Thursday, February 05, 2009

sebuah cerpen

Kuayunkan langkahku perlahan menyusuri jalanan di kota ini. Jalanan yang diapit oleh gedung-gedung tinggi perkantoran. Berpusat pada sebuah kolam air besar dengan gaya timur eksotiknya yang khas, berdiri 4 mall raksasa, dengan jembatan penghubung ke masing-masing mall, tepat di setiap empat ujung arah mata anginnya. 4 mall yang terdiri dari North Mall, South Mall, West Mall dan East Mall ini biasa dikenal dengan sebutan The Big Four, yang semakin menambah kesan mewah dan gemerlapnya kawasan ini. Tak kaget jika kawasan ini menjadi salah satu pusat keramaian terbesar di kota ini, sekaligus pusat kemacetan. Jalan yang penuh dengan mobil mewah, angkot, mobil rongsok, sampai motor yang terlalu banyak mengepulkan asap dari knalpotnya, saling berebut untuk mendahului ditambah dengan suara knalpot yang meraung-raung dan bunyi klakson yang memekakkan telinga.
 Dengan taksi dari hotel tempat aku menginap, aku menuju ke pusat keramaian itu. Maksudnya sekedar jalan-jalan melewatkan waktu dan melepas rindu pada kota yang tak asing lagi bagiku ini. Kurang lebih dua ratus meter dari The Big Four, seperti biasa kondisi jalan raya macet total, jadi aku putuskan untuk melanjutkan sisa jarak itu dengan berjalan kaki, melebur dengan padatnya bahu jalan yang penuh dengan pejalan kaki. Ada yang menenteng tas belanja, berduaan memadu kasih ( siang bolong begini ? ), sampai dengan maraknya pengemis-pengemis cilik yang dengan sigap bergerak sambil memasang tampang super sengsara. Betul-betul ciri khas pemandangan di jalan raya kota besar.

Tepat pukul 09.30 pagi tadi, aku sampai di airport kota ini, yang terkenal karena di gerbang masuk dan keluarnya terdapat gapura alam yang terbentuk dari 2 buah pohon besar yang saling berbelit, sungguh indah. Dari airport aku segera bertolak menuju ke hotel tempat aku menginap. Sesampai di hotel dan berberes diri, aku jadi bingung mau ngapain, karena kepentingan dinas kerjaku di kota ini baru dapat dimulai esok hari. Akhirnya dari pada bengong di kamar hotel, kuputuskan untuk jalan-jalan di jantung kota ini. Kota yang pernah aku tinggali dan kutinggalkan.

The Big Four terlihat sudah tidak jauh lagi di depan, sekitar seratus meter lagi. Meski siang bolong begini banyak juga orang-orang yang rela berjalan kepanasan menuju ke The Big Four. Disampingku berjalan sepasang kekasih dengan bergandeng tangan sambil berdebat film apa yang akan mereka tonton di bioskop nanti. Didepanku terdapat pasangan dengan usia awal 60 tahunan. Tampak si ibu sibuk ngomel kepada suaminya entah masalah apa, sedangkan si bapak diam dengan sabar sambil terkadang tersenyum simpul, dengan tangan kuat tetap menuntun istrinya. Agak kedepan melenggang seorang gadis dengan pakaian yang sulit untuk dikatakan apakah terbuka dan seksi! atau tidak! Potongan bajunya bagus dan sopan dengan bahan kain yang terlihat mahal dengan model yang simple, tapi betul –betul mencetak lekuk tubuh yang tersembunyi di dalamnya. Harus kuakui bahwa bentuk tubuh dan pantatnya sungguh pantas mendapat pujian. Sempat beberapa kali si gadis menoleh ke belakang dan parasnya sungguh cantik dengan make up tipis yang semakin menegaskan kemudaannya. Wow … terlihat pula bentuk payudaranya yang sempurna, tidak besar tetapi tergantung dengan pas dengan ujung yang agak mencuat. Nah … kembali lagi si gadis menoleh kebelakang dan … apa aku tidak salah lihat? … dia … tersenyum samar? kepada siapa? kepadaku? ah … nggak mungkin, kan aku dan dia nggak saling kenal. Atau mungkin kepada seseorang dibelakangku … dan tanpa sadar aku pun menolehkan kepalaku kebelakang dan kulihat … puluhan orang berjalan dengan puluhan mimik wajah. Kembali kutatap lenggok tubuhnya dari belakang, ah… dia bagaikan berjalan di atas awan, cara jalannya sungguh enak dipandang, terkesan cuek tapi tetap anggun.
“ Aduh … “ seruku tertahan, ketika kurasa ada yang menabrak punggungku. Refleks kutolehkan wajahku ke arah orang yang menabrakku.
“ Sori … sori banget, saya lagi terburu-buru, sori yah … “ jawab seorang pemuda dengan paras tampan dengan pakaian yang mentereng.
Dan sebelum kujawab, pemuda itu segera berjalan kembali dengan tergesa-gesa. Segera kuperiksa dompet dan hp-ku, pengalaman hidup di kota besar membuat aku belajar jangan percaya orang dari tampang dan penampilannya,. Lega rasanya kutemukan sebentuk kotak dari kulit di kantong celana belakang jinsku dan sebentuk hp di kantong samping. Jadi pemuda itu memang betul-betul sedang tergesa-gesa entah karena apa? Mungkin lagi kebelet … haha … tawaku dalam hati. Kuarahkan pusat perhatianku kembali ke gadis-ku … hei … kemana dia perginya. Kutinggikan pandangan mataku ke depan untuk mencari bayang tubuhnya, ke samping kanan dan kiri bahkan ke belakang, tapi tetap tak kutemukan bayang gadis-ku. Aneh rasanya … kenapa aku menjadi merasa … kehilangan? Hm… gadis-ku kau datang secepat kau pergi. Entah kenapa senyumnya membekas di hati, seperti semilir hembusan angin sejuk di tengah hawa panas siang ini. Senyum samar yang tak bertuan menurutku … atau kuanggap saja senyum itu memang untukku. Senyum yang diberikan Tuhan untukku melalui salah satu ciptaan-Nya yang indah dan membuktikan masih ada senyuman untuk diriku dalam kegalauan hati. Ah… siang ini jadi lebih indah kelihatannya. Thank you yah gadis-ku, andai kamu tau bahwa senyum samarmu membuat hidup seorang pria ini menjadi lebih ringan.

Wuih… nyaman benar setelah berjalan diteriknya panas matahari, disambut dengan hawa ac yang dingin di pintu masuk West Mall. Salah satu Mall favoritku dari dulu karena memiliki salah satu café istimewa yang terletak di jembatan penghubung West Mall dengan North Mall, Sunset Café. Sesuai dengan namanya kita benar-benar bisa melihat sunset dari café tersebut, meskipun tidak seperti sunset di Pantai Kuta Bali, tapi sunset di sini cukup indah dengan atap-atap bangunan sebagai ganti batas horisonnya. Mall ini hanya sedikit berubah sejak beberapa tahun yang lalu, kebanyakan perubahan hanya pada interior dan design dari counter-counternya saja.
Sampai juga di Sunset Café dan hei … apakah Dewi Fortuna hari ini memang sedang di pihakku? Sunset Café selalu terisi penuh bahkan terkadang harus rela menunggu lama untuk mendapatkan meja. Tapi begitu sampai depan café, aku tidak perlu menunggu, kebetulan ada meja personal yang kosong. Setelah duduk di mejaku, sambil membuka menu yang diberikan pelayan, kulayangkan pandanganku ke arah sekitar posisi mejaku. Bukan meja dengan best view tapi cukup bagus. Di samping kananku tampak 5 cewek ABG sedang bergerombol dengan sibuk ngemil, bergosip dan cekikikan. Disamping kiriku tampak keluarga kecil sedang menyantap hidangan penutup dari rangkaian menu makan siang mereka. Pasangan muda kurasa, melihat wajah mereka tampak bahwa mereka baru di akhir usia 20 tahunan. Si ayah tertawa geli sementara si ibu sibuk meyakinkan anaknya, yang berkisar usia 3 hingga 4 tahun, agar menggunakan sendok daripada telapak tangan mungilnya untuk menyantap ice creamnya.
“ Ping, mama yakin kalo tangan bukan pengganti sendok yang bagus “ dengan nada putus asa si ibu menjelaskan ke anaknya.
Ping dengan nada yang keras kepala membalas “ Nih seperti sendok kan Ma?” sambil menangkupkan jari-jari tangan kecilnya.
“ Tidak, gunakan sendok itu atau mama akan meminta pelayan untuk mengambil ice cream itu “ dengan tegas si ibu menjawab.
Akhirnya sambil menggerutu lucu si Ping mengambil sendoknya dan dengan pelan mulai menikmati ice creamnya, sementara si ayah tetap tertawa geli memperhatikan anaknya, sambil menikmati secangkir kopi panas.

Kulayangkan kembali pandanganku ke kaca lebar di depanku, menikmati pemandangan di bawah jembatan penghubung ini.
“ Maaf Pak, bisa saya catat pesanannya ? “ suara pelayan yang telah kembali ke sebelah tempat dudukku.
Hm … pesan apa yah ? kembali kupusatkan perhatianku pada daftar menu yang terbuka di depanku.
“ Saya pesan ini aja … em … satu sunset combo chicken gordon blue dan ice lemon tea jumbo “ sebutku.
Dan setelah mengulangi pesananku, pelayan itu berjalan menuju meja order di sudut samping belakang dari café ini. Sambil menunggu pesanan datang, kembali ku arahkan pandanganku ke depan melihat pemandangan yang terpampang. Kemacetan semakin bertambah parah kayaknya, pasti bising banget di luar sana, meski dari dalam sini tidak sedikit pun terdengar bunyi knalpot dan klakson. Music jazz mengalun pelan memenuhi Café Sunset dan semakin menambah suasana hangat dalam ruangan ini. “ … world is cold, I will fell a glow, just thinking of you, and the way you look … “ ah … Frank Sinatra sedang bersenandung melodi cinta rupanya. The Way You Look Tonight merupakan salah satu lagu kesenanganku. Dan lagu itu pun menghanyutkanku ke lamunan yang tak tentu arah.
Tiba-tiba ada piring besar diletakkan dihadapanku. Terkejut juga aku, rupanya aku terlalu larut dalam lamunan kosongku, sehingga tak mendengar ketika pelayan itu datang membawa pesananku.
“ Silakan Pak, ada pesanan yang lain mungkin Pak ?” kata pelayan itu.
Sekilas kulihat nama di tanda pengenalnya “Domi “ hm … nama yang tidak biasa, tapi pasti itu hanya nama panggilan yang kebanyakan disingkat saja.
“ Yah, tolong sehabis menu ini saya pesan 1 slice blueberry cheesecake dan black coffe sekalian bawakan saya asbak yah.”
“ Baik Pak “ kata Domi sambil tersenyum sopan dan meninggalkanku untuk menikmati hidangan di depanku.
Sunset combo gordon blue … hm … menu yang selalu aku pesan dari dulu. Terdiri dari sebongkah chicken gordon blue dengan fettucine bumbu cream, kentang bakar, dan salad brokoli. Kuminum ice lemon tea dalam gelas jumbo dan kurasakan rasa segar, manis, asam mengalir dalam tenggorokanku. Aku mulai memakan combo ini dan tak kusangka ternyata aku memang lapar, yang entah tak terasa tadinya. Kupotong bongkahan daging ayam itu kembali dan kunikmati lembutnya daging ayam itu sambil mendegarkan kembali alunan music yang masih mengalun lembut menyusup dari telingaku ke lorong-lorong jiwaku. Kali ini terdengar lagu John Legend, “ … we just ordinary people, we don’t know which way to go, hey … hey … “, penyanyi yang berhasil menyabet Grammy Awards di tahun 2006.
Selesai menyantap habis, licin tak bersisa. Pelayan kembali datang untuk membersihkan piring dan gelas bekas dihadapanku dan kembali lagi membawa pesananku berikutnya. Hm… cheesecake dengan saus blueberry ditemani dengan secangkir black coffe panas, adakah hidangan pencuci mulut yang lebih nimkat daripada ini ?. Kunyalakan sebatang rokok dan kuhisap dalam-dalam sambil menerawangkan pandanganku pada sinar senja dari matahari yang mulai condong ke barat.

Dan lamunanku pun mulai mengembara jauh … jauh … ke dalam sisi hati ini. Mengembara dan menemukan kembali bayangan sesosok wanita yang perbah aku cintai. Bayang sesosok wanita yang membuat hatiku hancur dan alasan utama aku meninggalkan kota ini enam tahun yang lalu. Marsha, atau biasa aku memanggilnya Aca, dia selalu membuat aku gembira, riang dan senang dengan hidup ini. Aca dengan usianya yang lebih muda 4 tahun dariku tetapi membuat aku terkejut dengan sikapnya yang terkadang mendadak dewasa dan menjadi penasehat bagiku. Tempatku mencari keteduhan, dalam kerasnya hidup ini, dalam keteduhan matanya yang besar yang membuat aku larut dan tenggelam dalam kesejukan bercampur dengan kehangatan suaranya. Berawal dari perkenalan biasa menjadi teman baik dan menjadikan hubunganku dengan Aca berlanjut lebih jauh lagi. Yang aku kira akan berakhir dengan happy ending hingga suatu sore Aca berkata
“ Dan, aku sayang kamu. Tapi aku ga bisa terus jalan ama kamu. Hubungan ini nggak bener, nggak fair buat kamu dan buat Rino . Kamu pun tau, aku udah jalan lama ama Rino. “
Dengan raut muka yang sedih dan air mata yang mulai menggenang di kelopak matanya, Aca menambahkan
“ Aku betul-betul menikmati kebersamaan kita Dan, tapi sekali lagi aku juga nggak bisa ninggalin Rino. Egois memang tapi aku pun juga cinta banget ama dia. “
Mendengar kata-kata Aca, hatiku bagaikan dicambuk. Kuingat saat itu aku pun tak bisa berkata-kata, hanya diam … diam dan diam. Sambil terus memandang mataku, Aca tampak sangat terluka
“ Dan jangan diem aja, please say something.”
Aku mendesah “ Aku nggak tau harus berkata apa?”
“ Anything, apa aja yang sekarang sedang ada di pikiranmu “ Aca mendesak terus.
“ Ca, Rino di luar kota, aku sama sekali nggak kenal dia bahkan nggak tau wajahnya kayak apa? Kamu pernah cerita kalo Rino tuh kekanak-kanakan dan sepenangkapanku … yah … kamu nggak betul-betul menikmati hubungan kamu ama Rino.”
“ Cinta kadang aneh yah Dan, tapi aku nggak bisa mungkiri jika aku juga cinta dia Dan.”
“ Jadi selama ini hubungan kita kamu anggap apa Ca? Sekedar main-main? Mengisi waktu kosong ?”
Mendengar kata-kataku itu, kepala Aca langsung tersentak dan menatap tajam ke arahku.
“ Dan … aku nggak pernah punya maksud mempermainkan kamu atau memanfaatkan kamu Dan.”
“ Dan seperti yang aku bilang aku betul-betul nikmati hubungan kita dan aku betul-betul sayang kamu Dan, tapi kalo hubungan ini kita terusin, itu nggak fair buat Rino and juga buat kamu.”
“ Jadi Ca apakah percintaan kita fair buat dia? Apa fair buat Rino, jika dia menyadari ternyata dia bukan yang pertama buat kamu?”
Aca tampak tertegun saat mendengar pertanyaanku.
“ Aku nggak tau Dan, tapi aku akan cari cara untuk menjelaskan semuanya … meski dengan kebohongan. Aku nggak mau dia tau kita lebih dari sekedar teman Dan, aku … nggak mau kehilangan dia Dan.”
“ Apakah kamu mau merahasiakan semua itu Dan? Demi aku?”
“ Ca, kamu nggak usah kuatir tentang hal itu. Pertanyaanku jika kamu memang tetap dengan Rino, cepat atau lambat dia akan tau kalo dia bukan yang pertama Ca.”
“ Itu akan menjadi masalahku Dan … entah bagaimana … tapi aku pasti menemukan cara Dan.”

Sejak sore itu hubunganku dengan Aca menjadi berantakkan. Sekali dua kali kami masih berhungan yang yah … isinya hanya percakapan basa-basi aja, percakapan yang nggak ada arahnya, percakapan yang penuh dengan kepura-puraan, palsu hanya untuk menjaga perasaan masing-masing. Dalam hatiku, aku masih mengharapkan kemungkinan Aca akan kembali padaku dan mengakhiri hubungannya dengan Rino. Kurang lebih satu bulan setelah percakapan itu, harapanku musnah mendengar dia ternyata bertunangan dengan Rino. Kenyataan itu bertambah pahit ketika aku tau kalo Aca berusaha semaksimal mungkin untuk merahasiakan pertunangan itu dariku. Ketika aku memberikan ucapan selamat, Aca sangat kaget dan nggak habis pikir darimana aku tau.
“ Kok kamu bisa tau Dan? Padahal pertunanganku hanya keluarga aja yang tau.”
“ Ca, bunyi lonceng gereja pasti akan terdengar ke seluruh orang di desanya, tanpa mereka harus ke gereja dan melihat itu adalah bunyi lonceng gereja.”
Mendengar jawabanku, matanya mulai berkaca-kaca, apakah Aca menangis ? … aku nggak tau, karena aku pun segera berlalu dari hadapannya. Bukan karena benci tapi karena hati ini menangiskan darah.

Babak hari-hari kelamku pun dimulai dan tak lama setelahnya aku memutuskan untuk hengkang dari kota ini. Dan sejak saat itu pun aku tak pernah mendengar kabar berita Aca, apakah dia mencariku, apa dia kehilanganku, apa dia merindukanku, apa dia akhirnya menikah dengan Rino, aku tak tau. Saat itu yang kupikirkan hanyalah memulai hidup baru di kota yang baru, nomor hp baru, semuanya baru hahaha.
Hm … cheesecake ini setelah bertahun-tahun pun rasanya nggak berubah, tetap nikmat seperti dulu sejauh yang kuingat. Tampaknya si ayah, si ibu dan Ping beranjak pergi dan segera setelah pelayan membersihkan mejanya. Sepasang muda mudi yang sedang mesra-mesranya duduk di sana.
Hei … kalo nggak salah itu-kan sejoli yang tadi berjalan di sebelahku … ternyata mereka batal nonton karena nggak mungkin mereka nonton di bioskop dalam waktu yang singkat sekali atau mungkin mereka memutuskan nonton untuk pertunjukkan berikutnya. Pasangan kekasih yang masih muda dan sedang kasmaran. Bercanda dan saling mengejek satu sama lain, tertawa dengan riang seakan cinta mereka akan berlangsung selamanya … haha … kok aku jadi sinis gini yah.
Diujung timur café ini juga terlihat pasangan kekasih yang masih muda … hm … kayaknya pasangan yang itu agak diam dibanding dengan yang satunya. Mereka hanya duduk bersebelahan sambil tangan si cowok merengkuh mesra puncak pacarnya dan jika mereka berbicara, terlihat hanya berbisik seolah-olah mereka tak ingin orang-orang disekelilingnya mendengarkan. Kembali kulayangkan panadnganku ke seluruh café ini, banyak juga pasangan kekasih sedang duduk bermesraan di sini. Memang café ini tempat yang tepat untuk menciptakan suasana romantis. Dulu pun aku seperti itu dengan Aca, sering sekali aku dan Aca duduk di café ini walaupun kadang hanya memesan minum, ngrobrol tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang teman dan tentang segalanya. Lamunanku pun kembali saat-saat indah dengan Aca.
“ Aku sayang kamu Ca “, kataku pada suatu malam di café ini.
Aca tersenyum lembut seraya meletakan tangannya di atas tanganku
“ Aku juga sayang ama kamu Dan. “ Kuraih tangannya dan kukecup punggung tangannya.
Entah mengapa malam itu aku jadi romantis sekali. Aca tertawa geli
“ Wah … nggak biasanya kamu cium tanganku, biasanya juga … “ tanpa menyelesaikan kalimatnya, Aca menarik tangannya dan meletakkan di pahaku. Ganti aku yang tertawa geli sambil menikmati desir-desir lembut yang muncul.
“ Ca kapan kamu akan ninggalin dia ? “
“ Dan, aku belum bisa ninggalin dia untuk saat ini. “
“ Trus hubungan kita ini mau mengarah kemana dong ? “ desakku
“ Pokoknya untuk sementara waktu ini kamu dan aku menikmati hubungan ini kan ? jadi biar aja mengalir kayak gini dulu yah, please … “ jawab Aca memohon
Aku hanya bisa mendesah mengiyakan saja. Pertanyaan yang selalu tak ada jawaban finalnya.
“ Tapi jangan terlalu lama Ca, aku juga nggak mau hubungan kita seperti ini terus. Aku ingin hidup bareng ama kamu Ca, aku cinta kamu Ca “
“ Iya Dan, tapi kamu harus percaya ama aku yah, kalo aku nggak punya maksud untuk mengulur-ngulur hal itu “
“ Aku percaya ama kamu kok “ jawabku sambil tersenyum. Aca pun melayangkan ciumannya ke bibirku. Ciuman yang selalu membangkitkan gairahku, bibir yang basah, lembut dan manis. Seolah aku tak pernah bosan dengan ciuman-ciuman itu … dan percintaan kami. Percintaan yang paling indah yang pernah kurasakan dengan seseorang. Begitu murni dan tulus bukan hanya atas dasar kenikmatan semata, meski belum ada ikatan pernikahan antara aku dan Aca. Nggak ingat juga siapa yang pertama memulai, tiba-tiba terjadi begitu saja dan terus berlanjut. Aku benar-benar nggak nyangka bahwa bercinta akan bisa terasa seindah itu. Kapan Aca benar-benar akan menjadi miliku seutuhnya dalam ikatan pernikahan? Aku akan melakukan dan memberikan apa saja untuk kamu, Ca.
Gerakan lembut di meja sisi samping belakangku, menggugah lamunanku. Oh Tuhan … apakah ini bukan hanya halusinasiku ? itu … cewek itu kan gadisku yang tiba-tiba hilang tadi, darimana tiba-tiba munculnya. Ah … tapi dia nggak sendiri, ada cowok disampingnya .. hm … pasti pacarnya … lho … kok … apa aku nggak salah lihat itu kan cowok yang menabrak punggungku di jalan tadi. Alurnya pun jadi jelas sekarang hahaha … cowok itu tergesa-gesa untuk menyusul gadisku rupanya.

Kembali kuarahkan pandanganku ke pemandangan di depanku … ternyata kemacetan di bawah semakin parah saja kondisinya, harusnya pemerintahan kota mesti memikirkan hal itu. Sinaran surya mulai redup dan semakin redup beranjak petang. Kulihat jam tanganku dan menunjukkan waktu pukul 06.08 sore. Kupanggil pelayan dan meminta tagihanku. Setelah urusan membayar tagihan selesai, aku mulai berancang-ancang untuk meninggalkan café ini, kembali ke hotel tempat aku menginap. Kuhisap dalam-dalam rokokku, kuhembuskan asap putih pekatnya dan kumatikan dalam asbak yang hampir penuh terisi puntung rokok yang sedari tadi kuhisap.
Matahari kini telah benar-benar terbenam dan hilang di batas horison atap-atap rumah, demikian pula dengan hidupku di kota ini suatu waktu … dulu … dulu sekali. Semoga kamu bahagia Aca, dimana pun kamu berada.

1 comment:

  1. Paragraph ke-3 di cerpen ini sedikit mengganggu alur cerita yg sudah rapi terbangun di awal paragraf ;) hehehe..

    ReplyDelete