Sunday, November 25, 2012

Menyentuh Tana Toraja - Tebing Batu Kematian


Tatapan saya melayang merengkuh pemandangan pegunungan yang cantik dengan lereng dan tebing serta hijaunya daun-daun dari jutaan pepohonan yang menutupi hampir disemua bidang tanah pengunungan ini. Berlatar belakang langit nan biru dengan riak-riak awan putih tanpa noda.

Sejenak dalam celah kecil pegunungan dikejauhan tampak warna biru yang berbeda dengan birunya langit, ah… warna samudra ternyata. Tinggi juga jalanan yang kami lewati menuju ke Tana Toraja (Toraja).

Nuansa hijau magis mendominasi sesaat kami memasuki batas luar Toraja dengan melewati hutan cemara. Pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi keatas meninggalkan bayang-bayang yang seolah menyembunyikan misterinya sendiri.

Saya matikan AC mobil sembari perlahan membuka jendela mobil dan segera terasa hempasan angin gunung yang sejuk dan berbau pepohonan ke wajah ini. Pemandangan yang luar biasa indah, hawa yang nyaman dan disertai 2 teman baik, maka saya siap untuk menjelajahi bumi Tana Toraja.

Bertolak dari Palopo dengan mobil pribadi seorang teman, kami lalui perjalanan selama kurang lebih 1.5 sampai 2 jam untuk mencapai pusat kota Toraja (pusat kota). Waktu yang tidak lama mengingat pemandangan pegununganan yang luar biasa indah selalu menemani perjalanan kami, yang seolah takkan cukup untuk dinikmati. Memasuki pusat kota menjelang tengah hari, kami memutuskan untuk segera bertolak ke tujuan pertama kami yaitu Batu Tumonga.

Info:
Toraja juga bisa ditempuh dengan bus-bus executive umum dari Makassar dengan durasi perjalanan sekitar 7 sampai dengan 8 jam dengan harga start about Rp 140.000,- untuk sekali jalan. Jangan kuatir capai dan tidak nyaman selama di bus, karena bus-busnya benaran super executive dengan bangku yang lebar dilengkapi dengan penyanggah kaki, selimut dan guling kecil serta jarak antar kursi yang lebar.
Jika dari Palopo, ada juga angkutan umum yang biasa disebut pete-pete (lafal e nya dari sate, jadi bukan pete sayuran yah haha) dengan biaya less than Rp 100.000,-. Pete-pete di sini semua pakai mobil kijang kapsul atau terkadang ada juga yang carry.

Perjalanan ke Batu Tumonga masih ditemani dengan pemandangan tipikal pegunungan yang indah dan ditambah dengan pemandangan sawah-sawah serta makam-makam orang Toraja dalam batu besar yang dilubangi secara manual dengan cara traditional. Jangan kaget kalau dalam perjalanan ke Batu Tumonga terkadang tampak dari jalan, tulang belulang dari makam yang pintunya terbuka. Tongkonan-tongkonan kecil pun banyak sekali menghiasi jalanan menuju ke Batu Tumonga ini, yang biasa digunakan untuk menyimpan hasil-hasil pertanian seperti padi, dll.
Batu Tumonga bukanlah tujuan yang relative mudah ditempuh. Jalanan aspal kecil dan rusak disana-sini serta track yang menanjak berliku, mebuat kami membutuhkan sekitar 2 jam untuk mencapai puncaknya.

Pemandangan yang tersaji di puncak sangat indah (meskipun saat itu sedang mendung dan turun hujan), dan dengan hawa yang sejuk, tempat ini sungguh cocok sekali untut didatangi walau hanya sekedar untuk menikmati santap siang atau minum kopi seperti yang kami lakukan.

Info:
Bagi yang mau menginap di Batu Tumonga, tersedia pula penginapan dengan harga yang sangat murah, mulai dari Rp 120.000,- per kamar per malam untuk berdua.

Tujuan berikutnya yang baru saja kami ketahui dari guide seorang teman kami, yang secara kebetulan bertemu di Batu Tumonga, gagal kami datangi karena perjalanan ke tempat tersebut hanya bisa dilewati truk, motor dan kendaraan 4WD. Kami hanya bisa gigit jari melihat teman kami yang melaju ke sana begitu hujan reda dengan tukang ojek yang merangkap guide-nya (aslinya guide yang merangkap tukang ojek kali yah, karena guide-nya beneran guide dan bisa berbicara bahasa asing pula seperti Bahasa Belanda).

Sayang memang, karena ingin sekali melihat batu super besar (massive) yang dilubangi dan dijadikan kuburan. Konon dalam 1 batu massive itu ada lebih dari 100 ruangan kuburan dan tak jauh dari sana, ada juga pohon kuburan tempat memakamkan para bayi (yang belum tumbuh giginya). Menurut kepercayaan orang Toraja, bayi yang masih belum tumbuh gigi, masih suci sehingga pemakamannya pun hanya dimasukan ke dalam pohon sehingga auranya bisa diserap oleh pohon dan menguap ke langit atas.

Hujan reda dan kami putuskan untuk turun kembali ke Toraja, yang kami tempuh hanya dengan waktu kurang lebih 1 jam saja, haha.

Memasuki pusat kota kembali saat lewat siang hari, cacing-cacing di perut sudah berontak dan kami memutuskan untuk men-jajal salah satu makanan khas Toraja yang bernama Piong (tidak halal). Piong merupakan irisan-irisan kecil daging babi yang dibungkus daun bersama dengan semacam sayuran dan dimasak dalam bambu. Piong memiliki rasa yang gurih dan nikmat, apalagi disantap dengan sambalnya yang benar-benar meledak di mulut sangking pedasnya. Bagi saya pribadi, kekurangan dari piong ini adalah dagingnya yang cukup liat, begitu pula dengan pork belly masak ala pamarrasan yang asinnya legit tetapi kurang nyaman di santap karena cukup liat. Di tempat yang sama juga dijual lauk yang lain seperti ikan-ikanan dan belut.

Dengan perut kekenyangan kami memutuskan untuk check-in dulu ke Hotel sembari rehat sebentar sebelum memenuhi janji dengan teman yang bertemu di Batu tumonga tadi untuk santap malam bersama.

Toraja Heritage Hotel (Heritage) tak lain tak bukan adalah bekas Hotel Novotel yang terletak sekitar 1 km dari pusat kota dan memiliki kamar dengan bentuk tongkonan-tongkonan. Lucky us! kami mendapat kamar di Tongkonan-nya dengan outdoor shower #yeehaw. Proses chek-in singkat saja dan setelah meminum juice terong belanda (as their official welcome drink) dan membasuh wajah dengan handuk dingin yang ditawarkan, kami menemukan bahwa kamar tersebut memang bagus, nyaman dan worth it dibayar dengan harga Rp 604.000,- (nett) per malam untuk 2 orang.

Info:
Harga kamar di Heritage start about Rp 400.000-an sampai dengan Rp 600.000-an, sedangkan extra bed about Rp 200.000-an (termasuk buffet breakfast). Heritage, selain dilengkapi kolam renang dan spa, juga memiliki kualitas makanan (breakfast) yang baik, yang tentunya disertai juga dengan pelayanan dari crew yang baik, ramah dan sangat membantu.
Bagi yang datang dengan bus, bisa lho minta tolong pihak hotel jemput (GRATIS) di tempat pemberhentian bus terdekat dengan Heritage yaitu dikenal dengan sebutan Patung Sapi.
Di dalam Heritage juga ada Toko Souvenir (seingat saya namanya) Hana dengan harga yang relative terjangkau dan BISA ditawar haha. Beberapa patung-patung yang ada di toko ini tidak bisa saya temukan di Kete Kesu maupun Londa.

Sejenak kami melepas kepenatan di teras kamar sembari berbincang-bincang ringan diiringi dengan senja yang mulai datang diarah barat dan kicauan burung-burung gereja yang tampaknya cukup banyak di daerah ini.

Petang tiba dan kami pun melaju kembali ke pusat kota untuk bersantap malam di sebuah rumah makan khas Makassar dengan dominasi pesanan, nasi goreng merah (tidak halal) dan mie pangsit special (tidak halal). Usai santap malam kami berusaha untuk menemukan toko-toko souvenir yang terlihat siang hari tadi di pasar, tetapi tampaknya sudah tutup semua padahal jam belum menunjuk kearah 9 malam (ternyata rata-rata jam 8 malam toko-toko tersebut telah tutup), sehingga pilihan terakhir adalah membeli kopi toraja di tempat penggilingannya langsung dengan harga Rp 40.000,- per 250gram untuk Arabica Toraja.

Sisa malam yang masih panjang itu kami habiskan dengan ngobrol ngalor-ngidul di teras kamar hotel yang nyaman dan dingin sampai kantuk pun tiba.

Hari kedua kami awali dengan breakfast di hotel sebelum check-out (yah kami hanya sempat 1 hari saja bermalam di Toraja *sigh*) dan segera menuju ke tujuan pertama kami yaitu Kete Kesu.

Kete Kesu adalah salah satu desa di Toraja dengan tebing batu yang tinggi dimana terdapat makam rumah keluarga bangsawan dan banyak makam-makam lain di tebing batu dari jaman dahulu sampai sekarang.

Memasuki kawasan Kete Kesu, kami disambut dengan penampilan Tongkonan-Tongkonan tempat tinggal asli berjajar dibelakang tongkonan-tongkonan kecil yang dihiasai dengan beberapa tanduk kerbau, serta seekor kerbau belang hidup yang konon harganya mencapai hingga Rp 300 juta, WOW.

Menuruni anak tangga, disebelah kiri kami terdapat makam-makan yang besar berbentuk seperti rumah yang merupakan makam keluarga bangsawan. Salah satu makam bangsawan tersebut dilengkapi dengan sepasang tau-tau. Tau-tau adalah patung replika almarhum yang dipahat tanpa sambungan dari kayu nangka (kalau tidak salah) dan hanya boleh diadakan oleh keluarga bangsawan yang telah memenuhi beberapa persyaratan upacara, seperti misalnya harus memotong kerbau sebanyak 24 ekor (lots of money neh).

Menaiki anak-anak tangga lebih tinggi dan disanalah tampak beberapa makam terpasak di ketinggian tebing-tebing batu. Beberapa peti telah jatuh ke bawah sehingga tengkorak dan tulang-tulang berserakan di tanah. Tampak pula 2 peti yang satu berbentuk kerbau dan yang satu lagi berbentuk babi yang mana melambangkan jenis kelamin almarhum (kerbau = laik-laki dan babi = perempuan).

Terlihat pula sebuah ceruk dalam di tebing batu berisi kumpulan beberapa tau-tau yang anehnya dipenjarakan dalam pagar besi. Ternyata pagar besi tersebut diadakan karena beberapa tau-tau hilang dicuri dan konon sampai ke Eropa (Belanda antara lainnya), Amerika dan pernah muncul di Smithsonian Institution, WTH!

Anak tangga terus mengarah semakin tinggi dan berujung dengan mulut gua yang menjorok gelap ke dalam. Dengan tekad yang bulat kami memutuskan untuk menelusuri gua tersebut hingga ujungnya yang ditandai dengan adanya “batu berkilau”.

Beberapa anak kecil yang sedari tadi mengikuti kami, segera menawarkan produk jasa mereka yaitu persewaan senter haha. Berapa biaya sewa senter per orang? Cukup dibayar seikhlasnya (tapi jangan pelit-pelit yah haha). Siap dengan senter masing-masing satu buah ditangan dan ditemani dengan seorang anak sebagai pemandu, kami pun memasuki gua gelap tersebut.

Dalam gua hanya terdapat sebuah makam dan kami lebih asyik dengan aktifitas cave tracking sambil mengagumi stalagmit dan stalagtit yang indah sampai dengan “batu berkilau” yang terlihat basah dan seperti tersembur glitter, hm… quite beautiful.

Kembali ke cahaya maka selesailah kawasan Kete Kesu kami jelajahi dan saatnya menjelajahi beberapa toko-toko souvenir yang ada di kawasan Kete Kesu sembari mencoba peruntungan ilmu tawar menawar haha.

Info:
Kalau mau beli souvenir yang murah, sebaiknya dicoba peruntungannya di pasar Toraja (pusat kota). Harga awal dari souvenir-souvenir tersebut menurut teman saya yang sempat mampir ke pasar tersebut, sudah jauh lebih murah daripada di Kete Kesu maupun Londa.
Tarif jasa guide (orang local) di Kete Kesu tidak mempunyai harga tetap, seikhlasnya saja.

Melaju kembali di jalan raya kami mendatangi tujuan terakhir yaitu Londa. Londa seperti halnya Kete Kesu, adalah sebuah desa lain di Toraja dengan tebing batu dan gua-gua sebagai makamnya.

Memasuki area parkir di Londa, kami melewati gapura dengan tongkonan-tongkonan kecil sebagai mahkotanya dan hanya nampak beberapa mobil yang terparkir disana.

Tanpa membuang waktu lagi, kami ditemani dengan seorang guide merangkap pembawa lampu petromak, segera melewati gapura besar dan mulai menuruni puluhan anak tangga landai menuju ke dasar tebing batu yang terkenal itu.

Di dasar tebing batu setinggi 90 meter tersebut terdapat 2 gua yang menjadi tempat makam bagi orang-orang Toraja Londa. 2 pintu gua mengapit sebuah panggung tempat sekumpulan tau-tau menghadap ke arah luar, ke arah hijaunya sawah di depan tebing batu. Berbeda dengan di Kete Kesu, tampaknya panggung kayu tempat tau-tau di Londa tidak diamankan dengan pagar besi, meskipun dibenarkan oleh guide kami bahwa beberapa tau-tau telah dicuri.

2 gua yang kami masuki tentunya penuh dengan peti dan tengkorak serta tulang belulang para almarhum yang entah dari jaman kapan. Salah satu tengkorak yang saya lihat bahkan sudah berubah warna karat (sementara di Kete Kesu bahkan ada tengkorak yang sudah ada yang menjadi habitat lumut dan jamur). Memasuki bagian terdalam salah satu gua terbesar, kami menemukan sepasang tengkorak yang menurut guide kami adalah tengkorak dari sepasang kekasih yang gantung diri bersama karena tidak disetujui pernikahannya dan ironisnya mereka baru bersatu di alam baka dengan tengkorak yang bersanding di salah satu ceruk gua.
Salah satu yang bikin kami tercengang adalah ceruk kuburan salah satu keluarga bangsawan/kaya yang ada di ketinggian 80 meter dari dasar tebing dan masih bisa kami lihat penampakannya dari sisi seberang tebing batu tersebut.

Info:
Biaya guide di Londa seikhlasnya, sedangkan biaya sewa lampu petromak adalah Rp 25.000,- per lampu yang bisa digunakan untuk 1 group kecil.
Biaya masuk ke tempat pariwisata di Toraja mulai dari Gratis hingga Rp 10.000,- per orang dengan biaya parkir mobil dikisaran Rp 2.000,- per mobil.

Digital camera penuh dengan foto segala bentuk tengkorak dan kami pun memutuskan untuk mengakhiri jelajah Toraja kali ini dengan turun kembali ke pusat kota dan menyantap hidangan “penutup” kami yaitu bakso babi (tidak halal), nikmat pedas dengan kuahnya yang tasty banget, plus harganya sangat murah sekali. Murah? Yah dengan harga Rp 12.000,- saja untuk 8 biji bakso (ukuran sedang) dan 2 gorengan haha.

Info:
Bagi teman-teman Muslim harus sedikit “PR” untuk cari makanan yang halal, tetapi sepantauan saya, banyak juga kok rumah makan halal yang biasa ditandai dengan tulisan “Warung Muslim” di depan rumah makannya.

Perut kenyang dengan segudang moments dan cerita selama menjelajah Toraja mengiringi perjalanan kami meninggalkan Toraja di belakang dan berkata hallo again to Palopo.

Catatan saya:
Vandalisme ada dimana-mana khususnya di batu-batu besar dan jembatan sepanjang ke Toraja dan tentunya di gua-gua di Londa serta di Kete Kesu. Vandalisme yang sangat merusak keindahan dari alam dan warisan budaya itu sendiri. Sempat terlihat vandalisme menimpa sebuah tengkorak di Kete Kesu, WTH! Peti-peti mati kuno yang jatuh dari tebing pun tidak luput dari vandalisme. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang melakukan vandalisme tersebut? Sungguh memuakkan! Marilah bersama-sama melestarikan dan menjaga budaya yang menjadi jati diri suatu bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.
Sampah! Bertebaran di beberpa titik (yang bisa dibuat untuk berhenti) sepanjang jalan ke Toraja dan di dalam gua di Londa dan Kete Kesu!

Thank to Heritage Hotel crew for the hospitality.
Thank to masyarakat Toraja yang so friendly dan welcome.
Thank to my 2 buddies for being such great travel mates.

2 comments:

  1. uwuwuwuwu ada poto akoh sama opa dan oma dari Belanda.
    Belanda yuk om! *bobol atm terdekat*

    Btw, tulisan lo makin ciamik! Suka!

    ReplyDelete
    Replies
    1. yuk *team yakyuk*
      ah kakak fakirliburan bisa aja *tepis tangan* *merona malu*

      Delete