cukup kuat dan gelap total. Bantuan datang dari sang penjaga pulau yang dengan ikhlas menghantarkan kami ke speedboat satu-persatu dengan menggunakan kano berlubangnya. Berlubang? Iya haha, jadi ketika sang penjaga mengayuh dayung, kami mengunakan ember kecil, menyiduk air yang muncrat ke dalam kano. Terima kasih tak akan pernah cukup kami hanturkan ke sang penjaga dan maaf yah pak kalau saya yang gede banget ini adalah “penumpang” yang paling challenging bagi bapak untuk diseberangkan.
sunset di Pulau Durai
tukik yang siap dilepas
Hari 7 ☼
Hari ke tujuh liburan kali ini, kami habiskan dengan bangun tidur yang sedikit lebih siang dan berleha-leha di La Luna Café yang sudah menjadi tempat tongkrongan wajib. Dari hasil penjelajahan kami, tempat ini memang menyediakan ragam menu makanan dan minuman yang paling beragam dengan rasa yang paling enak juga. La Luna Café juga mempunyai lokasi yang sangat strategis (sebelah hotel persis) dengan tempat yang asik untuk hangout dan mempunyai pemandangan laut dan Kota Tarempa dari sisi timur yang indah, khususnya pada malam hari.
Kota Tarempa pada dasarnya berkembang di sekitar garis pesisir dengan kontur pulau membentuk huruf U yang cukup tajam. Sisi ujung barat yang padat dan sisi timur yang kosong, menyisakan pemandangan yang lebih indah dibandingkan sisi barat yang lebih banyak dipenuhi rumah penduduk dan kapal/pompong berlabuh..
La Luna Cafe
Sate Tarempa, menu khas di La Luna Cafe
Mendekati tengah hari kami berjalan menuju ke sisi barat dari Kota Tarempa untuk berkunjung ke klenteng dan vihara setempat yang terletak lebih tinggi dari rata-rata rumah penduduk dengan warna dinding merah menyala yang cukup mencolok di tengah kota kecil itu. Klenteng merah ini dapat terlihat dari laut jika boat melaju mendekati pelabuhan.
tengah hari di Kota Tarempa
Klenteng ini memiliki Dewi utama yaitu Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisatva) dengan beberapa dewa-dewi lainnya bersanding di altar. Klentengnya sangat kecil tetapi bersih dan memiliki pemandangan yang sangat indah. Siang ini, klenteng dan vihara di sebelahnya tampak lengang sekali, sehingga kedatangan kami tidak mengganggu proses ibadah yang mungkin dilakukan oleh penduduk setempat.
Vihara di sebelahnya, tentu didedikasikan kepada Buddha Gotama, tetapi menurut saya menyebut dhammasala ini sebagai vihara sebetulnya agak berlebihan, karena ruangan dhammasala yang disebut sebagai vihara tersendiri ini sebenarnya tak lain daripada sayap bangunan klenteng ini.
 
salah satu arah view dari klenteng ke Kota Tarempa
***
Terombang-ambing dengan tenang menyusuri Laut China Selatan kembali ke Bintan, bersama dengan puluhan penumpang lain selama 9 jam. Duduk manis, dengerin music dari ipod, ngemil, tidur, bangun, ke toilet, duduk manis, ngemil, nonton film Thailand yang diputar sepotong-potong, tidur, bangun, dan seterusnya, dan seterusnya.

Hari 8 ☼
Sore menjelang dan di pelabuhan ini lagi kami akhirnya berlabuh kembali. Berjalan beriringan dengan backpack masing-masing, menyusuri kembali jalanan sempit mengarah keluar dari Pelabuhan Sri Bintan Pura di Kota Tanjungpinang.

Petang terakhir dalam masa liburan kali ini kami habiskan (kembali) di Akau Potong Lembu, dengan segala ragam kulinernya yang dasyat (meski sempat hujan) dan setelahnya berburu oleh-oleh khas Tanjungpinang di sebuah toko pusat oleh-oleh (kayaknya cuma ada 1 toko) yang terletak tepat di depan hotel, tempat kami menginap.

Hari 9 ☼
Matahari sang motor kehidupan belum juga lama beranjak dari sisi bumi yang lain, kami telah duduk manis dalam tabung pesawat yang melaju membelah awan dan langit-langit bumi, menghantar kami kembali ke Jakarta.
Raja Haji Fisabillilah Int. Airport - Tanjungpinang
 

Liburan yang cukup lama bagi kami dan cukup puas kami mereguk segala keindahan ibu bumi Indonesia yang ada di Anambas. Secuil hati ini tertinggal di sana, berharap ada masa yang akan datang tuk ijinkan kami kembali menikmati hangatnya air laut yang bening dan segala keindahan biota lautnya.


































Semoga surga kecil Anambas akan bertahan menghadapi segala sepak terjang modernisasi yang meski perlahan tetapi menyusup ke pedalaman Anambas.

Terima kasih kami ucapkan atas segala upaya teman-teman baru yang membantu kami dalam perjalanan ini. Special thanks kami hanturkan untuk Om dan Tante Liong atas segala keramahan, jamuan dan bantuan selama kami ada di Anambas.  
missing Citra and Dian
Info (sampai dengan kami berkunjung):
Belum ada persewaan snorkeling gear di Anambas.
Dalam Speedboat biasanya jumlah life vest lebih sedikit dari jumlah kapasitas penumpang.
Tidak ada tangga kayu dan/atau sejenisnya untuk naik ke speedboat jika kami ingin snorkeling dari lokasi tengah laut, jadi harus berlabuh dulu ke pantai terdekat.
Penggunaan Pompong sebagai alternative pengganti speedboat banyak tersedia, tetapi membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk mencapai tujuan.
Kondisi taman laut di Anambas dalam kondisi yang bagus tetapi perlahan rusak dan menyisakan terumbu karang yang hancur dan/atau mati karena bom maupun potas serta sampah non organic yang tak mengotori pantai tetapi beberapanya sempat terseret dan mencemari laut dalamnya.

4 comments:

  1. Wow, thank you for your awesome account. Loving your images.

    I think Anambas truly has the potential to be the next Maldives. I’ve actually visited both Tarempa and Jemaja several times, as well as Maldives (Atol Bandos) and I can conclude that the coral reefs in and around Anambas (Bawah, Penjalin, Temawan etc.) are still untouched, as compared to Maldives, which , in my experience, was showing a bit of wear and tear.

    Anambas is still so pristine and idyllic, it's almost like stepping back hundreds of years into history and arriving at the edges of the earth. I found it truly paradise, with the added benefit that it's not as commercialised as Maldives is.

    Once the Anambas’ infrastructure has improved, which I noticed is currently being worked on at break-neck speed, and also the flights from Batam and Bintan and Jakarta, and perhaps Singapore (one can hope) are consistent, the Anambas Archipelago as a whole has the potential to be a marine tourism magnet on a world-wide scale.

    Fingers crossed that it happens soon :)

    Jean

    ReplyDelete
  2. Wow, thank you for your awesome account. Loving your images.

    I think Anambas truly has the potential to be the next Maldives. I’ve actually visited both Tarempa and Jemaja several times, as well as Maldives (Atol Bandos) and I can conclude that the coral reefs in and around Anambas (Bawah, Penjalin, Temawan etc.) are still untouched, as compared to Maldives, which , in my experience, was showing a bit of wear and tear.

    Anambas is still so pristine and idyllic, it's almost like stepping back hundreds of years into history and arriving at the edges of the earth. I found it truly paradise, with the added benefit that it's not as commercialised as Maldives is.

    Once the Anambas’ infrastructure has improved, which I noticed is currently being worked on at break-neck speed, and also the flights from Batam and Bintan and Jakarta, and perhaps Singapore (one can hope) are consistent, the Anambas Archipelago as a whole has the potential to be a marine tourism magnet on a world-wide scale.

    Fingers crossed that it happens soon :)

    Jean

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nice sharing Jean, thanks for sharing it with me

      Delete
  3. Whoopsie, sorry for the double post. The page hung on me.

    ReplyDelete