“Hat hat hat
hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala, diikuti derasan dendang
para wanita-wanita Takpala yang bergerak menari gemulai, menuntun kami menaiki
undak batu dan berjalan melalui setapak jalanan batu menuju ke pusat desa
mereka.
“Bagus yah tapi
arusnya kuat banget di sini, cape banget nih baliknya” mengomentari taman laut dan
arus di Hari Lolong.
“Iya, kalau ke
sananya mah enak banget karena kebawa arus”
“Iya haha,
baliknya kudu berhenti beberapa kali buat istirahat”
“Gimana? Puas
sudah?”
“Puas dan no
regret buat balik Jakarta siang ini” seusai menikmati taman laut Pantai
Sebanjar, untuk kedua kalinya.
“Haha… pastinya”
“Halo” seruan
bersahabat anak-anak Ternate.
“Halo” “Halo” “
Halo” yang tak ada habisnya terserukan. beriring senyum lebar dan gelak tawa.
Cuplikan-cuplikan
kisah itu masih teriang kuat dalam kelebatan memori. Seolah takkan pernah habis
untuk dibicarakan lagi, diceritakan lagi dan tentunya tak akan hilang dengan
berlalunya waktu. Memori tentang penjelajahan saya di Pulau Alor yang terletak
di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesiaku.
***
“Lihat tuh,
rambutnya lucu yah! warna ungu” kata saya ke Adi, sementara kami duduk menunggu
waktu boarding di Starbucks Soekarno Hatta Terminal 3.
“Bukanlah, itu
mah dia pakai topi” timpal Adi.
“Bukan Di! Itu
rambut haha” gelak saya.
“Hah!
*memperhatikan lebih seksama* eh bener lho. Iya rambutnya ungu” kata Adi lagi.
Si ungu yang
ternyata bernama Upi, salah satu dari 12 teman seperjalanan di Alor yang sama
-sama bergabung dengan jelajah ala Tukang Jalan.
***
Hari 1,
Sang mentari
mulai menebar sinar dan hangatnya pagi ke belahan bumi Indonesia Timur, saat
roda pesawat menyentuh landasan Bandara Udara El Tari di Kota Kupang.
Sekitar 3 jam
kemudian kami melanjutkan penerbangan ke Pulau Alor sebagai tujuan utama.
Menjelang tengah hari, saya pun menjejakkan langkah di Bandara Udara Mali - Pulau Alor. Ini adalah pertama
kalinya saya terbang dengan pesawat baling-baling dan sebidang pulau kecil ini
merupakan titik ter-Timur Indonesia yang pernah saya injak, sampai saat ini.
Kurang dari satu
jam kemudian, kami tiba di home stay Om Chris yang baik, tempat kami akan
menghabiskan beberapa malam di Alor. Sejenak kami rehat dan makan siang sebelum
kemudian beranjak ke Desa Aimoli, memburu keindahan sunset Alor di ujung kepala
burung dari pulau kecil ini. Dari Dermaga Kokar – Desa Aimoli, kami melihat sang
mentari mulai tenggelam, menyisakan semburat kilau jingganya, menghilang
tenggelam di batas horizon Laut Flores.
kamar di home stay Om Chris |
kamar mandi di home stay Om Chris |
living and dinning room di home stay Om Chris |
Sunset di Dermaga Kokar |
***
Hari 2,
Mentari pagi
pertama di Alor dan saya berdiri bersama teman-teman seperjalanan di atas
Dermaga batu Alor Kecil., menunggu waktu untuk menaiki kapal motor kayu besar
yang akan membawa kami berkelana di beberapa tempat untuk menikmati indahnya
landscape Alor dan taman lautnya.
view dari Dermaga Alor Kecil |
view dari Dermaga Alor Kecil |
view dari Dermaga Alor Kecil |
view dari Dermaga Alor Kecil |
“Shit! Camera
underwater gue ketinggalan di kamar” seru saya dan membuat hari ini sedikit
bercela bagi saya.
Pantai Sebanjar
Pantai dengan
garis pantai yang cukup panjang dan dengan perairan dangkal yang cukup lebar,
sebelum menjorok curam menjadi lereng di laut dalam. So far inilah permata Alor
versi saya dan juga spot favorite saya di Alor untuk snorkeling. Taman lautnya
yang sangat indah dengan permadani soft coral-nya yang tumbuh rapat satu sama
lain bergerak tenang melambai, berdansa dengan ikan-ikan yang berada
disekelilingnya.
Pulau Pura
Spot snorkeling-nya
cenderung tak memiliki pantai dan mempunyai perairan dangkal yang cukup luas,
sehingga buat yang phobia laut dalam, snorkeling di sini tentunya menjadi lebih
nyaman. Pada saat-saat tertentu arus dingin kadang berhembus kuat sehingga satu
atau dua kali saya sempat menggigil di dalam air. Lantai laut masih dipenuhi
dengan soft coral, meski tak serapat yang ada di Sebanjar.
Pantai Pantar
Kumbang
Memiliki pasir
putih yang lembut dengan garis pantai yang panjang. Airnya sejuk hangat dan
jernih sekali, pas banget buat foto-foto and that’s what we did.
Pulau Kepa
Sebuah pulau
kecil yang terletak tepat disebelah Pulau Alor. Menyeberang ke Kepa dari
Dermaga Alor Kecil hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 10 menit dengan
kapal kayu kecil bermotor. Di pulau ini memang, sampai saat saya datang, belum
dilengkapi dengan aliran listrik dan air bersih, sehingga untuk penerangan di
malam hari harus menggunakan genset atau lampu solar. Air bersih di Pulau Kepa
juga masih harus dibawa langsung dari Pulau Alor.
Di pulau kecil
yang memiliki makam keramat di sisi luarnya ini, juga terdapat La Petite
Homestay yang dimiliki oleh orang Perancis. La Petite memiliki beberapa cottage
yang bisa disewa dengan harga yang sangat-sangat terjangkau per malamnya.
Sayangnya La Petite sering penuh dan karena mereka ada provider untuk diving,
maka dalam kondisi ramai, para diver-lah yang diutamakan bisa menginap di La
Petite.
Sempat saya
ber-snorkeling sebentar dengan Adi, Upi dan Rudi sebentar. Taman lautnya tak
seindah spot yang lain, tetapi memang konon spot snorkeling Pulau Kepa yang
indah ada di sisi lain, yang sayangnya dilalui arus yang sangat kuat.
***
Hari 3,
Kembali duduk di
spot favorite saya di kapal yang melaju membelah perairan Alor, menuju
pemberhentian pertama kami di hari kedua ini. Menikmati hembusan sejuk angin
laut Alor menerpa muka saya sembari menyimak celoteh ceria dari teman-teman
seperjalanan. Kali ini tak ada yang mengganjal di hati, karena camera
underwater saya sudah aman terbawa, untuk sedikit mengabadikan keindahan
pertiwi Alor dan menjadi pelipur lara saat nantinya merindu akan Alor.
Bia Tabang
Masih menyajikan
keindahan taman laut khas Alor dengan soft coral-nya yang tersebar cukup rapat.
Alor memang merupakan kerajaan soft coral tetapi dengan sedikit clownfish. It’s
like abandoned real estate. Berbanding terbalik dengan keragaman soft
coral-nya, ragam ikan di Alor tidak terlalu banyak. By the way jika suka jenis ikan Moorish idol,
maka si ikan akan banyak ditemukan di Alor.
taman laut Bia Tabang |
taman laut Bia Tabang |
taman laut Bia Tabang |
taman laut Bia Tabang |
taman laut Bia Tabang |
Uma Pura – Desa
di Pulau Ternate
Sebuah dermaga
batu di atas air jernih biru semakin jelas dan membesar di mata saya, saat
kapal yang kami tumpangi perlahan mendekat dan pada akhirnya berlabuh.
“Halo” “Halo”
“Halo” seruan-seruan dari anak-anak Uma Pura bersahutan, menyambut kami dengan
senyum lebar dan menunjukkan giginya yang putih bersinar pada kulit gelap khas
Timur Indonesia.
bocah Ternate |
Rumah-rumah di
area berundak dengan pemandangan indahnya lautan Alor. Sedikit menyesatkan
untuk saya tetapi harus saya akui lingkungannya terjaga sangat bersih dan di
setiap jendela dan pintu yang terbuka selalu ada senyum ramah, seolah berucap
selamat datang. I was so welcomed here.
Seorang wanita
muda duduk di samping kain-kain tenun dagangannya.
“Berapa ini?”
tawar saya pada sebuah selendang merah dengan motif utama penyu.
“Lima puluh
ribu” jawabnya sambil tersenyum.
“Okay saya mau
ini” timpal saya dengan membalas senyum tulus tersebut.
Entah apakah
hanya prasangka saja tetapi saya seperti menangkap sedikit kerling senang saat
alih-alih membungkus selendang itu, saya langsung memakainya.
Pantai Jawa Toda
Sebuah pantai
pasir putih yang indah, seperti Pantai Pantar Kumbang yang sangat menggoda
untuk dijadikan latar belakang foto.
“Snorkeling-an
aja yuk” celetuk seorang teman.
“Yuk” “Iya”
jawab kami lainnya.
Dan urung sang
kapten menurunkan jangkar di sini dan kembali berlayar menuju ke spot
snorkeling lain di Alor.
Pantai Hari
Lolong – Pulau Pura
Pulau Pura yang
sama tetapi di spot yang berbeda. Spot yang cenderung tak memiliki pantai
selain gugusan karang di tepi pulaunya dengan perairan dangkal yang cukup
sempit. Hari lolong menurut saya adalah spot snorkeling lain di Alor yang indah
dengan kelebihan lain dari spot lainnya yaitu dengan banyaknya schooling big
fish (ketemu schooling anakan barracuda juga di sini).
Kelemahan
snorkeling di sini adalah arusnya yang sangat kuat. Snorkeling dengan life vest
dan fin sangat disarankan di sini, kecuali bagi perenang-perenang yang sangat
kuat.
“Bagus nih di
sini, tapi buset arusnya kuat banget, cape nih ngayuh fin balik ke sini” seru
saya sesaat setelah kembali ke kapal.
“Iya, arusnya
kuat” timpal Prue.
“Gue harus
berhenti beberapa kali buat istirahat, itu pun masih keseret-seret mulu”
tanggap saya disela nafas yang kembali normal.
“Sama haha”
jawab Prue.
“Eh itu pada
ngapain yah kok pada minggir ke karang-karang sono”
“Pasti pada
kecape-an itu haha”
Dan kami
berempat yang telah kembali ke kapal pun melanjutkan pembicaraan kami.
“Tuh mereka pada
jalan haha trus kayaknya baru snorkeling lagi dari seberang buat balik ke
kapal”
“Iya haha,
arusnya kuat memang”
Dan begitu
Didith naik ke kapal, si Dwi langsung kena semprot. Rupanya mereka bukan
sengaja menepi tetapi terseret arus dan terdampar di sana.
Lambaian tangan
tak kami lihat dari kapal karena kami asik ngobrol dan foto ke arah lain.
Teriakan dan suara peluit tak kami dengar karena memang angin berhembus ke arah
mereka, bukan ke arah kami.
Untungnya semua
selamat sampai ke kapal lagi. Semua percik emosi yang mungkin timbul kembali
menjadi ledakan tawa dan canda. Thanks God kami bisa tertawa bersama masih
dengan formasi yang lengkap. Niscaya insiden itu akan menjadi cerita lucu kami
dan peringatan waspada bagi yang mendengar.
Pulau Kepa
Ke pulau kecil
ini kami kembali, dan kali ini untuk menghabiskan 1 malam menginap di rumah
penduduk Kepa dan menikmati petang yang tenang.
“Kemarin tuh ada
banyak banget lumba-lumba lewat selat ini” kata Agus.
“Seriusan Gus”
seru yang lain.
“Iya. Nih
fotonya” jawab Agus sambil menunjukkan foto lumba-lumba yang sedang bermain di
selat tepat di depan rumah yang kami inapi.
Sayang sore itu,
kawanan lumba-lumba yang konon mencapai ratusan, tak melewati selat di depan
kami.
Malam makin
larut dan angin laut berhembus cukup kencang. Perlahan gerombolan kami satu
persatu mulai meninggalkan lingkaran kecil itu dan beristirahat menutup jendela
hatinya dan berkelana kembali ke dunia utopia, left no sound but peaceful
breath.
Tersisa kami
bertiga, saya, Dwi dan Papa pemilik rumah.
“Papa, agak
susah yah jika untuk kebutuhan air bersih harus membawa bergalon-galon air dari
Alor?” tanya Dwi.
“Iya, tetapi
semoga janji Bupati yang baru terpilih bisa dipenuhi. Bupati yang baru berjanji
akan mengadakan jaringan pipa air bersih ke Kepa dan juga aliran listrik” jawab
papa (papa adalah panggilan bagi pria
berusia yang jauh lebih tua, sedangkan mama untuk wanita).
Saya tak ikut
mengobrol. Saya duduk sedikit terlentang untuk menikmati jutaan bintang yang
terhambur berkilauan pada kanvas hitam di atas sana, mencoba menghitung bintang
jatuh yang sedari tadi sering terlihat.
***
Hari 4,
Terbangun dengan
pemandangan selat berwarna biru muda antara Pulau Alor dan Pula Kepa, membuat
hati ini tenang dan damai.
Sayang kami tak
bisa berlama-lama dan selepas sarapan pagi, kami mengucap terima kasih dan
selamat jalan kepada papa dan mama pemilik rumah. Menyeberang kembali ke
Dermaga Alor Kecil dan melanjutkan penjelajahan kami di hari ke 3 di darat.
Desa Alor Besar
Pemberhentian
pertama adalah Uma Fanja untuk melihat Al Quran yang konon telah berusia 800
tahun dan tertulis pada kertas kayu, yang secara turun temurun diwarisankan
kepada generasi penerus dari leluhur sang empunya Al Quran.
Pasar Kadelang
Pasar
tradisional yang ada di pusat Kota Alor ini tak beda dengan pasar-pasar
tradisional khas Indonesia lainnya. Kami berhenti sejenak untuk membeli sirih,
pinang dan kapur sebagai bingkisan di tujuan kami berikutnya.
Seorang teman
menyempatkan diri untuk blusukan ke dalam pasar dan membeli biji kenari Alor
yang ternyata cukup terkenal. Saya? Menunggu di depan pasar, bukan karena tak
suka tetapi lebih karena jika masuk, maka saya akan membutuhkan waktu lama
untuk menyusurinya, padahal saya tak ingin terlambat ke tujuan berikutnya.
Desa Takpala
Sebuah desa
tradisional aktif dari Suku Abui di Pulau Alor yang terletak di dataran
tinggi/bukit tak jauh dari kota. Saat kami melangkah mendekati dasar tangga
undak batu, beberapa wanita dan pria dalam balutan pakaian adat telah siap
menyambut kami.
“Hat hat hat
hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala dalam
lompatan-lompatan mereka, menjejas tanah berbatu dibawahnya. Seruan-seruan itu
bergerak menjauh mengikuti sang empunya suara mendekat ke pusat desa dimana
ritual penyambutan dan tarian-tarian akan dipertunjukkan kepada kami.
Deras dendang
wanita-wanita Takpala tak ketinggalan dalam membuat ritual penyambutan ini
menjadi semakin khusyuk dan indah syahdu berpadu manis dengan suara gesekan
dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh tinggi memagari jalanan batu Takpala.
2 tarian
dipertunjukkan kepada kami, yaitu Lego-lego dan Cakalele. Kedua tarian yang
kurang lebih hampir sama baik dari segi nyanyian maupun gerak, tetapi tetap
indah dan menarik untuk dinikmati secara berurutan. Pada saat Tarian Cakalele,
beberapa teman diajak dan bergabung dalam tarian monoton indah yang
menghanyutan itu. Sangat menarik!
Tarian diawali
dengan seruan-seruan dan dendang nyanyian dari para wanita Takpala. Nyanyian
terus didendangkan dalam nada monoton indah menghipnotis, diiringi gemerincing
gelang kaki, mengikuti gerakan perlahan dari langkah kaki para penari. Tarian
perlahan membentuk sebuah pusaran yang berpusat pada jejang batu yang berbentuk
bulat dengan 3 Moko di atasnya. Sungguh mempesona, sesuatu yang harus dilihat
secara langsung, batin saya.
tarian berawal dari lingkaran besar ini |
sang prajurit |
deras dendang dan gemericing gelang kaki sang penari |
bunda dan gadisnya |
calon kembang Desa Takpala |
berpose dengan sang prajurit dan sang penari |
Meninggalkan
Desa Takpala, kami berkelana menyusuri pantai-pantai indah berpasir putih khas
Alor, dengan hamparan laut biru dan turquoise khas Laut Flores.
Begitu banyak
pantai-pantai perawan yang tetiba ada dan terlihat dari jalan raya dan
benar-benar sepi sunyi tanpa seorang pun pengunjung yang nampak menorehkan
jejaknya.
***
Hari 5,
Hari terakhir di
Pulau Alor dan dari Tukang Jalan sudah tidak ada itinerary lagi, alias acara
bebas. Beberapa teman memang sudah harus meninggalkan Alor sejak pagi.
Sedangkan saya dan Adi masih harus penunggu lewat makan siang untuk kembali
terbang ke Kupang dan berlanjut ke Jakarta.
Kami yang
tersisa memutuskan untuk kembali ber-snorkeling di Pantai Sebanjar, spot
favorite saya. Untungnya saya berhasil membujuk teman seperjalanan yang lain
(Adi, Prue, Dwi dan Agus) untuk menemani saya.
Pantai Sebanjar
“Gimana? Puas
sudah?” Prue bertanya.
“Puas dan no
regret buat balik Jakarta siang ini” jawab saya, seusai menikmati taman laut
Pantai Sebanjar, untuk kedua kalinya.
“Haha… pastinya”
gelak yang lain.
bareng bocah-bocah Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar - triplet Moorish Idols |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
taman laut Sebanjar |
Bandara Udara
Mali
Pukul 12.30 WITA
saya dan Adi duduk bengong di bandara, pesawat kami ke Kupang yang dikabarkan
dimajukan 1 jam dari jadwal ternyata delay tanpa batas waktu, karena angin yang
berhembus melebihi batas keamanan dari Aviation Policy untuk pesawat
baling-baling.
Pukul 13.00 WITA
Adi duduk terkantuk di dalam ruang boarding bandara, meanwhile saya bergabung
dengan teman-teman penerbangan pagi, duduk bengong di warung depan bandara.
Iya! Teman-teman seperjalanan pagi tadi (Retno, Didith, Paul, Rudi, Upi, Liza)
juga delay karena alasan yang sama.
Pukul 15.00 WITA
kami meninggalkan bandara kembali ke Home Stay Om Chris, karena officially
penerbangan hari ini dibatalkan semua hingga besok pagi.
Desa Takpala
Kami memutuskan
untuk menghabiskan waktu yang sedikit tersisa pada sore itu untuk kembali
mengunjungi Desa Takpala. Benar kami telah ke sana dan tak bakalan ada lagi tarian
penyambutan lagi, tetapi kemarin memang kami cukup tergesa-gesa dan tak sempat
untuk menjelajahi pasar dadakan yang menjual kerajinan tangan Takpala.
Sampai di desa
tersebut, kami tetap disambut oleh senyuman ramah, meski tak sebanyak kemarin
tentunya. Penduduk Takpala juga sudah berpakaian biasa saja, tetapi pasar
dadakan kerajinan Takpala masih ada yang buka beberapa. Jadinya kami asyik
sendiri karena tak ada satu pun pengunjung lain, selain kami berdelapan.
Saya dan
beberapa teman asyik mengublek-ublek hasil kerajinan Takpala yang dipamerkan
dan dijual.
3 orang teman
mencoba memakai busana adat yang kemarin dipakai oleh Suku Abui dalam menyambut
dan menari untuk kami.
Lainnya sibuk
mendengarkan sejarah, kepercayaan dan adat istiadat lain dari Suku Abui di Desa
Takpala oleh salah seorang sesepuh.
Hari 6,
(tambahan)
Bandar Udara
Mali
Pukul 07.00 WITA
akhirnya kami bisa terbang ke Kupang.
Sesaat saya
menebarkan pandangan saya melihat pemandangan Bandara Udara Mali yang indah.
Saya tersenyum lebar dan masuk kedalam pesawat baling-baling tersebut.
“Selamat pagi”
sapa seorang pramugari.
“Pagi” timpal
saya.
***
Liburan yang
sebenarnya sama sekali tak saya rencanakan. Liburan yang saya putuskan secara
impulsive dari ajakan Adi.
Tujuan yang
tidak membuat saya berharap banyak saat berangkat, tetapi mendapatkan lebih
saat saya tiba dan meninggalkannya.
Penduduk Alor
sangat ramah bersahabat dan mencintai kebersihan, tak heran jarang sekali saya
melihat sudut atau tempat yang jorok dengan sampah berhamburan. Wisatawan asing
dan lokal di Alor diperlakukan dengan sama baiknya, sehingga sangat nyaman
untuk saya yang sempat beberapa kali mengalami diskriminasi di Bali.
Alor memiliki
landscape yang indah dan bersih, budaya yang menarik dan taman laut yang
menakjubkan. Saya merasa mendapatkan the whole package dalam liburan ini. Uang
yang saya keluarkan dalam liburan ini tidaklah sedikit menurut ukuran kantong
saya, tetapi saya tetap tersenyum dan bahagia. It’s totally worth it. Money
well spent.
Semoga suatu
saat saya bisa kembali ke sini dan semoga apa yang indah di sini dapat tetap
terjaga, seperti sedia kala memukau pemujanya.
***
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletewah fotonya sungguh keren keren nih
ReplyDelete