Prolog
“Heeeeyyy guys long
weekend, jalan yuk” (mengacu
pada hari Sabtu tanggal 19 April 2014)
“Iya yuk, muter-muter
dalam kota Jakarta aje ye”
“Siapa aja nih, semobil
cukup ga yah? haha”
“Nih ada Donal, Tyo,
Astrid, Ulfa, Hardi, Harry, trus siapa lagi?”
2
minggu kemudian
“Besok jangan lupa yah,
ketemunya jam 7.30 pagi, jangan molor”
“Iya, okidoki”
“Pakai celana pendek
apa yah?”
“Eh si Dimas mungkin
sore mau join, tapi si Tyo mungkin misah pas siang”
“Jalur sih udah kayak
plan tapi ntar realisasinya suka-suka deh yah”
1 hari dalam masa long
weekend ini, kami akan singgah ke 4 lokasi di Jakarta. Kami akan menulis cerita-cerita
kecil dalam 4 babak.
Babak 1.
“Dang ding tung cung
thiong mah”
“Itu anter dulu ke meja
7”
“Pai tung ting tong pau
xe”
“Ah pio, pake nasi yah”
“Eh lama ga ketemu, apa
kabar?”
“Hai, ama siapa?”
“Dicu dicu ptang ptung
lala”
“Nasi campur? Berapa?
Ok”
Ramai sekali situasi di
dalam Kedai Kopi Es Tak Kie. Percakapan tak henti-hentinya berkicau dari
insan-insan yang memenuhi kedai itu, untuk rutinitas sarapan.
Gelak canda, sapaan
salam dan gossip-gosip hangat mengalir berpadu sempurna layaknya harmoni lagu
dalam beberapa bahasa, yang beberapanya tak bisa kumengerti.
Saya diam, berlagak
asik dengan gadget dan camera. Mencoba menyerap semuanya ke dalam memori,
menikmati setiap detik suasana yang hangat meski kadang tak ramah. Mencoba
menangkap semua moment yang terjadi, meski itu hanyalah sekedar bertukar sapa
dan senyum dengan orang asing yang menanyakan bangku kosong tak terpakai.
“Es kopi” suara mas-mas
mengalihkan indraku menuju ke segelas es kopi nikmat dan pas dalam hawa yang
panas menyengat, meski matahari belum beranjak ke derajat 50.
Kuteguk es kopi hitam
itu, mengalir sejuk melalui lorong-lorong tubuh ini. Pahitnya kopi yang berpadu
pas dengan manisnya gula yang tak berlebihan.
Kedai Kopi Es Tak Kie
terletak di Petak Sembilan – Glodok (di Gg. Gloria) dan buka setiap hari dari
pagi hingga siang hari saja. Minuman andalan jelasnya adalah Es Kopi yang bisa
dihidangkan black maupun dengan campuran susu (dua-duanya nikmat).
Kedai Kopi Es Tak Kie
juga menyajikan beberapa hidangan seperti mie ayam babi, pio (labi-labi/bulus),
nasi campur dan kue beras ketan (bakcang) yang tentunya tidak halal.
Tak jauh dari Gg.
Gloria juga banyak akan ditemui beragam kuliner local, Chinese dan peranakan.
Dari kuo tiek (recommended), taoge goreng, bakso pikul (recommended), laksa,
cempedak goreng (recommended), ketoprak, aneka jajanan pasar dan ragam lainnya.
Babak 2
Mata itu memandang saya
dengan sedih dan hampa. Mata yang lain memandang saya dengan sayu dan mati.
Mata lainnya memandang saya dengan sedikit amarah di gurat wajahnya. Sayap-sayap
empunya mata-mata itu diam bergeming tapi laksana pemicu hembusan angin yang
membuai menerpa tubuh, sedikit meringankan teriknya panas matahari yang telah
beranjak mendekati derajat 90.
Ya, malaikat-malaikat
itu berhamburan dimana-mana dan memandang saya dengan semua ekspresi kekalnya.
Malaikat-malaikat bisu yang menjadi saksi pergantian jaman, pasif di atas
singgasananya.
Memasuki Museum Taman
Prasasti, kami membayangkan akan menemui kesyaduhan muram yang nyatanya riuh
rendah dengan teriakan bocah-bocah SD dalam balutan kostum pramuka yang
tersebar di area sempit itu. Wajah-wajah polos penuh dengan semangat dan
kegembiraan berpetualang. Melacak jejak dan tanda yang dipasang oleh sang
kakak-kakak Pembina.
Teronggok bertaburan
dimana-mana nisan-nisan atau pusara-pusara peninggalan jaman yang telah
terlewati beberapa masa. Beragam memoar teramat singkat terukir pada batu-batu
itu. Guratan-guratan nama-nama Belanda, dari era 1800-an, mendominasi
perkuburan itu. Beberapa guratan nama China pun dapat ditemui, termasuk nama
peranakan China Hokkian Indonesia bernama Soe Hok Gie yang merupakan tokoh
tahun 1960-an.
Pusara-pusara tersebut
sebagian besar memiliki patung-patung (seperti) pualam berbentuk malaikat, yang
tentunya menjadi daya tarik utama dari museum ini. Area yang aslinya bernama
Pemakaman Kebon Jahe Kober ini sebenarnya menyisakan hanya koleksi pusara/nisan
saja, sedangkan sisa jasad (tengkorak dan tulang belulang) sudah dipindahkan ke
tempat lain. Museum ini terletak di Jalan Tanah Abang dan buka setiap hari
Selasa sampai dengan Minggu dari pukul 9 pagi hingga 3 sore.
Babak 3
“Selamat datang”
“Selamat datang”
“Selamat datang”
Untaian kata-kata
pembuka itu menyambut kami begitu pintu utama yang terdiri dari 2 bilah pintu kayu
tersebut terbuka dari dalam. Sederetan laki-laki berbaju putih menyambut kami
dengan senyum dan salam, mengundang kami memasuki dunia yang sedikit lain dari
dunia yang biasa kami singgahi di luar sana. Kami seolah tersedot dan kembali
ke masa-masa yang telah lewat dan di sini kami duduk mengelilingi meja ditemani
dengan beberapa benda-benda bisu yang seolah ingin bercerita tentang apa yang
telah mereka lalui hingga bertahan melalui millennium.
Perangkat makan dan
keramik China, foto-foto keluarga, perabot rumah tangga, rantang, toples, dan
ratusan benda-benda lain termasuk gramophone-gramophone tua mengelilingi kami,
seolah memandang penuh rasa ingin tahu apakah kami ingin mendengar cerita
mereka.
Huize Trivelli, adalah
resto yang menempati sebagian dari rumah pemiliknya (saat ini hanya lantai
dasar) yang dirombak menjadi resto dengan menu andalan fusion peranakan serta
steak-steak jadul ala Belanda. Kesan misteri dan penuh dari resto ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi kami, selain makanan yang kami pesan rasanya juga enak
dengan harga yang wajar.
Huize Trivelli buka
setiap hari dari menjelang makan siang sampai petang hari dan terletak di Jalan
Ciujung – Cideng Barat.
Babak 4
“Macet bener yah bro”
“Dih ada apaan sih, kok
macet bener nih”
Keluhan mulai terdengar
di dalam mobil setelah beberapa saat terjebak macetnya jalanan di sekitaran
manga dua sore itu. Jakarta yang “harusnya” lengang karena long weekend menjadi
macet karena tak lama sebelumnya di guyur hujan lebat yang cukup lama.
Lepas dari kemacetan,
yang ternyata akibat penyempitan jalan karena perbaikan, kami mengarah memasuki
gate salah satu lokasi dan tujuan plesiran yang terkenal di Jakarta: Ancol.
Gondola adalah tujuan
pertama kami, seusai memarkir mobil. Cukup menyenangkan menaiki Gondola dengan
durasi yang kurang dari 30 menit (iya, cepat sekali) dan memberikan kami
pemandangan sebagian sisi Jakarta dari ketinggian di sisi satu dan sisi lainnya
yang merupakan pemandangan pantai yang dibatasi oleh garis horizon itu sendiri.
Penutupan babak ke 4
ini diakhiri dengan makan malam yang di buka dengan pemandangan sunset yang
cukup indah di dermaga Pantai Indah Ancol bersama dengan ratusan orang lainnya.
Epilog
Great day with great
companions at many great destinations.
Maybe our friendships
will not last, maybe the destination will not last but one thing for sure, this
memory will last.
No comments:
Post a Comment