Monday, February 16, 2009

Jo

Dia berdiri di sana, memandang keluar jendela dengan sorot matanya yang sendu. Dengan rambut acak terikat ke belakang, sedikit poninya jatuh menutupi dahinya. Dia begitu dekat denganku tapi terasa begitu jauh, seolah dia ada dalam dunianya sendiri, seakan tak sadar dengan suara di sekitarnya. Matanya penuh perhatian tapi seolah dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Dia begitu mencolok karena kecantikannya, tapi juga seolah tak ada yang memperhatikan kehadirannya di tengah sesaknya busway ini. Beberapa kali dia berada di busway yang sama denganku dan setiap saat selalu aku terpesona akan dirinya, dia adalah gadis buswayku.
 Dan kali ini dia tepat disebelahku. Aku tersentak menyadari dia tiba-tiba mengarahkan tatapannya kepadaku, memandangku dengan heran. Dapat kurasakan pipiku mulai terasa panas dan merah karena malu. Sesaat aku mencuri pandang kepadanya lagi. Lho kok dia senyum-senyum sendiri? Jangan-jangan ngetawain aku nih. Tiba-tiba busway ini berhenti dengan mendadak sekali entah kenapa (busway di Indonesia sering sekali ngerem mendadak) dan kurasakan seseorang menabrak tubuhku.
“Aduh…eh sorry yah”, gadisku berseru. Ah…rupanya dia hampir jatuh karena busway sialan ini ngerem mendadak.
“Nggak apa”, jawabku sambil tetap memperhatikan raut wajahnya yang mengernyit seperti menahan sakit. “Aduh…”, serunya tertahan.
Wah kayaknya pas hampir jatuh tadi kakinya terkilir. Kulihat dia memperhatikan mata kakinya. Kulihat dia, terpincang-pincang, mulai menerobos sesaknya busway ini tanpa menghiraukan tatapan bertanya-tanya orang melihat cara jalannya dan kusadari busway ini mulai melambat dan berhenti di Halte Grogol. Hasrat hatiku ingin mengikutinya, agar dapat memandangnya lebih lama, tahu dimana tempat tinggalnya dan terutama apakah dia tidak apa-apa karena kakinya terkilir, tapi hati ini bimbang juga. Dan Gadisku pun melangkah turun.
“Mas, awas Mas …“, teriak kenek busway, kaget melihat aku tiba-tiba menerobos pintu busway yang sudah mulai tertutup. Kulihat dia berdiri dengan menunduk memegangi mata kakinya yang terkilir.
“Hey, masih sakit? Bisa jalan nggak?” tanyaku kepadanya.
Dia dengan cepat mendongakkan kepalanya,
”Eh kamu, sorry lagi yah tadi. Iya nih sakit banget, tauk deh bisa jalan apa nggak.” Duh cakep banget, dramatis banget caranya mendongakkan kepalanya.
“ Mau kugendong?” ya ampun..aku ngomong apa sih nih, duh dia pasti marah nih, ngiranya aku mau macem-macem lagi ama dia. Goblok…goblok…kikuk banget sih.
“Eh sorry maksudku…maksudku…aku nggak maksud…gini…”, duh ngomong apa sih aku ini, gila gimana nih.
“Kamu yakin?”, hah…ganti aku yang bengong mendengar tanggapannya. Duh dia manis banget, sekarang dia sendiri tersenyum malu-malu gitu, imut banget.
“Yakin! Rumahku rada jauh lho”, tegasnya, masih dengan senyum malu-malunya.
Sumpah disuruh gendong dia sampai Kelapa Gading aku juga rela hehehe,
”Eh…yah, aku yakin kok.” Duh dia tertawa kecil, makin bikin aku gelagaban aja, salah tingkah nih jadinya di depan dia.
“Terus gimana ini?” tanyanya ragu, karena melihat aku hanya tersipu malu berdiri di depannya tanpa ngap-ngapain.
“Eh iya, yuk”, jawabku cepat sambil jongkok membelakangi dia, supaya dia bisa dengan gampang reba di punggungku. Dia pun tanpa basa-basi langsung…apa yah istilahnya, naik gitu deh ke punggungku, sambil tangannya di kalungkan ke leherku. Dan tanganku memegang pahanya, menahannya supaya tidak merosot. Aku adalah laki-laki normal, siapa yang tidak suka disuruh gendong cewek cakep kayak gini, hehehe jadi malu sendiri. Aromanya juga wangi lembut elegan, padahal di sore hari yang sedikit pengab dan jelas dia baru pulang dari kerja. Aku seperti mimpi, berulang kali aku berucap ke diriku sendiri, ini tidak riil, ini mimpi, this is just too good to be true. Kejadian gini hanya ada di cerpen-cerpen cinta ga jelas gitu. Untuk sekian waktu, kami berdiam diri, aku sibuk dengan pikiranku sendiri sembari mencoba cuek melihat tatapan heran orang-orang yang melihat kami.
Entah dia sedang sibuk ngapain di punggungku selain terkadang memberikan instruksi kepadaku jika aku harus belok ke kanan atau ke kiri.
“ Hey…hey…HEY…”, serunya menggugah lamunanku.
“Ya?”
“Capek ga?”
“Ga kok, kamu ringan sih”
“Untung dong yah” jawabnya sambil tertawa renyah. Duh denger tawanya, hatiku jadi berdesir lagi nih.
“Iya, kalo gendut, bisa-bisa abis gendong kamu, aku langsung ke pijet urut”
“Hehehe…emang namanya siapa sih?”
“Gerry, kamu?”
“Jocelyn, depan belok kiri yah” Dan berawal dari perkenalan itu, obrolan pun berlanjut dengan santai, ngomongin soal dimana kerjanya, bagian apa, kuliah dimana sampai mbahas kurangnya safety busway di Indonesia.
“Ger, rumahku yang pager hijau depan tuh.”
“Okay deh.” Tepat di depan pagar kuturunkan dia, tapi kayaknya terkilirnya cukup parah, soalnya ketika mencoba jalan, dia mengaduh-aduh kesakitan. Jadinya kugendong lagi sampai tepat depan pintu rumahnya.
“Gerry, thank you yah, sorry banget jadinya ngerepotin kamu, tapi kalau nggak, aku juga bingung pulangnya gimana.”
“Iya gak apa,” dan tanpa sadar aku bertanya ”Ada nomor hp ga?” duh… gimana nih, goblok…goblok
“Emang kenapa?” tanyanya dengan senyum simpul.
“Eh…anu… yah supaya tau gimana nanti kakimu,” elakku “siapa tau kamu butuh tumpangan lagi dari halte ke rumah.”
“Hehehe…iya yah, 08129397765”, jawabnya sambil tetap tertawa kecil.
“Mau mampir masuk? Minum? Kan capek gendong aku”, tawarnya.
“Ga usah deh, thanks. Ga apa kok”, jawabku meski hatiku teriak-teriak kalap buat nerima tawaran itu.
Aku mulai melangkah keluar dari halaman rumahnya, sambil sesekali kumenoleh melihatnya masih berdiri di depan rumah sambil melambai dan tersenyum.

Malam itu aku nggak bisa tidur, entah kenapa padahal badan capek banget nih. Jo (begitu aku memanggilnya) selalu muncul dalam pikiran ini, dia benar-benar merongrong di hatiku. Esok harinya aku bangun karena suara alarmku yang nggak mau kompromi kalo aku masih ngatuk berat, entah kemarin aku tidur jam berapa. Yang jelas si alarm brengsek ini memaksaku bangun dan otomatis memutus mimpi indahku. Ah…dalam mimpi pun Jo hadir dengan senyum imutnya dan … apa yah, lupa…pokoknya yang indah-indah deh.
Siang harinya kucoba telepon ke hp-nya.
“Halo ini Jocelyn?” aku bertanya saat nada sambung terputus dengan suara ”halo” manis.
“Iya, ini siapa yah?”
“Em…ini Gerry, inget ga? Ojek gendong kemarin.”
“Oh iya, sorry soalnya kemarin kamu ga kasih no hp mu.”
“Iya, ga apa. Gimana kakimu udah baikan?”
“Udah kok, masih sedikit nyeri, cuman ga apa, udah bisa jalan kok. Kemarin abis kamu anterin pulang, aku langsung dipanggilin tukang urut ama mamaku, jadi kamu ga perlu jadi ojek gendongku lagi hehehe.”
Tak berhenti di sana, percakapan pun mengalir dengan wajarnya. Mungkin karena dia juga friendly dan nggak canggung dengan teleponku.

Berawal dari sana, tiba-tiba menjadi suatu kebiasaan aku selalu menelpon Jo minimal 1 hari sekali dan hebatnya seakan tidak ada habisnya topic pembicaraan kami.
“Jo mau nggak nonton bareng di TA”, ajakku siang itu
“Mau, kapan?” sahutnya (Jo sekarang udah nggak ngomel-ngomel karena aku panggil dia Jo, karena kayak nama cowok katanya, temen-temen dan keluarganya manggil dia dengan Elin).
“Em…sabtu ini gimana? Aku naik taxi jemput kamu deh.”
“Lho kamu kan di tanjungduren, kan malah muter kalo gitu? Mending aku yang jemput kamu pake taxi dari rumahku.”
“Ah ga apa kan cumin beda dikit, lagian biar biaya taxi-nya mahalan dikit, kasihan kalo ngangkut orang tapi bayarnya dikit.”
“Iya juga sih. Tapi nonton apa?”
“Ga tau juga, ntar aja lihat di sana.”
“Okay deh, jam berapa?”
“Ntar aku lihat dulu jadwalnya yah, kita berangkat sorean aja, makan dulu deh.”
“Okay deh, berdua aja nih?”
“Eh…iya, tapi ga apa kalo kamu mau ajak temenmu?”
“Ga ah, yah udah kita berdua aja yah.” Itulah awal nge-date kami berdua.
Aku masih ingat malem itu adalah salah satu malam yang bikin aku bahagia banget. Dia begitu ceria dan selalu tersenyum (ini bukan senyum-senyum gejala gila lho yah). Mulai antri tiket (panjang banget tuh), makan malem di Red Tomato sampai nongkrong dulu di Coffe Bean abis nonton, percakapan tiada hentinya (kecuali pas di dalam bioskop, bisa-bisa dimaki-maki orang sekampung kalo tetap ngobrol).

Tak lama setelah kurang lebih 1 minggu setelah our first date, dia gantian yang ngajak aku buat nemenin dia jalan-jalan di Grand Indonesia, sekalian lihat fountain show katanya (Jo demen banget lihat show ini). Setelah itu semakin banyak acara date kami, meski hanya aku yang nongkrong di rumahnya dan nggak pergi kemana-mana. Aku mulai mengenal keluarganya, Tante Dian, mamanya, Om Ramli, papanya dan Evan, adik cowok semata wayangnya (Jo dua bersaudara, dia anak tertua).
4 bulan sejak kejadian ojek gendong itu, akhirnya dengan perjuangan keras, kuberanikan mengutarakan perasaanku padanya.
“Jo…em…”, duh sulit banget nih keluarnya, ntar kalau ditolak gimana nih.
“Jo…eh…apa…gini…”, nah tuh belepotan lagi omonganku.
“Ada apaan sih Ger? Kok gagu gitu hehehe,” sahut Jo sambil tetap menatap mataku.
“Hehehe sorry, em…aku…aku rasa, aku…”, gila kok sulit banget yah, seumur-umur belon pernah nyatain cinta sesulit ini.
“Yah?” Jo masih aja menunggu dengan tatapan heran.
“Aku…aku rasa kita ga usah jalan lagi sebagai temen.”
“HAH…emang kenapa? Aku bikin salah yah?” Tanya Jo dengan mimik sedikit shock.
“Bukan…bukan kok, anu…soalnya aku rasa kita jalan sebagai pacar aja deh, aku suka ama kamu.” tandasku. Dan seperti biasa tercipta keheningan yang bagiku kayaknya lama banget, sumpah kayak film di slow motion.
“Ger, bisa ga sebutin satu aja alasan kamu suka ama aku dan kenapa aku mau jadi pacar kamu? Jawab yang jujur yah, ga boleh boong. Kalo boong aku sumpahin kamu jadi ojek gendong seumur hidup.”
“HAH!” ganti aku yang kaget dengan tanggapannya. “Hahahaha…iya deh”, aku jadi tertawa dalam suasana kayak gini ternyata Jo masih punya humor juga.
“Jo, banyak alasan kenapa aku suka kamu, tapi yang paling bikin aku suka… em…cinta banget sama kamu, hanya Tuhan yang tau karena aku bener-bener ga bisa ngungkapin perasaan itu dengan kata-kata”, jawabku “dan alasan kenapa kamu mau jadi pacarku, karena kamu yakin kamu juga cinta ama aku, di luar alasan itu lebih baik kamu nggak terima aku.”
“Aku tau Jo, dan aku yakin kamu juga udah tau sedikit banyak tentang aku. Tentang hidupku, personalityku, cara pandangku terhadap sesuatu bahkan sampai kondisi kemapananku”, lanjutku.
“Kemapanan? maksudnya?” potong Jo.
“Yah… tentang kondisi keuanganku, aku belum bisa kasih apa yah… perlakuan yang istimewa atau apa yah?”
“Maksudmu aku cewek matrek gitu?”
“Nggak, tapi udah kodrat cowok, pasti pengen kasih perlakuan istimewa yang terbaik buat ceweknya.”
“Hm…ego cowok yah”, sahut Jo.
“Yup, aku ga minta kamu jawab sekarang jika memang kamu ga bisa jawab sekarang. Tapi pastiin alasan kamu buat balas perasaanku ini emang karena kamu juga suka…eh…cinta ama aku.”
“Ga kok, aku ga perlu waktu”, jawab Jo.
Aku sedikit ciut juga denger jawaban Jo, sambil mbatin dalam hati, apapun jawaban Jo, pasti itu yang terbaik buat aku.
“Eh…Ger, ke Grand Indonesia yuk sekarang, pengen liat fountain show lagi”, ajak Jo.
“HAH…sekarang…Grand Indo…show”, sahutku kaget sambil bingung dengan ajakannya.
“Iya, yuk. Pleaseeee…”
“Okay”, jawabku mengiyakan aja ajakan Jo meski tetap bingung.
Segera setelah Jo siap dan udah berpamitan ama ortunya, aku dan Jo langsung melaju ke Grand Indonesia dengan taxi. Sampai di Grand Indonesia udah jam 6.50 petang, sambil berlari-lari kecil mengejar jam tayang Fountain Show, aku masih aja bingung, kok bisa kayak gini yah? Tepat saat sampai di depan fountain, pas lampu-lampu mulai di padamkan, dan mulai terdengar alunan music New York New York diiringi dengan lenggak lenggok air mancur mengikuti nada lagu itu.
Sementara aku masih bingung dengan pikiranku sendiri (jelas aku ga bisa menikmati pertunjukan itu) samar kudengar dia mendesah senang dengan pertunjukan favoritnya itu. Entah di bagian mana, yang jelas music New York New York masih mengalun, tiba-tiba dia menarik bahuku supaya berhadapan dengannya. Jo tersenyum, tersenyum sangat cantik dan tiba-tiba bibir Jo sudah mencium bibirku. Jangan tanya deh perasaan dan reaksiku saat itu, aku hanya bisa berdiri mematung, bingung, senang, bahagia, ga tau harus berbuat apa kecuali membalas ciumanya.
Jo melepaskan bibirnya dari bibirku.
“Gerry aku cinta kamu”, kata Jo ditengah alunan melodi New York New York.
Aku hanya terdiam tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa tersenyum dan kucium kembali bibir Jo dalam-dalam, seolah aku ingin melebur dengannya.
Entah berapa lama kami berciuman, yang jelas aku tersadarkan oleh suara tawa kecil dari beberapa orang disekitarku. Sambil sedikit tersenyum malu, aku segera menarik Jo keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang menikmati fountain show dan em… beberapa mungkin sempat memperhatikan ciuman pertamaku dengan Jo. Sambil menarik tangan Jo tanpa tentu arah, aku tiba-tiba merasa lapar.
“Laper ga? Makan yuk?” ajakku.
“HAH…”, sahut Jo kaget (rupanya malam itu banyak kejadian terkaget-kaget) “eh boleh aja, aku juga laper sih.”
“Mau makan apa?”
“Apa aja tapi jangan Chinese food yah.”
“Makan rayuan gombalku mau ga?” candaku.
“Em…ntar aja deh buat dessert”, jawab Jo.
Aku dan Jo saling berpandangan mata untuk pertama kalinya sejak ciuman itu. Aku dan Jo mulai tersenyum satu sama lain dan tertawa kecil sambil mulai berdebat enaknya makan dimana sambil ngomong ga jelas soal rasa dessert rayuan gombalku padanya.
Malam itu aku benar-benar merasa bahagia sekali. Aku merasa Tuhan telah mengirimkan satu keajaibannya untukku, hanya untukku. Aku merasa Tuhan telah mempertemukan aku dengan soulmateku. Aku merasa Tuhan telah menjawab doaku selama ini. Dan keajaiban Tuhan itu tak berhenti membuatku bahagia selama bulan-bulan kedepan, meski aku dan Jo sedang tengkar atau seringnya Jo ngambek.
Semua berjalan dengan indahnya selayaknya dongeng-dongeng happily ever after. Keluargaku pun menyambut baik kedatang Jo, begitu juga dengan keluarga Jo.

Hingga di suatu sore di bulan Maret, saat aku dan Jo membantu Papanya membersihkan taman belakang rumah Jo, yang rencananya akan dibikin kolam, tepat dibawah jendela kamar tidur Jo (Jo senang sekali dengan suara gemercik air, bikin damai katanya), Jo tiba-tiba pingsan ditengah gelak canda tawa kami. Aku masih ingat kepanikan yang mendera keluarga Jo. Om Ramli segera menyuruh aku menggendong Jo masuk ke mobilnya. Sementara aku duduk di tengah, sambil mencoba menyadarkan Jo, di depan Om Ramli ngebut menyetir mobil sambil sibuk telepon ke seorang dokter menjabarkan kondisi Jo, sementara Tante Dian menangis sesunggukan dan Ivan, disampingku hanya membisu tetapi matanya kulihat berkaca-kaca. Aku merasa bahwa semua reaksi keluarga Jo terlalu berlebihan. Dan bertanya-tanya Jo mau dibawa kemana? Kalo ke rumah sakit kenapa nggak yang deket aja sama rumah, di Sumber Waras atau di Royal Taruma. Sesampai di rumah sakit, sambil masih menggendong Jo, Om Ramli mengarahkanku ke UGD. Dimana disana telah menunggu suster dan dokter yang segera mengambil alih Jo dari tanganku dan menidurkan di ranjang dorong dan segera mendorongnya masuk ke ruangan perawatan intensif. Aku masih bingung dengan semua tindakan ini, sementara Om Ramli sambil merengkuh Tante Dian dalam pelukannya sambil membisikan kalimat yang tak bisa kutangkap dan mata berkaca-kaca Evan yang tak kusadari mulai kapan berubah menjadi tangis. Aku ingin bertanya tetapi tak sampai hati aku mengganggu mereka dengan pertanyaanku.
Kami duduk menunggu sekitar 3 jam dalam kebisuan dan kebingungan, serasa ingin meledak hati ini ingin bertanya. Akhirnya dokter masuk ruang tunggu dan memanggil Om Ramli dan Tante Dian keluar dari ruang tunggu. Tak lama Om Ramli dan Tante Dian masuk kembali ke ruang tunggu. “Giman Elin Pa?” tanya Evan dengan suara parau. Om Ramli hanya menjawab dengan gelengan dan tangis tak bersuara. Aku semakin tak kuat menahan rasa ingin tahuku, dengan berdiri aku bertanya
“Ada apa ini Om, kenapa…”, tak sampai kuselesaikan pertanyaanku, Om Ramli mengisyaratkan aku untuk duduk kembali.
“Gerry, Om minta Gerry tenang dan jangan menyela apapun dulu yah.”
“Iya Om, tapi tolong ada apa ini?”
“Gerry, Elin sejak 1,5 tahun yang lalu didiagnosis menderita tumor otak kronis.”
Aku bagaikan mendengar suara guntur yang menggelegar, aku hanya bisa diam terpaku.
“Gerry, saat itu dokter sudah bilang bahwa tumor itu sudah menjalar kemana-mana dan jika dipaksakan dioperasi maka kemungkinan Elin untuk hidup semakin kecil dan Elin memutuskan untuk tidak mau dioperasi dan ingin menikmati sisa hidupnya selama mungkin.”
Sesaat ku terdiam dan entah didorong apa, aku berdiri dan melangkah kepintu, sempat kulihat tangan Evan ingin mencekal lenganku tetapi Om Ramli menghalangi niat Evan. Yang kupikirkan saat itu hanya ingin keluar dari ruang tunggu ini. Tapi tak sampai tanganku membuka handle pintu, entah kenapa kakiku menjadi lemas dan tanpa bisa kutahan, aku merosot terduduk dan pecah tangisku tanpa bisa kukontrol lagi.
Tangisku atas Jo, tangisku atas penyakit bangsat itu, tangisku atas ketidakadilan Tuhan, aku benci Tuhan, Dia akan merebut Jo dari aku padahal dulu Dia yang mengirimkan Jo padaku. Jo yang membuat hari-hari sepiku kembali ceria, Jo yang membuat warna kelabu hidupku menjadi berwarna, Jo yang aku cintai, Jo yang menjadikan dan menerima aku apa adanya.
Aku merasakan suatu tangan merengkuh bahuku dan membopongku kembali ke sofa dan mendudukanku dengan lembut. Kutengadahkan kepalaku dan raut wajah Evan dengan mata penuh tangis ada di sana. Aku kembali memejamkan mata dan menangis lagi. Kurasakan pelukan Evan dan tangisnya bercampur dengan tangisku. Tak kusadari seberapa lama aku menangis dan aku pun tertidur.
Dalam tidurku kulihat Jo tertawa bahagia dengan kerling matanya menggoda diriku untuk mengejarnya.
“Ger ayo sini…hahaha…ayo Ger tangkap aku.”
“Emang kalo bisa kutangkap apa hadiahnya?” sahutku dan Elin hanya tersenyum menggoda, mengerlingkan matanya dan kembali berlari.
Aku pun berlari mengejarnya, mencoba menggapainya tetapi entah jarak antara aku dan Jo semakin jauh dan jauh.
“Jo tunggu..Jo kembali…”, teriakku, kulihat Jo kembali menoleh dan tersenyum sangat cantik dan terus berlari menjauh.
“JO kembali JO…JOOO…”, dan aku terbangun dari tidurku.
Sesaat kurasakan belaian tangan mengusap rambutku, kutengadahkan kepalaku dan kulihat Tante Dian tersenyum lemah dan duduk disebelahku dan berkata
“Gerry, pada saat Gerry bilang cinta sama Elin. Elin bilang bahagia banget, Tuhan mengirimkan Gerry buat Elin dan Elin bilang mau hidup sampai seratus tahun ama Gerry”, dengan terisak Tante Dian melanjutkan
“Tetapi Elin tetap menegaskan Elin belum mau Gerry tahu tentang penyakitnya, karena Elin tidak mau kehilangan Gerry secepat itu, Elin bilang mungkin Elin jahat sama Gerry tetapi kalau menyangkut cinta Gerry, Elin akan egois banget.”
Tak kuduga aku akan tertawa kecil mendengar cerita keegoisan Elin dalam tangisku. Jo yang kucintai, Jo yang kusayangi, Jo yang kupuja, selalu menghadirkan senyum dan tawa dalam hidupku.
Aku tak sempat berbicara lagi dengan Jo karena sejak Jo pingsan, Jo tidak pernah sadar dari komanya dan di malam ke 8 sejak dirawat di rumah sakit, Jo akhirnya pulang ke Tuhan.

Setahun sudah berlalu sejak Jo meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku di sini lagi, sendiri di tengah ramainya kerumunan orang menonton lenggak lenggok air mancur dengan iringan lagu New York New York.
Jo saat kamu pergi aku menyalahkan Tuhan dan membenciNya, kenapa Dia mengambil kamu Jo, kenapa Dia mengambil satu-satunya tujuan dalam hidupku. Tapi seiring waktu aku tahu aku salah Jo, aku berterima kasih sama Tuhan, bahwa Dia masih mengijinkan aku mengenal kamu dan memiliki cintamu untuk aku Jo, meski hanya untuk waktu yang singkat.
Jo kenapa yah fountain show ini jadi nggak begitu indah? Jo aku sendirian di sini, Jo aku rindu banget sama kamu, Jo aku kangen sama gaya ngambekmu, Jo aku kehilangan senyum lucu dan kerlingan matamu yang selalu menggoda aku, Jo aku pingin menciummu di depan fountain ini lagi. Jo kamu nggak usah takut kamu akan kehilangan cintaku karena aku selalu mencintaimu meski aku tak tahu kamu ada dimana. Aku harap dimana pun kamu, kamu akan bahagia dan tersenyum meski aku disini masih menangis.
Aku tau Jo, kamu nggak akan suka jika aku terus menangis untukmu dan aku janji nggak akan nangis lagi, tapi ijinkan aku malam ini di depan fountain kita, menangis untuk terakhir kalinya Jo…tangisku untukmu, Jo.

No comments:

Post a Comment